Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Kopi dan Teh
1
Suka
630
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Kopi lagi?" Tanyamu dengan wajah kesal.

Akhir-akhir ini kamu cukup sering memperlihatkan ekspresi itu, kekesalan akibat nasehat yang ter-abaikan.

Aku tau aku salah, karena minuman hitam itu juga yang membuatku harus kesakitan di malam hari.

Tapi, kita berdua kan baru saja makan.

"Hehehe, dikit aja, gakpapa kan?" Jawab ku yang membuat mu semakin kesal.

"Nanti kalau sakit lagi siapa yang repot?"

"Ya kan, gak bikin kamu repot. Orang aku bisa ke dokter sendiri kok"

Kamu menatap tajam ke arahku.

"Iya iya, setelah ini gak lagi deh"

Kamu meminum teh di gelas yang cukup besar, dan aku cukup bingung kenapa tiap kali kamu pesen teh, pasti tanpa gula.

Meskipun aku juga lebih suka kopi pahit, tapi harus pake gula meskipun sedikit.

"Kayak nya kita udah gak cocok" ucap mu tiba-tiba.

Tidak ada angin tidak ada hujan, langit biru tanpa mendung. Bahkan mungkin hari itu, hari terpanas dari hari-hari sebelumnya.

Ucapan mu layaknya petir yang menyambar di cuaca yang cerah, siapapun yang mendengarnya pasti akan terkejut, karena tidak ada tanda akan kemunculan nya.

"Maksudnya?" Aku belum mengerti.

"Ya kita udah gak cocok,"

"Dalam hal apa?"

"Dalam banyak hal," kamu memutar-mutar sendok seakan-akan apa yang kamu pikirkan ada disitu, "perasaan ku udah hilang."

Aku mengerutkan kening, mencerna kata-kata itu, "Hilang? Hilang kemana? Itu kan perasaan, bukan kucing peliharaan, kok bisa hilang?"

"Yang aku rasain emang kayak gitu," kamu melipat kedua tangan mu diatas meja, lalu meletakkan kepalamu diatas-nya.

"Apa karena aku lebih suka kopi dan kamu suka teh? Tapi kan manusia emang beda-beda, dan hal itu wajar, kan?"

"Anggap saja begitu,"

Aku bingung, kenapa hubungan yang sudah jauh, selalu harus balik arah hanya karena tidak cocok. Bukankah cocok itu seharusnya selalu diusahakan, bukan berharap ditemukan.

"Kita hanya berbeda. Aku kopi dan kamu teh, masing-masing dari kita tercipta sangat berbeda. Kopi lebih dominan rasa pahit dan sama seperti hidup pasti ada pahit-pahitnya , sedangkan kamu lebih suka teh karena menurut kamu hidup gak selalu manis ada juga sepet-sepet nya. Banyak hal yang gak harus sama, dalam banyak hal juga seperti itu. Kita hanya berbeda, bukan berarti kita gak cocok."

"Tapi teh gak bikin sakit kek kopi!” kamu menyela dengan nada yang cukup tinggi, “dan akhir-akhir ini kita sering berantem."

"Aku kira kamu lagi kedatangan tamu,"

"Kamu kali yang kedatangan tamu."

"Maksudku tamu bulananmu."

Kamu kembali duduk, "Kita udah beda, kita udah berubah."

"Ya mana bisa orang akan selalu sama."

"Tapi kita..." ucapanmu mengambang.

Aku memiringkan kepala, menunggu apa yang akan kamu ucapkan.

Kamu merenung sejenak, entah apa yang yang akan terjadi kedepannya. Aku hanya ingin menunggu kemana arah yang akan kita ambil.

"Jadi kita udahan?" Tanyaku memecah keheningan.

Kamu hanya mengangguk dan menangis setelah nya.

Bukankah terlepas dari ketidak cocokan yang membuatmu memilih mengakhiri, ini artinya adalah hal yang membebaskan. Kenapa kebebasan harus kamu iringi dengan tangisan.

Tangis mu tidak bersuara, tapi aku tau ada keraguan dalam keputusan mu. Mungkin kamu hanya ingin mencoba jalan lain, tapi untuk ku, perasaan tidak bisa di coba-coba.

"Lucu ya, Tentang bagaimana, semua putus cinta yang menyedihkan, juga diawali dengan jatuh cinta yang menyenangkan." Aku hanya tersenyum lalu pergi setelah itu, tanpa menoleh untuk memastikan apakah kamu hanya bercanda atau… sudahlah.

Setahun kemudian, di sebuah toko buku, aku sedang memilih-milih buku. Aku mencari buku tentang bagaimana merawat kucing yang selalu saja berantem sampai-sampai sofa di rumah ku jadi korban kebrutalan mereka.

Aku berhenti di depan sebuah buku berjudul 'Apakah kucing akan menguasai dunia?', dari judulnya aja udah aneh, tapi tetap aku ambil.

"Ehemm..."

Aku menoleh karena suara deheman.

"Hai... Lagi ngapain?", Aku sedikit terkejut dengan kemunculan mu. Dan juga aneh, karena melihat mu ada di toko buku.

Yang aku tau kamu tidak pernah mau ke sini, bahkan ketika dulu aku sering mengajak mu.

Kamu pernah bilang 'kenapa sih orang suka banget baca? Bukankah lebih enak jika ada bentuk visual nya daripada berimajinasi lewat tulisan doang?'. Dan itu alasan kenapa kamu tidak pernah mau masuk ke toko buku.

"Oh, hai... Ini lagi liat buku." Aku menunjukkan buku yang tadi aku ambil.

"Oh masih sama selera nya?"

"Ya begitulah. Mungkin ada keseruan di dalam nya."

Aku menjawab sambil memandangi buku di tangan ku, aku hanya sedikit melirik kearah mu. Samar-samar aku melihat senyum kecut dari bibir mu.

"Habis ini mau kemana?" Tanyamu sambil seolah-olah memilih buku.

"Mungkin pulang."

"Kita mampir dulu yuk ke cafe di depan, udah lama kita gak ketemu. Mau gak?"

Aku berfikir sebentar, mungkin kucingku bisa lah ditinggal babunya ini untuk bersantai sejenak.

"Boleh-boleh aja."

Setelah membayar sejumlah buku, aku ikut kamu ke cafe yang kamu maksud.

Aku memilih duduk di bagian depan karena di dalam terlalu banyak orang.

"Kamu mau pesan apa?" Tanyamu sambil melihat-lihat menu, "kopi?"

"Enggak, aku pesen Milkshake strawberry aja dengan coklat pahit." Setelah berhenti ngopi, aku menemukan minuman baru yang menurut ku sangat enak, dan aku jatuh cinta dengan minuman itu.

"Udah nggak ngopi lagi."

Aku hanya mengangguk.

Pesanan kami datang dan aku melihat kamu memesan kopi, sungguh aneh.

Aku meminum pesanan ku, menikmati nya dengan pelan.

"Kamu apa kabar?" Ya, pertanyaan klasik untuk orang yang lama tidak bertemu.

"Baik."

"Masih suka baca buku-buku aneh?"

"Gak aneh sih, lebih ke berbeda aja, bukan berarti aneh,"

"Oohh..." Kamu mengangguk-angguk, "kamu keliatan bahagia ya?"

"Memangnya aku harus terlihat bagaimana? Aku menikmati hidup dengan cara seperti ini. Pahit tapi lebih banyak manis yang bisa aku nikmati, seperti minuman yang aku pesan."

Kamu kembali tersenyum kecut.

"Aku gak nyangka bisa ketemu kamu di toko buku, kebetulan banget ya."

"Bisa jadi, tapi aku tidak percaya sebuah kebetulan."

Kamu memandang ke arah ku, seolah tertangkap basah atas hal yang sudah kamu sembunyikan.

"Tapi memang tadi kebetulan aja, kalo gak kebetulan apa coba?"

"Aku tidak percaya pada kebetulan, aku percaya pada pertemuan yang dirancang diam-diam. Masing-masing dari kita punya garis kehidupan yang telah digambarkan. Dan masing-masing dari kita, kalau diizinkan, akan saling bersinggungan."

Aku memandang wajah mu sebentar.

Kamu cukup gugup, kenapa? apakah kamu kaget kenapa segampang itu kamu ter-tebak.

"Kamu udah punya pacar?" pertanyaan yang cukup aneh untuk awal obrolan, tapi cukup to the point.

Aku menggeleng, "Enggak."

Kamu mengaduk-aduk kopi yang sama sekali belum kamu minum itu, padahal sangat enak jika meminumnya ketika kepulan asap masih keluar Bersama aroma yang menyegarkan.

“Aku sudah punya.” Ucap mu tiba-tiba, padahal aku gak nanya.

Kamu melihat kearahku, “Dia gak seperti kamu, dia orang yang suka berada di keramaian denganku. Dia orang yang dewasa, yang memperlakukan ku dengan banyak hal baik.”

Aku hanya diam, gak tau apa maksudmu mengatakan itu semua, tapi aku terus mendengar.

“Dia gak seperti kamu, ketika menonton film akan terus menangis melebihi diriku. Dia memiliki pengetahuan yang luas, dan juga sangat pengertian.”

“Yang gak mengakhiri sesuatu dengan banyak kecupan atau sikap manja. Seseorang yang berkata ‘Aku Cinta Kamu’ dengan cara dan kata-katanya sendiri.”

“Gak berdebat satu sama lain bahkan gak pernah bertengkar. Pokoknya gaada sesuatu yang membuatku kesal padanya.”

Kamu menyesap kopi dan menunjukan ekspresi, sepertinya kepahitan.

“Daripada saat bersamamu, aku gak bisa ketawa dengan semua riasan yang ada diwajahku. Katamu itu terlalu tebal.”

Memang benar! Riasan mu menghalangiku melihat kecantikan alami yang seharusnya patut kamu syukuri.

“Sekarang aku berusaha keras menjadi lebih modis, agar terlihat pantas.”

“Dia tidak suka bicara tentang harapan dan impian, dia benar-benar menatap pada kenyataan. Hanya mengatakan hal-hal yang benar saja, jadinya aku tetap tenang  dan menyembunyikan jati diriku.”

“Maka dari itu, aku gak bisa menemuimu lagi, maaf. Tolong dan cepatlah jadi kekasih orang lain.”

Coklat yang sebentar lagi masuk kedalam mulut, tidak jadi aku masukkan mendengar kata-kata terakhirmu.

Aku tersenyum sambil menggigit sendok eskrim yang akhirnya jadi aku masukan. Setelahnya aku menggelang untuk menjawab permintaanmu.

"Kenapa?" tanyamu.

"Enggak aja sih." Jawabku. Seolah masih menunggu jawaban yang kurang, aku pun berkata, "Aku orangnya berhati sempit, hatiku hanya dapat menampung satu orang saja, ada satu orang yang walau enggak berhak, namun malah terus menguasai ruang itu. Dan walau enggak wajib, aku enggak ingin melihat dia menangis."

Setelah mendengar penjelasan itu, kamu memberanikan diri, membuang segala ego yang dari tadi seolah menjerat tidak membiarkan lepas.

"Apa kamu masih mencintai ku?"

Aku berdehem, melancarkan tenggorokan sebelum menjawab, "masih, tapi saat ini aku berhenti "

"Maksudnya? Kenapa?"

"Soal aku mencintaimu, aku hanya tidak melanjutkannya lagi, kupikir setiap orang berhak untuk berhenti, mencintai."

Aku melihat butiran air mata yang jatuh dari matamu.

"Apa kita tidak bisa menjadi seperti dulu lagi?"

Bukankah apa yang kamu ceritakan menggambarkan bahwa kamu sudah menemukan orang yang perfect, lantas untuk apa pertanyaan seperti itu? Aku tidak habis fikir.

Kamu tiba-tiba tertawa, “Aku curang ya? Aku bilang aku gak bisa menemuimu tapi hari ini akhirnya malah aku sendiri yang datang.”

Aku gak tau harus berekspresi seperti apa.

"Kita tidak akan pernah bisa menjadi seperti dulu lagi, kita udah beda." ucapku memecah kecanggungan atas tawamu.

Semakin deras air mata yang keluar.

"Kenapa kamu bilang kita tidak akan pernah bisa menjadi dulu," tanyamu di sela tangis.

"Karena kita udah beda. Kita sekarang orang yang baru, meskipun mungkin ada hal yang sama tapi masing-masing kita udah beda."

"Kita udah menjadi orang lain. Dan Kita akan terus menerus menjadi orang lain gara-gara satu patah hati kampret dalam hidup kita."

Kamu mengusap pipi yang basah dengan cukup kasar.

"Perasaanku ternyata tidak hilang, dia hanya tertidur sebentar dan... Dan setelah kejadian itu, dia kembali terbangun. Aku ingin kita seperti dulu lagi." Kamu berkata dengan penuh harap.

“Bukankah kamu bilang sudah menjadi kekasih orang lain? Apa kamu berniat mengkhianati orang itu?” aku menatapnya dengan serius kali ini, aku tidak pernah mengharapkan kamu melakukan hal itu pada siapapun.

“Apa kamu masih ingat waktu kamu bilang ‘kalau kamu mau mengkhayal, buatlah khayalan setinggi mungkin tentang apa yang kamu inginkan. Toh tidak ada ruginya, itu kan hanya khayalan bukan harapan, jadi meskipun jatuh gak akan sakit.’ Kamu ingat, gak?”

Aku mengangguk sambil mengangkat alis. Lalu setelahnya aku menetap kamu lagi dengan ragu.

“Jadi, maksud kamu orang yang kamu ceritakan hanya khayalan?”

“Aku berkhayal sosok yang aku inginkan, aku mencari dari banyak orang tapi sosok itu sangat sulit ditemukan. Sampai pada akhirnya aku sadar, kamu bilang ‘tentang apa yang aku inginkan.’ Kamu gak bilang yang aku butuhkan.”

Kamu Kembali menyesap kopi yang lagi-lagi ekspresimu menunjukkan kepahitan.

“Ternyata yang aku butuhkan ada di secangkir kopi ini. Sosok yang jauh dari kata perfect, tapi selalu mengisi kekosongan yang membuat hidup mempunyai warna dengan caranya sendiri.”

“Jika kita tidak bisa menjadi seperti dulu lagi, maka tolong dan cepatlah menjadi kekasih orang lain sebelum aku berakhir mengharapkanmu lagi.”

Aku yakin saat ini kopi yang ada dihadapanmu mempunyai rasa asin akibat air matamu yang terus jatuh ke dalamnya.

"Kita tidak akan bisa seperti dulu lagi, tapi..."

Kamu menatap wajah ku, air mata yang masih basah dan hidung merah menghiasi wajah mu saat melihat ku, "tapi apa?"

"Kita bisa menjadi sesuatu yang baru, tanpa harus memiliki sesuatu yang lama."

Aku mengusap air mata mu, setelah nya kamu berdiri lalu memeluk ku dengan erat.

“Layaknya kopi dan teh, keduanya punya perbedaan yang membuat masing-masing juga punya keistimewaan-nya sendiri. Tapi bukan berarti mereka tidak cocok, mereka punya penikmatnya masing-masing dan terkadang keduanya bisa menyatukan penikmatnya tanpa memikirkan perbedaan.”

Aku membalas pelukanmu dan mengusap punggung mu yang bergetar.

"Lampunya udah ijo lagi. Mungkin sekarang aku bisa kembali melanjutkan, mencintai."

Kamu tertawa seakan lepas dari sebuah beban. Beban yang selama ini membuat mu susah untuk melangkah dan terus menarik untuk selalu diam ditempat.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Kopi dan Teh
Zoids
Flash
Signal
zae_suk
Novel
Gold
The Nutcracker and the Mouse King
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Zona Nyaman
kayla sasi kirana
Novel
YAPPA MARADDA
Sika Indry
Novel
Lembayung Senja
Setya Kholipah
Novel
DANUM
Abroorza Ahmad Yusra
Flash
Menonton Televisi
Afri Meldam
Novel
Kamu Adalah Kenangan (Mengenalmu)
Ruang Kenangan
Flash
Renung
kiki
Flash
JAS REMBULAN
Faisal Syahreza
Novel
Negeri Fir'aun Dan Rujak Ibu
Rosikh Musabikha m
Novel
Memiliki Kehilangan
NarayaAlina
Flash
Bronze
Untuk sebuah senyuman
penulis kacangan
Novel
Dialog Sanubari
Clairo
Rekomendasi
Cerpen
Kopi dan Teh
Zoids
Cerpen
Apa Yang Kamu Berikan
Zoids