Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
“Merelakan orang yang disayang untuk pergi karena memang bukan kita yang dia inginkan, atau menerima orang yang disayang belum selesai dengan masalalunya? mana yang lebih sakit?”
Tanya Ani dengan tatapan matanya yang kosong
“Menurutku, itu adalah pertanyaan yang tidak dapat dijawab secara spontan dan tidak dapat ditentukan takaran sakitnya karena situasi-situasi itu adalah bencana dalam dunia percintaan. Menurutku, kita tidak bisa menentukan lebih berbahaya kebanjiran atau kebakaran secara gamblang, kita harus tahu di mana banjir dan kebakaran itu terjadi, karena beda lokasi akan berbeda dampak yang ditimbulkannya”
Jawab Afna, sembari memegang tumbler berisi air kelapa muda yang baru ia beli di dekat kosannya itu. Ani sedikit termenung mendengar jawaban dari Afna sembari netranya menatap jalan raya yang telah sedikit gelap karena sang surya perlahan tenggelam giliran purnama yang berperan.
“Tapi Na, kayaknya lebih sakit nerima orang yang disayang belum selesai sama masalalunya gak sih?” tak lama setelah pertanyaan itu terlontar dari bibir mungil milik Ani, adzan maghrib berkumandang, menandakan bahwa sang surya telah tenggelam sepenuhnya, “Ehh udah maghrib, ayok turun, kemaghriban lagi” ucap Afna yang tak sempat menjawab pertanyaan Ani yang sangat tiba-tiba itu, Afna lalu bergegas bangun dari duduk lesehannya sembari mengulurkan tangan kanannya untuk membantu Ani bangun, sedang tangan kirinya memegang tumbler yang sudah tak berisi setetes pun air kelapa, mereka sedari satu jam yang lalu berada di tempat favorit mereka, yakni balkon kosan yang menghadap jalan raya itu, memang pemandangan sederhana dari balkon lantai tiga kosan mereka itu tak pernah mengecewakan netra dan hati sesiapa pun yang memandangnya.
Mereka berdua pun turun dari balkon lantai tiga kosan itu, kamar mereka berada di lantai satu kosan dan berdampingan. “Walah-walah, kebiasaan toh nduk, maghrib-maghrib baru turun dari balkon, ndak baik loh maghrib-maghrib di luar ruangan” ucap Bude Pini, asisten rumah tangga yang selalu merawat dan membersihkan kosan itu, “Iya nih bude, keasikan bengong jadi kemaghriban lagi deh” jawab Ani sembari sedikit terkekeh setelah beberapa hari belakangan ini, mereka ke-gap bude sering duduk lesehan di balkon sampai maghrib, bahkan terkadang setelah isya’ hingga tengah malam berada di balkon itu. “Kenapa toh nduk, kalian berdua itu suka banget ke balkon? Bude liat-liat yang lain jarang ke balkon” tanya bude dengan nada bicaranya yang selalu lembut dengan dibumbui oleh aksen jawanya yang medok, “Enak banget tau bude kalo bengong di balkon tuh” jawab Afna, “Sebenernya lebih ke hemat uang buat ga nongkrong di kafe aja sih bude” timpal Ani sembari kembali terkekeh usil.
Kami menyebutnya “kos pepaya” karena kos kami berada di Jalan Pepaya. Dari balkon lantai tiga kosan itu, kita bisa langsung melihat jalan raya Ciputat yang selalu dipenuhi dengan hiruk-pikuk manusia, khususnya di jam-jam berangkat dan pulang kerja, lalu kita bisa melihat pemandangan citylight dari sebagian Jakarta Selatan, terkadang jika saturasi awan sedang rendah, kita bisa melihat pemandangan gunung yang berada di Bogor, selain itu ada dua pohon rambutan yang sedang berbunga lebat, benar-benar pemandangan yang biasanya disuguhkan oleh kafe yang menu termurahnya seharga 50k.
Afna dan Ani pun masuk ke kamarnya masing-masing setelah barusan kepergok oleh bude, lalu mereka menunaikan shalat maghrib. Setelah selesai melaksanakan kewajibannya sebagai muslimah, mereka kemudian pergi ke dapur bersama di kos itu untuk memasak. Ya, memasak, mereka lebih sering masak lauk pauk sendiri di kosan karena selain lebih sehat daripada membeli lauk di luar, mereka pun dapat jauh lebih menghemat uang bulanan yang diberi oleh orang tua mereka yang single parent.
“Masak apa, Na?” tanya Ani sembari mengiris bawang merah yang setiap irisannya sangat proporsional itu, “Nih, biasa, lo liat aja sendiri” jawab Afna sambil mengeluarkan sepapan tempe yang dikeluarkan dari tas belanja berwarna abu-abu dengan corak awan. “HAHAHAHAHA, kalo engga tempe, tahu, ya endok” Ani tertawa sambil mengocok telur yang akan ia dadar, sedangkan Afna langsung memotong tempe itu dengan bentuk korek api, masakan andalannya adalah tempe orek kecap dengan bumbu yang cukup diiris atau diulek saja. Berbeda dengan Ani yang menu andalannya adalah telur dan harus selalu didampingi oleh sayur. Mereka berdua memang sangat berusaha untuk menghemat uang bulanan mereka, berbeda dengan kebanyakan penghuni kos di sana yang lebih sering memesan makanan melalui aplikasi yang langsung dikirim ke depan kosan. Terkadang, Afna dan Ani juga memesan makanan dan makan di luar, mungkin dua minggu sekali makan pecel lele, pecel ayam di belakang UIN, atau ayam gepuk Pak Gembus di depan hokben, terkadang membeli salmon mentah dengan wasabi yang menjadi makanan favorit Afna, sedangkan Ani lebih suka sushi tanpa wasabi, namun makanan andalan mereka ketika di luar adalah Marugame, ntah udon nya ataupun rice bowl nya.
“Menurutmu, kita boleh gak sih menerima orang yang belum selesai dengan masalalunya? Kalau kita sayang sama orang itu gimana? Apa kita harus menerima juga kalau dia belum selesai sama masalalunya? Menurut kamu, apakah nanti dia akan melihat kita sebagai diri kita sendiri, atau di bawah bayang-bayang masalalunya? Menurutmu, aku mesti bagaimana?” Tanya Ani sembari menyantap tempe orek dengan nasi yang ia masak barusan.
“Menurutku, tidak ada jawaban perihal boleh atau tidaknya hal tersebut, itu tergantung diri kita sendiri, tergantung kesiapan dan kekuatan hati kita sendiri serta seberapa yakin kita untuk bisa bertahan dengan konsekuensi yang telah kita ketahui” jawab Afna sembari merapikan sayuran yang disandingkan dengan telur dadar di atas piring porcelen kesayangannya.
“Iya juga ya, berarti kalau semisal orang itu tetap gak bisa sembuh dari masalalu nya, tapi menerima kehadiran kita di hidupnya, dia gak salah?” Tanya Ani lagi.
“….”
Hening, kali ini Afna tidak dapat menjawab pertanyaan Ani, namun tiba-tiba Ani berbicara dengan nada tinggi..
“BANGSAATTT, laki-laki itu kenapa sih? Kenapa gak jadi orang yang bener aja, yang lurus-lurus aja, kenapa harus lebih banyak laki-laki yang brengsek di dunia ini? Sesusah itukah jadi laki-laki yang bener? Kan enak kalau sama-sama mengusahakan, sama-sama menjaga, sama-sama menyayangi, aku udah muak banget sama laki-laki brengsek, apalagi sekarang kalau buka sosmed, aku lihat beritanya tuh gak jauh dari selingkuh, KDRT, atau gak laki-laki yang otak selangkangan, capek gak sih dengernya?”
Aku pengen banget punya laki-laki yang kalau sama dia tuh kita bisa ngerasa aman dan tentram, bisa jadi diri sendiri, bisa nunjukin segala hal tanpa takut di-judge, bisa senyaman itu untuk menunjukkan sisi lemah dan sisi kuat kita yang gak ditunjukkan kepada orang lain bahkan keluarga, bisa sama-sama berkembang, tanpa harus selalu khawatir dia akan menjadi sumber dari rasa sakit kita nantinya, walaupun gabisa sepenuhnya kita berharap kepada manusia karena pasti adakalanya manusia menyebabkan rasa sakit dengan tanpa disengaja, bahkan tanpa disadari.
Aku yakin, kelak kita akan dipertemukan dan dipersatukan dengan laki-laki yang terbaik, laki-laki yang bertanggung jawab dan memiliki masa depan, laki-laki penyayang yang cukup dengan satu perempuan untuk menjadi pasangan seumur hidupnya, laki-laki yang selalu merasa bersyukur telah mendapatkan dan memiliki perempuannya, laki-laki yang rasa cintanya tak pernah berkurang justru bertambah setiap harinya, laki-laki yang mencintai kita dan keluarga kita.
God, how it feels to be loved like that way?
Apakah akan terlintas dalam pikiran untuk mendua jika mempunyai pasangan seperti itu?