Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Angin pagi merayap ke pundak dan perut kembung di sebalik jaket parasut hijau. Untuk melindungi jemari berkerut akibat dingin, ia bungkus kedua jemarinya dengan sarung tangan hitam. Sementara celana panjang berbahan katun twill membekap menghalau embus udara Dago pukul 4 pagi yang menjambaki kulit jangatnya. Mentari masih rebah. Bola pijar raksasa baru akan mengintip di ujung ufuk setelah nasi tanak. Sulur cahayanya kelak menyasar dari balik pinggang gedung apartemen yang tegak menjulang menuju keningnya jika di pukul 6 pagi ia masih menggelesot manja di lantai mushola.
Di sini, di kalangan, dari teras mushola tempat ia memperadukan malam, langkahnya terhuyung menuju kisi-kisi tempat keran wudhu yang langut berkericik. Ia guyur wajah kusut masainya. Otot-otot pelipis menggeliat. Dingin. Beku. Jemarinya mengepal, mengkerut. Tiga kali berkumur ia oleskan pasta gigi, menyemburkannya ke pelimbahan, berkumur lagi, membuang ingus, lalu menyeka lengan dan kakinya.
Setelah mangaduk-aduk wajahnya dengan kain handuk, berjalanlah ia ke halaman tempat motor matic-nya terparkir. Jok dan kedua kaca spionnya berembun. Ia tancap gagang kunci itu, menekan tombol starter sekali, dua kali, tiga kali, motor pun meraung. Garis indikator bensin 1 sentimeter dari tepi dasar warna merah. Aman. Ia rogoh saku jaket mengeluarkan ponsel. Ia usap perlahan permukaan ponsel yang layarnya mulai kasar oleh retak-retak. Ia ketuk satu gambar mungil di sudut ponsel. Terdengar notifikasi; suara gelas berdenting.
Nongol beberapa pesan dari grup whatsapp. Keluarga Budiman – “Rahasia Doa di Pagi Hari – mohon untuk disebarkan ke keluarga tercinta.” ROJALI (Rombongan Jawa Lieur1) – “Wagiman: Wah angel, angel.” Ojol on the Road – “Kijang satu ganti. Dago tiis2, doku menipis.” – Ia belum ingin membalas atau bertegur sapa dengan para penghuninya. Ia hanya berharap di pagi ini, seperti pagi-pagi yang telah lalu, terdengar bunyi notifikasi favorit. Ia hanya menunggu bunyi itu, suara yang berpetunang dalam rongga kepalanya, seperti cuit burung yang membawa kabar baik.
Kumandang Azan subuh telah lewat, digantikan pekik klakson yang mulai saling bersahutan di jalan raya. Udara berangsur menghangat, tanah berangsur terang. Aspal raya mengeras kembali. Ia bergegas menuju warung gorengan, meski belum tampak satu apapun di rak gerobak itu. Instingnya berkata agar bergegas, dan belum sampai ia di tepi gerobak, ponselnya berbunyi: “Klung!”.
Seperti layangan yang diulur dan ditarik sekuat tenaga, begitulah ia melesat menuju motor matic-nya. Ia raungkan mesin, memampatkan helm di kepala dan melangsirkan diri ke jalanan. Tak begitu jauh muasal panggilan itu. Hanya sepuluh menit, dari Dago Elos turun ke bawah, sampai bertemu perempatan Simpang, ia ambil jalan Dipatiukur. Jalanan masih lurus, pagi yang lengang, dengan mudah matic-nya melangsir seperti angin tergelincir dari punggung bukit. Ia hafal betul ruas dan retakkan aspal jalan kota ini selayaknya urat nadi lengannya sendiri.
Penumpang pertama pagi itu perempuan berkemeja putih dengan bawahan katun hitam. Aplikasinya memerintahkan untuk mengantar sampai di pusat perbelanjaan di jalan Merdeka. Ia memastikannya lagi dan menanyakan pada perempuan itu. Perempuan itu menjawabnya, sepatah kata. Singkat. Jelas. Ia berikan helm, keduanya meluncur melewati deretan butik di kanan-kiri jalan kemudian dihentikan lampu merah di perempatan Cikapayang.
Di pemberhentian itu kedua matanya dihadapkan pada sebongkah beton panjang yang melintang dari jalan Dr. Djunjunan hingga depan Gasibu. Mata bisa tertumbuk tapi ingatan mampu melayang ke suatu tempat yang jaraknya ratusan kilometer dari titik ia termangu saat ini. Tak ada beton yang menghalangi mata memandang arakan gemawan di langit. Juga tak ada gedung apartemen yang menghalangi sulur pertama mentari untuk jatuh mendarat di bumi.
Ia teringat putrinya, anak semata wayang, yang pernah duduk sama menyamping di belakang punggungnya. Saat itu putrinya ingin lekas bekerja setamat SMK. Hal yang agak bertentangan, dengan uang seadanya, mengarahkannya untuk setidaknya mengenyam bangku kuliah. Itu yang terbersit di benaknya, seperti yang kebanyakan orang bilang, bila berkuliah kesempatan berkarir semakin mudah. Rupanya sang putri berkeinginan lain. Pagi itu punggungnya terasa dingin. Dengan kemeja putih dan bawahan katun hitam, sepanjang perjalanan, putrinya tak bersuara satu apapun hingga sampai di depan gerbang pabrik.
Ia tak berkecil hati. Ia tahu ia mencintai putrinya. Ibunya telah lebih dulu pergi sesaat setelah persalinan. Hidup memberinya dua pilihan: berduka sepanjang hayat, atau pergi melanjutkan hidup. Ketika ia rasa putrinya mulai membangun kehidupannya sendiri, ia memantapkan diri untuk memenuhi permintaan sanak familinya berkunjung. Ia hijrah, mendarat di Kota Kembang. Berbekal motor yang diberi pinjam sanak famili yang lebih dulu tinggal, ia merasa bersyukur dapat melanjutkan hidup tanpa harus bergantung pada putri semata wayangnya itu.
Memang, ia merasa ia orang bodoh. Tak pandai menghitung, membaca pun sekadar. Tapi ia ingin putrinya mendapatkan yang terbaik. Dunia yang hanya ada dalam angan kecilnya, dalam tempurung kepala yang terbungkus helm hijau daun pepaya. Tapi bibirnya selalu mengeras seketika mengingat kejadian malam itu. Nila setitik, pikirnya, memang dapat merusak sirup sebelanga. Ia tak bisa membuktikan yang ia lakukan sejenis nila atau memang kebodohannya yang mengundang nila.
Malam itu terdengar “klung” dari ponselnya. Setelah seharian lusinan “klung”, baru kali ini ia merasa ogah membuka ponsel. Enggan kena komplain, ia jamah ponsel dan menatapnya. Pesanan barang; dijemput; diantarkan ke toko; share loc; ok. Sesampainya di lokasi pengambilan barang, ia diasongkan sebongkah dus dengan berat yang mengingatkannya saat putrinya demam. Saat itu sepulang sekolah, ia bopong putrinya ke kamar, masih mengenakan seragam putih-merah, ia meletakkan sang putri dengan hati-hati. Putrinya saat itu berpesan agar jangan jauh dari sisi kasur, jangan keluar rumah, ia pun mengangguk mematung di situ.
Tak ada lagi yang putrinya harapkan dan inginkan selain kehadirannya. Kasih sayang itu haruslah ia curahkan sebagaimana ibu juga neneknya juga buyutnya curahkan padanya. Mula-mula ia merasa canggung. Tak paham menyapih buah hatinya di mana, atau pada siapa. Beruntung sang perawat menawari dan ia hamburkan putrinya yang masih mungil itu ke haribaan sang perawat. Dunianya seketika berubah. Selagi ia menjadi ayah yang baik, ia mesti dua kali lebih baik untuk menjadi ibu bagi anak semata wayangnya. Hal yang tampak mustahil sampai detik ia membayangkannya kini.
Tapi dus itu terasa memberatkan. Sang pengirim, lelaki berperawakan bidang dengan sungut yang seolah terlahir untuk menjadi prengus itu, tak banyak bercakap selain soal harga. Saat dus hendak ia periksa, lelaki itu menyambar lengannya dan memerintahkan agar segera pergi mengantar. Lelaki prengus itu memberinya tip lebih. Keningnya tetap berkerut hingga sampai di lokasi pengantaran. Sebuah toko yang berada di pojok gang, yang hanya dapat dilalui oleh motor dan tampak seperti labirin gelap.
Ia telpon nomor tujuan. Ia ketuk etalase toko. Ia panggil dan mengucap salam yang hanya dibalas sunyi belaka. Curiga, ia sayat lakban perekat menggunakan ujung kunci motor. Sesuatu berdenting di dalam dus, sebuah cairan, di dalam botol berwarna hijau tua. Lalu lengannya tertarik ke belakang punggung seketika. Tak bisa melawan, empat orang pria menggelandangnya ke dalam mobil. Di kabin belakang, dengan tangan terikat dan geletar di dadanya, ia menyadari firasat yang hadir dalam ingatan itu. Tapi ia tak bisa menarik mundur waktu. Ia tak dapat berkutik, sementara ponselnya telah berada di tangan seorang lelaki yang sama prengusnya dengan yang memintanya untuk mengantar dus sialan itu.
Penyesalan kadang boleh terbit. Memori buruk kadang urung lekang dari benaknya. Satu malam ia habiskan di ruang interogasi dengan tangan terikat, dengan linang air mata dan bayangan putrinya yang terbit-tenggelam. Meski keesokan paginya ia kembali menghirup udara bebas, ia jeri menggenggam ponsel yang sama dan mengundangnya pada malam terlaknat yang pernah ia bayangkan. Ponsel itu ia jual dan menggantinya dengan yang ia pikir dapat membawa berkah baik.
Kali ini “Klung” terdengar lagi. Menggetarkan saku jaketnya, membangunkannya dari lamunan yang sepagi ini mengantarnya pada ingatan tentang dus, gertakan, tipuan, dan firasat. Di saat yang sama lampu lalu lintas belum juga beranjak hijau. Ia intip notifikasi, ia picingkan kedua matanya. Ternyata bukan pesanan masuk, bukan juga permintaan mengambil dan mengantar barang. Ada sebuah pesan resmi dari aplikasi.
Klakson terdengar memekik di belakang, ia pun meraungkan motor. Sesampainya di lokasi tujuan, pusat perbelanjaan yang selalu ramai, perempuan itu turun. Merogoh tas selempangnya, menjawil uang kertas, menghitungnya, merogoh lagi dan menghitungnya lagi dengan rikuh, merogoh-rogoh lagi seolah di dalam tas terdapat sebatang emas yang berkilat-kilat. Sembari melirik ke dalam tas, ia mulai berpikir bahwa tak apa sarapan pagi ini tanpa dua batang kretek. Maka ia pun menerima ongkos dari uang kertas yang mampu ditemukan perempuan itu dari dalam tasnya.
Menepilah ia ke sebuah warung. Mie rebus dikudap ditutup dengan teh hangat. Ia genggam kembali ponselnya dan membaca notifikasi “Klung” yang menggetari isi jaketnya beberapa menit lalu. Ia ingat selepas “Klung” itu terdapat getaran lain yang menyusul, utamanya dari grup yang ia hafal betul bunyi notifikasinya. Yang jelas bukan “Klung” melainkan “Ting-Nong” dan itu notifikasi yang kurang diminati. Sesekali saja ia membacanya. Beberapa di antaranya memuat informasi penting seperti kehadiran tilang di beberapa titik; donasi bagi rekan yang kecelakaan; info pangkalan, serta jadwal rapat bulanan.
Ia usap ikon notifikasi dan muncullah Ojol on the Road – “Wah, tipis, bro. Kalo begini mana bisa nebus bensin.” – “Aneh, ya, udah jadi satu kok malah makin tipis.” – “Yah, ikhtiar aja, sabar, bro :)” – “Kijang satu ganti. Doku tipis, bensin menipis.” Dan ia pun meringis, tak habis pikir, mengapa justru semakin ramai malah semakin tipis tip yang didapatnya. Apa yang terjadi? Seberapa banyak “klung” yang mesti berbunyi di ponselnya untuk mencapai jumlah cukup makan, cukup bensin, cukup untuk membayar segala yang perlu dibayar? Oh ya, ditambah lagi sirine yang mengancam itu makin sering berbunyi pada pukul sembilan malam, mengenyahkan siapa saja dari jalanan, termasuk para penumpangnya. Ah, jadi, berapa banyak “klung” hari ini?
Hingga matahari setinggi kening, “Klung” terakhir yang ia dengar hanyalah gema yang saling pantul di dalam rongga kepalanya. Daerah ini sudah seperti kota mati. Tak ada lagi manusia yang berani keluar rumah. Bahkan, beberapa rekannya pun lebih memilih menunggu pesanan dari rumah masing-masing. Ia putuskan kembali ke Dago, ke mushola tempat lantai dan gentingnya melindungi tubuh dari dingin malam dan panggangan matahari di siang bolong.
Air liurnya terpaksa ia telan setelah melirik gerobak gorengan yang kini sesak oleh timbunan bakwan. Ia sandarkan punggungnya ke pilar surau. Mengaso, beberapa menit, mungkin dapat meredakan kecemasannya walau tak bisa menghilangkan gema “Klung” dalam kepala. Hingga matanya mulai terpejam, kesadarannya menguap, dan tiba-tiba saja, “Klung!”.
Ia terperanjat. Tak percaya dengan apa yang didengarnya: “Klung!, Klung!, Klung!”. Ponselnya benar-benar bergetar. Ia melompat ke atas jok motor, memampatkan helm, dan memicingkan kedua mata ke layar ponselnya. Pesanan mengantar paket, sebongkah dus berwarna coklat, ke sebuah toko, terletak di sudut gang. Ia tahu, meski tak pandai, ia bukanlah seekor keledai yang dapat diakali untuk yang kedua kalinya.
Catatan:
1. Lieur, pusing
2. Tiis, dingin