Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
KOMPAS
0
Suka
1,283
Dibaca

---

Dulu kata orang-orang aku gadis kembang desa yang senyumnya bisa menenangkan hujan, dan tawanya membuat burung-burung lupa bernyanyi sejenak. Wajahku yang katanya manis, kulitku seputih melati yang baru mekar, rambutku bergelombang seperti aliran sungai kecil di musim semi, dan tubuhku yang ideal semua itu membuat banyak laki-laki datang membawa harap.

Ada seorang tentara. Datang ke rumah dengan langkah tegas dan senyum yang penuh percaya diri. Cinta tidak bisa dibeli dengan mantra, apalagi disihir dengan sesuatu yang tidak terlihat tapi memaksa hati untuk tunduk itu tidak berarti sama sekali.

Waktu itu aku menangis, meraung dalam diam, karena rasanya aku mencintainya. Tapi Papa tahu lebih dulu. Ia mengusir pria itu bukan karena benci, tapi karena tahu cintaku bukan tumbuh dari hati, melainkan dari tipu yang tak kasatmata.

Dan aku, meski luka, perlahan belajar... bahwa cinta yang baik, tak pernah datang dengan paksaan.

Sampai suatu hari, datanglah dia.

Seorang laki-laki dengan perawakan tinggi dan kulit sewarna tanah yang bersetia pada mentari. Ia tidak datang dengan pujian manis atau janji mengawang. Ia datang... duduk di ruang tamu dengan kepala menunduk, tangan menggenggam erat, dan niat yang tak bersuara tapi nyata.

Aku mengintip dari balik gorden, jantungku berpacu seperti genderang perang yang belum siap kumenangkan. Dan—ah, betapa bodohnya aku kala itu—yang keluar dari mulutku malah keluhan.

“Kenapa Yohan yang datang?” lirihku penuh kecewa.

Yohan, lelaki dengan wajah keras namun senyum hangat itu bukan sosok yang kuharapkan duduk di ruang tamu, menghadap papa dengan tatapan mantap. Ia bukan tentara, tapi sering kali terlihat duduk bersama mereka di asrama tentara, berbagi tawa dan kisah seolah ia bagian dari barisan seragam itu. Aku tak pernah mengerti apa yang dia cari di sana.

Bagiku, ia lelaki yang aneh. Bukan karena keburukan, tetapi karena aku tak pernah benar-benar bisa membaca hatinya. Ia terlalu diam untuk didekati, terlalu hadir untuk diabaikan.

Dan kini, aku tidak tahu bahwa keluhan itu kelak akan jadi penyesalan paling manis dalam hidupku.

Yohan menoleh, menangkap mataku yang sembunyi malu-malu. Dan dia dengan ketenangan yang membuatku seketika bungkam, ia tersenyum. Senyum yang tidak meminta dicintai, hanya menawarkan sebuah tempat untuk pulang.

Hari ketika ia pergi dari ruang tamu itu, aku berdiri di depan papa dan mama dua manusia yang mencintaiku seolah mereka yang menenunkanku di rahim sendiri. Ayah, saudara kandung dari orang tuaku yang sudah lama dipanggil pulang oleh langit, merawatku bukan dengan kewajiban... melainkan dengan cinta yang lembut dan sabar.

Dengan nada lantang namun suara yang gemetar, aku berkata, “Aku tidak ingin menikah dengan Yohan.”

Aku mencoba segala cara untuk mengubah keputusan papa. Membujuk, merayu, bahkan merajuk. Tapi papa, yang jarang berkata banyak, hanya menatapku dengan sorot mata yang dalam lalu berkata, “Dia laki-laki yang baik.”

Tak puas, aku beralih ke mama. Dengan harapan mungkin seorang ibu bisa lebih mendengarkan detak panik anak gadisnya. Tapi mama hanya tersenyum kecil, mengusap rambutku, dan berkata dengan lembut, “Dia laki-laki yang baik.”

Waktu adalah guru yang pelan namun tak pernah salah. Setelah bertahun-tahun menjalani hidup bersamanya, barulah aku mengerti arti dua kalimat itu. Benar—dia adalah laki-laki yang baik. Laki-laki yang tidak menuntut untuk dicintai sempurna, tapi siap mencintai walau dengan serpih-serpih hatiku yang dulu sempat ragu.

Ketika kami menikah, aku melepas dunia luar dan memilih tinggal di rumah. Kukira peran menjadi ibu rumah tangga adalah aku yang melayani semuanya dari pagi hingga malam. Tapi Yohan, dengan caranya yang tenang namun penuh kejutan, menjadikanku seperti seorang putri dalam istana kecil kami.

“Kalau kamu lelah, duduklah. Biar aku yang masak hari ini,” katanya suatu pagi sambil menggulung lengan kemejanya, menyingsingkan aroma kopi dan matahari.

Ada hari aku membersihkan rumah, dan dia menyapu halaman sambil bersenandung lagu lama. Ada saat dia kelelahan, dan aku menyajikan teh hangat di sore yang gerimis. Kami tidak membagi tugas tapi kami berbagi hidup.

Dan sejak hari itu, segalanya berubah menjadi musim yang tak pernah kutahu bisa seindah itu.

Yohan Andreas—Papa Yo-ku. Pria yang datang bukan hanya membawa janji, tapi juga keteguhan. Tatapan matanya saat memintaku menjadi istrinya bukan sekadar keberanian, tapi juga ketulusan. Seolah dunia berhenti sejenak untuk mendengar kata-katanya, dan semesta mengangguk pelan:

“Ini dia orangnya.”

Rumah kecil ini menjadi surga yang kita bangun bersama. Dindingnya menjadi saksi tawa kita yang sederhana, meja makannya selalu dipenuhi oleh cinta yang hangat dari sepiring nasi dan sambal kesukaanmu. Kamu selalu bilang, “Masakan mama sayang itu obat paling manjur setelah lelah seharian.”

Dan aku hanya tertawa, pura-pura mengomel, padahal diam-diam hatiku mekar seperti bunga matahari menyambut mentari.

Itulah nama sayang kita. Aku, yang kau panggil Mama Sayang. Dan kau, Papa Yo-ku, laki-laki yang datang dengan segala keberanian.

Motor tua itu pun menjadi bagian dari cerita kita. Kadang aku bercanda menyuruhmu menjualnya, tapi kamu selalu membalas dengan kalimat yang sama: “Itu saksi cinta kita, mama sayang. Jangan pernah dijual. Biar tua, dia setia.” Lalu kamu mengelus setangnya seperti mengelus pipiku yang lembut dan penuh kasih.

Kini, motor itu tak lagi ada di garasi. Kamu sudah menjualnya mencoba tidak meninggalkan jejak kenangan itu. Tapi luka dan cintamu tetap terparkir di dadaku.

Tak bisa dijual. Tak bisa diganti.

Suara motormu yang khas menggema di lorong perumahan seperti lagu pulang yang selalu kuhafal iramanya. Setiap kali deru itu mendekat, naluriku langsung bergerak menaikkan air ke atas kompor, menyiapkan handuk untuk kamu mandi. Tak pernah ada keluhan tentang tidak ada uang di kantongku, karena kita berdua tahu cinta yang cukup selalu bisa menambal yang kurang.

Kita duduk di ruang tengah, anak-anak sedang menonton dan belajar di lantai, dan kamu hanya diam memperhatikan mereka sebentar sebelum tiba-tiba memanggilku ke dalam kamar. Aku mengira kamu ingin bicara tentang sesuatu yang biasa, mungkin kemeja kerjamu yang sobek atau kopi yang lupa diseduh.

Tapi tidak, kamu mengulurkan uang dengan tatapan teduh dan berkata, “Buat belanja, mama sayang."

Kadang, bukan hanya uang yang kamu beri. Ada baju baru yang kamu sembunyikan di lemari, dan kamu pura-pura terkejut saat aku menemukannya. Aku tahu itu caramu mencintaiku diam-diam, tapi mengakar dalam.

Namun, dari semua kejutan kecil itu, ada satu yang membuatku benar-benar terisak.

Hari itu matahari terik, dan suara mobil pick up berhenti di depan rumah. Seorang pria turun dan mengetuk pagar. “Permisi, ini rumah Pak Yohan Andreas? Kami antar mesin cuci, tapi uangnya masih kurang lima ratus ribu,” katanya dengan santai.

Aku berdiri terpaku. Mataku membelalak. Lidahku kelu.

Mesin cuci?

Dari siapa?

Kenapa?

Aku buru-buru meneleponmu, dengan nada bingung yang hampir panik.

“Papa Yo, ini ada mesin cuci datang ke rumah. Katanya kamu yang pesan? Uangnya katanya masih kurang lima ratus ribu…”

Kamu hanya tertawa kecil di ujung telepon. “Iya, mama sayang. Uangnya ada di saku celana yang aku gantung di kamar. Ambil aja ya.”

Air mataku jatuh.

Bukan karena kamu memberiku mesin cuci. Tapi karena kamu selalu memperhatikan hal-hal yang bahkan tak sempat kuucapkan.

Kamu tahu betapa tangan ini lelah memeras cucian. Tapi kamu tak pernah membuatku merasa meminta. Kamu hanya memberi, dengan cara yang tak pernah ribut, tak pernah pamer.

Itu caramu mencintaiku, Papa Yo.

Dengan tindakan yang lebih nyaring dari kata-kata.

Dan aku… aku merindukanmu dalam setiap saku celana yang kosong.

Aku masih bisa mendengar tawamu di lorong-lorong rumah ini. Bayanganmu duduk di kursi ruang tamu, memegang koran yang tak pernah benar-benar kamu baca, hanya untuk terlihat sibuk saat menungguku menyiapkan makan malam.

Kamu tahu, Papa Yo? Rindu ini tidak pernah pergi. Ia duduk diam di sudut hati, membolak-balik halaman hidup kita yang pernah begitu penuh warna. Aku tak pernah lelah mencintaimu, bahkan ketika dunia memisahkan kita.

Karena untukku… cinta adalah kamu.

Selalu kamu.

---

Aku sedang berdiri di ambang pintu, memandangi halaman yang diselimuti cahaya matahari. Teriknya menari di atas ubin dan dedaunan, seolah dunia tengah merayakan sesuatu yang tak kumengerti. Tapi anehnya, yang kulihat hanyalah kegelapan bukan karena cahaya tak ada, melainkan karena cahayaku telah pergi.

Langit biru terbentang luas, namun dadaku terasa sempit. Pikiranku melayang, tersesat di lorong-lorong sunyi dalam kepalaku sendiri, dihantui oleh pertanyaan yang tak punya rumah untuk berpulang.

Di mana kau sekarang? Apa kau juga merindukanku seperti aku merindukanmu hingga rasanya udara pun terasa lebih berat untuk dihirup?

Sosokmu... adalah ciptaan Tuhan yang paling kunanti, paling kukenang, dan paling kupertanyakan. Kau tak ada di sini, tapi kehadiranmu seperti bayangan yang tak pernah benar-benar hilang, selalu berdiri satu langkah di belakang rinduku.

Pertanyaan itu—tentangmu, tentang kita—berputar di kepalaku seperti angin yang kehilangan arah. Ia tak mencari jawaban, ia hanya ingin tetap bergerak, agar rasa kehilangan ini tetap terasa hidup.

Dan di tengah sinar matahari yang seharusnya hangat, aku berdiri membeku, tertahan di antara kenangan yang tak mau mati dan harapan yang belum sempat lahir.

Sosok yang kurindukan itu selalu punya cara membuat hal-hal kecil terasa berarti.

Ia memujiku bukan hanya saat aku berdandan rapi atau tersenyum manis di depan cermin, tapi bahkan saat aku memakai daster lusuh dan berdiri di dapur dengan rambut berantakan. Katanya, aku tetap cantik. Dan ajaibnya, aku percaya.

Setiap pagi, sebelum dunia benar-benar terjaga, ia bangun lebih dulu hanya untuk mencium keningku seolah ingin meninggalkan secuil ketenangan sebelum hari dimulai. Tindakan kecil itu, sesederhana napas di leher, cukup untuk membuat jantungku berdetak tak beraturan. Seperti sebuah pengingat lembut bahwa aku dicintai, bahkan sebelum sempat membuka mata.

Itu bukan tentang bunga, bukan tentang hadiah, bukan pula kata-kata manis yang dirangkai indah. Tapi tentang kehadiran yang nyaris tak bersuara yang hanya bisa dirasakan, bukan dijelaskan.

Dan kini, ketika semua itu telah menjadi kenangan, yang paling kurindukan bukanlah suaranya, tapi keheningan yang dulu ia isi dengan kasih yang begitu sederhana.

Karena cinta... tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya bersembunyi di balik kenangan, menunggu dipanggil kembali lewat rindu yang diam-diam menetes di sudut mata.

Di mana kita sekarang?

Pertanyaan itu mengendap pelan di dalam dada, seperti embun yang enggan jatuh dari ujung daun. Aku berdiri di tengah perjalanan panjang yang entah dimulai dari mana, dengan langkah-langkah yang tak pernah benar-benar tahu tujuannya. Aku hanya berjalan membawa namamu di antara napas, menggenggam bayangmu erat-erat agar tak lepas dari ingatan.

Mungkin kita telah menjadi dua bintang yang tak lagi saling menatap, hanya berputar pada orbit masing-masing, terikat oleh kenangan yang tak kasat mata. Tapi bukankah bintang selalu menyimpan cahaya yang sama, meski terlihat dari tempat berbeda?

Dan andai kau bertanya padaku: “Apakah masih ada aku dalam langkahmu?”

Aku akan menjawab dengan suara yang bergetar bahwa setiap langkahku dan sejauh apa pun aku melangkah, selalu membawa arah kembali padamu. Meski sunyi. Meski tak lagi kau di sana.

Kadang aku merasa jejakmu masih ada di sampingku, terdengar samar dalam desir angin, terasa hangat dalam sinar mentari pagi.

Tapi kenyataannya, hanya ada aku.

Berlari dengan hati yang terus mencari, menyusuri waktu, membawa rindu yang tidak pernah sempat disampaikan.

"Mah, aku berangkat dulu."

Suara itu memecah lamunanku. Aku masih berdiri di ambang pintu, seakan pintu ini bukan sekadar jalan keluar rumah, tapi gerbang waktu yang selalu mengingatkanku pada yang telah pergi.

Aku menoleh. Gadis itu berdiri dengan ransel menggantung di punggung, mata yang serupa dengan milik ayahnya, dan senyum yang memudar cepat karena mentari siang sudah tinggi.

"Kamu sudah makan? Kenapa perginya siang begini?" tanyaku pelan, nada khawatir yang tak bisa kusembunyikan.

"Hari ini aku ada kelas siang," jawabnya sembari menyunggingkan senyum kecil. Senyum itu seperti musim semi yang datang terlambat hangat, tapi menyimpan duka yang nyaris tak terlihat.

Aku mengangguk, perlahan, seolah sedang menyetujui hal yang lebih dalam daripada sekadar jadwal kuliah. Ia meraih tanganku, lalu menciumnya. Tanganku, yang mulai keriput oleh waktu, menjabat tangan muda yang penuh harapan. Gerakan sederhana yang menyelipkan makna rindu pada kasih sayang yang tak lagi utuh bentuknya.

Gadis itu—dialah buah dari cinta yang pernah kupeluk hangat bersama Yohan. Anak bungsu yang kini tumbuh sendiri, menggenggam rimbunnya dunia tanpa tangan ayah di sisinya. Ia yang paling tak sempat mengecap utuh sosok yang dulu memanggilku “Mama Sayang” dan menyapanya dengan suara yang penuh kasih.

Berbeda dengan dua kakaknya, ia tak memiliki cukup waktu untuk duduk di pangkuan Yohan dan bertanya tentang dunia. Ia tak sempat mencatat cerita di balik setiap kerutan lembut di wajah ayahnya. Saat Yohan pergi untuk selamanya, gadis kecil itu masih duduk di bangku SMP usia di mana dunia masih perlu dipeluk oleh satu sosok yang kokoh dan lembut sekaligus. Tapi waktu, seperti biasa, tak memberi pilihan. Hanya luka dan pelajaran.

Dan saat kulihat punggungnya menjauh di jalan depan rumah, aku tak bisa menahan sebersit haru.

Dalam diam, aku berdoa—

Semoga ia tahu, sekalipun papanya telah tiada, cinta Yohan tidak pernah benar-benar mati. Cinta itu bernafas di dalam dirinya, hidup dalam cara ia tersenyum, dalam cara ia mencinta dunia.

Jika aku mengingat kepergian Yohan lagi, rasanya seperti mendengar daun jatuh satu per satu di dalam dada.

Hening.

Hancur.

Sunyi yang tak punya bentuk. Jiwaku yang dulu terasa utuh bersamanya retak perlahan, dan serpihannya menari di setiap ingatan tentang pagi-pagi yang kini sepi.

Aku masih ingat hari itu, ketika langit tak cukup kuat menahan tangis, dan bumi terasa terlalu sunyi untuk pijakan. Yohan... pergi secepat itu, tanpa aba-aba, tanpa sempat mengucap kata selamat tinggal pada anak bungsunya.

Aku pernah melihat anak bungsuku ini berdiri di sudut kamar, menatap foto Yohan sambil membisu. Matanya kosong, seakan bertanya pada langit:

“Kenapa aku tidak punya cukup waktu untuk mengenal Papa?”

Dan aku?

Apa yang bisa kulakukan selain memeluk tubuh mungil itu dan berkata, “Papa sangat mencintaimu.”

Tapi kalimat itu terlalu kecil untuk mengisi ruang hampa di dadanya.

Setiap malam, aku sendiri menatap langit dan bertanya:

Tuhan, mengapa cinta yang sebesar itu harus pergi lebih dulu?

Mengapa anakku harus belajar kehilangan sebelum sempat memahami arti memiliki?

Namun waktu, meski tidak menghapus luka, setidaknya mengajarkan caranya berdamai. Gadis kecil itu kini telah tumbuh menjadi perempuan kuat keras dari luar, lembut di dalam. Dan dalam setiap senyum ketiga anak-anakku, aku melihat sekilas Yohan. Dalam cara mereka berbicara, cara mereka tertawa, bahkan cara mereka marah… ada jejak pria yang kucintai seumur hidupku. 

Aku masuk ke dalam rumah, membiarkan pintu tertutup pelan di belakangku. Langkahku mengarah ke sofa, tempat yang dulu sering jadi saksi bisu kehangatan kami. Aku duduk perlahan, seakan tak ingin mengusik bayangan kenangan yang masih tertinggal di udara.

Tatapanku mengarah ke dinding tempat satu-satunya foto yang tidak pernah kuturunkan. Wajahnya tersenyum di sana, seolah masih memandangku dengan sorot mata yang sama seperti dulu. Sorot itu... tulus dan lembut, seperti embun pagi yang menyentuh dedaunan sebelum matahari sempat menghapusnya.

Dan tiba-tiba, aku ingat malam itu.

Kami duduk berdua di ujung kasur, lampu kamar hanya menyala redup, mengalirkan cahaya kuning hangat yang membuat waktu terasa melambat. Tangannya menggenggam tanganku, hangatnya masih terasa bahkan sampai sekarang.

Lalu ia berkata—

"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi kalau kamu membiarkan aku ada di sisimu... aku tidak janji akan selalu membuatmu tertawa. Tapi aku janji akan tetap di sini, bahkan saat kamu menangis."

Aku mengerjap. Kalimat itu menusuk seperti angin dingin di tengah musim panas. Napasku tercekat, seakan ada ruang kosong dalam dada yang tiba-tiba runtuh. Mataku mulai basah bukan karena aku lemah, tapi karena kenangan itu terlalu kuat, terlalu hidup untuk diabaikan.

Kadang, rindu tidak datang sebagai teriakan. Ia hadir sebagai bisikan. Dan kali ini, ia berbisik lewat suara Yohan dalam ingatanku lembut, hangat, dan menyayat.

Hati yang kuimpikan, selama ini hanya bayang samar di kejauhan, kini terasa begitu dekat berdenyut dalam langkahmu yang setia di sisiku.

Kepakan yang tak diketahui itu, mungkinkah milik sayap yang selama ini tersembunyi di balik takut dan ragu?

Kita berjalan di atas awan bukan awan sungguhan, tapi harapan yang kita bangun bersama, lembut dan rapuh, namun cukup untuk menampung pijakan dua jiwa yang memilih percaya.

Cahaya bintang tertumpah keluar malam itu, seperti langit pun ikut menyaksikan rahasia kecil antara aku dan kamu. Dan di tengah semua itu, ada perasaan yang tak bisa lagi kucegah mengalir deras seperti sungai yang menemukan lautnya.

Aku tidak bisa menghentikan perasaan ini sekarang, karena barangkali, inilah namanya jatuh cinta tanpa syarat, dan mencintaimu adalah satu-satunya arah yang kupahami.

Ada begitu banyak yang ingin aku ceritakan tentang sosok laki-laki ini bukan karena dia sempurna, tapi karena caranya mencintaiku begitu sederhana, begitu diam-diam, sampai aku nyaris tak sadar bahwa aku sedang dicintai dengan begitu dalam.

Dia bukan penyair, tapi tutur katanya selalu terasa seperti bait puisi yang menenangkan badai di dalam dadaku.

Dia bukan pahlawan besar, tapi pelukannya mampu menyelamatkanku dari hari-hari yang hampir runtuh.

Dia tidak menawarkan dunia, tapi menggenggam tanganku seolah aku adalah dunianya.

Laki-laki ini... adalah tempat pulang yang tak pernah lelah menunggu.

Dan dalam diamnya, dia mengajarkanku bahwa cinta tidak harus berisik, cukup hadir—penuh, utuh, dan setia.

Kadang aku takut dengan apa yang ada di bawah kakiku yaitu ketidakpastian, rasa sepi, dan kehilangan yang tak pernah benar-benar reda. Tapi jika itu artinya aku bisa mengikutimu, menembus awan, dan terbang tinggi ke langit tempat kau bersemayam…

Aku ingin. Aku sungguh ingin.

Di mana pun kamu berada di ujung langit, di antara bintang, atau di balik keheningan doa yang lirih aku ingin percaya, selama kita tetap bersama dalam hati, tak ada jarak yang benar-benar memisahkan.

Aku akan sangat bersyukur, jika kamu tahu hatiku masih memanggil namamu. Aku selalu ingin memberitahumu, betapa aku merindukanmu. Tapi lidahku kelu, dan hatiku terlalu rapuh untuk mengulang luka yang sama. Aku hanya bisa berbisik dalam doa dan mimpi, berharap jiwamu mendengar.

Namun, aku sadar… ada tiga pasang mata kecil yang masih mencari cahaya dalam diriku. Anak-anak kita. Mereka masih membutuhkan seorang ibu bukan yang utuh, tapi yang cukup kuat berdiri di tengah runtuhnya dinding dunia.

Aku tahu kamu ingin aku bahagia, bahwa kamu menitipkan anak-anak itu bersamaku. Dan aku juga tahu… mungkin kamu sedang tersenyum geli dari sana, saat aku memarahi mereka karena tidak mencuci piring atau karena tidak mendengarkanku.

Aku bisa membayangkan kamu berkata, "Sudah, Ma. Jangan galak-galak sama anak-anak"

Dan mungkin… hanya mungkin… aku akan tersenyum, meski masih ada air mata yang mengendap di sudut mataku.

Bahkan jika aku tersesat, di tengah riuh dunia yang tak lagi kukenal aku tahu, kau akan menuntunku. Bukan dengan tanganmu, tapi dengan kenanganmu.

Bukan dengan kata-katamu, tapi dengan bisikan halus dalam nuraniku yang masih mengenalmu begitu dalam.

Aku tahu, di penghujung malam yang sunyi, saat langit tak lagi biru, saat bumi tak lagi ramah kau tetap menyinariku.

Seperti bintang yang tak pernah padam, kau adalah cahaya kecil yang diam-diam menuntunku pulang.

Dan meski waktu berlari cepat, menua bersamaku, menggurat garis-garis tipis di wajahku dan hati, cinta ini… tidak berubah. Tidak pernah berpaling. Hatiku tetap rumah tempat namamu tinggal.

Saat keadaan sulit, ketika dunia menjadi terlalu berat, aku akan memikirkanmu dan dari ingatan itu, aku menemukan keberanian.

Bukan keberanian untuk melupakanmu, tapi keberanian untuk hidup dan mencintai sebagaimana dulu kau mengajariku. Dengan tangan terbuka, hati lembut, dan senyum yang tak pernah pudar dalam ingatan.

Saat satu per satu anak-anak pamit untuk menjalani harinya dengan langkah penuh semangat. Aku tahu, cinta Yohan tak pernah benar-benar mati. Ia hanya berganti wujud.

Ia hidup dalam tawa mereka, dalam cara anak tengahku mengerutkan kening saat berpikir mirip sekali denganmu. Dalam cara si sulung menyelipkan helm di lengan dan berkata “Mah, jangan lupa makan siang,” seperti kau dulu menegurku dengan lembut. Dalam cara si bungsuku mengurung diri di kamar saat sedih, lalu diam-diam menyelipkan catatan kecil bertuliskan “Aku baik-baik saja.”

Anak sulungku… dia seperti mentari pagi yang tak pernah lelah menyinari meski langit tak selalu cerah. Sejak kepergian Yohan, dia yang menggenggam sisa-sisa keberanian itu dan menapaki dunia orang dewasa dengan langkah yang lebih cepat dari yang seharusnya. Wajahnya menyimpan ketegasan, tapi aku tahu di balik tatapan matangnya, ada kerinduan yang tak sempat ia ucapkan.

Kini, dia menjadi tulang punggung bagi kami. Beban yang dulu dipikul papanya, kini bertumpu di pundaknya yang masih muda. Ia bekerja tanpa banyak kata, mengorbankan waktu dan mimpi-mimpinya agar rumah ini tetap berdiri dalam kehangatan. Kadang aku melihat caranya menatap adik-adiknya seperti Yohan menatapku dulu penuh perlindungan dan cinta yang diam-diam.

Anak tengahku… satu-satunya laki-laki yang kini menjadi pilar kecil di rumah ini. Di matanya tersimpan bayang wajah Yohan bukan hanya karena rupa mereka yang mirip, tapi juga karena tekad dan tanggung jawab yang diwariskan.

Ia tak pernah meminta banyak. Bahkan saat keadaan sulit, ia justru menjadi penenang bagi kami semua. Ia belajar keras, menyisihkan waktu malamnya untuk menggapai mimpi, dan diam-diam mendaftar beasiswa karena ia tak ingin membebani siapa pun.

Dan saat kabar itu datang, bahwa ia diterima kuliah penuh dari beasiswa… aku menangis. Bukan karena sedih, tapi karena bangga. Kini dia menyusul jejak sang kakak, menjadi sarjana, berdiri di hadapan masa depan dengan langkah yang yakin.

Cinta itu menetap dalam detak yang tersisa di rumah ini. Dalam dinding yang dulu menjadi saksi bisik-bisik kita di tengah malam, dan jendela tempat kita menggantung mimpi.

Waktu seakan melukis garis-garis halus di wajahku jejak perjalanan panjang sebagai istri, ibu, dan perempuan yang mencintai sepenuh jiwa. Rambutku mulai memutih, kulitku mengendur, tapi hatiku tetap sama menyimpan cinta yang tak pernah luntur pada Yohan Andreas.

Anak-anak kita kini telah tumbuh menjadi pribadi yang membanggakan. Mereka telah menapaki jalan hidupnya dengan kerja keras dan kesungguhan. Mereka sukses, berdiri di atas kaki mereka sendiri. Tapi… masih ada satu ruang di hatiku yang belum tenang sepenuhnya, mereka belum menikah.

Kadang, di malam yang sunyi, aku menatap langit dan membayangkan kamu di sana, Papa Yo. Aku membayangkan kamu menatap anak-anak kita sambil tersenyum, seperti dulu kau menatapku. Aku tahu, jika kamu ada, mungkin kamu sudah bercanda, “Kapan nih Papa punya menantu?”

Aku hanya bisa berdoa dalam diam. Semoga doa-doamu di langit sana menyentuh takdir mereka. Semoga mereka dipertemukan dengan pasangan yang tidak hanya mencintai, tapi juga mampu bertahan, mendampingi, dan menghargai seperti kamu dulu padaku.

Karena aku tahu, cinta sejati itu langka. Tapi aku juga percaya, jika cinta seperti milik kita bisa hidup begitu lama… maka cinta seperti itu juga akan menemukan jalan untuk hadir di kehidupan anak-anak kita.

Dan dalam hatiku... yang meski tak utuh, tetap bergetar setiap kali menyebut namamu—Yohan Andreas.

Pria yang tidak hanya datang untuk mencintaiku, tetapi menetap untuk membuatku percaya bahwa cinta sejati... tidak berhenti di ujung hidup. Ia hanya berpindah tempat, menyusup dalam napas, dan tinggal di antara ruang-ruang kenangan.

Papa Yo... aku ingin mengikuti kompasmu.

Walau arah angin berubah, walau peta hidup tak lagi utuh, aku ingin percaya padamu seperti dulu. Pada langkahmu, pada caramu menatap masa depan dengan tenang meski badai datang.

Dan kini, aku hanya ingin tahu…

Jika aku berbalik…

Akankah kau masih berdiri di sana, di tempat yang dulu menjadi pelabuhan hatiku?

Atau aku hanya akan menemukan bayanganmu… samar, perlahan memudar, tertelan waktu?

Tapi aku ingin percaya, sungguh ingin percaya bahwa cinta, seperti kompas, akan selalu menunjukkan arah pulang.

Dan kamu, Yohan…

Adalah arah itu.

Rumah itu.

Langit tempat aku ingin terbang, meski kakiku gemetar di tanah yang hampa tanpamu.

---

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
KOMPAS
Retchaan
Cerpen
Tempat Les Kak April
Yadani Febi
Cerpen
Bronze
Fiksiagra
Habel Rajavani
Cerpen
Bronze
Is Krimu
Gefira Nur Fauzia
Cerpen
Bronze
Dikejar-kejar Polisi
Titin Widyawati
Cerpen
Brownies Dalu
Hary Silvia
Cerpen
Tetanggaku Alien
rintan puspita sari
Cerpen
Bronze
Paradoks Kehidupan
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Bronze
Sejuta Pertanyaan Wanita
Titin Widyawati
Cerpen
Obral Obrol Tetangga
Lovaerina
Cerpen
Bronze
Ulang Lahir
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Burung di Luar Sangkar
zain zuha
Cerpen
Seorang Bapak di Jembatan Penyeberangan
Trippleju
Cerpen
Bronze
ANTIMA
glowedy
Cerpen
Bronze
Rajo Angek Garang
Gia Oro
Rekomendasi
Cerpen
KOMPAS
Retchaan
Cerpen
Bronze
APA ITU CINTA?
Retchaan
Novel
Behind The Mask
Retchaan