Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Akhir-akhir ini perasaan tidak nyaman singgah secara bergantian. Entah itu sedih, kecewa, marah bercampur aduk menjadi satu seperti gado-gado. Tolong jangan tanya kenapa. Aku sangat tidak suka dengan bentuk pertanyaan seperti itu. Memberikan pertanyaan seperti itu kepadaku akan membuatku menjadi semakin menggila. Aku juga tidak tahu apa yang mempengaruhiku hingga aku bisa merasakan perasaan seperti ini.
Suatu malam perasaan sedih tiba-tiba datang, melupakan sopan santun. Tiba-tiba rasanya sesak. Ingin menangis. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, tidak ada hal yang membuat perasaanku menjadi sedih. Tanpa aba-aba apa pun air mataku berebut mencari jalan keluar, seolah di dalam terlalu sesak hingga membuatnya tidak betah.
Aku mematikan lampu di kamarku. Kubiarkan kegelapan menjadi teman kesedihanku. Aku menangis dalam gelap. Sungguh nikmat menangis di tengah kegelapan. Ditambah lagi, malam yang sudah semakin jatuh, menambah kesunyian mendalam.
Suasana semakin mendukung kesedihanku. Kuberikan sentuhan sedikit dengan alunan lagu bernada mellow sebagai pelengkap kesedihanku. Tersimpan harapan lain dari alunan lagu yang kuputarkan. Berharap dapat menenangkan hati dan pikiran.
Malam itu, aku tidak sendiri. Ada adikku yang juga selalu tidur bersamaku. Dia seorang perempuan, sama sepertiku. Usia kami hanya berselang dua tahun. Adikku hanya diam, menatap aneh ke arahku. Tatapannya mengisyaratkan sebuah pertanyaan yang tidak perlu dilontarkan pun sudah terbaca jelas.
Perasaan sedih itu semakin matang. Membuatku tak kuat menahan sediri terlalu lama.
“Wit, udah tidur belum?” Aku mengirimkan sebuah pesan singkat untuk sahabat karibku, Wiwit.
“Belum, nan. Ada apa malam-malam begini sms?”
“Wit, tolong aku.”
“Kamu kenapa, nan?”
“Nggak tahu, dari tadi nangis terus nggak bisa berhenti.”
“Lho, kok bisa? Sini coba cerita.”
“Nggak tahu.”
“Nan, tenangkan diri kamu. Coba tarik napas lalu buang. Coba berulang-ulang kali sampai tenang.”
“Oke.”
“Udah tenang sekarang?”
“Lebih baik.”
“Coba sekarang cerita.”
“Aku nggak tahu mau cerita apa, wit. Tiba-tiba saja perasaanku nggak enak.”
“Coba deh, nan, kamu keluar. Mungkin, besok kamu pergi jalan-jalan ke tempat yang bisa menenangkan pikiran sama hati kamu. Atau mau aku temenin?”
“Nggak perlu, wit. Makasih banyak ya, wit.”
“Iya, sama-sama.”
Aku akui, akhir-akhir ini, aku memang kurang memanjakan diri. Kebanyakan dari waktuku dihabiskan untuk bekerja mengejar deadline yang tak berujung. Atasanku secara rutin memberikan berbagai tugas tanpa memperdulikan bagaimana kondisi karyawannya. Hingga pada akhirnya hal ini berakibat buruk terhadap pikiran dan hatiku. Tanpa aku sadari pula, pikiran mulai mengekangku. Membuatku seolah sedang berlari di tempat.
Keesokannya aku pergi ke Kebun Raya dengan harapan di sana aku bisa merefresh ulang hati dan pikiran. Berjalan-jalan sendiri menelusuri pepohonan besar sangatlah menyejukkan. Hati dan pikiranku seolah melebur dengan alam. Sedikitnya jumlah pengunjung yang datang pun, menjadi pendukung suasana.
“Mbak, maaf boleh minta tolong fotokan?” ucap seorang laki-laki berkulit agak gelap dengan hidung mancung sempurna.
“Iya, boleh.”
Lelaki itu sepertinya juga datang sendiri. Tidak nampak seorang pun di sisinya. Hanya terlihat tas gendong hitam yang terlihat tak ingin lepas dari pundaknya. Sedetik pun.
Lelaki itu berfoto dengan mengandalkan berbagai gaya. Dari berdiri, duduk bersemedi, bahkan berbaring miring dengan mengandalkan sanggaan satu tangannya pun ia lakukan. Sungguh terlihat konyol gaya fotonya.
“Terima kasih, mbak.”
“Iya, sama-sama, mas.”
“Mbaknya sendirian saja?’
“Iya, memangnya ada apa, mas?”
“Nggak apa-apa, saya jarang saja melihat seorang perempuan mau jalan sendiri. Biasanya selalu beramai-ramai dengan kawannya.”
“Oh gitu ya, mas. Masnya juga saya lihat sendiri. Mas bukan orang sini, ya?”
“Lho, mbaknya tahu darimana kalau saya bukan orang sini?”
“Kelihatan dari tasnya, terlihat besar seperti orang yang habis bepergian jauh.”
“O...” Lelaki itu tertawa seraya melihat hasil jepretan sebelumnya. “Mbaknya asli sini?” lanjutnya.
“Iya, mas.”
“Wah, asyik kalau gitu bisa jadi tour guide saya.”
“Tapi, saya nggak hafal Kebun Raya, mas. Saya hanya sesekali ke sini, nggak setiap hari.”
“Nggak masalah. Mbaknya bisa jadi kompas saya supaya saya nggak nyasar.”
“Kompas?”
Laki-laki aneh.
Lelaki itu berjalan tanpa memberikan jawaban dari pertanyaanku. Anehnya, langkah kakiku mengikuti arah pergerakan lelaki itu. Kami pun akhirnya bersama-sama menjelajahi Kebun Raya. Banyak hal yang menjadi perbincangan kami. Tak terkecuali rasa penasaran kami mengenai awal mula pohon-pohon besar yang memadati area Kebun Raya.
“Mas, udah pernah lihat bunga rafflesia arnoldi?”
“Belum. Memang ada ya di sini?”
“Ada, mas. Masnya nggak tahu?”
“Nggak tahu. Saya baru pertama kali ke sini tanpa mencari tahu sebelumnya. Ya..nyasarlah istilahnya.”
“Oke, nanti akan saya tunjukkan supaya masnya nggak sia-sia datang ke sini.”
Aku dan lelaki yang belum kuketahui namanya itu berjalan beriringan menuju bunga rafflesia arnoldi tumbuh. Setibanya kami di sana, bunga itu masih kecil, belum tumbuh besar. Sepertinya belum musimnya bunga rafflesia arnoldi itu mekar.
Wajah lelaki itu menunjukkan jelas rasa kekecewaannya. Bibirnya dibuat menyudut ke bawah dengan tatapan lesunya.
“Masnya udah makan?”
“Belum, mbak.”
“Kita makan dulu yuk, mas.”
Kami pun mengunjungi salah satu rumah makan yang berada di sebrang Kebun Raya. Tempatnya ramai pengunjung. Biasanya kalau sudah ramai pengunjung, dapat dipastikan makanan di rumah makan itu terkenal enak. Kami pun tidak ragu untuk datang berkunjung, dan mencicipi hidangan di sana.
Aku memesan soto mie bogor makanan khas kota Bogor dengan segelas es jeruk untuk menyegarkan keringnya tenggorokan. Pun dengan Lelaki itu, kusarankan untuk mencoba soto mie bogor dengan segelas es teh sebagai penghilang dahaganya. Seperti rumah makan pada umumnya, minuman kami tiba lebih dulu dibandingkan makanan.
Beberapa menit kemudian pesanan kami tiba. Tidak lupa dengan satu piring nasi bertaburkan bawang goreng. Lelaki itu menatap sebentar soto mie bogor yang ada dihadapannya. Penasaran dengan rasanya, lantas ia menyeruput kuah soto mie bogor berbekal hati-hati karna masih panas.
“Wah, enak sekali!”
“Nggak salah bukan saran saya?”
Lelaki itu tidak menjawab perkataan terakhirku. Ia terlalu sibuk dibuat heran oleh kenikmatan soto mie bogor dihadapannya. Aku pun tidak ambil pusing melihat perlakuannya.
Usai menikmati soto mie bogor, lelaki itu menanyakan kembali mengenai makanan khas bogor lainnya kepadaku. Sepertinya semangkuk soto mie bogor, sepiring nasi, dan segelas es teh manis tidak cukup sebagai pengisi perutnya. Mungkin ada banyak cacing di dalam sana, sehingga santapan sebelumnya tidak cukup membuatnya kenyang.
“Bagaimana dengan asinan bogor? Mau?”
“Boleh juga, mbak.”
Kami berpindah dari rumah makan sebelumnya ke gerobak penjual asinan bogor yang sedang mangkal di pinggir jalan. Tidak banyak pembeli yang berdatangan. Namun, banyak berjejeran penjual berbagai macam makanan kaki lima.
“Mbak, ini minuman apa?” tanya lelaku itu kepadaku ketika ia melihat sebuah minuman berwarna kecoklatan.
“Oh..itu namanya bir kotjok, mas.”
“Pak, saya pesan bir kotjoknya satu, ya,” ucapnya kepada sang penjual.
Asinan bogor belum ada di tangannya, ia sudah memesan lagi. Mungkin, daya tampung perutnya besar. Sudahlah biarkan saja.
Lelaki itu menyantap asinan bogor, dan bir kotjok pesanannya bergantian. Lagi-lagi ia mengeluarkan ekspresi yang sama seperti saat mencicipi soto mie bogor sebelumnya. Aku yang duduk di depannya, hanya diam berusaha memaklumi sikap anehnya.
“Mas, sudah sore. Saya pulang duluan, mas.”
“Tunggu!”
“Ada apa lagi, mas?”
“Kalau arah stasiun kemana, ya?”
“Mari, mas, saya antar.”
Seperti ucapanku sebelumnya, aku mengantarkan lelaki itu terlebih dahulu ke Stasiun. Sepanjang jalan ia terus mengajakku berbicara. Tak henti-hentinya ia menceritakan rasa takjubnya dengan rasa soto mie bogor, asinan bogor, dan bir kotjok. Ia juga sempat bilang kepadaku bahwa ia sudah rindu dengan rasa soto mie bogor.
Sampailah kami di Stasiun Bogor, tempat terakhir yang menjadi saksi pertemuan kami sehari penuh ini.
“Mbak, terimakasih banyak sudah menjadi kompas saya selama satu hari ini.”
“Iya, mas, sama-sama. Hati-hati ya, mas. Semoga perjalanannya menyenangkan.”
Lelaki itu tersenyum. Pun denganku. Pertemuan kami ditutup tanpa perkenalan diri. lelaki itu sudah pergi, tidak menampakan lagi wujudnya, tertutup oleh kawanan penumpang kereta lain. Hati dan pikiran tak nyamanku hilang karna sehari ini. Kehadiran lelaki itu cukup membuatku terhibur dan melupakan kepenatanku.
(Tim Kurator Kwikku)