Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Misteri
Korban Sang Arquebus Jawa
1
Suka
797
Dibaca

Tuan Zitten sudah duduk selama hampir dua jam di kursinya. Hari ini tak ada klien yang melapor untuk meminta jasanya. Kantornya sepi saja. Tak ada seorang pun yang berada di dalam ruang tunggu.

Baru tadi ia menaruh buku yang berhalaman enam ratus di atas mejanya. Satu buku lagi telah ia selesaikan. Setelah makan siang, ia susun lagi bidak-bidak caturnya di atas papan. Seharian ia mengutak-atik bidak papan catur.

Sudah dua bulan ia tak pernah meninggalkan kursi dan meja praktik kantornya yang berada di jalan Oranje Boulevard №21. Rumah pribadi yang merangkap jadi rumah prakteknya ini merupakan bangunan yang berdiameter 40 x 40 dengan halaman taman kecil yang mengelilinginya. Cukup bersahaja suasananya karena rumah ini berada di pinggir laut sekaligus berada di pusat kota.

Suatu pagi yang cerah, Tuan Zitten sengaja membaca koran di halaman taman kecil rumahnya sambil ditemani kopi dan sebatang sigaret kesukaannya.

Di satu sisi ia senang dengan keadaan di Hindia Belanda yang damai ini. Namun, di sisi lain, ia sengsara tidak bekerja karena tidak ada tindak kriminal yang terjadi sehingga tak ada yang mau melapor kegusaran apapun kepadanya.

Sudah dua bulan ia tak menemukan kasus pembunuhan yang termuat di surat kabar. Baru siang ini ia melihat ada kasus pembunuhan yang membuatnya terhibur.

Penembakan oleh Sang Arquebus Jawa pada Perayaan Hari Ulang Tahun Wilhelmina di Sekitaran Waterlooplein.

Menarik, pikir Tuan Zitten. Jadi ia berusaha menggali informasi dengan berangkat mengunjungi lokasi kejadian perkara. Saat hendak melewati pintu depan taman rumahnya, Tuan Zitten dikejutkan dengan kedatangan kenalan lama.

Mister Whiteman?”

“Tuan Broemann,” sapa Tuan Zitten, sekaligus nampak ada perasaan terkejut dengan keadaan pria di hadapannya sekarang.

Keduanya saling berjabat tangan seperti halnya orang-orang di kepolisian. “Astaga sudah 4 tahun,” Tuan Zitten meskipun tampak benar terkejut, namun tetap membawa diri dengan sikap setenang air.

“Kebetulan sekali, baru tadi saya ingin mengunjungi kantor Anda, Tuan.”

“Wah, bagus kalau begitu,” Tuan Zitten kembali ingin memerika lagi koran yang memuat berita kejadian tragis itu di dalam rumah.

“Apakah berita kasus penembakan itu sudah sampai pada koran siang ini?” tanya pria itu agak kecewa.

“Saya kira, saya merasa terpanggil dengan kasus pembunuhan unik sekaligus aneh ini.”

“Ya, kalimat yang tepat, tuan. Unik sekaligus aneh,” rekannya itu mengambil sekotak berisi sigaret dari saku jasnya yang longgar kemuian menyalakannya.

“Ceritakan pada saya kejadiannya secara detil, tuan,” kata tuan Zitten.

Pria itu menghembuskan lagi nafasnya sampai asapnya keluar. “Ah, barangkali kita bawa topik ini ke kantor Anda, tuan. Saya juga akan menunjukkan sesuatu pada Anda.”

Tuan Zitten tampak tertarik. Kemudian, tepat beberapa menit kemudian mereka sudah melanjutkan perbincangan di dalam kantor tuan Zitten yang berada di jalan Oranje Boulevard №21.

Pria muda itu dengan gagah, ala orang yang bekerja di kepolisian, menyuruh bawahannya membawa masuk kotak senapan yang telah dibungkus untuk ditaruh di atas meja.

“Lihat, tuan,” perintahnya. Tuan Zitten menarik bungkus itu dan dilihatnya senapan lontak model lama dengan panjang sampai 2 meter.

Diperhatikan senapan itu oleh tuan Zitten. Awalnya, ia hanya melihat-lihat bentuknya sejauh pandangannya saja. “Boleh saya?” rekannya mengangguk.

“Kaliber 18 mm,” katanya. “Hm, kira-kira berpeluru 124 gram,” pria di hadapannya mengangguk lagi, bertanda setuju.

“Jadi, kau sekarang sudah bergabung dengan kepolisian?” tanya tuan Zitten mencoba berbasa-basi, sekaligus masih berusaha keras untuk berpikir.

“Ya, pada akhirnya, tuan,” balas pria itu.

“Ayahmu pasti bangga sekali.”

Selagi Tuan Zitten memutar-mutari senapan, pria muda itu meminta izin untuk duduk.

“Silakan,” ucap tuan Zitten. Selagi pria muda itu merebahkan tubuhnya di kursi, pandangan tuan Zitten terasa seolah berputar-putar dari tempatnya berdiri. Mungkin akibat efek dari terlalu sering tidak mengerjakan sesuatu.

“Bagaimana, tuan?” tanya pria itu kemudian. “Barang bukti itu menjadi penjelas identitas si pelaku yang katanya seorang Arquebus Jawa. Sudah berarti seorang kriminal berdarah pribumi.”

Selagi pria itu berbicara, timbul perasaan aneh lainnya di benak tuan Zitten.

Ia menghembuskan nafas. “Mungkinkah?” gumamnya pada dirinya sendiri.

“Saya rasa karena semakin banyaknya warung-warung yang menjual minuman berbahan oplosan, membuat para pribumi ini berkhayal macam-macam, ya, tuan,” Tuan Zitten kembali menaruh senapan itu dalam kotaknya dan ikut duduk di kursinya.

Agak lama tuan Zitten berdiam. Ia duduk di kursi kebanggaannya. Tangannya dikepalkan dan bertaut pada dagunya, melamun.

“Seperti yang Anda katakan tadi saat di pintu masuk, bahwa pelaku langsung tewas setelah menembak salah satu warga di tempat kejadian. Benarkah demikian?” ucapnya.

“Betul, tuan,” balas pria itu yakin. “Petugas kepolisian yang bertugas di sekitar sana langsung melumpuhkan pelaku.”

“Sang Arquebus Jawa? Ia menyebut dirinya begitu?”

“Oh, tentu tuan,” kata rekannya. “Menurut polisi yang berjaga saat itu mendengar teriakan keras yang menyebut dirinya seorang Arquebus Jawa.”

“Aku sempat membaca kejadian ini dalam surat kabar yang terbit secara kilat tadi. Di sana dikatakan, menurut pengakuan ayahmu, bahwa motif pelaku menembak korban secara acak. Ini berarti kejahatan pelaku murni didasari hanya karena ingin menimbulkan kericuhan pada hari perayaan ulang tahun sang ratu, benar?”

“Barangkali menurut pengakuan beberapa veldpolitie yang bertugas di sana juga demikian.”

“Saya ingin langsung menuju tempat kejadian, tuan, dapatkah Anda memberikan saya izin?” pria di hadapannya pun menaruh harapan padanya.

“Oh, tentu tuan!” Tuan Zitten pun minta diri dan turut pula dibawalah kotak senapan itu dari mejanya.

Tangannya sudah tidak menggempit sigaret. Ia segera menyimpan koran itu, setelah dibacanya beberapa paragraf namun tak ia teruskan sampai akhir kolom, dan pergi menggunakan otomobil dinas rekannya yang masih menunggu di pinggir jalan.

Pakaiannya sekenanya. Baju kerja maupun sehari-hari sama saja, tak beda. Pukul 4 lewat sore harinya, ia sampai di tempat kejadian dan masih terdapat polisi yang berjaga-jaga.

Pembunuhan ini rupanya terjadi ketika pagi harinya, saat tuan Zitten sibuk menyusun bidak caturnya.

Alasan mengapa akhirnya diterbitkan koran yang dicetak secara kilat biar rekannya, si polisi, yang akan menjelaskan. Tapi saat ini patut diketahui bahwa Tuan Zitten merasa penerbitan koran itu sangat dibuat tergesa-gesa, seakan menimbulkan kecurigaan.

Ketika selesai memeriksa tempat kejadian, ia menyimpan beberapa kesimpulan yang ia tidak berikan kepada si polisi. Tuan Zitten kembali ke kantornya dan duduk termenung.

Jika ia ingin melepaskan stress, ia biasanya menulis, dan malam itu ia menulis artikel mengenai teori warna campuran dalam seni rupa.

Besok paginya, ia kembali mengulik kasusnya. Di tempat kejadian ia ingin mengetahui lokasi korban ditemukan dan pelaku menembak. Ia diawasi oleh salah satu polisi di situ.

Tuan Zitten hanya termenung dan tak banyak bicara. Ia menyimpan semua informasi di kepalanya dan biasanya menyimpulkannya di kantornya. Sore harinya ia menghubungi si teman polisinya dan berninat mengunjungi mayat si pelaku.

Malamnya, Tuan Zitten mendapat surat balasan berisikan penolakan. Ia berhenti meminum kopinya dan menggantikannya dengan cerutu kesayangannya untuk berpikir.

“Bagaimana bisa, aku seorang mantan inspektur, tidak bisa mendapat izin memeriksa pelaku?” kata tuan Zitten. “Apakah kasus ini sudah sampai di sini, tak bisa aku lanjutkan?”

Besok paginya, ia tak mengurusi kasusnya. Ia pergi ke komunitasnya di kota. Ia terkadang lebih sering membacakan buku di depan para anggota dan berdiskusi mengenai karya yang dibaca atau penulis atau fenomena sastra yang saat itu sedang relevan.

Siangnya, ia undang si teman polisi makan siang. Tapi ia datang terlambat. “Polisi junior yang terlambat akhirnya datang juga,” temannya menaruh mantelnya di gantungan baju terburu-buru.

“Maaf, di luar hujan lebat sekali,” balasnya.

Pertama, Tuan Zitten mengucapkan terima kasihnya karena si temannya menolongnya dari pengangguran. Kemudian, memuji si polisi dengan halus, dan pada akhirnya masuk ke pembahasan kasus dan masalah yang menghalanginya.

“Bagaimana bisa aku tidak bisa mendapat izin, tuan?” katanya. “Memang benar, aku mantan inspektur dan membuka jasa ini secara swasta. Tapi, aku baru kali ini mendapat kesulitan semacam ini.”

Si polisi menghela nafasnya. “Tuan, saya hanya polisi ‘kacungan’ yang diberi tugas untuk pertama kalinya. Semuanya dibawah pengawasan ayahku, Tuan.”

Tuan Zitten menarik kursinya mendekati si teman. “Begini, tuan. Sekarang saja aku ucapkan kesimpulanku terhadap kasus ini. Dan semoga dengan begitu aku bisa dapat dianggap memenuhi syarat kepolisian.

“Pertama, senjata yang kau berikan itu adalah senjata yang biasa digunakan sekitar awal abad lima belas, cukup tua untuk dipakai di masa ini membunuh orang.

“Senjata itu panjangnya sampai 2,2 m, berpeluru bundar berkaliber 18 mm dengan berat 124 gram. Namun dalam kasus ini aku mengasumsikan korban terkena peluru berbentuk runcing. Dan hal ini yang membuat diriku di waktu pertemuan pertama agak sedikit gusar.

“Senjata itu membutuhkan penyangga dari sepotong kayu — dalam kasus ini penyangga itu dilepas entah ke mana.

“Jarak akurat senjata itu sekitar 70 sampai 100 meter, sementara kasus ini posisi korban dan pelaku, sebagaimana aku periksa beberapa waktu lalu, berada di antara 90 sampai 100 meter. Hal ini masih masuk akal bagiku.

“Benda itu jumlahnya sangat sedikit sekali di hindia belanda ini, kecuali ada orang yang mengambilnya dari museum nasional untuk dijadikan sebagai senjata dan membunuh orang; dengan peluru runcing. Sampai sini, apakah masuk akal bagimu?

“Yang jelas, senjata itu sebelum ditembakan harus ada tali sumbu yang dibakar sebelum menembak; kemarin aku tidak melihat adanya sumbu.

“Begini, ada banyak sekali jenis senapan di dunia ini, salah satunya senapan lontak yang kau tunjukan padaku beberapa waktu lalu, dan ada senapan yang menggunakan mekanisme picu sundut. Menggunakan pelatuk yang menyatu dengan picu, yang disebut serpentine, letaknya berada di luar senapan. Nah, untuk senapan dengan model lama, bagian itu merupakan tali sumbu yang digunakan untuk meledakan mesiu.

“Pada abad ke-16, mekanisme kancing roda mulai umum digunakan daripada senapan kancing sumbu. Berbeda dengan senapa lontak yang memiliki popor lebih panjang — persis yang kau tunjukkan padaku.

“Senapan M95 Hemburg lebih umum digunakan masyarakat hindia belanda sekarang ini. Sementara si Arquebus Jawa itu menggunakan senapan yang modelnya jauh lebih lama.

“Dan, ya, mengenai baju berbahan rantai besi yang digunakan pelaku, biasa dipakai tentara Ottoman pada abad 16. Dan benar, pelaku seperti Arquebus sejati di zaman ini.

“Dan apakah pelaku didiagnosis mengalami gangguan jiwa, benar?”

“Tak diragukan lagi, tuan.” balas temannya.

“Apakah ada skandal dalam kasus ini? Hm, aku penasaran,” batin Tuan Zitten.

“Em, tentu pasti semua ada kekeliruan di kepolisian. Dan, terima kasih banyak atas semua kesimpulan yang telah engkau berikan kepadaku. Aku berjanji setelah ini, aku akan melaporkan dan meminta polisi menimbang barang buktinya. Selamat malam.”

Kemudian mereka berpisah, dan Tuan Zitten kembali menikmati cerutunya sambil duduk terpaku.

Tuan Zitten besok harinya, dengan bantuan para penyelidik, menyelidik senapan antik itu secara mendalam. Dugaan-dugaan skeptis diutarakan Tuan Zitten.

Misalnya: jarak tembak senapan itu, apabila benar, tidak sampai membunuh korban. Kemudian masalah kepraktisan, biasanya pelaku kejahatan menggunakan senjata yang bisa dibawa-bawa dengan mudah dan cepat; terakhir jarak waktu peluru satu dengan yang lain. Di sini, pelaku menggunakan senapa lontak yang memiliki jarak dari satu ke yang lain.

Besok malamnya, Tuan Zitten mengumpulkan barang bukti dan dugaannya. Dan yang jelas dugaan itu diterima oleh polisi dan kembali ia meminta pengakuan kepada rekannya.

Tuan Zitten memiliki dugaan, ada motif lain yang terselubung dalam kasusnya ini. Berhari-hari ia memikirkan itu dengan sangkaan liar di kepalanya.

Ada beberapa dugaan: pertama, motif dibeberkannya senapan lontak sebagai barang bukti hanya akal-akalan polisi untuk menutupi senjata asli yang dipakai pelaku. Kedua, hanya ada dugaan pertama yang paling meyakinkan Tuan Zitten atas jawaban terhadap kasusnya ini.

“Tidak ada dugaan kedua,” kata tuan Zitten. “Dan, ini sangat menyangkut posisi polisi di mata masyarakat. Apakah pantas aku bawa skandal ini ke pengadilan.”

Rupanya tak sampai di situ, Tuan Broemann, ayah si broemann junior, mengaku bahwa motifnya untuk menutupi senjata keluaran baru yang dipakai.

Mengenai sang Arquebus Jawa adalah akal-akalan si Broemann untuk mengelabui dan menciptakan kesan bahwa ada pribumi gila yang mengacau di hari perayaan ratu.

Mengenai kenapa si Broemann sangat ceroboh dalam hal ini, biar pembaca menilai sendiri. Yang penting kasus Tuan Zitten satu lagi berhasil diselesaikan.

Mungkin barangkali Tuan Zitten akan melibatkan diri pada kasus-kasus yang lebih mudah dan tidak berbelit-belit. Alasannya karena usia yang memakan kemampuan berpikiran. Maka, paginya, ia pergi ke gereja dan berdoa, semoga Hindia Belanda dilimpahkan kedamaian dan dijauhkan dari segala jenis tindak kriminal.

Sementara mengenai hasil yang diterima Tuan Zitten kebanyakan didahului oleh naluri dan insting, dan terlebih lagi lebih sering ada faktor keberuntungan.[Tamat]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Misteri
Cerpen
Korban Sang Arquebus Jawa
Donny Setiawan
Flash
Gurindam Terakhir
Nunik Farida
Skrip Film
Plastic Killer
Rima Rahmawati
Flash
Jangan Makan Pisang Itu! Pamali!
Sena N. A.
Cerpen
Bronze
Kiamat
hyu
Novel
Bronze
Siswa Sempurna [Bagian 1 | Sisi Terang]
Ikhsannu Hakim
Novel
Gold
Rahasia Nenek Piju
Mizan Publishing
Flash
Is About Communication
Via S Kim
Skrip Film
Dendam kesumat(Skrip Film)
winda nurdiana
Novel
Bronze
SANDYAKALA
Yoemi Noor
Cerpen
Bronze
Siaran Terakhir
Christian Shonda Benyamin
Flash
DIALOG FAJAR
KH_Marpa
Cerpen
Pencuri Waktu (I)
Penulis N
Cerpen
Bronze
Ketukan Ganda
Novita Ledo
Novel
Rahasia Terdalam
Kalam Insan
Rekomendasi
Cerpen
Korban Sang Arquebus Jawa
Donny Setiawan
Flash
Gasan Rahmi
Donny Setiawan
Flash
Delana
Donny Setiawan
Cerpen
Misteri Hilangnya Penjaga Perpustakaan
Donny Setiawan
Novel
Kehormatan
Donny Setiawan
Flash
Chandramaya
Donny Setiawan
Flash
Adera Lina
Donny Setiawan
Novel
Homeland: The Legend Was Back Again
Donny Setiawan
Flash
Balasan Pesan
Donny Setiawan
Cerpen
Bronze
Rendra dan Tulisannya
Donny Setiawan
Flash
Stasiun
Donny Setiawan
Flash
Jalan Groove
Donny Setiawan
Novel
Pangledjar
Donny Setiawan
Novel
Orang-Orang Kotabuku
Donny Setiawan
Novel
Marisa
Donny Setiawan