Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Komedi
Kopi 2
1
Suka
7
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Kopi dan Anak yang Selalu Jadi Kambing Hitam

oleh: Arkana Jiwa

---

Di Warung KOPI milik Bang Komar, nama-nama kopi bukan sekadar minuman—tapi cermin jiwa.

Ada kopi hitam untuk mereka yang ingin jujur dengan rasa pahitnya.

Ada kopi susu buat yang masih butuh pelukan hidup.

Ada kopi tubruk buat yang suka ditabrak kenyataan.

Ada juga kopi latte, halus di lidah tapi ruwet di batin.

---

Hari itu masuk satu anak perempuan, langkahnya pelan, bahunya turun, tatapannya... kayak habis disidang dunia.

Namanya Citra. Tapi di sekolah, dia punya nama lain: “Citra-rasa Disalahin.”

Dia duduk tanpa senyum dan bilang pelan,

> “Bang... kopi item. Yang pahitnya kayak omongan orang, tapi angetnya kayak pelukan yang gak pernah gue dapet.”

Bang Komar ngangguk bijak.

> “Wah, pesenan lo masuk kategori: kopi hitam spiritual. Pahitnya realita, angetnya harapan.”

---

Gak lama, Citra ditemani geng warung tetap: Raka, Fikri, Nadya, dan Alya.

Raka langsung nyeletuk,

> “Wah, Citra! Lo datang kayak karakter utama film Prancis, yang diem tapi penuh beban hidup.”

Citra nyengir kecut,

> “Beban hidup gue lokal, tapi rasanya internasional, Raka.”

Fikri angkat gelas,

> “Gue pesen kopi susu tadi. Karena gue butuh yang manis... walaupun hidup gak ngasih.”

Citra duduk diam sejenak, lalu tumpahkan isi hatinya kayak tumpahan kopi tubruk.

> “Di rumah gue anak sulung, tapi semua salah adik dilempar ke gue. Di sekolah, ada masalah kelompok—gue yang disalahin. Bahkan pernah pas mati lampu satu kelas, gue dibilang penyebabnya. Kayak... kenapa sih? Gue manusia, bukan kabel listrik.”

---

Alya mendongak dari bukunya.

> “Lo tahu gak, Cit? Ada orang yang selalu disalahkan karena dia paling kelihatan. Padahal yang bikin rusak seringnya justru yang sembunyi rapi.”

Nadya nambahin,

> “Lo itu kayak kopi tubruk. Gak semua orang suka karena tampilannya berantakan. Tapi yang ngerti, tahu... rasa lo paling jujur.”

Citra diem. Air matanya hampir jatuh, tapi dia tahan pake gengsi yang dibungkus senyum palsu.

---

> “Gue benci kalau orang bilang ‘sabar ya’ kayak itu solusi. Kadang gue cuma pengen orang bilang, ‘lo gak salah kok’. Itu aja udah cukup.”

Raka ikut nimbrung sambil ngaduk es kopi susu:

> “Gue tuh dulu pernah disalahin karena dibilang suka bolos. Padahal gue absen karena nganterin nyokap ke rumah sakit. Tapi karena gue badannya gede dan jalannya nyantai, semua guru pikir gue tukang main.

Jadi kadang... image nempel karena mereka gak punya niat cari tahu.”

Fikri garuk kepala,

> “Jadi kayak kopi latte ya. Penampilannya kalem, cantik. Tapi dalamnya bisa kuat banget. Lo gak bisa nilai kopi dari buihnya doang.”

---

Bang Komar datang bawa nampan kecil. Isinya empat jenis kopi dengan catatan kecil di gelasnya.

> “Kopi hitam: buat lo yang berani hadapi kenyataan tanpa gula-gula sosial.

Kopi susu: buat lo yang butuh pengingat kalau kerasnya hidup masih bisa dilembutkan kasih sayang.

Kopi tubruk: buat lo yang ditabrak masalah, tapi masih utuh.

Kopi latte: buat lo yang kelihatan tenang, tapi sebenernya lagi meledak dalam diam.”

Dia kasih satu per satu ke anak-anak.

Yang terakhir, buat Citra, dia bawa kopi mocca.

Citra kaget.

> “Bang, gue mintanya kopi item, kok malah ini?”

Bang Komar senyum,

> “Kopi mocca itu campuran rasa. Ada pahit, ada manis, ada aroma coklat. Kayak lo, Cit.

Lo tuh bukan cuma kambing hitam cerita orang. Lo manusia dengan campuran rasa. Lo bukan tokoh jahat. Lo cuma terlalu sering dijadikan cerita... tanpa pernah dikasih kesempatan ngomong.”

---

Citra diem. Lama.

> “Bang... kalau orang-orang udah mutusin gue ‘pasti salah’, gue harus gimana?”

Alya jawab pelan,

> “Lo hidup bukan buat nyenengin asumsi mereka, Cit. Tapi buat berdamai sama hati lo sendiri.”

Nadya ngunyah gorengan sambil nyeletuk,

> “Kalau hidup lo kayak kopi, lo berhak milih diseduh sama siapa.”

Raka nambahin dengan gaya dramatis,

> “Dan kalau ada yang mau manasin hidup lo, kasih aja dia es kopi pahit. Biar dia ngerasain dinginnya sikap yang udah capek dijadiin korban.”

---

Tawa kecil pecah. Citra akhirnya ketawa.

Ketawa yang gak sempurna, tapi tulus.

> “Gue kira gue sendirian. Tapi ternyata... banyak juga yang hidupnya kayak tisu—selalu nyerap masalah orang lain.”

Fikri angkat gelas,

> “Untuk kita, para tisu manusia. Yang akhirnya belajar bikin batas, dan tau kapan harus berhenti nyalahin diri sendiri.”

---

Malam itu, Citra gak langsung pulang. Dia duduk agak lama, liat langit, dan ngetik sesuatu di Notes HP:

> “Besok kalau gue disalahin lagi, gue gak akan langsung percaya. Karena hari ini, gue belajar bahwa kebaikan bukan berarti jadi korban terus.”

---

Refleksi Jiwa:

Kadang yang kita butuh bukan pembela, bukan pembenaran. Tapi pengakuan:

bahwa jadi manusia yang pernah disalahkan tanpa alasan bukan berarti kita gagal jadi baik.

Karena seperti kopi, rasa hidup gak harus selalu manis untuk bisa dinikmati.

Pahit pun, kalau diseduh dengan penerimaan... bisa jadi hangat di dada.

---

Ditulis oleh: Arkana Jiwa

Untuk kamu yang pernah dijadikan alasan kegagalan orang lain, dan tetap memilih untuk gak kehilangan kebaikan hati.

Kopi dan Anak Pintar yang Gak Punya Ruang Salah

oleh: Arkana Jiwa

---

Di pojokan warung kopi Bang Komar, sore itu langit tampak redup. Bukan karena hujan, tapi karena isi kepala anak-anak muda yang lagi pada ngendap-ngendap luka, pura-pura segar dengan tawa yang dihalusinasi.

Masuklah seorang anak perempuan: rambut diikat kencang, seragamnya rapi, tasnya berat kayak bawa beban negara.

Namanya Nisa.

Langsung duduk tanpa banyak basa-basi dan bilang:

> “Bang, espresso satu. Cepat. Tanpa gula. Aku suka yang to the point, kayak nilai ujianku.”

Raka ngedip ke Fikri,

> “Wah, aura olimpiade banget nih anak.”

Alya melirik.

> “Espresso? Wih, keras banget.”

Bang Komar nyengir sambil nyeduh,

> “Anak pintar biasanya suka espresso. Cepat, tegas, dan gak neko-neko. Tapi hati-hati... pahitnya bisa nyeret lambung.”

---

Nisa menyeruput espresso-nya pelan. Matanya capek, tapi bahunya tegap.

> “Aku capek jadi ‘anak andalan’. Capek dijadiin standar. Semua ekspektasi, dari rumah sampai guru-guru, numpuk di kepala. Nilai turun dikit... langsung dianggap ngaco.”

Fikri manggut-manggut,

> “Jadi lo kayak... cappuccino tanpa busa? Harus sempurna setiap saat?”

> “Tepat,” jawab Nisa.

“Kalau aku sedih, orang bilang ‘ah kamu mah anak pintar, bisa atasi sendiri’. Padahal... aku juga manusia. Bisa salah. Bisa nangis.”

Raka nyeletuk,

> “Kayak hardisk penuh tapi disuruh install Windows baru.”

---

Nadya duduk dekat Nisa, bawa kopi latte vanilla dan bilang:

> “Gue pesen ini karena gue suka rasa lembutnya. Tapi gue tahu... gak semua orang suka lembut. Kadang kita dipaksa keras biar dianggap kuat.”

Alya angkat gelas kopi hazelnut:

> “Kadang orang lupa, rasa itu banyak. Anak pintar juga punya rasa takut, malu, kecewa. Bukan robot. Tapi karena label ‘pintar’, kita seolah harus tahan segala tekanan.”

Bang Komar duduk di tengah-tengah.

> “Gue punya pelanggan kayak lo dulu, Nis. Selalu ranking 1, tapi jiwanya remuk. Dia bilang, 'gak ada orang yang ngelukis masa depanku selain orang tua dan guru’. Dia merasa hidupnya bukan miliknya.”

---

Nisa pelan-pelan meletakkan gelas.

> “Aku pengen gagal sekali aja, Bang. Biar tahu rasanya. Tapi begitu pengen berhenti... rasa bersalahnya kayak tsunami. Gak boleh lelah. Gak boleh nolak. Semua harus 'bisa'. Harus 'berhasil'. Kalau enggak, aku dianggap ‘bukan aku’.”

Raka mendongak dan berfilosofi dadakan:

> “Lo itu kayak kopi americano. Terlihat encer, padahal dalamnya pekat. Semua orang lihat lo kuat, tapi gak tahu dalamnya udah kayak lubang hitam.”

Fikri nambahin,

> “Atau kayak kopi arabika yang katanya lembut, padahal kadar asamnya bisa nyilet batin.”

---

Tiba-tiba Citra datang—masih bawa energi dari cerita sebelumnya.

> “Nisa, lo boleh gagal di sini. Warung ini gak ada nilai rata-rata. Yang penting lo gak sendirian.”

Nisa senyum kecil. Pertama kalinya dia gak pasang “mode cerdas maksimal”.

> “Gue pengen... jadi biasa aja kadang. Duduk, salah, dimarahin... tapi gak langsung dijudge karakter gue.”

Bang Komar kasih dia kopi baru: kopi caramel macchiato.

> “Manis di awal, pahit di akhir. Kayak hidup. Gak apa-apa kalau lo gak selalu manis dari awal. Tapi jangan juga nyalahin diri lo tiap kali pahit datang.”

---

Nisa akhirnya ketawa. Ketawa yang nyaris hilang karena tenggelam dalam angka dan lembar soal.

Dia ngeluarin HP, buka galeri, nunjukin foto lembar nilai try out.

> “Aku dapet 88, Bang. Tapi karena biasa 100, aku diomelin.”

Raka melongo,

> “Lah, gue dapet 55 aja disyukurin karena ‘naik dari sebelumnya’.”

Fikri angkat tangan,

> “Gue mah 60, udah kayak kelulusan nasional. Warga rumah langsung qurban satu ekor ayam.”

Tawa pun pecah.

---

Sore itu, Nisa gak ngerjain soal. Dia diem, ngopi, ngobrol, dan—untuk pertama kalinya—gak merasa harus sempurna.

Dan malamnya, dia nulis di Notes HP:

> “Aku bukan mesin pencetak nilai. Aku jiwa yang ingin dimengerti. Aku ingin punya ruang... tempat salahku gak jadi aib.”

---

Refleksi Jiwa:

Anak pintar bukan berarti selalu kuat.

Label “cerdas” sering jadi beban, bukan anugerah, ketika ruang untuk gagal diambil tanpa izin.

Setiap orang berhak punya ruang salah.

Karena dari salah, kita tumbuh.

Bukan tumbang.

---

Ditulis oleh: Arkana Jiwa

Untuk kamu yang selalu benar di mata dunia, tapi diam-diam pengen... salah sebentar aja, tanpa dimusuhi.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Komedi
Cerpen
Kopi 2
syaifulloh
Flash
Bronze
A True Work of Art
Karlia Za
Flash
Alasan Berteman
Karlia Za
Flash
Gula
Kiiro Banana
Cerpen
Bronze
Burung Merpati Tingting
Andriyana
Komik
Lelaki Koin
Ockto Baringbing
Komik
Bronze
Cilok Esema
Drawshocker
Flash
Bronze
Apel untuk Doktor
Adinda Amalia
Flash
A Girl and A Thief
Fann Ardian
Flash
Pulkam
Zii
Flash
Bronze
Balikan, Yuk!
Dewi Fortuna
Cerpen
Cerita Sekolah Minggu bersama Yaya
E. N. Mahera
Flash
Bronze
BALADA KOPI DAN JAHE
Emma Kulzum
Komik
Bronze
SMKPreet
lam21 EnT
Komik
Idol Patah Hati
baerea
Rekomendasi
Cerpen
Kopi 2
syaifulloh
Cerpen
Kopi 3
syaifulloh
Cerpen
Kopi
syaifulloh