Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Kota Mataram dan Seorang Pria yang Kesepian
0
Suka
46
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Di sepetak kamar kos sempit dan hampa di Kekalik Jaya, Kota Mataram, tinggal seorang pria bernama Irul. Usianya baru dua puluh dua, tapi hatinya terasa seperti laki-laki tua yang sudah lelah dengan kehidupan dunia. Ia merantau dari Bima ke kota untuk kuliah di salah satu universitas ternama. Sudah tiga tahun ia tinggal di kamar itu, bersama suara hujan yang menetes dari atap bocor dan kenangan yang tak kunjung reda.

Setiap sore, setelah kelas selesai, Irul berjalan kaki menuju Pantai Ampenan. Ia duduk di atas batu-batu besar, memandang laut yang seolah tak peduli pada siapa pun. Di tangan kirinya selalu ada buku catatan kecil, tempat ia menulis puisi-puisi pendek atau sekadar kalimat yang hanya bisa dipahami dirinya sendiri.

Teman-teman kuliahnya mengenalnya sebagai orang yang pendiam. Ia jarang ikut nongkrong, tak aktif di organisasi, dan lebih sering menghilang usai kelas. Banyak yang bilang Irul sombong. Padahal, ia hanya kesepian.

Kesepian yang pelan-pelan menggerogoti semangat hidupnya sejak ibunya meninggal dua tahun lalu. Ia tak pulang waktu itu sebab terjebak ujian tengah semester, dan ketika akhirnya ia sampai di Bima, rumahnya sudah sepi, dan ibunya hanya tinggal nama di batu nisan. Sejak saat itu, hidupnya terasa hampa. Tak ada lagi suara ibu yang menelepon tiap malam, tak ada lagi kiriman pesan singkat yang menyemangatinya belajar.

Kota Mataram menjadi saksi diam atas luka-luka yang ia pendam sendiri. Meski kota ini indah, hangat, dan penuh warna, bagi Irul, semuanya tampak kelabu. Ia belajar, makan, tidur, semuanya dijalani hanya karena harus.

Sampai suatu hari, saat Irul sedang membaca di bangku depan kos, datanglah seorang perempuan membawa dus mie instan dan seikat hanger. Napasnya ngos-ngosan, dan ia tampak kebingungan mencari kunci kamar. “Kamar 3A yang mana, ya?” tanyanya. Irul menunjuk kamar di sampingnya. “Oh, tetangga baru, nih,” gumamnya sambil tersenyum kecil. Namanya Raya, mahasiswi baru yang baru pindahan hari itu juga. Sejak hari itu, obrolan ringan mulai terjalin. Awalnya soal kos, lalu soal kota, dan perlahan-lahan, Irul tak merasa sendiri lagi.

Tapi di tengah kehangatan yang perlahan tumbuh itu, Irul mulai merasakan sesuatu yang ganjil dalam dirinya. Bukan tentang Raya, melainkan tentang dirinya sendiri. Setiap selesai berbincang, setiap tawa kecil reda, ia merasa kosong lagi. Seperti suasana setelah pesta, saat lampu-lampu dimatikan dan suara menghilang.

Kadang, setelah Raya kembali ke kamarnya, Irul termenung lama di depan cermin kecil yang tergantung miring di dinding kos. Ia menatap wajahnya sendiri, mencoba mencari tahu: apakah dirinya memang layak merasa lebih baik? Layak ditemani?

"Kenapa kamu begitu cepat percaya pada kenyamanan, Rul?" katanya pelan pada bayangan di cermin. "Apa kau benar-benar merasa lebih baik, atau hanya sedang menghindar dari luka lama yang belum sembuh?"

Di buku catatannya, tulisan-tulisan mulai berubah nadanya. Dari puisi-puisi manis tentang percakapan dengan Raya, kini muncul pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu: Apakah orang lain bisa melihatnya juga? Pernahkah ada yang menyapanya selain aku?

Ia menepis pikiran-pikiran itu, mencoba menyibukkan diri dengan membaca, menulis, mencuci pakaian sendiri, apa saja agar tak harus memikirkan kemungkinan terburuk: bahwa ia bisa jadi sedang berbicara dengan kehampaan itu sendiri. Bahwa mungkin, yang ia butuhkan bukan teman baru melainkan keberanian untuk mengakui betapa rapuhnya ia.

Raya bukan orang yang cerewet, tapi ia tahu bagaimana membuat Irul merasa dilihat. Ia tidak menasihati, tidak menghakimi, hanya mendengarkan. Dan itu cukup. Di dunia yang terus berlari cepat, menemukan seseorang yang mau diam bersamamu adalah kemewahan.

Mataram perlahan berubah bagi Irul. Kota ini masih sama; langitnya tetap biru, jalannya tetap ramai. Tapi ada yang berbeda dalam hatinya. Ia mulai tertawa, mulai menulis puisi lagi tapi kali ini bukan tentang kehilangan, tapi tentang harapan.

Di kota rantau itu, di tengah kesunyian kamar kos dan padatnya jadwal kuliah, seorang pria yang kesepian mulai menemukan alasannya untuk bertahan. Dan mungkin, di ujung cerita nanti, Mataram bukan lagi sekadar kota persinggahan. Ia bisa jadi rumah.

Namun, tak semua yang terasa nyata adalah kenyataan.

Suatu malam, ketika hujan kembali mengetuk pelan atap kos yang bocor, Irul duduk memandangi dinding kamarnya yang lembap. Di atas meja kayu kecil, ada segelas kopi yang sudah dingin, dan buku catatannya terbuka, penuh dengan tulisan tangan yang tak rapi yang semacam puisi, semacam curhat, entah apa.

Ia baru saja selesai menuliskan sebuah bait untuk Raya. Tentang tawa kecilnya, tentang suara halusnya saat bertanya soal letak dapur kos, tentang obrolan sore yang selalu membuat hati Irul terasa ringan. Tapi malam itu, entah kenapa, perasaan aneh menyusup perlahan. Seperti ada bagian dari dirinya yang mulai bertanya: Benarkah semua itu pernah terjadi?

Irul menatap pintu kamar di sebelahnya. Kamar 3A. Sudah tiga hari lampunya tak pernah menyala. Tak terdengar suara apa pun dari dalam. Ia menunggu, berharap pintu itu terbuka, dan Raya keluar dengan senyum lelah dan seikat hanger di tangan, seperti hari pertama mereka bertemu.

Tapi tak ada siapa-siapa.

Keesokan harinya, ia memberanikan diri bertanya pada ibu kos. "Bu, yang di kamar 3A... Raya, dia ke mana ya? Kok nggak kelihatan?"

Ibu kos menatapnya, bingung. "Kamar 3A? Kosong dari awal bulan, Nak. Belum ada yang masuk."

Jantung Irul berdetak pelan, seperti baru saja menerima kenyataan yang tubuhnya sudah tahu sejak lama. Ia hanya belum siap mengakuinya.

Raya tidak pernah ada.

Nama itu, suara itu, percakapan demi percakapan yang selama ini menemaninya sore-sore di teras kos semuanya hanyalah pantulan dari keinginan terdalam Irul untuk tidak merasa sendirian. Dalam kesepiannya yang begitu dalam, pikirannya menciptakan seseorang yang bisa membuatnya merasa dilihat, didengarkan, dimengerti.

Raya adalah cermin dari sosok yang ia rindukan: seseorang yang hadir tanpa syarat. Dan saat hidup terasa terlalu berat, imajinasi adalah satu-satunya ruang yang masih terasa hangat.

Irul kembali ke kamarnya. Duduk perlahan di ranjang tipis yang mulai aus. Ia membuka buku catatannya dan membaca ulang puisi-puisi itu. Di sana, di balik kalimat-kalimat sederhana, ada percakapan satu arah antara dirinya dan dirinya sendiri, yang ia beri nama Raya.

Hari itu, Irul tidak menangis.

Ia hanya diam, lalu mengambil pena, dan menulis:

“Ternyata, yang paling setia menemaniku selama ini adalah diriku sendiri.

Di bawah langit Mataram yang biru kelabu, aku belajar menerima bahwa kesepian tidak selalu harus dilawan. Kadang, ia cukup ditemani.”

Dan sejak hari itu, Irul tidak lagi duduk lama-lama di depan kamar menunggu seseorang yang tak akan pernah datang. Ia masih menulis, masih ke Pantai Ampenan, tapi bukan lagi untuk melarikan diri.

Melainkan untuk menerima.

Dan mungkin, pada akhirnya, Raya tetap nyata meski bukan dalam bentuk tubuh, tapi sebagai bagian dari Irul yang menolak tenggelam sepenuhnya dalam kesunyian.

Mataram tetaplah kota persinggahan. Tapi bagi Irul, kini, kota itu juga menjadi tempat di mana ia belajar menyembuhkan dirinya sendiri. Perlahan. Sendiri. Tapi tidak lagi sepi.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Di Sepanjang Rel Kereta
Neneng Hendriyani
Cerpen
Kota Mataram dan Seorang Pria yang Kesepian
Khalil Gibran
Skrip Film
UP & DOWN
Geanita Nurfika
Skrip Film
Meisje
Abe Ruhsam
Flash
Bronze
Terang tapi gelap
ani__sie
Flash
Banjir yang Tidak Jadi Datang
Art Fadilah
Skrip Film
Sintia Yang Terbuang Cinta
silvi budiyanti
Skrip Film
Ruang Rahasia Ibu
DMRamdhan
Cerpen
Bronze
Ditolak
Titin Widyawati
Novel
Dibawah Pedang Pora
Eggya Vaniesa Hediana
Novel
PLOT HOLE
Ade Agustia Putri
Flash
PELARIAN
Cassandra Reina
Novel
Bronze
Hidden Memories
Rene
Novel
Memeluk Gelombang
Edelmira (Elmira Rahma)
Skrip Film
Mama, Aku Pengen Beli HP Baru!
Alif Aliss
Rekomendasi
Cerpen
Kota Mataram dan Seorang Pria yang Kesepian
Khalil Gibran