Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
Kāma-Manas
0
Suka
24
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Wah, ini keren, darimana kau dapatkan ini?” Kasii menatapku dengan rasa antusias, sambil mengambil salah satu gantungan kunci dengan karakter kucing berwarna emas.

“Oh itu, aku mendapatkan dari pembelian yang ke-100, itu edisi terbatas, tapi jika kau menginginkannya, ambil saja, lagi pula aku sudah bosan juga,” Aku tersenyum ceria. Mendengar hal itu, Kasii tampak sangat senang.

“Ah benarhkah? Kau baik sekali, sini biar kupeluk sebagai balasan,” Kasii memelukku dengan erat, kemudian disambut oleh tawa teman yang lain.

“Jangan memeluknya terlalu keras, bisa-bisa Damaris pingsan nanti, kau ini,” Jihan memberikan sentilan ke jidat Kasii, sehingga membuatnya meringis kesakitan. Aku pun sontak tertawa, ketika melihat Kasii yang langsung menciut oleh Jihan. Gadis dengan tahi lalat di mata kiri itu, hanya pasrah, ia menyadari betul bahwa melawan Jihan jelas tidak mungkin, ditambah tinggi badannya yang pendek itu, sudah menunjukkan adanya perbedaan kekuatan di antara mereka berdua.

“Hei, Ris, sepulang sekolah kita ke ding dong yuk?” tanya Akko, matanya yang berbinar seolah berharap untuk aku mengiyakan ajakannya. Tatapan memelas Akko itu, terlalu menggemaskan sampai aku tidak bisa menolak ajakannya.

“Baiklah,” ujarku, yang kemudian disambut oleh sorakan Kasii dan Akko.

Bel pun berbunyi, Pak Hamid datang tepat waktu seperti biasanya. Kemudian ada seseorang yang datang mengikuti dibelakangnya, seorang gadis dengan potongan rambut bob cut dan setelan cardigan merah muda yang dipadukan dengan seragam sekolah putih biru.

“Tenri, kau terlambat lagi? Bisa-bisanya kau mau masuk ke kelas saya, seolah tidak terjadi apa-apa,” komentar Pak Hamid begitu pedas, mungkin jika akua da diposisi Tenri, aku tidak akan menginjak kakiku lagi di sekolah, menurutku gadis itu terlalu urakan untuk disebut sebagai siswi biasa. Aku merasa heran, mengapa gadis sepertinya bisa berada di sekolah Akademi Sala, yang memang terkenal dengan aturan ketatnya.

Tenri menatap jam tangannya, lalu kembali beralih ke Pak Hamid, “Saya tidak terlambat Pak,” 

Pak Hamid terkekeh, ia menaruh buku dengan kasar ke meja, sehingga menimbulkan suara cukup keras di kelas yang hening ini. “Seorang siswa harusnya datang lebih awal sebelum gurunya, sekarang kau keluar dari kelas saya, untuk minggu depan, kau tidak perlu hadir dalam pelajaran ini,” ucapan Pak Hamid, membuat suasana kelas semakin tegang. Tatapan tajam sekitar, mengarah kuat ke Tenri. Aku bisa membayangkan perasaannya, pasti dia sangat ingin menangis.

Awalnya, aku berpikir begitu. Namun, diluar dugaan, Tenri justru langsung duduk ke mejanya dan mengabaikan perintah Pak Hamid.

“Siapa bilang saya suruh kamu duduk?!” Kemarahan Pak Hamid memuncak, rahangnya mengeras dan matanya yang melotot membuat pria tua itu terlihat menakutkan, ia memang mudah tersulut emosi, tapi aku bisa memahaminya, ini semua salah gadis itu.

Tenri tersenyum, “Saya rasa itu tidak perlu Pak, saya tidak terlambat, saya datang ke kelas ini tepat jam 8.00, saya sudah ada di sekolah dari jam 6, jadi saya tidak terlambat,”

Dasar anak bodoh, jika Pak Hamid semakin marah maka kelas ini akan ikut imbasnya. Aku berpikir cepat untuk mengatasinya, “Maaf Pak, mungkin kita bisa lanjutkan pelajaran, untuk keterlambatan Tenri, akan lebih jika itu menjadi tugas BK,” ucapanku tersebut, diikuti dengan persetujuan teman yang lain.

Pak Hamid menghela nafas, ia mulai bisa mengendalikan dirinya. Kelas pun dimulai, untuk kali ini aku tidak mengharapkan gangguan dalam kegiatan belajarku. Aku cukup percaya diri, untuk mengatasi permasalahan seperti ini. Hanya perlu ketenangan saja, apapun masalahnya akan teratasi. Meski terkadang, aku kewalahan ketika memastikan ketenangan itu tetap ada dalam kendaliku. Satu hal yang mengusikku adalah keberadaan orang ceroboh, yang menaati aturan saja tidak bisa. Bukan hanya ceroboh, mereka pembangkang yang merasa hebat karena sedikit berbeda. Perbedaan itu benar-benar menjijikkan.

Jam kedua olahraga, Kasii sakit perut. Gadis itu mudah sakit, tapi ia tetap memaksakan diri. 

“Kasii, biar kutemani di UKS, jangan terlalu memaksakan diri, jika kau sakit, semua orang akan mengkhawatirkanmu, termasuk aku,” Aku membopong Kasii, kupastikan agar jalanku tidak terlalu cepat, aku ingin Kasii tetap baik-baik saja.

Kasii terkekeh dalam lemasnya, “Kau ini sangat serius, aku hanya sakit perut, tidak perlu berlebihan seperti ini,”

Aku menghela nafas, “Kau tidak bisa membohongiku, aku tahu semuanya,” ucapanku sontak membuat Kasii menoleh ke arahku dengan heran.

“Maksudku, aku tahu saat kau bohong atau tidak, seperti cara bagaimana kau tersenyum,” ujarku.

Di UKS, aku menemani Kasii. Sesekali juga, aku membantu penjaga untuk memberikan obat pada murid yang terluka. kususun dengan rapi, obat-obatan seperti paracetamol, betadin, obat sakit kepala, dan perban yang kutaruh di rak berbeda. Aku bahkan berinisiatif memberikan label nama agar tidak tertukar begitu seseorang mengambilnya.

“Bukankah, hari ini masih pelajaran olaharga?” tanya Ibu Sari, staff baru yang dikirim khusus untuk menjadi petugas Kesehatan sekolah.

“Kasii masih membutuhkanku disini, aku tidak ingin meninggalkannya,” jawabku sembari menyelimuti Kasii yang sedang tertidur pulas.

Kemudian, terdengar ketukan, Tenri datang dengan hidung berdarah, hingga mengenai baju olaharganya. Namun, gadis itu tetap terlihat tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Aku sama sekali tidak bisa memahami Tenri, ia kadang terlihat ceroboh, tapi di satu sisi lebih seperti orang aneh yang membuat sekitar tidak nyaman, jika lama-lama berada didekatnya.

“Seperti biasa, kau selalu rajin melakukannya, bahkan untuk kali ini,” Tenri mengambil kasa steril atau perban tipis, kemudian ia melipatnya lalu menekan ke hidung. Ibu Sari memberikan Tenri kompres dingin untuk ditekankannya ke hidung. Kemudian Ibu Sari meninggalkan ruang UKS, hingga hanya aku, Tenri, dan Kasii saja yang ada di UKS.

 “Apa maksudmu?” tanyaku sambil membersihkan kain kasa yang terkena darah Tenri.

Tenri tersenyum,“Aku selalu memperhatikannya, pantas saja orang-orang mengagumimu,” ia beranjak bangun mendekatiku, berbisik tepat didekat daun telingaku.

Dari semua alter egomu, mana yang paling menggambarkan sosok aslimu?” bisik Tenri, membuat seluruh tubuhku merinding tanpa sebab. Aku menoleh cepat, menatapnya yang dengan santai melewatiku, mengambil plester dari rak yang telah kutulis.

“Bel sudah bunyi, kalian harus segera ke kelas, dan Damaris, Kasii biar Ibu saja yang jaga ya,” ujar Ibu Sari. Aku mengangguk, kemudian pergi ke kelas.

Selama perjalanan menuju kelas, aku merasa diawasi oleh seseorang. Tepatnya, oleh Tenri yang saat ini berjalan dibelakangku.

Aku seketika berhenti, menoleh ke arahnya,”Kau duluan saja, aku harus ke toilet,”

“Kebetulan sekali, aku juga mau kesana, kenapa tidak sekalian saja,” Tenri merangkulku dengan akrab, tersenyum padaku. Aku menatapnya tajam dan mencoba menahan rasa kesalku, ingin sekali kuhempas tangannya, tapi aku tidak bisa melakukannya, entah apa yang orang sekitar pikirkan jika melihatku bersikap kasar pada orang lain. Baju Tenri yang dipenuhi darah, menempel dengan bajuku, aku jelas tidak nyaman dengan itu.

“Bukankah kita berdua seperti sepasang saudari yang serasi?” tanya Tenri. Aku terkejut, sampai tidak bisa berkata-kata.

“Ah ya kau benar,” Aku tertawa kikuk.

Aku pulang terlambat hari ini, temanku mendadak untuk menukar sift kerja, aku tidak bisa menolaknya. Suasana kota begitu sepi, ditambah dengan hawa dingin yang semakin menusuk tubuhku. Aku memutuskan melewati jalan yang dekat rumah Kasii, karena jalan tersebut tidak terlalu sepi dan masih banyak orang, kulihat kamarnya masih menyala, terlihat bayangan Kasii yang tengah asyik mendengarkan lagu. Kamar Jihan pun juga masih terang, ketika kulewati rumahnya, beda dengan Kasii, Jihan sedang fokus belajar. Jendela kamarnya terbuka, aku salut karena Jihan tidak kedinginan sama sekali, anak itu memang punya ketahanan tubuh yang luar biasa seperti seorang atlet.

Tiba-tiba aku merasa ada yang mengawasiku, kudengar helaan nafas seseorang dari semak-semak, sesuatu bergerak. Aku tidak takut jika itu hantu, akan lebih mengerikan kalo itu adalah manusia. Nafasku seakan tertahan ditenggorokanku, dengan perlahan kudekati semak-semak tersebut, sontak aku terkejut ketika seekor kucing melompat keluar.

Aku menghela nafas lega, “Kau membuatku kaget saja,” kuelus kucing hitam, tampaknya ia menyukaiku, ia terus menempelkan tubuhnya padaku.

Sesampainya dirumah, kulihat Ibuku masih terjaga. Ada banyak foto pria yang berserakan, ia dengan hati-hati mengganti foto pria di altar dengan pria lain, “Ibu tidak tahu ayahmu yang mana, mungkin salah satu dari semua foto pria ini adalah ayahmu,” ujar Ibu seolah menyadari kepulanganku.

Aku tidak merespon Ibu, dan langsung pergi ke dapur untuk mengambil segelas air. Jujur saja aku merasa sedikit bosan, lebih tepatnya mendengar wanita menyedihkan itu mengatakan hal sama berulangkali, aku tidak peduli siapa Ayahku dan dimana dia, meski menuntut hakku, itu tidak akan mengubah atau mengganti kesialan yang pria brengsek timbulkan untuk keluarga ini. Sekali pun bisa, mungkin hanya akan diganti dengan nominal uang, bagiku itu lebih buruk dari sekedar ditelantarkan, seolah harga diriku dan ibuku bisa dibeli dengan uang.

“Hari ini waktumu gajian kan?” tanya Ibu yang kemudian mendekatiku,”Ibu membutuhkan uang itu segera, agar bisa menemukan Ayahmu,”

Entah sejak kapan kemarahanku semakin memuncak, aku merasa jijik tidak tertahankan dalam dadaku, kupikir aku hanya merasakannya ketika mendengar nama Ayah, tapi ternyata suara ibulah yang paling memuakkan untuk kudengar saat ini.

“Ayah sudah mati, kita tidak butuh pria itu, sejak kapan kau akan membebaniku dengan semua dosamu, wanita sialan?!” Aku terengah, kemarahanku tertahan dalam kepalan tanganku, aku menatap Ibuku dengan tajam.

Ibu menamparku dengan keras, pipiku terasa perih, wanita itu lalu mengamuk dengan melemparkan gelas kaca, hingga pecahannya mengenai pipiku.

“Tidak tahu terimakasih, kau pikir siapa yang membesarkanmu selama ini? kau pikir mengurusmu itu tidak membuang waktu itu, jika aku bisa memilih antara kau dan pria-pria itu, aku lebih memilih hidup dengan mereka!” Ibu menatap tajam padaku, tatapannya begitu menusuk, tidak ada kekecewaan atau rasa bersalah yang kulihat darinya, melainkan kemarahan yang mengharapkan kematianku.

Nafasku memburu, dadaku naik turun. Tanganku mengepal kuat, seolah menahan ledakan emosiku yang bisa keluar kapan saja, “Kalo begitu, kenapa tidak pergi saja ke pria-pria itu, dan mati bersama mereka, dengan begitu aku bisa hidup sesukaku, tanpa harus berpura-pura berbakti padamu,” Aku pergi ke kamar, membanting pintu dengan keras. Aku tidak menyesal setelah mengatakan hal buruk, karena sejak awal tidak yang namanya kebaikan atau keburukan di rumah ini.

Kusingkirkan kardus-kardus berisi foto, setelah itu kubaringkan tubuhku ke ranjang, suara berderit terdengar dari tempat tidurku. Kemudian, tercium bau tidak sedap dari tumpukan sampah yang lupa kubuang seminggu lalu. Bukan hanya itu, aku pun lupa menempelkan foto-foto yang sudah kucetak hari ini, kupaksakan tubuhku untuk bergerak, mengambil spidol hitam dan menuliskan sesuatu,

“Tanggal 18 Juni, jam 22.00, Kasii mendengarkan musik Jazz dari ponselnya, 18 Juni, jam 23.00 Jihan belajar MTK,” gumamku. Kemudian kutempel foto tersebut, ke dinding bersama dengan foto yang lain. Aku selalu merasa lega karena tidak melewatkannya, kebiasaan Kasii dan Jihan tetap sama, sepertinya Kasii sedang menyukai musik Jazz akhir-akhir ini, padahal biasanya ia lebih sering mendengar Pop. Aku sedikit menyesal, karena tidak mengamati Akko hari ini, karena terlalu malam aku tidak bisa melakukannya, dan ditambah gadis itu pasti sudah tidur, karena aku tidak bisa mendengar suaranya dari penyadapku.

“Kuharap, besok aku bisa membahas sesuatu yang menarik,” batinku.

.

“Iya kan? Lagu ini memang bagus, aku sudah mengoleksinya dari lama, minggu depan album baru akan rilis, ahh aku sudah tidak sabar,” Kasii menggenggam kedua tangannya, bibirnya yang mengembang dengan lipstick berwarna muda itu membuat ia terlihat menggemaskan dimataku. Lalu, kulihat Jihan yang sama sekali tidak berkutik, gadis itu tidak sekali pun melepaskan buku dari tangannya.

Kutempelkan sekaleng minuman soda rasa strawberry dipipinya, Jihan sontak melihatku,”Sesekali simpan bukunya, dan berbincang dengan kami, kau sudah belajar dari semalam, jadi istirahat sebentar saja tidak masalah kan?” ujarku dengan khawatir.

Sudut bibir Jihan melengkung membentuk senyumannya, ia lalu menutup bukunya,”Kau seperti Ibuku saja, darimana kau tahu aku belajar dari semalam? Apa jangan-jangan—” beberapa saat Jihan terdiam, membuatku terus menebak dan menunggu apa yang akan ia ucapkan.

“Kau menguntitku ya,” ucapan tersebut keluar begitu saja, dadaku seakan dihantam sesuatu, yang benar saja jika aku ketahuan, padahal aku sudah menyembunyikannya dengan rapi.

Jihan tiba-tiba tertawa terbahak di tengah kebingunganku, mengacak-acak rambut. “Kau ini selalu serius ya, aku hanya bercanda, tidak bisa kubayangkan jika kau orang seperti itu, tapi itu jelas tidak mungkin,” Aku menghela nafas lega di sela tawaku, rasanya aku nyaris mati karena saking terkejutnya.

“Jangan membuatku takut, itu bahkan tidak lucu, lagi pula aku tidak mungkin melakukannya,”

“Pegang dia kuat-kuat, nanti fotonya jadi jelek,”  suara jepretan kamera terdengar, Datu bersama dengan geng berandalannya, lagi-lagi menganggu Sumi. Setiap hari, mereka melakukannya secara terang-terangan. Meski aku sudah melaporkan tindakan itu guru, tampaknya tidak ada penyelesaian atas permasalahan tersebut. Dongeng yang kudengar selama ini, selalu mengatakan bahwa jika ingin kejahatan tidak terulangi lagi, maka cukup tegur dan sentuh nalurinya. Namun, hati manusia dengan banyak warna dan rasa haus, seringkali bergerak lebih cepat sebelum bisa dicegah, mungkin untuk itulah aku tidak pernah bisa menjadi penganut yang taat seperti orang-orang.

Aku ingin membunuhnya, itulah yang terlintas dipikiranku. Orang seperti Datu benar-benar menganggu pemandanganku, karena sifat kekanak-kanakannya, duniaku yang seharusnya tetap puith, menjadi berwarna samar tidak beraturan. Tanganku terasa ringan, begitu  kuraih kursi  didekatku dan apa jadinya jika kulemparkan kursi ini ke Datu, mungkin ia akan tersungkur dan merintih seperti orang yang kehausan. Namun, sebelum aku melakukannya, Tenri lah yang lebih dulu melakukannya. Ia melempar kursi tepat ke kepala Datu, membuat gadis bertubuh sintal itu tersungkur dan menjatuhkan kameranya. Saat itu, aku benar-benar menyadari sesuatu, darah manusia lebih kental daripada air, Tenri lah yang menunjukkannya.

Seketika suasana kelas menjadi gaduh, semua orang berteriak terutama kelompok perempuan, Tenri tidak hanya berhenti disitu saja, ia menghampiri Datu dan memukulinya dengan brutal, seperti serigala menerkam mangsanya, Tenri memperlihatkan cakar yang tidak bisa dilihat oleh sekitar, kilatan mata susah ditebak itu hanya terkunci untuk Datu. Orang bilang, setiap penyerangan yang dilakukan seseorang selalu membutuhkan motivasi kuat, entah itu karena disakiti, diskriminasi, atau penindasan. Namun, alih-alih seperti itu, bagiku Tenri hanya ingin mengisi rasa bosannya, karena aku bisa melihatnya dengan jelas bagaimana gadis terlihat menikmatinya.

“Ris, ris, kenapa diam saja?” Jihan terlihat khawatir, ia ketakutan, mungkin ini pertama kali baginya, “Cepat panggil, guru,” Aku mengangguk, dengan panik berlari untuk melaporkan ke guru. Kemudian, kekacauan pun itu dapat diatasi. Tenri dipanggil ke ruang guru, bersama dengan Datu, entah apa yang mereka bicarakan selama tiga jam itu.

Aku merapikan kain kassa, mengecek ketersediaan stock seperti obat-obatan di UKS, aku biasa melakukan ini di jam istirahat, melihat dan membantu orang terluka itu sedikit menenangkan. Namun, satu hal yang lebih menyenangkan dari itu adalah aku bisa melihat bentuk ketidakberdayaan sesungguhnya dari manusia, saat seseorang terluka, mereka selalu menutupinya dengan sesuatu, membuat luka itu tetap tertutup dan pulih seperti semula. Pada dasarnya, makhluk seperti manusia tidak pernah tahan dengan sesuatu yang menganggu mata mereka.

“Kau selalu kesini, Ibu benar-benar tertolong, tapi apa kau baik-baik saja dengan itu? Ibu yakin teman-temanmu menunggumu,” Ibu Sari menatapku dengan cemas, ia memakai kacamata sepertinya untuk menutupi kantung matanya yang semakin hitam,  cincin pernikahan yang ada di jari manisnya tentu tidak pernah ia lepaskan, meski selama aku bersekolah disini, tidak sekalipun aku lihat suaminya. Sama sepertiku, wanita itu adalah orang kesepian.

“Aku baik-baik saja, disini lebih menenangkan, suasana yang terlalu berisik, kadang membuatku pusing,” ujarku kemudian duduk di ranjang pasien.

Ibu Sari lalu menyeduh teh, ia menoleh ke arahku, ”Menurut Ibu, sesuatu yang berisik itu tidak selalu buruk, meski membuat pusing, tapi kita bisa melihat banyak hal, itu lebih baik daripada sendirian,”

“Apa kekacauan itu juga termasuk hal yang baik?”

Ibu Sari mengangguk, lalu menyalakan mug elektrik. Suara klik on terdengar, diikuti dengan dengungan halus dari pengaduk otomatis.”Menurut Damaris, kekacauan itu sebenarnya apa? Apa sesuatu yang merugikan atau hal yang bergerak ceroboh hingga membuat sekitar menoleh?”

Aku menghela nafas, mataku menelisik ke sayup-sayup tirai yang terhembus angin, aku bisa mendengar jelas hentakan sepatu olahraga, yang secara bergantian menyentuh teras lapangan, diikuti dengan tawa dari perempuan dan laki-laki.

“Tidak teratur, tidak selaras, dan menyimpang,” ujarku yang kemudian kembali menoleh ke Ibu Sari.  Kukira, wanita itu akan menertawakanku karena memberikan jawaban singkat yang bahkan ambigu. Namun, wanita itu hanya tersenyum padaku.

“Begitu ya, tapi kekacauan itu enggak selalu bergerak dengan cara yang berisik, kadang sunyi, bergerak sesuai aturan, dan normal, seperti yang kau lihat dari anak-anak di luar sana, senyum sopan, rutinitas menyenangkan, dan mata penuh harapan itu, tidakkah kau penasaran dengan kekacauan dibalik pakaian mereka?” ucapan itu, seakan membangunkan sisiku yang lain, lalu kulihat Jihan secara bergantian melemparkan bola basket ke arah Kasii, tapi karena tidak bisa menangkapnya. Bola itu malah mengenai kepala Kasii, membuat ia mengerucutkan bibirnya, Jihan sontak meminta maaf dan membujuk Kasii. Kemudian mereka berdua, menoleh ke arahku, tersenyum serta melambaikan tangan, lalu kubalas senyuman mereka.

“Meski penasaran, itu pasti sulit,” sahutku. Ibu Sari memberikan teh sarabba, aroma jahe yang dominan terasa menyengat di hidungku, tapi ada juga aroma lain, seperti santan dan gula aren yang seakan menyatu didalamnya.

“Ibu bisa mewujudkannya, ini minuman istimewa, baru-baru ini Ibu membuatnya karena hobi, tapi berbeda dengan minuman lain, teh ini bukan hanya meningkatkan daya tahan tubuhmu, tapi juga pandanganmu terhadap orang-orang dan hidupmu, semua yang kau amati bukan hanya sekedar hal bias yang disembunyikan dibalik topeng, tapi kejujuran atau kebenaran sebenarnya,” Aku ingin menyangkal ucapan Sari, bahwa aku yang selalu bergantung pada sisi logikaku, tidak akan percaya pada dongeng semacam ini. Namun, seolah terhipnotis, hatiku tergerak tanpa penolakan seperti biasanya. Kemudian kuminum teh sarabba itu, tidak ada salahnya menggantungkan diriku pada hal yang tidak jelas, seperti orang-orang itu, aku masih manusia, yang bisa mati karena kebosanan.

Benar saja, tubuhku terasa ringan, tapi tidak ada yang terjadi. Mungkin, teh itu hanya akal-akalan dari Ibu Sari untuk mencairkan suasana. Kudengar langkah kaki seseorang di belakangku, tidak sempat aku menoleh, Tenri merangkulku.

“Selamat sore, ketua kelas,” Tenri tersenyum lebar, memperlihatkan lesung pipinya.

Aku mendengus kesal,”Bisakah tidak sok akrab denganku, itu menyebalkan,” kuhempaskan tangannya. Aku berjalan cepat, Tenri menghadangku.

“Ayolah, jangan ketus begitu, aku hanya ingin berteman denganmu, lagi pula seharusnya kau berterima kasih padaku, karena aku sudah menemanimu untuk mengantar berkas perpisahan ke ruang guru, apalagi di situasi hujan seperti ini,”  Tenri melipatkan kedua tangannya, menambah kesan sombong dimataku.

“Aku tidak pernah memintamu melakukannya,” ujarku dengan cepat.  Aku bisa menebak bahwa Tenri adalah orang percaya diri, yang akan membusungkan dadanya agar orang-orang melihatnya, sangat cocok dengan tipe pencari masalah.

“Tidak!” teriakan perempuan mengejutkanku dan Tenri, membuat kami sontak menoleh ke asal suara itu. Tanpa pikir panjang, aku berlari untuk mencari tahu pemilik suara tersebut.

Sesampainya di Gudang, meski jeritan perempuan itu menghilang, aku bisa mendengarnya, helaan nafas seorang pria. Sayangnya, pintu gudang dalam keadaan terkunci. Aku mencari sesuatu yang bisa membukanya, tenagaku sebagai perempuan tidak akan cukup kuat untuk mendobrak pintu yang terbuat baja. Jika kupaksa, bukan malah pintu yang terbuka, tapi malah tubuhku yang kesakitan.

Tenri mengambil ancang-ancang, lalu dengan sekuat tenaga, ia menendang pintu dengan kakinya. Aku melongo tidak percaya, ketika melihatnya. Pintu itu terbuka, aku mengesampingkan pikiran tersebut, dan langsung masuk. Aku memergoki seorang guru sedang melecehkan siswanya, tapi yang mengejutkan bahwa pelakunya adalah Pak Hamid, rasa jijik menjalari tubuhku. Pak Hamid gelagapan, ia merapihkan bajunya, kupikir ia akan lari seperti pengecut, tapi pria tua itu malah menyeringai.

“Ah sepertinya suaramu terlalu kencang, sampai mengundang orang datang kesini,” ejek Pak Hamid pada Akko. Kemudian ia beralih menatapku, mencoba mendekatiku, Tenri berdiri tepat didepanku,”Seperti biasa, anak nakal sepertimu selalu menganggu guru sepertiku, dan untuk kau Damaris, Bapak, jangan salah paham, ini hanya pelajaran tambahan untuk memperbaiki Akko, jadi jangan laporkan pada Kepala Sekolah, jika kau melakukannya..”  

Pak Hamid terdiam beberapa saat, setelah itu sudut bibirnya yang semula tersenyum tipis, berubah menjadi mengatup dengan tatapan dingin yang terasa menusuk diriku. “Bapak tidak bisa menjamin rekomendasimu untuk  masuk Universitas Linggarjati, untuk itu kau atau kalian harus pikirkan dengan baik, ini demi masa depan dan kebaikan kalian juga,”  

Sesuatu dalam diriku seperti akan meledak, saat itu aku melihatnya, bayangan yang menempel di kedua bahu Pak Hamid. Awalnya, kupikir itu semacam hantu yang diceritakan seperti dalam film, namun itu adalah bentuk kebenaran dari diri pria tua itu, kusadari partikel kecil menguap membuat bayangan itu semakin pekat dan menjijikkan. Pria tua itu, bahkan tatapannya seolah meremehkanku, sama seperti cara Ibu ketika melihatku.

Membosankan, menyebalkan, hanya sampai sini aku bisa menghormatimu,” gumamku. Kemudian kuambil sebilah kayu dari kursi yang sudah rusak, kutusuk Pak Hamid, ujung patahan kayu itu menembus dadanya, cairan merah mengotori wajahku dan seragamku. Akko terkejut, tapi ia tidak mengatakan apapun, menghadapi dua ketakutan sekaligus jelas itu tidak mudah, mungkin karena itu suaranya tertahan di kerongkongannya, gadis yang malang. Namun, tenang saja aku sendiri yang akan mewakilinya untuk menghukum pria tua itu.

Sementara itu, Tenri hanya terdiam. Gadis itu sama sekali tidak bergeming, kuakui dia gadis yang tangguh. Pak Hamid tidak bergerak, ia benar-benar mati. Sudah lama aku tidak merasa sepuas ini, aku sudah menyelamatkan Akko dan dunia dari kejahatan pria ini, meski bukan orang yang taat, aku sudah ikut andil untuk memastikan dunia ini tetap bersih.  Untuk membasmi kejahatan, seseorang harus terlebih dahulu menyatu dengan kegelapan itu, berbaur didalamnya lalu menghancurkannya, itulah yang kulakukan sekarang, menghapuskan monster dengan menjadi monster.

“Hei Akko, aku sudah menyelamatkanmu, kau bisa hidup tenang setelah ini,” Aku tersenyum padanya.

Keesokan harinya, sekolah menjadi pemberitaan dimana-mana, banyak wartawan berdatangan. Headline berita memperlihatkan seorang guru yang menjadi pelaku pelecehan dan percobaan pembunuhan. Aku sempat kesulitan, memikirkan cara untuk menutupinya, tapi Tenri menyarankan sesuatu yang luar biasa, menambah sedikit kebohongan seperti membuat bekas cekikan dileherku dan luka didahinya. Menyakitkan sekali, ketika aku mencekik diriku sendiri, tapi entah kenapa aku merasa familiar dengan itu.

Aku menghadiri, pemakaman Pak Hamid mewakili kelas. Ini cara terbaik untuk menambah kesan positif, awalnya aku ingin datang bersama Ibuku, tapi entah kenapa wanita itu menjadi pendiam akhir-akhir ini, Mungkin ia terlalu malu untuk mengakui bahwa ucapanku benar tentang dirinya. Tidak banyak yang datang, hanya istri dan anaknya yang masih berusia 6 tahun. Anak perempuan itu selalu membawa boneka beruang kemana-mana, seolah jika terlepas, ia akan kehilangan segalanya. Sementara wanita disampingnya, istri Pak Hamid, ia tidak memakai riasan wajah seperti biasanya, tatapannya yang kosong terus menatap peti mati yang siap dikuburkan.

Saat itu hujan mulai turun, ada sesuatu yang aneh, kuamati lebih jeli dan terlihat bahwa tanah basah di makam Pak Hamid mengeluarkan uap yang kemudian melesat cepat ke langit. Ketika hujan semakin deras, tetesan itu tampak seperti bayi-bayi, yang meraih kepala orang-orang. Aku terkesan ketika melihatnya, kuyakin orang-orang pasti juga melihatnya, salah satunya adalah Tenri juga melihat ke arah yang sama.

Kehidupan sekolahku kembali berjalan seperti biasa, orang-orang mulai melupakan keberadaan Pak Hamid, tidak ada lagi pemberitaan. Hal itu membuatku merasa sedih sekaligus marah, karena begitu mudahnya kejahatan itu dilupakan dan tidak dipedulikan. Semenjak hujan aneh itu, semua orang di sekitarku menjadi aneh, mereka terkesan agresif dan tidak bermoral, bahkan diluar akal sehat. Salah satunya Akko yang terus menghindariku, ia bahkan secara terang-terangan menyebutku pembunuh, aku tidak mengerti.

“Aku tidak pernah memintamu untuk membunuhnya, kau sengaja melakukannya, kau bahkan terlihat menikmatinya,” hardik Akko diikuti dengan tatapan orang-orang di kelas, sangat sesak, tatapan itu terlalu tajam dan mereka terang-terangan mengatakan hal tidak senonoh tentangku termasuk Kasii dan Jihan, mereka memandangku dengan rasa jijik.

Berisik sekali,” gumamku, kukepalkan tanganku lalu menatap tajam Akko, bagiku sekarang dia tidak secantik dan semenggemaskan sebelumnya, ada monster dibalik topeng lugu itu, aku harus mengeluarkannya, agar dunia ini tetap bersih.

Kupukul Akko tepat dihidungnya, ia tersungkur dan darah yang dari hidungnya mengotori seragamnya. Ia menangis, tidak seperti saat Pak Hamid terbunuh ia tidak bisa bicara, kali ini ia berteriak histeris sampai rasanya membuat telingaku sakit. Bayangan hitam itu, lagi-lagi muncul, memperlihatkan kebenaran dari seorang Akko.

Aku tidak memberi ia kesempatan untuk bangun, kupukuli secara berulang kali, tanpa jeda atau belas kasihan. Bayangan itu semakin lama menghilang, para guru berhasil menghentikanku. Akibat dari perbuatanku, aku terancam dikeluarkan. Namun, karena Tenri yang terus membujuk dan menjelaskan bahwa aku tidak bersalah, aku hanya diberi hukuman skorsing selama sebulan.

“Seharusnya guru tidak menghentikanku, aku baru saja akan menyelamatkan dunia dari kiamat,” ujarku sambil memegang sekaleng strawberry yang kubeli dari vending machine.

Tenri meneguk dan menghabiskan sisa minumannya, lalu membuang kaleng tersebut ke tempat sampah. Tiba-tiba bola mengenai kepalanya, Anak-anak itu menertawakan Tenri, tidak ada perasaan bersalah dan pergi begitu saja, benar-benar menjengkelkan.

“Kenapa kau tidak memarahi mereka? Hanya diam saja seperti itu sama saja menormalisasikan sesuatu yang salah, jika aku jadi kau, tentu akan kutegur sekeras mungkin,” Aku tersulut emosi, membuat Tenri tersenyum tipis.

“Kenapa tidak dari dulu? Kau selalu menahan diri, dan itu membuatku tidak nyaman melihatnya, sesekali bebaskan dirimu untuk melampaui sesuatu,” Tenri duduk disebelahku dengan tatapan mengarah ke taman.

“Aku tidak ingin melakukannya, aku tidak suka menjadi terlalu bebas dan tidak teratur, itu tidak indah dan terkesan berantakan, berkat minuman dari Ibu Sari, aku bisa memahami sedikit kekacauan dibalik wajah orang-orang itu, dan membersihkannya dari dunia ini,” Mataku menerawang 3 patung kupu-kupu yang terbang menyerupai lingkaran, dengan huruf timbul pada tembok dibawahnya yang bertuliskan Bantimurung The Kingdom of Butterflies.

“Minuman?” Tenri mengernyitkan dahi heran.

“Iya minuman, kelihatan seperti teh biasa, tapi itu teh istimewa, seperti sihir, teh itu membuka pandangan dan menuntutmu pada kebenaran,” jelasku dengan antusias. Tenri mengangguk mengerti dan mulai mempercayaiku.

Aku mulai menggencarkan tujuanku, yaitu membuat dunia ini tetap bersih, karena hujan aneh itu tidak pernah berhenti, terus melahirkan jiwa-jiwa baru untuk mengotori orang sekitar. Aku membuat saluran  Whatsapp dan Facebook, mengirimkan cuitan kecil untuk menyentuh naluri pendosa yang telah mengotori dunia, semakin banyak kutarik mereka dalam saluranku, maka semakin bersih dan putih dunia yang kutinggali saat ini.

Dunia tidak membutuhkan warna lain, hanya satu warna saja yang dibutuhkan dunia yaitu putih, sesuatu yang kotor itu tidak indah, membuat tatanan dari dunia ini menjadi berantakan, Jangan lupakan Dalida sang Diva, terbunuh berulang kali, kebebasannya direnggut oleh Ayahnya, atau Perdana Menteri Pierre Bérégovoy yang menembak dirinya sendiri setelah disalahkan atas peningkatan pengangguran di negara, Aku hanya ingin menyampaikan, kekejian manusia itu bisa merenggut kebebasan dan menyebabkan masalah bagi orang. Untuk mencegah itu, terus mengutuk dirimu ketika ada sesuatu yang salah dari dirimu atau menegur keras jika ada orang-orang yang kacau, sekeras mungkin sampai ia tidak bisa berdiri dan bangun lagi.

 

- Sanna-

 

Cuitan yang kutulis tidak kusangka memberikan dampak hebat, kekuatan internet yang menjangkau luas orang-orang, membuat mereka bergabung dan hanyut dalam penebusannya. Aku menikmati ini. Namun, kepopuleran saluranku kalah saing dengan buku yang baru diterbitkan oleh seseorang, buku itu mengambil konsep yang sama denganku. Kemarahanku, memuncak ketika mengetahui nama penulis buku yang ternyata adalah Tenri. Gadis berantakan itu mencuri gagasanku, hanya satu orang yang pantas membersihkan dunia ini, selain itu ia terus menggunakan namaku dalam bukunya, membuatku merasa dilecehkan dan dipermainkan.

“Apa yang salah dengan itu? aku membantumu, seharusnya kau tidak marah dengan itu, membersihkan dunia seorang diri, itu merepotkan, jadi aku datang sebagai sekutumu,” Tenri membela diri.

“Aku masih menerimanya jika itu orang lain, tapi kalau itu seorang gadis yang selalu ceroboh ikut membersihkan dunia, sama saja seperti penghinaan bagiku, orang sepertimu paling hanya ingin populeritas, tidak mungkin mengerti dengan tugas suci seperti ini,” Aku menatap tajam, kemudian kulihat bayangan itu lagi, menempel di bahu Tenri,  berbeda dengan milik Akko dan Pak Hamid, bayangan itu punya ekspresi, menatapku dengan meremehkanku, aku harus membersihkannya.

Kuserang Tenri dengan pisau saku yang kubawa, ia menghindariku. Ini pertama kali bagiku melihat ketakutan diwajahnya.

“Hentikan, Damaris, aku melakukan ini untukmu,” Tenri memohon padaku. Tapi, itu percuma karena hatiku sama sekali tidak tergerak. Dalam pertikaian itu, tidak sengaja kusenggol kardus di kamar Tenri, hingga memperlihatkan isinya. Aku terkejut dan seketika merinding, isi dari kardus tersebut adalah foto-fotoku, nafasku tercekat.

“Kau tahu Damaris, aku selalu merasa mati setiap hari, tapi setelah melihatmu pertama kali, aku merasa kita sama, kita tidak pernah hidup menjadi diri sendiri, kita hidup untuk orang lain, aku mengagumimu Damaris, mungkin lebih tepatnya Gau, aku sangat mengagumimu, melebihi orang-orang itu, perasaanku ini murni,” Tenri tampak tersenyum sambil mengambil salah satu foto, dan memeluknya.

Ini pasti karena sesuatu yang dibawa hujan itu, sehingga membuat Tenri menjadi gila dan kotor seperti ini. Tenri mendekatiku seperti ingin meraih pipiku, sebelum itu terjadi, kutusuk ia tepat didadanya. Tenri terkapar, ia menatapku dengan penuh tanda tanya, aku terpaksa melakukannya demi dunia ini. tempatku tinggal harus tetap bersih. Tiba-tiba suara orang-orang menjejali kepalaku. Aku berteriak, tapi suaraku tidak bisa keluar. Kemudian hujan turun, kali ini bukan jiwa yang dibawa, bukan juga virus, tapi lelehan seperti darah, langit tampak merah, Aku sulit bernafas dan semakin lama pandanganku menjadi hitam.

.

Seorang perempuan, terikat di ranjang pasien dengan pakaian yang mengikat tangannya. Dokter Sari terlihat mencatat sesuatu.

“Aku harus membersihkan dunia ini, harus segera kubersihkan,” Perempuan itu secara agresif mendekati Dokter Sari, melihat ke arah sekeliling dengan waspada, lalu menoleh ke Dokter Sari.

“Nona Gau, tenanglah, kau aman disini,” Dokter Sari mengusap lembut bahu perempuan bernama Gau tersebut.

 “Sepertinya minuman yang kau beri itu berbahaya,” ujar Prof Bertho, yang duduk dibelakang Sari dengan tongkatnya.

“Ada campuran psilocybin di minuman itu, tapi itu masih dalam dosis yang wajar, saya ingin memicu subjek 212 ini untuk melihat ke kedalaman dirinya sampai lapisan terbawah, saya terinspirasi dengan cara kerja dari terapi psikedelik-assisted therapy, terapi yang membuka lapisan bawah sadar seseorang, saya pikir itu akan menyelamatkan dirinya, bahkan saya melibatkan satu orang lagi, yaitu Tenri,” Dokter Sari melepaskan kacamata dan membersihkannya.

“Tenri, kalau tidak salah ia penggemar pertama dari Gau, tapi semenjak Gau menjadi pelaku pembunuhan Ibunya, hingga membuat ia berhenti menulis, Tenri menjadi gila dan terobsesi untuk mencarinya, entah kenapa subjek 212 mirip sepertimu, tapi dalam versi yang berbeda,” Prof Bertho menerawang ke masa lalu Sari.

“Ya, tapi berkat anda, saya sembuh, meski kadang suara-suara itu masih saya dengar,” Dokter Sari memakai kacamatanya lagi.

“Subjek 212, ia terjebak dalam delusinya, alih-alih mirip dengan saya, mungkin ia lebih mirip dengan Dalida, selalu direnggut kebebasannya oleh orang tuanya, jika Dalida memutuskan bunuh diri secara harfiah, subjek 212 justru membuat dunia dalam pikiran sendiri, tempat yang terdiri dari lapisan-lapisan tebal, sampai tidak seorang pun bisa menembusnya, termasuk saya,” tambah Dokter Sari.

“Apa kau menyesal karena hasil penelitian ini tidak sesuai tujuanmu?”

Dokter Sari tersenyum,”Tidak juga Prof, saya paham betul, bahwa mengembalikan seseorang yang dengan sengaja menghapus sosok aslinya, sangat sulit dibanding mendorong orang untuk menghadapi ketakutannya, Gau dengan tangki cinta yang kosong dipertemukan dengan Tenri yang ingin menggantungkan makna hidup melalui orang lain, saya pikir itu akan berhasil membuat mereka saling mengerti, tapi delusi itu menuntun Gau untuk menolak diselamatkan, saya rasa itu hasil yang tidak terlalu buruk,”

Prof Bertho mengangguk, menyetujui perkataan Dokter Sari, “Aku mengerti, oh iya ngomong-ngomong apa nama minuman yang kau berikan?”

“Kāma-Manas,” jawab Dokter Sari. 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
Kāma-Manas
Linggarjati Bratawati
Novel
Bronze
ARSENIK
Dito Aditia
Novel
Sopir buta yang membawa Cahaya
Lestiyani
Skrip Film
WELCOME HOME
Ahmad Gali Prayoga Nasution
Cerpen
Bronze
Santan Kelapa
Refy
Flash
Kepala
Afri Meldam
Novel
Gold
Carmine
Noura Publishing
Flash
Penggemar
Fitri F. Layla
Novel
Bronze
Paycho Pathos
MR Afida
Novel
DOKU: pilihan mematikan
Priki~
Novel
Bronze
Chimera Project : The Gifted Ones
Mordekhai Von
Novel
Bronze
The Silent Lines
Elz
Novel
Bronze
Rama's Story : Gita Chapter 2 - Hazard !
Cancan Ramadhan
Cerpen
Sepotong Rahasia di Koran Lama
anjel
Novel
ALMIRA
Andi Sukma Asar
Rekomendasi
Cerpen
Kāma-Manas
Linggarjati Bratawati
Flash
DISKUSI
Linggarjati Bratawati
Skrip Film
Jika Bunuh Diri Tendang Saja Kakiku
Linggarjati Bratawati
Cerpen
In Ternebris
Linggarjati Bratawati
Cerpen
Laki-laki Hijau
Linggarjati Bratawati
Cerpen
Orleander
Linggarjati Bratawati