Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kisah singkat Naumi di sebuah desa Tidak ada yang mengetahui asli namanya, bahkan sepertinya dirinya tak memiliki nama. Tetapi orang-orang di sekitar menjulukinya Komisaki Naumi yang memiliki arti “tanjung kecil yang penuh kejujuran dan keindahan”. Itu semua karena sifat Naumi yang jujur dengan tulus serta dirinya yang sangat menyukai sebuah tanjung di desa tersebut. Namun Naumi hanyalah sesosok anak sebatang kara.
Naumi hidup di sebuah panti asuhan di desa yang kecil, desa di ujung danau dengan gunung yang terhampar di belakang nya, tak jauh dari sana terdapat daratan yang mengarah ke danau (tanjung) yang menghasilkan peandangan desa serta matahari terbenam yang bersatu dengan indah nya. Naumi, baginya menikmati segalanya adalah yang utama. Karena itulah tak ada yang membeci dirinya di desa tersebut, bahkan keramahan serta senyum tulus nya membuat semua orang merasa hangat berada di sisinya. Meski begitu sosoknya yang bicara di depan umum sangatlah jarang, bagi dirinya berbicara antara dua orang adalah pilihan terbaik.
Naumi, sosok baik hati yang rela berkorban demi orang lain bagai daun yang telah jatuh dari dahan pohon dengan hati yang lepas.
Pernah suatu hari, di saat senja bersinar semu seorang anak dari keluarga ternama manangis di tanjung tempat Naumi melepas penat setiap hari. Kala itu Naumi baru saja menyelesaikan pekerjaan terkahir hari itu dan langsung menuju ke tanjung tersebut untuk beristirahat. Tapi langkah nya terhenti saat melihat sesosok anak yang sedang menangis tersedu-sedu di sana. Saat anak itu menyadari kehadiran Naumi ia menunduk dan membenamkan tagisan nya lebih dalam sambil memeluk lutut. Naumi memahami keadaan tersebut dan tidak berniat merusak suasana yang terlukis di sana, tapi ia ingin mewarnainya sehingga keindahan dapat bersatu. Jadi Naumi mendekat ke arah anak tersebut lalu duduk di sisinya dengan tenang.
Tampa sepatah kata pun anak itu tak hentinya menagis—menghiasi kesunyian itu bersama hembusan angin serta rimbun dedaunan yang berirama. Tak lama kemudian Naumi mulai bersenandung memainkan irama kesukaan nya, meski senandung nya tak bisa mengalahkan suara tangis tersebut Naumi tak merasa terganggu. Ia hanya tetap menikmati pemandangan desa nya di bawah cahaya senja yang mulai berakhir dengan penuh warna, memberikan kehangatan terakhirnya hari ini untuk menyambut esok lebih baik lagi, itulah yang Naumi pikirkan.
Beberapa saat kemudian parau tangis tersebut mulai bergemakan sebuah kata “hei.. “ kalimatnya terhenti, Naumi tetap menunggu kelanjutan nya dengan sabar, karena ia yakin kalimat selanjutnya hanya butuh sedikit dorongan agar terucap.. Dan itu benar , anak itu menarik napas panjang lalu berkata
“... Apa aku memang tidak berguna?.. “ suara anak itu begitu lirih, bahkan suara angin dapat saja menghapusnya.
Naumi menimpalinya dengan menggeleng meski tak terlihat oleh nya.
“... Aku, kau tahu?, diriku ini sungguh tidak berguna. Tidak ada yang benar-benar bisa aku lakukan dan yang terjadi aku malah merusak semuanya. Aku hanya pembawa sial yang sungguh tak di butuhkan oleh siapapun, bahkan oleh papa dan mama... “ Anak itu semakin terinsak didalam diam.
“hei.. “ Naumi mulai menimpali dengan suara halus, meski ia tak mengenal anak tersebut dan anak tersebut juga tak mengenal dirinya Naumi tetap menjawab sejujurnya. Ia menarik napas panjang lalu berkata “apa kau tahu... Kenapa kehidupan itu ada?, menurutku kehidupan itu ada karena untuk kita menjalaninya bukan untuk mengakhirinya. Karena setiap orang akan selalu menjalani hari-harinya kan?, karena mereka mempunyai harapan meski kecil dan pudar. Kau tahu... bagiku pagi adalah awal hari untuk memulai sesuatu, siang hari untuk beraktivitas dengan perasaan senang, dan sore hingga malam adalah waktu untuk menghilangkan penat yang kita rasakan hari itu—“
“aku tahu.. Tapi, “ anak itu menggeram kuat “kenapa aku tak bisa menjalankan hari-hari dengan baik?, kenapa aku malah membawa kesulitan kepada orang di sekitarku?, apa aku tak bisa bahagia? , apa aku adalah beban bagi semuanya?“ hentaknya getir
Setelah itu terjadi jeda yang cukup lama, tetapi Naumi mulai melanjutkan nya. Ia menggelengkan kepalanya lagi sambil berkata “kau salah mengartikan nya..., bahagia yang kau inginkan adalah kesenangan dengan penuh keberhasilan bukan?. Tapi menurutku kebahagiaan sebenarnya adalah saat kita menerima bukan saat kita menginginkan... Karena pada hakikatnya kita tidak bisa bahagia sebelum menerima kenyataan bukan?, karena itu, kata bahagia tak akan menjadi beban saat menerima sesuatu dengan tulus. mudah ataupun susah.” Suara Naumi yang perlahan demi perlahan melembut memecah tangis si anak sekali lagi.
“kau tahu? “Naumi sekali lagi bertanya kepada anak tersebut “Dalam perjalanan hidup itu tidak ada yang tidak berguna..., aku sangat yakin akan hal itu! “
“kenapa? “anak itu bertanya dengan ragu. kini ia mengangkat kepalanya dan memandang Naumi.
“kenapa kau bisa seyakin itu? “ ucap anak itu sekali lagi.
“kenapa?, itu karena semua jawaban nya sudah ada di langit ini. “
Naumi mengadah ke langit, matanya yang yampak tenang berbinar memantulkan gambaran langit, ia ingin menunjukan bahwa dirinya benar-benar menikmati keindahan ini. Anak itupun heran sehingga mengikutinya menatap langit. Langit itu telah dihiasi oleh malam yang hanya menyisakan garis garis oranye menandakan jejak senja yang berakhir. Ribuan bintang berkelap – kelip bagai permata menggantikan matahari yang benderang.
Perlahan angin malam berhembus pelan membawa penatnya hari ini, memainkan anak rambut merka berdua sembari menari bersama lipatan baju yang terhempas
“lihatlah!, “ Naumi mngarahkan ujung jarinya pada langit “menurutmu apa langit ini indah karena bintang yang bersinar indah? “
“ya..! “ timpal nya ragu
“tapi kau tahu bukan, bahwa bintang ini tak sendirian. Tetapi ia bersama ribuan bahkan jutaan bintang yang lain, mereka saling bersinar di langit yang sama. Tapi bagaimana jika bintang itu hanya sendiri? “
“tak terlihat? “ anak itu menjawab seolah bertanya.
Naumi tertawa kecil memainkan suasana, lalu menimpalinya “mungkin kau benar, tapi tidak!. Karena bintang itu akan tetap bersinar meski hanya seorang, hanya saja sinar nya akan begitu redup seakan tak terlihat.”
Naumi tersenyum halus kepada anak tersebut “ternyata itu persis seperti hidup kita. Ya... Bukan hanya dirimu tetapi juga aku.., kenapa aku bilang seperti itu?. Itu karena kau menyebut dirimu sendiri tak berguna.. Tapi lihatlah bintang itu! “ kini Naumi menunjuk bintang kecil di ujung bayang awan yang tidak akan terlihat jika tidak di perhatikan. “bukan kah bintang seperti itu tidak berguna menurutmu? Samakah ia sepertimu?. Tapi kau salah... Bukankah kau setuju kalau langit ini indah?, lalu apakah langit itu indah karena satu bintang yang bersinar? Tidak bukan?, karena sejatinya langit itu indah karena ribuan bintang yang bersinar..., mereka saling melengkapi dan memperindah langit ini dengan cahaya yang memukau.“
Naumi menarik napas panjangnya sebelum melanjutkan kembali. “sehingga pada nyatanya bintang kecil itu ikut mengisi keindahan langit ini kan... Karena jika langit kehilangan satu-persatu bintang sepertinya. Kata indah yang kita ucapkan dapat lenyap seketika... Jadi... Kau bukan nya tidak berguna.. Hanya saja kau belum menemukan apa artinya berguna bagi dirimu sendiri. Karena itu, jika kau hanya sebuah bintang redup di antara luas nya langit ini... Kau tetaplah berguna! “
Naumi mengakhirinya dengan senyuman, senyuman tipis bagai garis senja yang telah berakhir. Naumi tahu anak itu terus meluapkan tangis, tapi kali ini ia tangisan anak itu membawa rasa lega tampa penyesalan yang menghantuinya lagi.. Karena hanya air mata yang mengalir tampa suara yang terukir.
“mari pulang ke desa, akan bahaya jika jalanan telah tertutup oleh gelap. “Naumi bangkit dan mengulurkan tangannya pada anak itu, mereka berdua-pun mulai berjalan menyusuri jalan yang mulai gelap, anak tersebut kembali kepada keluarganya dengan wajah bahagia yang baru tampa menyinggung keberadaan Naumi yang sejak tadi bersamanya. Sedangkan arah pulang Naumi terus berlanjut hingga panti asuhan miskin di ujung desa tersebut.
Sebuah panti asuhan tua yang mengurus puluhan anak dengan hidup mereka yang sangat pas-pasan dan penuh perjuangan. Meski disana Naumi sama seperti anak-anak yang lainnya tapi keberadaannya disukai oleh mereka. Karena bagi anak-anak disana dirinya adalah tempat bercerita, bermain ria, tertawa bersama, serta sosok yang dapat di andalkan. Sehingga semuanya pun saling menghargai, peduli, dan tahu apa yang sangat di sukai Naumi, yaitu sebuah tanjung di danau yang selalu di kunjunginya setiap senja tiba dan kue kering buatannya sendiri.
sesaat setelah Naumi memasuki panti asuhan sambutan dari anak-anak mengisi seisi ruangan, rasa penat hari itu siap dipulihkan dengan semangkuk sup makan malam. Obrolan menyenangkan serta pernaiman dan tawa bersama menutup hari itu dengan bahasia. 'kuharap hari ini adalah setiap hari yang ada" itulah doa Naumi yang tak pernah ia lupakan.
***
Meski kisah nya terus berlanjut, tapi sayang perjalanan dari hari-hari itu berakhir cepat. Tampa seorangpun tahu dan tampa seorangpun peduli. Perjalanan nya terhenti di tengah kehidupan sebuah keluarga kecil di desa tersebut. Dengan senyum tulus miliknya Naumi bahkan tak dapat mengucapkan “aku pergi” pada desa nya.
Kala itu...
Masa paceklik menimpa desa tersebut, alhasil pertanian maupun perkebunan sekitar tidak dapat di andalkan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, hanya danau di desa itu yang menjadi pokok pencaharian sepanjang tahun. Meski awalnya penduduk desa tetap tenang sebab musim sepeti ini sudah wajr akan muncul, tapi tak bertahan lama kemudian, pak kepala desa mengumumkan pajak desa akan di tingkatkan oleh pemerintah dua kali lipat sehingga kecemasanpun menyebar di setiap keluarga di desa tersebut. Bahkan panti asuhan akan terkena dampak dari peningkatan pajak karena penghasilan mereka yang hanya di dapat dari jualan bahan pokok kini merintis karena pertanian tak dapat diandalkan pada tahun itu.
Saat waktu pemberian pajak tiba, Naumi bertugas memberikan bagian pajak panti asuhan kepada petugas yang datang ke desa. Dengan patuh Naumi berjalan membawa kotak berisi beberapa gandum dan beras serta beberapa uang. Naumi yang berjalan memancing sorot pandang warga, jika membandingkan kotak tersebut dengan dirinya maka akan tampak kotak tersebut lebih besar dibandingkan tubuh kecilnya, hanya saja Naumi sudah terbiasa akan hal tersebut sehingga ia akan terus berjalan sampai tiba di tempat penyerahan pajak kepada petugas barulah Naumi dapat beristirahat sebentar.
Setelah merasa penat telah hilang Naumi bergegas kembali untuk mengerjakan tugas lainnya hari itu. Tapi, langkahnya terhenti ditengah perjalanan. Ia mendapati seorang pria dari keluarga kecil desa itu memohon-mohon kepada petugas pajak akan sesuatu. Meski begitu Naumi tahu apa yang terjadi, karena tahun sebelumnyapun hal yang sama terjadi. Akan tetapi tahun ini Naumi tak dapat beranjak dari tempatnya berdiri,langkah nya begitu berat untuk pergi, rasanya hati kecil miliknya meminta berhenti sejenak untuk menunggu kelanjutannya. Naumi melihat sekeliling dan ia menyadari tak ada penduduk desa di sekitar sini, mungkin mereka tak ingin terkena resiko lebih lanjut. tapi kesunyian ini cukup mencekam meski di tengah teriknya matahari.
Keringat mulai mengalir perlahan dari dagu Naumi. Sejak tadi ia terus menatap penasaran kearah pria yang memohon tersebut, pandangan nya tak teralihkan dan pendengarannya terus merekam keadaan. Peluh orang tersebut mengalirderas disertai desakan permohonan yang tak henti hentinya ditujukan kepada petugas tersebut, meski pada akhirnya ia terus di tolak dan di abaikan. Tak lama kemudian pria itu kembali mendesak si petugas. “kumohon.“ ucap pria tersebut sungguh-sungguh sembari membenamkan wajahnya ke tanah, Naumi tentu terkejut dengan sikap pria tersebut namun, ia tetap memilih mendengarkan kata selanjutnya.
“kami benar-benar tidak memiliki harta lagi. Sawah kami tidak menumbuhkan sebutirpun pangan, kami tidak memiliki perahu untuk menagkap ikan bahkan rumah kami ini adalah satu satunya tempat berlindung dari malam dan hujan.. “ tuturnya getir berharap belas kasih.
Tapi sayangnya petugas itu telah kehilangan sabar dan simpati nya. Kini tatapan nya tajam dan sinis “apa kalian memiliki anak? “ tanyanya bernada dingin.
Pria tersebut terbungkam rapat, hanya tangis sang istri yang mulai terdengar pecah..
“JANGAN DIAM SAJA! “ bentak petugas tersebut lalu mengangkat paksa kepala si pria hingga wajah mereka saling bertatap, perlahan sang petugas kembali menyahut seakan mengasihani “berikan saja anakmy itu padaku, maka selesai urusan kita... Bahkan hutang pajak mu selama 5 tahun terakhir dan 1 tahun kedepan akan lunas—”
“tidak... Jangan anak kita suamiku..“ sang istri menyela, merengek pada pria tersebut, tapi tak ada balasan yang melengkapi pertanyaannya. Tatapan pria itu kosong penuh putus asa di ambang kesulian yang menerpanya, kini di pikiran nya hanya cara tersebutlah satu-satunya jalan keluar yang paling realistis.
rasa resah tak dapat tertampung lagi, hati Naumi terasa pilu, dirinya yang terdiam kini mulai gemetar. Ia takut kalau si pria tersebut benar-benar menjual anak mereka kepada sang petugas. Rasa gundah di hati Naumi mulai menyebar meski dari luar ia tampak tenang seperti biasa, tapi perlahan isi hatinya mengisyaratkan untuk pergi. Naumi mulai berjalan mundur mengarah pada pohon di sekitar untuk bersembunyi sebelum tertangkap bahwa ia menguping. Tiba-tiba saat dirinya mencapai sisi belakan pohon ia dikejutkan oleh seorang anak kecil yang sedang menangis di sana, wajah anak itu merona marah dan tangis di matanya terus mengalir tumpah. Namun Naumi tidak ingin mempertanyakan apa yang dikhawatirkan anak tersebut, jadi ia mendekatinya berharap dapat menenangkan tangis itu, tapi baru satu langkah untuk mendekat—tubuh Naumi yang begitu ringan terpental jauh hingga terhempas ke tanah. Saat berusaha bangun ia menyadari anak tersebut telah lari menjauh setelah mendorongnya keluar..
“ITU DIA! “ teriakan tersebut mengejutkan Naumi membuatnya terhentak,
Pria tersebut memandang sinis ke arah Naumi “itu anakku... Ambil saja lalu pergilah! Jangan sakiti istriku! “ teriakan berlanjut histeris, nampak nya yang menjadi penyebab adalah sang istri yang mulai di sakiti agar anak mereka cepat diserahkan.
kata-kata sang pria bergema horor di kepala Naumi, bagaimana mungkin ia dapat di tuduh sebagai anak mereka, Hati Naumi benar benar perih mendapatkan tuduhan tersebut, mengingat sang anak akan dijual kepada petugas tadi.
Kabur?
Kata itulah yang seketika terbenak dalam pikiran Naumi, begitu ia menggerakan kaki niatnya kembali di urungkan. Karena dalam diam dan tenagpun petugas itu hanya perlu beberapa langkah agar menjangkau tubuh nya. Dan benar saja, kini petugas tersebut tepat dihadapan Naumi. Tatapan dinginnya tak berubah sedikitpun.
Tampa belas kasih ia berkata “ayah ibumu itu sangat merepotkan tahu, kau jangan malah mepersulit lagi!! “
Tangan Naumi ditarik ke atas hingga tubuhnya benar-benar terangkat. Rasa sakitnya mejalar ke seluruh tubuh Naumi “wah.. Kau kurus sekali.. Menyedihkan” tambah petugas itu.
“turunkan aku.. “ dengan suara lirih Naumi menyahut tak bertenaga “aku bisa berdiri sendiri..“
“oh? Baguslah kau sudah mengerti.“ sahut petugas tersebut mengiyakan permintaan tersebut. Setelah cengkaraman tangannya dilepas tubuh kehilangan keseimbangan. Dengan langkah yang sempoyongan Naumi mendekati pria tersebut untuk memberitahu kebenarannya...
“anakmu itu—“
Plak!
Sebelun kalimat Naumi selesai, sebuah batu sudah lebih dulu melayang kearahnya. Alhasil batu tersebut membentur kepala Naumi. Meski ras sakit yang luar biasa mengahantamnaya, tubuh Naumi tetap tegap berdiri dengan aliran darah merah pekat yang maulai berjatuhan.
“pergi sana!, jangan pernah bicara padaku lagi..! Kau hanyalah anak pembawa kesialan di keluarga ini! “
pria itu menggeram keras, wajahnya memerah seperti akan meledak, matanya mentap penuh intimidasi kepada Naumi. Seakan dapat dikatakan bahwa dunia sedang mencekam, tapi tidak bagi Naumi, Naumi bergeming pasrah dan tidak membalasnya.. Ia hanya tersenyum tenang dengan tulus, tak lama kemudian tubuh nya terkapar ke tanah sebab darah yang mengalir di kepala tak sebanding dengan dirinya yang tak berenergi..
Tampa perpisahan dan pertemuan kembali...
Sang Tanjung Kecil meninggalkan desa tersebut sebagai bayaran untuk menggantikan anak keluarga tersebut. Meski kejujuran yang dikatakan nya, tak akan ada yang mendengarkan. Bagaimanapun dirinya seakan menghilang tak di ketahui oleh penduduk desa, bagai benih yang menjauh dari pohonnya, dibawa oleh burung yang lapar.
🎶Sayap burung yang patah bukanlah musibah—
Kata kata indah tak hanya pepatah—
Kesabaran adalah kejujuran yang indah— 🎶
Denyut perih luka terus menekan kepala Naumi. Tampa sadar ia memimpikan lirik lagu yang pernah ia dengar saat kecil. Tubuhnya kaku dan berat, saat ia mulai bergerak ternyata sebuah rantai panjang membebani tubuhnya, rantai tersebut meliliti pergelangan tangan nya begitu juga lehernya. Naumi merasa tubuhnya begitu lemas jadi sebisa mungkin ia hanya mengambil sikap duduk dengan tenang.
“selamat malam nona kecil. Ternyata kau sudah terbangun” suara itu muncul bagai angin tak terduga, saat Naumi memandangnya sosok petugas tersebut mucul dari balik tirai hitam di depan nya. Meski pandangan nya sedikit pusing ia dapat meraba-raba sekitar dan meraba kepalanya yang penuh dengan perban. Setelah kebingungan mereda Naumi mulai paham bahwa dirinya sedang ada di kereta kuda yang beralas kayu dan setiap dindingnya diselimuti kain hitam, dan kini kereta kuda tersebut sedang berhenti untuk bermalam.
“aku tak akan berurusan denganmu lagi, karena kau akan segera ku kirim ke pasar begitu fajar menyising. Tapi aku ingin bertanay Satu hal padamu!.. Apa kau tidak membenci mereka?” Sekilas Naumi dibingungkan oleh pertanyaan yang tiba-tiba, tapi ia mulai paham apa yang di maksud petugas tersebut, jadi Naumi menggelengkan kepala sebagai jawaban singkatnya lalu menjelaskan maksudnya
“kau tahu! “ kalimat pembuka yang selalu dipakainya terucap pelan “orang dewasa itu... Hanya terlalu banyak berfikir... Aku— tak ingin menyalahkan mereka” tuturnya lembut lalu menjatuhkan pandangan serta tubuhnya ke lantai kayu agar rantai yang mengelilingi tak lagi membebani.
“anak aneh! “ cetus petugas tersebut lagu segrah pergi.
“Tapi!, “Naumi menahannya untuk satu kalimat lagi “dunia itu indah.“
Petugas itu tidak merisaukan kalimat tersebut dan langsung pergi meninggalkan tirai yang terbuka.
Didalam malam yang gelap, cahaya rembulan menyisip diantara tirai mebias tubuh Naumi yang terbaring diselimuti dingin nya suhu dan kejamnya rasa... Tapi ia selalu mengingat— bahwa matahari akan terus menyambut pagi, malam akan selalu membawa kilauan bintang. Sehingga sebuah harapan bukanlah mimpi belaka di dunia ini.. Melainkan nyata yang ada.
Malam yang sunyi...
Berakhir menjadi saksi bisu...
Menyelimuti tampa akhir...
hingga waktu terus berlalu....