Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
DARI kejauhan kau pandang pendar ratusan lampu rumah dan bangunan yang saling berkelap-kelip. Warna-warninya jadi manik-manik yang menghiasi kota ini ketika malam turun. Bangunan yang merangkak naik di kaki-kaki bukit, jutaan warna yang meliputi himpitan rumah di cekung ceruk di bawahnya, mempersembahkan pemandangan yang memukau matamu. Cahaya-cahaya itu mengikutimu sampai kau terhisap kelokan terakhir di celah bukit dan gundukan bukit akhirnya menghalangi matamu. Itu merupakan tanda ‘selamat jalan’ yang semula tak pernah terpampang di mana pun. Dan cahaya-cahaya itu tak lagi mengikutimu.
Kau tinggalkan kota tempatmu dilahirkan, tempatmu tumbuh dewasa. Kau hapal tiap kelokan di sana. Kau ingat siapa pemilik toko musik dan barang-barang antik di tiap distrik yang tak terjamah internet. Kau tak bisa menghapus begitu hal ini: warna rumput yang meranggas di lapangan bola, barisan bangku di podium beserta kesunyian yang diembannya, “Atau keteduhan,” selamu, sambil menerka berapa banyak orang yang sengaja mampir dan tertidur di berlindung dari garangnya matahari. Kau ingat ciuman pertamamu di podium sebelah timur.
Kau merindukannya.
Bus yang membawamu berdenyit-denyit. Kursi di sebelah kosong. Kau simpan tas ransel di situ. Itu pun tanda. Jangan ada siapa pun yang duduk di samping ketika kewarasanmu meninggalkan dunia yang selama ini kau kenal—hanya untuk mengejar sosok yang masih samar di pikiranmu. “Aku merasa kosong, dan aku takkan membiarkan orang-orang di bus ini menawarkan simpatinya untuk kegilaanku,” celoteh pikiranmu. Di jendela, yang menjadi tempat condong kepalamu, hanya dapat memantulkan kehitaman belaka. Jelaga legam dan gulita. Tak ada lagi cahaya yang berpendar dari bukit-bukit. Tak ada lagi sudut dan kelokan yang kau kenal. AC bus reot itu menyelinap ke punggungmu. Dingin. Kau sepenuhnya memasuki dunia asing.
“Kau akan pergi? Kabari aku secepatnya seketika sampai di suatu tempat,” kata suamimu, ia kira kau akan menimpalinya, namun kalimat lelaki itu datar saja. Sehari sebelum kau menjual semua barang kesayanganmu untuk modal pergi, termasuk beberapa buku yang sudah tak lagi dicetak; buku langka yang jika dijual di kota harganya akan selangit, kau malah menjualnya tanpa label harga. Suamimu tak tahu ‘harga’ dari sebuah keputusan macam itu, yang ia ingini saat itu adalah kabarmu sejurus kepastian kau akan ke mana. “Aku ingin menemanimu. Aku masih penasaran ke mana ia menghilang selama ini, walau sudah lewat bertahun-tahun,” katanya, ketika ia masukkan buku-buku itu ke dalam almari. Dan kau hanya menatapnya, ikhlas, dengan pendar mata yang murung.
“Apakah perjalananku yang cuma ingin menemukan makam kekasihnya disebut perjalanan yang sia-sia?” tanyamu.
“Tak ada yang sungguh sia-sia. Pergilah jika itu yang terbaik.” Jawab suamimu, terbata. Lidahnya kelu.
“Kau harus mengikhlaskanku.”
“Aku mencoba. Aku memberimu jalan.”
“Terima kasih. Maafkan aku,” jawabmu sambil tertunduk.
Lalu kau menghilang. Sudah hari keempat kau belum memberi kabar. Ibu-Bapak bertanya ke mana saja selama ini. “Sedang outbound. Liburan kantor,” jawab suamimu. Ia tak kurang akal ketika kakaknya berkunjung ke rumah dan menanyakan hal serupa, “Pelatihan ke luar kota,” dan mereka sungguh tak curiga sedikit pun. Suamimu pandai menyembunyikan muram dan kesedihan di sebalik wajahnya yang datar seperti aspal jalan tol. “Kau mampu menipu orang banyak,” katamu, ketika usia pernikahan menginjak tahun kelima. “Bahkan aku bisa menipu diriku sendiri, aku orang yang kuat, padahal lembek,” tukasnya.
Kemarau tiba tepat waktu. Hawa dinginnya semakin menusuk tulang jika senja mulai merembang. Bus yang sama yang kau tumpangi sudah kembali untuk yang keempat kalinya, dan suamimu hanya melongo membiarkan bus kumal itu berlalu. Tak ada penumpang yang turun di kota, bahkan yang mirip dengan kau sekali pun. Terngiang di telinga percakapan sesaat sebelum berlibur jauh, “Kota ini sengaja memenjarakan perasaanku, mas,” katamu. Dan kau mungkin benar. Suamimu harus membebaskanmu, walau ke tempat yang tak ia ketahui sekali pun.
“Melepas dan menangkap dengan bebas.” Tapi suamimu tak paham betul apa makna kalimat itu. Jika diingat-ingat, tanpa mengundang pikiran buruk pun, rupanya bayang-bayang kematian selalu singgah sebelum suamimu terlelap dan itu sudah cukup untuk membuatnya kehilangan kewarasan, lalu menulis berlembar-lembar di buku diarinya.
Pukul 10:24, udara pengap.
AKU mengingat semua tentang May. Aku mengingat bagaimana kami bertemu di sekolah. Ternyata ia memang sepaket dengan seragam putih-abu, pekerjaan rumah, rumus matematika, dan hal-hal yang entah kenapa menyeretku untuk merindukan May. Kau tahu, kau bisa berusaha tegar setelah merelakan seseorang pergi. Tetapi, air mata bisa tumpah perlahan jika mengingat momen paling bodoh yang kau lakukan bersamanya dahulu. Tepat di titik itulah aku berusaha menghubunginya, melanggar janji yang terdengar bodoh bagi suami-istri untuk tak saling menghubungi.
Tapi selulernya mati. Pesanku tak berbalas. Sudah seminggu, dan kemarau semakin mengeringkan harapanku. Kemarau kini datang sedemikian parah sehingga harus ikut mengeringkan air cadangan kota, memaksa warganya membeli air dari perusahaan air di kaki bukit yang mengeruk untung berlipat. Dengan pengulangan yang sama, harapan kami tentang buah hati meranggas. Aku tak menuduhnya, tapi pekerjaan menulis naskah yang sungguh menyita waktunya untuk beristirahat, bisa jadi penyebab kenapa ia belum juga dikaruniai jabang bayi. “Kau pun selalu enggan memeriksakannya ke dokter. Apakah kau malu? Lantas bagaimana dengan masa lalumu?” ia menghardikku seketika. Aku memang penyebabnya, tapi aku tak bisa memaafkan diriku sendiri.
Sepuluh tahun kami berdiam di rumah ini belum juga lahir buah hati. Keinginan itu berubah seiring kebosanan kami masing-masing. Selain aku harus menerima keadaanku, aku pun harus mulai belajar membuka ruang luas bagi May untuk menata harapannya yang berguguran tentang keturunan. Lemari berisikan pakaian bayi, mainan-mainan bayi, kamar untuk calon anak, dan segala pilihan nama berangsur ia lupakan. “Maafkan aku,” aku memeluknya. Kami saling membanjiri pundak dengan air mata.
Sebelum memutuskan menikah di usia yang memang sudah terlampau matang, kami merelakan apa kata orang-orang bahwa di usia 30-an memang tak menyediakan pilihan selain menikah dengan orang pertama yang membuatmu nyaman. Kupikir memang begitu. May adalah teman sekantorku sekaligus bagian dari masa laluku. Ketika ia bergabung di kantorku, ia tak perlu berkenalan lagi denganku. Ia sudah mengenal kebodohanku sejak kami makan bangku SMA, dan aku sudah jatuh suka sedari ia melempar senyum pertama kali padaku.
Umur kami sama-sama menginjak 36 saat mengucap janji suci. Kami memulai hari baru sebagai suami-istri, dan aku yakin aku tidak memilih orang yang salah untuk menjalani hidup bersama. Ia pernah bertanya, “Mengapa butuh waktu selama ini hanya untuk mempertemukan kita kembali?” aku hanya berdehem. Aku tak pernah betul-betul bisa membahasakan perasaanku sendiri tentang betapa aku ingin hidup bersamanya. Dan setelah keinginan itu terkabul, gerangan apa setelahnya?
“Kau tahu, mengingini dan mencintai adalah urusan berbeda, kan?” tanya May, di satu waktu aku mengajaknya mencari buku loak.
“Tentu saja. Keinginan tak selalu dipenuhi. Tetapi cinta pun tak mesti berbalas. Keduanya punya jalan masing-masing, apakah keinginan itu bagian dari rasa cinta atau bukan, waktu yang akan menyelesaikannya,” jawabku.
“Kau yakin?”
“Mengapa tidak?”
“Sejak kita hidup bersama, aku tak ingat apakah kita pernah membicarakan perkara cinta-cintaan.”
“May, bagiku, itu perkara waktu.”
May diam. Buku yang kucari tak ketemu. Kami pulang dan tak ada bahan bicara di otakku. Mulutnya tak membuka satu patah katapun sesampainya kami di rumah. Bahkan, ketika aku pergi tidur bersebelahan dengannya, aku tetap tak menemukan alasan untuk berbicara. Hanya ketika pagi hari kami berseranjang, bercinta sebelum ia berangkat kerja, pertanyaan itu meluncur tiba-tiba dari mulutnya yang tengah melenguh, “Kau mencintaiku, mas?”
Pukul 01:02, badan rasanya lemas sekali...
DARI kejauhan aku memandang cahaya itu semakin samar. Setiap kata yang diucapkan penduduknya adalah jentik cahaya yang akan menerangi malam yang purba. Kota cahaya. Begitu May menyebutnya. “Dan aku bertemu cahaya. Ia yang mampu menerangi sudut hatiku yang paling gulita. Aku rindu menangkap cahayanya dengan lepas dan sedu-sedan tak henti. Yang ingin kuraih adalah masa lalu belaka yang telah sirna.” Emosinya sudah kadung membatu, dan cahaya lampu seterang apa pun yang dimiliki kota ini sulit menembus objek sepejal batu. “Sekarang kotaku memenjarakanku dengan cahayanya yang menyilaukan. Mataku sembab hanya untuk melihat diriku sendiri.”
“Maka pergilah,” kubalas, “kau berhak atas masa lalumu. Aku hanya mengantarmu untuk menemukannya, dan itu kurasa cukup.” Kami mengambang dan mengapung dalam kekosongan. Tak ada suara, hanya cahaya dan cahaya. Redup terang, pendar, dan menyilaukan. Semuanya terasa kosong. Seperti etalase yang tak menawarkan apa pun selain kesepian-kesepian penjaga kasir. Menanti waktu melumatkan mereka, melumatkan cahaya dengan lubang hitamnya sendiri. Ah, rasanya, kami sedang bertamu ke rumah lubang hitam itu!
“Kuharap kau tak mencariku. Aku bertanggung jawab atas kegilaan ini,” ucapnya sambil memelukku. Itu pelukan terakhir kalinya. “Aku harap kau menemukannya. Aku harap kau menemukan dirimu kembali,” kuucapkan itu sembari kutatap matanya yang coklat bagai almond, yang pernah menyiratkan gairah jauh di hari yang lampau. Kini sepasang almond itu hanya memancarkan kekosongan. Aku tak bisa mengisi kekosongan itu. Memang takkan pernah.
Patutkah kusesali? Pertanyaan itu terus menjagaku. Dua minggu berjalan, tak ada tanda-tanda yang mengarahkanku padanya. Selulernya mati, begitu pun dengan selulerku yang membeku. Aku tak kunjung paham, kurasai kepalaku semakin bebal saja. Apakah ini sebuah dosa? Aku merasa semakin tak pantas lagi merindukannya. Kepalaku pening mau meledak.
Aku tertidur pulas di hari keempat belas. Dalam mimpi yang penuh cahaya keputihan, kulihat ia duduk di bangku podium, tersenyum penuh bahagia menggamit lengan seorang lelaki. Perasaanku meluas, meruang, aku tertular kebahagiannya. Tapi aku menangis. Mataku membelalak seketika. Nafasku tercekat. Aku ingin kembali ke mimpi itu; aku mencoba menggapai-gapainya dengan lenganku, selayaknya orang tenggelam minta tolong. Aku melelehkan air mata; mulutku ba-bi-bu tak bersuara banyak. Dingin menjalari lengan dan kakiku sementara telingaku kedap seperti tersempal kapas. Keringat di punggung merembes ke kasur. Aku ingin May di sampingku. Aku mengingininya lebih dari apapun. Aku rela, jika kini nyawaku harus tercerabut...
DI KOTA yang nun di sana, tergeletak tak bernyawa di atas kasurnya sendiri seorang pria tewas oleh semacam penyakit bawaan. Kau tak ada si situ, May, tapi kau tahu, pandemi menumpas tak hanya nyawa dan materi, tetapi juga kewarasan yang perlahan rontok dari kepalamu.
Kau sendiri akan menjalani hidup bahagia dan kau tak mesti tenggelam dalam duka yang sama. Rumah tangga mahligai berlian yang menjadi impian setiap perempuan mana pun, tak baik jika diawali dengan kemalangan yang menyangkut suamimu beserta keluarganya di sana. Kau pikir kau sudah bukan lagi bagian dari hidup mereka. Kau bahkan tak bisa mengingat kasih sayang macam apa yang telah suamimu lampiaskan di malam-malam pertama kau berseranjang. Nafsukah, atau cinta?
Lalu, seperti kehidupan bahagia di atas muka bumi ini, kau mulai menyusuri jalanan tempat pertama kali kau berkencan. Kau ingat setiap bulir embun di jaket pacarmu yang menyelimutimu ketika kau terserang demam; kau merasakan kembali hangat dekapan tubuhnya ketika kau melewati malam di atas matras lapuk sampai pagi. Namun, kau tak bisa mengingat apa yang kau dan pacarmu itu lakukan di pagi menjelang. Kau ingin mengingatnya. Kau susuri tiap kanal, trotoar, celah-celah kendaraan yang teronggok di sisi jalan hanya untuk mengingat pagi hari. Dan tak jarang, jika kau gagal mengingat, kau tak segan mendaratkan tamparan pada wajah lelaki yang terlihat murung di jalanan.
Kau pun tersenyum seketika kau berhasil mengingat. Kau merasa malu karena ingatan yang ada di dalam kepalamu menggambarkan hal-hal romantis yang membuatmu tersenyum sepanjang hari. Tapi orang-orang berlalu-lalang dan abai akan hal itu. Biarkan, May, mereka semua cuma bebatuan. Kau hanya perlu mengingatnya, dan mereguk kebahagiaan yang lebih dalam lagi. Lama kau mengingat, tersenyum, dan tertawa, kau pun bahagia dan bahagia lagi. Hidup bahagia sebahagia-bahagianya.