Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
Kopi Peradaban
2
Suka
838
Dibaca

Malam itu, dunia kembali menampilkan wajah aslinya—tanpa riasan, tanpa malu.

Berita itu menyembur dari layar televisi di pojok warung kopi tempat aku duduk.

Bukan baru. Tapi malam itu, terasa seperti pertama.

Obrolanku terhenti. Gelas kopi menganggur.

Semua mata tertuju ke layar yang tak pernah benar-benar peduli pada siapa yang menontonnya.

Hanya ada suara motor lewat, sesekali klakson, dan sendok yang mengaduk tanpa niat.

Tapi layar itu… menampilkan sesuatu yang lebih bising daripada suara.

Seorang anak.

Penuh debu, luka-luka di wajahnya seperti ukiran dunia yang terlalu keras.

Ia duduk termenung. Pandangannya kosong, seolah matanya telah mengungsi dari tubuhnya sendiri.

Di hadapannya terbujur dua jasad yang ditutup kain putih.

Ayah dan ibu, katanya.

Tapi tak ada air mata.

Atau mungkin, tangisnya sudah kehabisan tempat untuk keluar.

Aku tak kuat menatap, tapi juga tak bisa berpaling.

Sebab ini bukan sekadar berita. Ini adalah wajah kita, umat manusia,

yang sedang menonton kehancuran dan menyebutnya ‘situasi yang sulit’.

Ledakan demi ledakan…

Angka korban bertambah seperti angka diskon di etalase toko—disebut, dihitung, tapi tak pernah sungguh dihiraukan.

Mereka bilang: ini konflik.

Katanya: perang.

Padahal aku melihat pembantaian yang ditayangkan secara langsung,

disulap menjadi drama geopolitik oleh lidah para analis dan pembawa acara.

Tanah mereka direbut. Rumah mereka dihancurkan.

Dan mereka, direnggut dari kehidupan seolah nyawa bisa dikembalikan seperti siaran ulang.

Kupikir ini bukan perang,

ini pementasan horor dengan naskah yang sudah lapuk—

tapi selalu berhasil dipentaskan kembali.

Sebab kita semua, ya, kita,

adalah penonton.

Kita beli tiket dengan diam.

Kita duduk manis sambil berkata, “Kasihan.”

Lalu lanjut menyeduh kopi, melanjutkan hidup,

membiarkan anak itu tetap duduk di sana,

di layar, tanpa suara, tanpa nama.

Tayangan pun berganti.

Ada pejabat berbicara tentang “stabilitas.”

Ada bendera dikibarkan. Ada pidato kemerdekaan.

Ada lagu kebangsaan dinyanyikan oleh anak-anak sekolah—yang belum tahu

bahwa tanah tempat mereka berdiri kelak akan berubah menjadi statistik.

Di belakang mereka: tumpukan batu bata dan serpihan tulang belulang yang bahkan belum sempat didoakan.

Ada satu adegan memperlihatkan pengungsi di atas perahu karet,

di tengah laut, di antara langit yang tak punya belas kasihan dan ombak yang tak peduli.

Ada anak kecil lain, kali ini masih bayi.

Digendong ibunya yang matanya merah, tapi bukan karena menangis—karena angin laut dan tidur yang tak pernah utuh.

Komentar pembawa acara:

"Pihak berwenang sedang berusaha mengevakuasi mereka."

Tapi kamera bergerak menjauh.

Tak ada evakuasi. Hanya bunyi angin dan doa-doa yang tak sampai.

Lalu layar gelap sebentar.

Disusul iklan: diskon besar-besaran, promo hari kemanusiaan.

Beli satu, bantu satu.

Sebungkus mi instan untuk korban bencana.

Donasi otomatis setelah transaksi belanja online.

Kemanusiaan, kini bisa dicicil.

Mereka bilang: kami mengecam.

Tapi tak lebih dari kata.

Mereka bilang: itu brutal.

Tapi masih mengirim senjata.

Mereka bilang: ini soal agama.

Tapi tak satu pun ayat yang membenarkan pembantaian anak-anak demi tanah dan kekuasaan.

Lidah mereka berdoa, tangan mereka menandatangani kontrak bantuan militer.

Ada yang bilang, "Ini untuk perdamaian."

Tapi damai macam apa yang dibangun di atas puing dan kuburan massal?

Mereka bilang: kami tak punya pilihan.

Tapi mereka selalu memilih untuk tetap berkuasa.

Dan aku,

yang cuma duduk di warung kopi ini,

merasa lebih berdosa dari mereka.

Karena aku hanya menonton.

Karena aku tahu, dan tetap diam.

Epilog:

Anak itu masih ada di layar.

Duduk. Tak menangis.

Dan aku di sini, masih hidup,

masih punya kopi,

masih bisa menulis.

Tapi dunia di seberang layar…

tak pernah bisa dimatikan dengan tombol power.

Dan sekarang aku bertanya padamu, dunia:

Masih adakah yang namanya keadilan?

Atau itu cuma dongeng untuk anak-anak yang belum sempat kehilangan orang tuanya?

Dan jika besok pagi tayangan itu tak lagi muncul,

bukan berarti tragedinya berhenti.

Mungkin hanya karena tak lagi trending.

Mungkin karena dunia tak suka berlama-lama menatap wajah luka.

Dunia hanya suka berita duka—selama bisa digulir sambil menyeruput kopi dan scroll layar.

Dan kita, manusia beradab,

masih menyebut ini: peradaban.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
Kopi Peradaban
Temu Sunyi
Flash
Bronze
#3. Rasa Takdir dan Kebebasan
Tourtaleslights
Novel
Bronze
Bersalah Sebelum Bernapas
Temu Sunyi
Cerpen
Bronze
Hasud (t)
Muhaimin El Lawi
Novel
General Kyy: Legend of War and Peace
Rizky Yahya
Novel
Bronze
BUKAN HARI KEMARIN
Siti rokhmah
Novel
Bronze
Lost In Escape
RD Sinta
Novel
Gold
Meditations
Noura Publishing
Cerpen
Bronze
Kata Terakhir
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Sinden Desa
Silvarani
Flash
Kisah Masa Lalu
Ralali Sinaw
Novel
Bronze
Gadis Biola
Auni Fa
Novel
Gold
Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Langit Menangis di Balik '98: Kisah Perjuangan dan Pencarian Identitas
Aisyah Salsabila Putri
Skrip Film
Ku Kisahkan Tentangmu pada Rembulan (SCRIPT)
Wuri
Rekomendasi
Novel
Bronze
Denting Pilu Yang Berbisik
Temu Sunyi
Cerpen
Kopi Peradaban
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Bersalah Sebelum Bernapas
Temu Sunyi
Cerpen
Parade Para Domba
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Kenangan Yang Terbenam
Temu Sunyi
Cerpen
Pembisuan Sang Orator
Temu Sunyi
Cerpen
Takdir Dari Rahim
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Keanggunan Dipeluk Takdir
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Langit Menolak Jelita
Temu Sunyi
Cerpen
Negeri Pemurah Sosial
Temu Sunyi
Cerpen
Pundak Tanpa Usia
Temu Sunyi
Novel
Tubuhku Tak Salah, Tapi Dunia Menghakimi
Temu Sunyi
Cerpen
Tangan Kasar Pendidik
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Anak Diujung Pelukan
Temu Sunyi
Novel
Bronze
Mimpi Yang Tak Membawaku Pulang
Temu Sunyi