Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku sama sekali tidak menyangkal kalau diriku adalah seorang anti sosial atau semacamnya. Karena memang demikianlah aku. Entah kenapa dengan diriku ini, yang pasti aku sulit untuk langsung sok asyik dengan orang-orang di sekitarku. Mungkin mereka pikir aku aneh, tapi ya sudahlah, setidaknya hidupku bisa kujalani dengan tenang tanpa kecemasan.
Hingga pagi ini seorang polisi mendatangi rumahku. Wajahnya seram dengan badan besar. Mengingatkanku dengan beruang hutan di film laga yang biasa kutonton setiap malam hari. Dengan gugup aku mempersilakan polisi itu masuk. Wajahnya tegas tampak uratnya yang mengeras memandangi sekeliling rumahku. Lalu, pandangannya kembali padaku. Menyorot dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Aku berjengat sedikit yang membuat polisi itu mencondongkan tubuhnya ke arahku. Gawat, sepertinya aku melakukan kesalahan, batinku. Jujur saat itu sudah berbulan-bulan aku tidak bertemu dengan manusia lain. Maksudku sampai bertemu secara langsung. Karena selama ini aku selalu mengurung diriku di rumah sewaan di Kampung Asri. Jauh dari kerabat dan sanak saudara.
Tapi aku segera mengelus dada lega, setelah polisi itu kembali berdiri tegap dan menuju kursi ruang tamu. “Jadi, kau Revitoria?” tanyanya dengan suara berat. Aku mengangguk. Aku cukup panik karena baru kali ini didatangi seorang polisi. Tapi, dengan kehadirannya pastinya ada sesuatu yang tidak beres di tempat tinggalku saat ini. Dan parahnya, sepertinya akulah yang paling mencurigakan di antara penghuni lainnya di daerah sini. Tentu saja karena gaya hidupku yang sukar berbaur ini.
“Ada apa, ya, Pak?” kataku setelah cukup tenang. Mengambil sirup dingin di kulkas dan beberapa kue kering, tapi urung untuk kue keringnya karena sudah menjamur di beberapa titik.
“Ah, maaf sebelumnya mengganggu kegiatanmu. Saya Inspektur Tanahore, ada seorang warga yang melaporkan anak kecil yang hilang di sekitar sini. Jadi, aku hanya ingin bertanya padamu, siapa tahu kau tahu tentang dia.”
Ah, aku menggut-manggut mengingat beberapa hari sebelumnya, seorang ibu-ibu tua menggedor-gedor pintu pagar rumahnya. Tapi aku tak membukakannya karena takut, orang itu terlihat sangat marah padaku.
“Apa kau pernah melihat dia?” tanya inspektur itu lagi, mengeluarkan selembar foto yang menampilkan anak kecil dengan senyum lebar. Giginya yang baru tumbuh tampak paling menonjol di sana.
Aku menggeleng pelan sambil masih memandang foto itu.
Si Inspektur menarik napas panjang. Wajahnya tampak lelah, saat itulah tanpa sadar mulutku bertanya, “Sejak kapan anak itu hilang?”
“Tiga hari yang lalu. Dia dikabarkan menghilang setelah bermain petak umpet dengan teman-temannya di sekitar rumahmu. Oh iya, jika tidak keberatan bolehkah aku memeriksa rumahmu?”
Aku mengangguk, dan polisi itu mengajak beberapa petugas lainnya yang dari tadi menunggu di luar untuk mengecek rumahku.
Sambil menggeledah, sang Inspektur
beberapa kali melontarkan pertanyaan yang tentu saja aku hanya menggeleng tidak tahu. Jujur, aku sendiri tidak paham. Tapi tiba-tiba, aku teringat kalau di belakang rumahku ada rumah besar dengan kolam ikan di sebelah rumahnya. Saat itulah lagi-lagi aku menyeletuk, “Bagaimana dengan rumah besar di belakang?”
Inspektur yang sibuk menggeledah gudangku langsung melongokkan kepalanya dari lubang pintu. “Kami sudah memeriksanya, pemiliknya sedang ke luar negeri dan kami sudah meminta penjaga rumah itu untuk memeriksa, dan ya hasilnya nihil. Tapi soal kolam itu?”
Inspektur itu sedikit ragu dengan ingatannya, lalu bertanya dengan rekan-rekan yang bersamanya. Mereka sama-sama menggeleng, tidak ada yang memeriksa kolam itu. Jadilah, setelah mereka puas memeriksa seisi rumah yang pastinya tidak ada apa-apa, mereka pamit dan memutuskan kembali ke rumah besar di belakang rumahku untuk mengecek kolam ikan yang kumaksud.
***
Kupikir masalah itu berlalu begitu saja, tapi berita mengejutkan lainnya datang dua hari kemudian. Lagi-lagi pintu rumahku diketuk oleh seorang inspektur kepolisian. Tapi, wajah itu asing. Mereka orang yang berbeda. Kali ini badannya kurus, yang sama mungkin tatapannya yang nampak kaku dan tajam.
“Apa benar dengan Bapak Revitoria?”
Aku mengangguk, mempersilakannya duduk.
“Ada apa ya, Pak?”
“Maaf sebelumnya mengganggu, perkenalkan saya Inspektur Rajaraja. Saya hanya ingin memastikan keberadaan Inspektur Tanahore. Dua hari yang lalu, beliau mendapat tugas untuk menyelidiki hilangnya seorang anak bersama dua petugas lainnya. Menurut kesaksian warga setempat, beliau menghilang tepat setelah menyelidiki rumah Anda.”
Aku berjingkat dari tempatku, hampir menjatuhkan sirup jeruk yang baru ku keluarkan dari lemari es. “Yang benar saja? Saya yakin, kok mereka sudah keluar dari rumah ini setelah memeriksa rumah saya.”
“Tenang, Pak Revitoria. Saya tidak menuduh Bapak, kok. Maaf kalau kesannya memojokkan Anda. Saya hanya ingin meminta Anda untuk mengingat apa saja yang Anda bilang pada beliau hari itu.”
Aku mencoba meredakan emosiku, tapi tetap saja suaraku terdengar jutek dan kasar saat itu. Mengulang segala yang kuinformasikan pada Pak Tanahore. Toh, aku cuma bilang kalau, aku tidak tahu menahu soal hilangnya anak kecil itu dan sisanya soal kolam ikan di sebelah rumah besar di belakang rumahku. Itu saja.
Inspektur itu mencatat di memo kecilnya. Mengangguk-angguk kecil. Lalu, undur diri. Tapi seseorang di pintu mencegat kepergiannya. Wajah yang cukup familiar di mataku. Ya, itu ibu dari si anak yang hilang itu. Dia juga yang pernah menggebrak rumahku. Wajahnya kali ini jelas, marah. Dengan telunjuk yang teracung, dia berteriak ke arahku, “Kau Pembunuh!” Disusul caci maki yang tidak enak didengar di telinga. Beberapa warga yang baru kuketahui berjejalan di halaman rumahku mencoba menahan amukan ibu itu.
Di tuduh seperti itu, aku mengkeret di balik sofa. Itulah mengapa aku takut dengan manusia. Mereka bisa baik seperti malaikat, tapi bisa juga jahat seperti iblis. Menurutku menghindar lebih baik.
“Tenang, Bu. Kita akan tahu setelah mengecek kolam ikan di sebelah rumah di belakang rumah Pak Revitoria.” Pak Rajaraja menengahi. “Begini saja, mari kita bersama-sama mengecek kolam rumah belakang. Kita tidak bisa saling menyalahkan Pak Revitoria seenaknya tanpa bukti.”
Akhirnya ide itupun disetujui. Tapi aku tetap tak bisa tenang. Posisiku benar-benar seperti tersangka utama. Apalagi dengan banyaknya orang di sana. Bahkan aku tak bisa melihat jalanan di depan rumahku saking penuhnya tempat itu dengan kerumunan manusia. Yang kutakutkan adalah sedikit saja bukti mengarah padaku, bogem besar mereka siap meremukkan tubuhku.
Kami pun berjalan bersama-sama ke belakang rumahku. Terlihat sebuah bangunan besar dengan cat putih. Dengan dua lantai dan didesign dengan gaya arsitektur tahun 80-an. Baru kali ini aku melihat rumah itu sedekat ini. Dari balkonnya yang tersapu sorotan jingga, aku yakin bisa melihat pemandangan matahari tenggelam dengan indah. Apalagi posisinya yang cukup tinggi di antara bangunan lain di sekitar sana. Sungguh sangat di sayangkan kalau rumah sebagus itu tidak ditinggali, pikirku. Sayangnya aku pikiranku sedang kalut untuk menikmati keindahan itu.
Di sebelah kanan rumah itu, ada kolam ikan yang cukup besar, dengan pinggiran kolamnya terbuat dari bebatuan alam dengan bentuk yang bervariasi. Kolam itu dikelilingi pilar-pilar yang menyangga atap yang bolong agar kolam tetap terkena pancaran matahari setiap hari. Jadi, jika masuk ke kolam harus melewati pilar-pilar itu terlebih dahulu.
“Baiklah, kalian tunggu di sini! Saya akan memeriksanya terlebih dahulu,” kata Pak Inspektur, menyetop orang-orang untuk berhenti di gerbang luar. Tapi buru-buru Ibu si anak hilang itu meminta untuk ikut. Mengetahui sifatnya yang seenaknya sendiri, inspektur hanya pasrah mengizinkannya. Sebelum keduanya mengecek kolam itu, Ibu itu melotot ke arahku, “Aku tahu kau itu jahat. Siapapun jaga dia baik-baik agar tidak kabur.”
Aku hanya menelan ludah. Menyaksikan keduanya masuk melalui pilar itu. Kuperhatikan tatapan sinis orang di sekitarku, apalagi pemuda di belakangku yang sepertinya tak sabar memukulku. Beberapa warga lain juga berbisik-bisik tentangku. Aku bisa mendengar beberapa kali namaku kesebut, tapi aku kurang tahu dengan isi ocehan mereka yang tidak terdengar jelas.
Karena Pak Inspektur dan ibu tadi, tak kunjung kembali, beberapa warga yang tak sabar akhirnya menyusul. Satu persatu mereka yang memenuhi gerbang luar rumah besar itu, beralih memasuki lingkungan kolam. Karena takut bergerak, tentu saja karena pemuda di belakangku itu. Aku memilih memperhatikan langit yang mulai menghitam.
Seperti terhipnotis memandangi awan-awan yang berarak, embusan angin dingin akhirnya menyadarkanku. Saat kuperhatikan sekitar, hanya aku dan pemuda itu yang tersisa di sana. Karena heran aku bertanya padanya, “Kemana yang lain?”
“Sudah masuk. Tapi mereka belum juga kembali!” jawabnya.
“Bukankah itu aneh?”
Pemuda itu mengangguk ragu. Wajah geram ingin memukulku tadi sirna dan terbit wajah pucat ketakutan. Kemudian kami memutuskan untuk mengecek masuk juga.
Setelah kami masuk dan mendekat ke lingkungan kolam, kami sama sekali tak menemukan kehadiran warga lain. Tempat itu sepi dan senyap. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Hanya suara gemericik air dari dalam kolam karena aktivitas ikan. Pemuda itu meneriakkan beberapa nama yang aku yakini adalah keluarganya. Aku jalan perlahan-lahan di belakang sosok tubuhnya yang memang lebih besar daripada diriku.
Saat itulah aku langsung termenung. Tepat ketika sosok pemuda itu melewati pilar-pilar di sekeliling kolam, tubuhnya lenyap. Seakan tersedot dan raib begitu saja.
“Hei, Nak!” panggilku. Tapi tidak ada sahutan.
Dengan takut-takut, aku mencoba ikut mendekat. Berdiri tepat di batas pilar-pilar. Memicingkan mata. Benar-benar lenyap.
Entah bodoh atau penasaran, aku ikut melangkah masuk ke tempat itu. Kosong. Saat aku bersiap akan sesuatu, tapi ternyata tak terjadi apa-apa. Malahan, aku takjub dengan pemandangan di dalamnya. Kilatan sisik ikan dalam kolam yang jernih. Pantulan cahaya rembulan. Dan pemandangan hening yang syahdu sebenarnya. Tapi menyadari pemuda itu lenyap bagai hantu, membuat pemandangan itu terasa horor. Mungkin hal yang sama terjadi pada inspektur dan warga lain. Bulu kudukku merinding. Aku enggan memikirkan apa yang sebenarnya sedang terjadi pada mereka. Aku lebih takut, jika terus berlama-lama di tempat itu. Tanpa pikir panjang, aku berlari kabur dari. Meninggalkan kolam ikan itu dan ikan-ikan cantiknya.
***
Besoknya, pintu rumahku kembali diketuk. Saat kuintip dari balik lubang pintu, kujumpai sosok inspektur yang berbeda lagi. Dengan ekspresi yang jengah, aku hendak membuka pintu, tapi inspektur itu menendang pintuku hingga menjeblak terbuka. Benar-benar tak tahu sopan santun.
“Apa yang anda lakukan?!” sentakku kesal.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, sosok inspektur itu menggeleng pelan dan berteriak ke belakang. “Di sini kosong juga!” teriaknya. Sekaan tak melihat wujuduku yang sedang berdiri di depan wajahnya. Aku mematung tak mengerti.
Rekannya yang diteriaki mendekat dadi belakang dengan wajah gelisah. “Sangat aneh bukan, semuanya lenyap begitu saja?”
Inspektur itu menghela napas. Mengisyaratkan untuk pergi. “Kau tidak tahu ya? Inikan sudah yang ke delapan kalinya? Pokoknya kita harus hati-hati. Dimensi ghaib itu pasti sudah muncul di daerah sini.”
Keduanya segera pergi setelah menyegel kampung itu dengan garis-garis polisi. Menempelkan selebaran di jalan masuk. “Jangan masuk, lokasi warga hilang masal”.
Dampit, 10 Agustus 2022