Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Entah makian ke berapa yang kudengar dari mulut orang tuaku yang ditujukan kepadaku. Permohonan untuk berhenti pun tak didengar. Aku hanya bisa memucat dan menahan sakit atas perkataan mereka. Aku membeku, menggenggam nyeri yang tak kasat mata, sementara hujan makian terus mengguyur tanpa jeda. Setiap kata mereka adalah peluru; setiap kalimat, ledakan yang mengguncang jiwaku. Aku, seperti bangkai yang mereka rawat hanya untuk dibuang kembali ke jalan. Setiap hari adalah siklus yang sama. Rumah, yang seharusnya menjadi pelukan hangat setelah kerasnya dunia luar, kini menjelma menjadi medan perang. Mereka yang dulu kutemui sebagai pelabuhan kini menjelma sebagai badai; tangan-tangan yang dulu menyuapi kini justru menenggelamkanku dalam luka.
“Anak sialan! Tak tahu terima kasih! Bukannya bangga, malah merepotkan!”
“Gila! besok ibu bawa kamu ke rumah sakit jiwa!”
Kugigit kuat gumpalan tisu di mulut, membungkam jeritan frustrasi yang menggelegak. “Jadi apa aku nanti?” Pertanyaan itu kembali menghantuiku, menggantung tanpa jawaban di langit-langit kamar. Padahal, setiap tetes keringatku selama ini kuharap menjadi permata di mata mereka, namun yang kulihat hanyalah tatapan jijik. Di mata mereka, aku hanyalah onggokan sia-sia yang pernah mereka pungut, kini mereka sesali kehadirannya.
“Heh! Anak sialan, bukannya bersih-bersih malah ngelamun. Tau diri kalau cuma numpang!” teriak Ibu dengan nada ketusnya.
Ibu macam apa yang menanam duri dalam dada anaknya sendiri? Menyebutnya “Ibu” terasa seperti melafalkan kutuk—lidahku terbakar setiap mencoba. Ia selalu menyuapiku dengan luka yang dibungkus tawa, menyajikan kepedihan dalam piring yang pernah kusebut rumah.
Aku telah jemu dengan konser racun yang setiap hari dimainkan oleh dua sosok yang seharusnya menjadi nadaku. Telingaku, mungkin sudah menjadi batu—tak lagi terkejut oleh hujan kata-kata busuk yang terus menggulung dalam ruang kepalaku, bahkan saat aku tidur. Sementara anak-anak lain berlindung dalam peluk hangat rumah impian mereka, aku justru duduk termenung, menatap dinding yang kosong, mencoba meramal kapan mimpi itu bisa kupinjam barang sebentar.
Rasanya aku telah menjadi bisu dan tuli sekaligus, aku memasang benteng rapat pada siapa pun yang mengetuk pintu jiwaku, menolak cahaya yang mencoba masuk.
“Lihat! Serpihan sial dari kesalahan dunia,” sembur Ayah sembari memegang kepalaku lalu membenturkannya ke cermin dinding seberang, suaranya dingin seperti besi yang menghantam malam. Aku tertawa pelan, nyaris tak terdengar. Selalu saja begitu, setiap kali aku mencoba bersuara seluruh nafasku dicegat. Segala gerakku, serupa bayang-bayang yang selalu disalahkan oleh cahaya. “Kenapa?” tanyaku lirih, suaraku lebih rapuh dari dedaunan musim gugur. “Kenapa selalu begini?” bisikku, nyaris larut dalam angin yang lewat. Ayah menatapku sejenak, matanya seperti langit yang enggan memuntahkan hujan. Lalu suaranya jatuh, dingin dan tajam, “Karena kamu kutukan yang tak pernah diminta semesta.”
***
Usiaku delapan belas tahun. Kata orang, inilah saatnya hidup mulai bersuara, menggeliat, menuntut haknya sendiri. Tapi bagiku, usia delapan belas hanyalah angka yang menandai lamanya aku menjadi bayangan yang tak pernah diinginkan siapa pun.
Di meja makan, kami duduk seperti patung yang diatur dalam museum kedinginan. Piring-piring kosong menatap kami lebih dalam daripada mata satu sama lain. Hanya sendok dan garpu yang berani berbicara—beradu, berisik, lalu diam.
“Kenapa kamu diam saja?” suara Ayah mengiris seperti kaca yang retak. Aku menelan ludah, mencoba mengumpulkan suara yang tersesat entah di mana. “Tidak ada yang perlu dikatakan,” jawabku pelan.
Ayah mendengus pelan, tapi nadanya mengandung gelegar petir yang disimpan. “Tentu saja tidak. Kau memang tak pernah punya sesuatu untuk dikatakan. Bahkan suaramu pun kalah oleh bayangan kakakmu.”
Kakakku. Namanya selalu hadir sebagai mantra yang menggugat keberadaanku. Setiap kata tentangnya seperti peluru, melesat dalam pujian yang sekaligus menjadi cambuk. “Lihat kakakmu! Kerja di luar negeri, bisa beli rumah orang tuanya, nggak pernah ngelawan.” Kalimat itu telah menjadi litani di rumah ini. Diputar seperti rekaman usang, tapi entah mengapa masih selalu menoreh luka yang sama dalam rongga dadaku.
Aku, kontras dari sosoknya yang bagai matahari. Aku kabut. Aku diam yang tak dirindukan. Di ruang tamu rumah ini, potret kakakku tergantung megah seperti lukisan pahlawan. Sedangkan aku, bahkan cermin pun menolak menyimpan bayanganku lebih lama dari satu kedipan.
“Kenapa kamu nggak bisa kayak dia?” Ibu sering berkata sambil membersihkan meja, seolah menyapu dosa dari keberadaanku bersama debu yang menempel. Aku ingin menjawab, ingin menjelaskan bahwa aku pun pernah mencoba. Tapi bagaimana menjelaskan rasa lapar pada mereka yang telah kenyang? Bagaimana menceritakan tentang luka kepada mereka yang memakai sarung tangan setiap kali menyentuh hidup?
Aku menyentuh pergelangan tanganku yang tersembunyi di balik lengan panjang sweater—terasa sedikit nyeri. Bekas ukiran malam-malam gelap yang pernah kunamai “teman”. Hanya garis-garis kecil, seperti goresan pada kayu lapuk, tapi bagiku mereka adalah kalimat-kalimat yang tak pernah bisa kuucapkan lantang. Diam-diam aku menulis ceritaku di kulitku sendiri. Bukan untuk dibaca orang, hanya agar aku tahu: aku pernah merasa.
***
Malam itu, aku duduk sendirian di kamar yang lebih mirip ruang tahanan. Dindingnya dingin, ranjangnya serupa peti. Lampu remang-remang menggantung seperti satu-satunya bintang yang tersesat. Aku membuka laptop tua warisan kakakku—satu-satunya warisan yang kurasa benar-benar bisa kugenggam.
Kuletakkan jari di atas keyboard, mencoba menulis. Bukan surat, bukan puisi, hanya sesuatu untuk membuktikan bahwa pikiranku belum mati sepenuhnya. Tapi huruf-huruf tak kunjung lahir. Tanganku kaku, jiwaku beku. Setiap kata terasa seperti mendayung perahu di danau yang membeku.
“Anak orang itu udah bawa mobil sendiri waktu seumuran kamu,” kata Ibu tadi pagi, saat aku menumpahkan secangkir teh. Tatapannya menusuk, bukan karena marah, tapi karena kecewa yang ditumpuk terlalu lama. Aku bukan hanya gagal, aku adalah perbandingan yang tak pernah bisa menang. Di dalam kepalaku, suara mereka memantul seperti gema dari gua tak berdasar. “Kamu nggak bisa apa-apa.” “Pakai otakmu itu dong.” “Bodoh.” “Numpang hidup.” Kalimat-kalimat itu bergulir seperti roda gerobak tua, menggilas sisa-sisa harga diriku yang tinggal remah.
Aku pernah bertanya kepada Tuhan—kalau Dia ada—kenapa menciptakan aku dalam versi ini? Kenapa tidak membuatku seperti kakakku? Atau paling tidak, menghapus rasa ini, rasa ingin dicintai yang selalu berakhir menjadi luka karena terlalu sering ditolak.
Pernah suatu malam, aku berdoa dengan suara bergetar. Bukan minta bahagia, hanya minta dibiarkan mati tanpa rasa sakit. Tapi pagi tetap datang. Matahari tetap memaksa masuk lewat celah jendela, mengingatkanku bahwa kutukan ini belum selesai.
Sejak kecil, aku belajar membaca raut wajah lebih dari huruf. Aku tahu kapan Ayah akan marah hanya dari gesekan napasnya. Aku tahu kapan Ibu akan menghina hanya dari tatapan mata yang mengeras seperti batu karang. Tak ada satu pun prestasi yang bisa membuat mereka bangga. Nilai tinggi? Dibilang menyuap guru. Dapat beasiswa? Katanya hanya keberuntungan sesaat.
Aku mulai takut menatap cermin. Di sana, aku melihat wajah seseorang yang tak diinginkan siapa pun. Aku mulai menghindari makan bersama. Aku menolak bertemu teman. Aku mengurung diri, bukan karena malas, tapi karena di dalam kamar, setidaknya aku tak perlu menahan napas setiap detik.
Sampai suatu malam, aku menulis:
Jika aku menghilang, apakah mereka akan menyadari bahwa bangku makan kosong?
Ataukah mereka akan lega karena tak perlu menatap wajah yang mereka benci setiap pagi?
Kertas itu kutempel di dinding. Tidak untuk mereka baca, tapi sebagai pengingat bahwa aku pernah jujur pada rasa sakitku.
Lalu datang malam yang tak lagi bisa kutahan. Saat napas terasa seperti serpih kaca di dalam dada, saat pikiranku seperti lorong panjang tanpa cahaya. Aku duduk di lantai kamar mandi, gemetar, menatap air mengalir dari keran.
Aku ingin hilang. Benar-benar hilang. Aku ingin berhenti merasa. Berhenti menjadi beban. Tapi bahkan dalam keputusasaan pun, ada suara kecil entah milik siapa yang berbisik, “Tunggu sebentar lagi.”
Dan aku menunggu.
Sampai fajar datang dengan enggan.
Sampai aku bisa berdiri walau lututku gemetar.
Keesokan harinya, Ayah kembali berteriak. Tapi kali ini aku tidak menjawab. Ibu kembali menghina. Tapi aku tidak menangis. Aku hanya diam, tapi bukan lagi diam yang menyerah—diam yang bersiap pergi.
Kuhitung detik demi detik sebelum aku pergi dari rumah itu. Aku tak membawa banyak. Hanya baju secukupnya, catatan harian, dan foto kecil diriku saat masih bayi, satu-satunya waktu di mana aku mungkin pernah dicintai.
Sebelum keluar, aku menulis satu kalimat di cermin kamar dengan spidol:
“Jika kalian merasa lega karena aku tak ada, maka kepergianku adalah hadiah pertama dan terakhir yang bisa kuberikan.”
Setelah menulis kalimat terakhir di cermin itu, aku berjalan keluar rumah. Tidak dengan air mata, tidak juga dengan amarah. Hanya sunyi yang menuntunku pergi. Aku tidak tahu ke mana akan melangkah, yang kutahu: aku tidak akan kembali. Langkah-langkahku membawaku menuju terminal, ke kota yang bahkan belum kupilih. Tak ada peta, tak ada rencana. Aku hanya ingin jauh. Aku hanya ingin bukan di sana. Aku naik kereta pertama, membiarkan roda-roda itu membawa tubuhku jauh dari kenangan. Entah ke kota, entah ke desa. Di dalam kereta, aku memejamkan mata, dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku tidak bermimpi buruk. Hanya gelap yang lembut.
Tiga tahun berlalu
Aku mendengar kabar bahwa ada seseorang mengetuk pintu rumah orang tuaku. Saat dibuka, mereka menemukan kotak besar tanpa nama, tanpa pengirim. Ayah mengernyit, Ibu memelototi benda itu seolah benda itu mengganggu pagi mereka. Tapi mereka membukanya juga. Isinya: ratusan lembar surat. Tiap surat ditulis dengan tinta hitam rapi di atas kertas berkop rumah sakit jiwa. Semuanya bertanda tangan—namaku.
Di surat-surat itu aku menulis ulang setiap kejadian di rumah. Setiap kata makian. Setiap kalimat hinaan. Tapi kali ini, semua kubalas dengan satu hal: tawa. Surat-surat itu bukan penuh dendam, melainkan berisi catatan yang diputarbalik—kisah yang sama, tapi ditulis seolah aku bahagia karena mereka menyiksaku.
“Hari ini Ayah membenturkan kepalaku ke cermin lagi. Aku senang, karena akhirnya aku bisa melihat serpih wajahku di banyak sudut ruangan!”
Atau:
“Ibu memanggilku anak sialan. Kupikir itu panggilan sayang versi rumah ini. Aku akan merindukannya kalau suatu hari Ibu mati.”
Ibu membaca sepuluh surat pertama. Wajahnya memucat. Ayah membakar sebagian isinya, tapi surat-surat itu sudah telanjur tertanam di kepala mereka. Dua bulan kemudian, rumah itu kosong. Ayah kabur. Ibu dirawat di rumah sakit jiwa yang sama dengan nama yang tercantum di surat. Ironi yang manis.
***
Sementara itu, di kota lain, aku duduk di kursi bar kecil, membacakan potongan surat-surat itu sebagai bagian dari pertunjukan puisi keliling. Orang-orang tertawa, menangis, bertepuk tangan. Mereka menyangka itu hanya karya seni.
Mereka tak tahu, bahwa semua itu nyata. Bahwa aku yang mereka sebut jenius satire hanyalah anak yang pernah menulis surat kematian, tapi memilih hidup hanya untuk membalas dengan seni.
Kadang, kemenangan bukan soal membalas, tapi soal tidak mengulang luka yang sama.
Dan aku?
Aku masih hidup.
Bukan sempurna. Tapi cukup untuk tidak ingin mati hari ini.