KOPI

Kumpulan Orang Penuh Isi

oleh: Arkana Jiwa

---

> “Bro, lu udah ngopi belum?”

“Belum, gue baru ngelamun.”

“Sama. Tapi ngelamun sambil ngopi kan lebih berbobot.”

Dan dari sinilah, warung kopi belakang sekolah jadi tempat terapi jiwa dadakan.

---

Warung Kopi dan Anak-Anak Lelah Mental

Di belakang SMAN 88, ada warung kecil. Spanduknya nyolot, tapi jujur: “KOPI PANAS, HATI ANDA JANGAN.”

Yang jaga namanya Bang Komar. Umurnya 40-an, tapi gayanya 17.

Sambil nyeduh kopi, dia suka nyeletuk:

> “Lu pikir depresi cuma buat orang kantoran? Nih, bocah-bocah juga udah sesak napas sebelum UN.”

Yang nongkrong di sana:

Fikri, si overthinker—kalau ada guru bilang “coba yang fokus!”, dia langsung mikir itu sindiran pribadi.

Raka, anak humoris. Bercanda terus biar gak kelihatan rapuh.

Alya, cewek kalem yang doyan kopi pahit dan kutipan galau.

Dan Nadya, sang “capek banget gue”, padahal baru Selasa.

---

Obrolan Receh, Tapi Dalam

Hari itu mereka ngumpul karena TO (Try Out) bikin kepala panas.

Raka buka topik absurd:

> “Kalau hidup ini soal nilai, kenapa yang ranking 1 tetap insecure?”

Bang Komar nyahut sambil aduk kopi:

> “Karena yang mereka kejar bukan nilai… tapi validasi.”

Fikri garuk kepala. “Validasi tuh… apaan sih?”

Alya nyeruput pelan, lalu jawab:

> “Validasi itu kayak... lo pengen orang lain bilang lo berharga, padahal lo sendiri lupa ngasih harga ke diri sendiri.”

Sunyi. Nadya ngelirik langit.

> “Gue capek jadi orang baik terus. Kayak... kok gue yang ngalah malah makin kesepian?”

Bang Komar ngelirik gelas Nadya.

> “Pantes, kopi lo selalu manis. Orang manis kayak lo butuh pahit juga, biar seimbang.”

---

Pahit Dikit Gak Masalah

Hari itu, mereka sepakat: semua pesan kopi pahit.

> “Gue pengen belajar nerima rasa gak enak, kayak hidup,” kata Fikri.

> “Gue pengen berhenti jadi badut 24 jam,” Raka nambahin.

> “Gue pengen jadi diri gue yang gak harus selalu kuat,” kata Alya lirih.

> “Gue pengen bisa bilang ‘nggak’ tanpa ngerasa jahat,” ucap Nadya.

Bang Komar ikut duduk bareng. Gelasnya plastik, tapi isinya penuh filosofi:

> “Kopi itu kayak perasaan. Lo bisa tambah gula,

tapi gak bisa hilangin pahitnya.

Yang bisa lo lakuin... nikmatin.”

---

Kenapa Namanya KOPI?

Raka nyengir, “Bang, kenapa sih nama warung ini nyolot banget?”

Bang Komar santai jawab:

> “Karena semua orang punya ‘pahit’ masing-masing. Tapi kalau hatinya panas, lo gak bisa ngerasain hikmah dari pahit itu.”

> “Gue bikin KOPI jadi singkatan: Kumpulan Orang Penuh Isi.

Yang isi kepala, isi hati, sama isi luka.”

---

Akhirnya Paham…

Mereka gak cuma minum kopi hari itu.

Mereka belajar bahwa obrolan receh bisa jadi terapi,

dan bahwa kopi pahit… gak seburuk itu kalau diminum bareng orang yang ngertiin.

Di akhir hari, Nadya update IG Story:

> “Kadang hidup pahit. Tapi bersama orang yang tulus, rasanya bisa ditelen.”

#NgopiBarengIsiHati #AnakRemajaButuhDidenger

---

☕ Refleksi Jiwa:

> Kadang yang dibutuhkan anak muda bukan nasihat panjang.

Tapi ruang untuk didengarkan.

Dan segelas kopi…

…yang gak berusaha menyenangkan, tapi jujur pada rasanya.

---

Ditulis oleh: Arkana Jiwa

Untuk para remaja yang sedang belajar mencintai hidupnya sendiri.

KOPI: Si Tukang Pamer Bahagia

oleh: Arkana Jiwa

---

Warung KOPI Bang Komar makin hari makin rame. Bukan karena promosi, tapi karena satu hal: tempat itu bisa jadi diri sendiri. Gak harus jaim, gak harus tampil bahagia biar di-like orang.

Tapi siang itu, nongol satu wajah baru.

Namanya Kevin.

Anaknya rapi. Wangi parfum mahal. Jaketnya limited edition. Dan... yang paling nyolok: senyumnya kayak model skincare—selalu siap pamer walau mata agak lelah.

“Eh, lo anak baru ya?” sapa Raka.

Kevin langsung duduk, buka IG, lalu bilang:

> “Lagi ngopi nih, healing tipis-tipis sebelum kelas. Mental health itu penting, bro.”

Semua orang diem. Raka ngunyah gorengan pelan. Alya megang buku tapi gak dibuka. Nadya nahan ketawa.

Bang Komar nyeduh sambil nyengir.

> “Mental health itu bukan topik buat caption aja, Vin. Kadang yang paling sering bilang 'healing' malah belum sempat ngerasa luka.”

---

Kevin keliatan agak tersinggung, tapi tetap pasang senyum.

“Gue mah hidupnya santai, Bang. Hidup udah enak, ngapain sedih?”

Fikri ngangguk pelan.

> “Iya, Vin. Tapi kadang orang yang paling sering bilang hidupnya enak... justru lagi nyoba meyakinkan dirinya sendiri.”

Kevin diem. Pandangannya turun ke gelas kopinya. Kopi hitam, polos, kayak kenyataan yang gak dikasih filter.

Alya angkat suara, halus tapi ngena.

> “Lo gak harus selalu keliatan kuat, Vin. Di sini gak ada yang nge-judge. Lo bisa cerita, atau diam. Dua-duanya valid.”

---

Kevin akhirnya nyengir kaku. “Gue capek sih, sebenernya. Tapi... gue takut dibilang lemah. Selama ini gue mikir kalau gue kelihatan sedih, orang-orang bakal ninggalin.”

Nadya langsung nyeletuk,

> “Justru orang yang tulus bakal deket karena lo jujur, bukan karena lo ceria.”

Bang Komar duduk bareng mereka. “Banyak orang minum kopi sambil sok tahan pahit. Tapi kopi itu bukan soal sok kuat. Tapi soal keberanian menerima rasa asli—gak pake tambahan pencitraan.”

---

Hari itu, Kevin gak banyak cerita. Tapi sorenya, dia datang lagi. Kali ini tanpa parfum mahal. Tanpa update story.

Dia cuma duduk, senyum, dan bilang:

> “Bang, kopi pahit satu. Tanpa gula. Kayak hidup gue, sekarang.”

Semua tertawa. Bukan mengejek. Tapi lega—karena akhirnya satu orang lagi memilih jujur.

---

☕ Refleksi Jiwa:

Kita hidup di zaman di mana bahagia sering dipamerkan, tapi luka disembunyikan. Padahal, manusia gak harus kuat setiap hari. Kadang, menerima bahwa kamu capek, adalah awal dari pemulihan yang sejati.

---

Ditulis oleh: Arkana Jiwa

Untuk kamu yang sering terlihat bahagia, tapi sebenarnya cuma pengen dipeluk dan dimengerti.

KOPI: Anak yang Pura-Pura Gak Peduli

oleh: Arkana Jiwa

---

Pagi itu warung Bang Komar agak sepi. Kabut tipis menyelimuti halaman belakang SMAN 88. Tapi satu suara khas tetap muncul.

“Bang, kopi hitam kayak biasa. Tapi tambahin es biar lebih dingin dari ekspresi gue.”

Yang ngomong itu Dimas. Anak kelas sebelas yang terkenal santai, sarkas, dan suka bilang:

> “Gue mah bodo amat.”

Kalau guru marah? Dia ngangguk sambil main HP.

Kalau ada temen nangis? Dia cuma bilang,

> “Yah, hidup emang gitu.”

Tapi… tiap malam, dia sering online jam 2 pagi. Bikin status yang gak jelas, tapi kalau dibaca hati-hati, terasa getirnya.

---

Hari itu, Raka lagi serius nulis jurnal emosi. Nadya ngunyah gorengan sambil mantengin drama. Fikri ngelamun, dan Alya nulis puisi pendek tentang luka batin dan langit mendung.

Dimas duduk, nyengir, lalu nyeletuk:

> “Wah, kalian masih main perasaan ya? Gue sih udah pensiun.”

Bang Komar menatap dia sebentar, lalu tanya pelan:

> “Pensiun dari rasa… atau pura-pura gak ngerasain?”

Dimas nyengir. “Hehe. Bang, itu pertanyaannya terlalu podcast. Gue kan anak realis.”

Alya angkat alis, “Kadang yang ngaku realis itu justru yang paling takut berharap.”

Semua diam. Bahkan kipas angin tua di pojok warung berhenti sebentar, kayak mikir juga.

---

Raka akhirnya angkat suara.

> “Gue juga pernah pura-pura gak peduli, Mas. Tapi ternyata, makin gue pura-pura, makin capek sendiri. Kayak bohongin perasaan tiap hari.”

Nadya nambahin,

> “Orang cuek tuh biasanya bukan gak peduli. Tapi udah terlalu sering kecewa.”

Dimas diem. Lama.

> “Gue... bukannya gak peduli. Tapi kadang kalau gue tunjukin rasa gue yang sebenarnya, orang malah ngetawain. Dulu pernah nangis depan temen, besoknya dijadiin bahan becandaan.”

Fikri melirik gelas kopinya.

> “Makanya di sini kita gak suka ngetawain luka. Soalnya kita tahu, semua orang punya versi jatuhnya sendiri.”

---

Bang Komar berdiri, bawa satu gelas kopi yang gak biasa.

> “Ini kopi buat lo, Mas Dimas. Hitam, dingin, tapi gue tambahin madu. Karena kadang... orang yang keliatannya beku, cuma butuh sedikit manis biar bisa luluh.”

Dimas senyum. Bukan senyum sarkas. Tapi senyum yang keluar dari seseorang yang... lelah berpura-pura.

---

Sore itu, dia gak banyak ngomong. Tapi dia pulang dengan langkah lebih ringan. Dan malamnya, status IG-nya berubah.

> “Gue ternyata gak sekuat yang gue kira. Tapi gue masih baik-baik aja. Pelan-pelan, ya.”

#PelanPelanPulang #NgopiDanDengerinDiriSendiri

---

☕ Refleksi Jiwa:

Orang yang terlihat dingin belum tentu tak berperasaan. Bisa jadi, mereka pernah hangat… tapi pernah terbakar. Maka mereka belajar menyembunyikan bara di balik sikap cuek.

---

Ditulis oleh: Arkana Jiwa

Untuk kamu yang sering bilang “bodo amat”, padahal cuma pengen dimengerti… tanpa harus menjelaskan semuanya.

---

Kopi dan Anak yang Gak Punya Rumah untuk Pulang

oleh: Arkana Jiwa

---

Warung Bang Komar siang itu agak sepi. Angin lembut bawa aroma kopi hitam dan gorengan setengah gosong yang katanya “karakter rasa”.

Fikri lagi main uno stacko sendiri (dan kalah). Alya sibuk nulis jurnal rasa. Nadya merhatiin kucing lewat kayak lagi nonton drakor. Raka? Lagi ngedit video slow-motion temennya jatuh di lapangan, sambil ngomong ke HP:

> “Inilah jatuh yang tidak butuh cinta.”

Tiba-tiba, muncul anak baru. Rambutnya agak gondrong, jaketnya kebesaran, dan wajahnya kayak abis ngelawan hidup pake level ekstrem mode.

Namanya Zidan.

Dia cuma duduk, tatap kosong, dan pelan bilang,

> “Bang, kopi anget. Yang penting pahit... biar nyambung sama suasana batin.”

Bang Komar nyeduh sambil nyaut,

> “Lo mau kopi atau konseling terselubung?”

---

Zidan duduk di pojokan. Gak main HP, gak ikut ngobrol. Cuma megang gelasnya erat, kayak lagi genggam harapan terakhir.

Raka bisik ke Fikri,

> “Bro, itu anak kayak karakter utama film indie. Minimalis kata, maksimalis luka.”

Fikri nyengir,

> “Kayaknya dia tipe yang kalau ditanya ‘lo kenapa?’, jawabnya ‘nggak apa-apa’, padahal hatinya udah 404 not found.”

Nadya nyolek Zidan,

> “Bro, lo diem mulu. Kita semua di sini broken, tapi setidaknya kami broken bareng.”

Zidan akhirnya nyengir dikit, lalu bilang:

> “Gue bukan kabur. Tapi kalau di rumah aja gue ngerasa sendirian, terus ngapain gue pulang?”

Sunyi. Bahkan kipas angin tua di warung mendadak diem sejenak, kayak lagi mikir juga.

---

> “Bokap sibuk. Nyokap sibuk nyuruh. Adik sibuk nyalahin. Gak ada yang nanya, ‘Lo kenapa diem?’ atau ‘Lo capek nggak?’”

Alya manggut pelan,

> “Kadang rumah tuh bukan tempat tinggal, tapi tempat dituntut. Paling nyakitin itu bukan dimarahin, tapi diabaikan.”

Raka nambahin,

> “Gue juga pernah dibilang ‘anak males’ cuma gara-gara rebahan. Padahal gue lagi overthinking antara ngelanjutin hidup atau jadi tukang es keliling.”

Zidan ketawa kecil.

> “Gila... lo juga ya?”

Fikri nyeruput kopi.

> “Kita semua kayak drama Korea, bro. Tapi versi hemat kuota.”

---

Bang Komar datang, taruh kopi satu lagi buat Zidan.

> “Ini bukan kopi biasa. Ini racikan: satu sendok pahit, dua sendok dimengerti, tiga sendok lo boleh jadi diri sendiri.”

Zidan lihat gelasnya, lalu bertanya lirih,

> “Bang... boleh ya, gue diem aja di sini? Gak cerita, gak sok kuat. Cuma... diem.”

Bang Komar angkat bahu,

> “Warung ini bukan tempat jago cerita. Tapi tempat jujur meski lo gak bisa ngomong.”

---

Sore itu Zidan gak cerita panjang. Tapi dia ikut ketawa waktu Raka nyanyi lagu galau sambil ngoreng tahu.

Dan malamnya, Zidan pulang. Bukan karena rumahnya berubah. Tapi karena hatinya udah mulai percaya... bahwa tempat pulang bisa diciptakan dari rasa diterima, meski cuma dengan gelas kopi dan obrolan absurd.

---

☕ Refleksi Jiwa:

Kadang yang kita cari bukan rumah mewah atau kamar ber-AC.

Cuma satu tempat aja...

> Tempat lo boleh gak kuat.

Tempat lo gak perlu selalu jawab “baik-baik aja.”

Karena rumah sejati... kadang bukan yang ada di Google Maps,

tapi yang membuat jiwa kita merasa utuh kembali.

---

Ditulis oleh: Arkana Jiwa

Untuk kamu yang pernah pulan

g tapi gak merasa kembali. Dan akhirnya sadar... bahwa rumah bisa muncul dari satu meja, satu kopi, dan beberapa tawa yang gak dibuat-buat.