Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu sunyi, namun Klitsco tak bisa terlelap dengan tenang. Sudah lewat tengah malam ketika notifikasi dari ponselnya berbunyi. Klitsco beranjak dari ranjang, berusaha tak membangunkan istrinya yang tertidur lelap di sampingnya.
Pikirannya langsung dipenuhi kecemasan, “Siapa yang mengirim pesan di jam-jam seperti ini? Apakah ada sesuatu yang mendesak?”
Awalnya dia tidak berniat membuka ponselnya, tetapi ketika dia ingat seorang kawannya yang menderita diabetes sampai bunuh diri karena pesan WA ponselnya tidak di buka anak-anaknya, maka dia akhirnya memaksakan dirinya untuk bangun.
Itu pasti pesan penting.
Dia melihat layar ponselnya dan menghela napas. Pesan itu berasal dari iparnya, seorang laki-laki yang tinggal di kota lain, sekitar 300 kilometer dari tempat mereka berada.
Dia lalu berniat meneruskan pesan itu kepada saudari iparnya, karena ini menyangkut keluarga mereka yang meninggal.
Tiba-tiba, suara istrinya yang serak terdengar dari balik selimut.
“Jangan diteruskan, nanti dia marah,” ujar istrinya pelan namun tegas, seolah-olah sudah mengetahui apa yang Klitsco ingin lakukan.
Klitsco sedikit terkejut, ternyata istrinya sudah terbangun.
“Nggak mungkin dia marah, kan bisa dia baca besok pagi,” jawab Klitsco sambil menahan ponselnya di tangannya. “Nggak harus juga dia baca sekarang,” tambah Klitsco lagi tanpa melihat ke arah istrinya.
“Kamu tidak tahu, siapa adikku,” ujar istrinya. “Aku sudah bersamanya dari kecil, jadi tahu sifatnya.”
“Ah, masa iya dia sampai marah?” kilah Klitsco, berusaha tetap ingin membenarkan niatnya.
“Hmm, kamu yang nggak tahu. Dia itu suka ngomongin orang di belakang. Udah, jangan diteruskan,” kata istrinya lagi, kali ini nadanya lebih tegas.
Klitsco menarik nafas panjang dan diam sejenak, memikirkan ucapannya. Mungkin istrinya benar juga, pikirnya. Ia pun menutup ponsel tanpa membalas pesan tersebut.
Setelah berbicara sebentar lagi dengan istrinya, Klitsco kembali membaringkan tubuhnya, mencoba melanjutkan tidur.
Keesokan paginya, suasana yang semula tenang mulai memanas. Seperti biasa, mereka kembali terlibat dalam perdebatan kecil, kali ini soal kabinet yang akan disusun oleh presiden terpilih.
“Aku yakin menteri ini pasti duduk di kabinet,” kata istrinya dengan penuh keyakinan sambil membaca artikel di ponselnya.
“Siapa?” tanya Klitsco.
“Si Kismis …” ujar istrinya.
“Si Kismis? Yang artis Tuk Tak itu?” tanya Klitsco kurang yakin.
“Ya, siapa lagi. Dia kan followernya terbanyak di Konoha,” ujar istrinya bangga.
Klitsco menarik nafas panjang lagi, dia tahu istrinya salah satu follower dari artis tersebut, tetapi bagi Klitsco, artis Tuk Tak itu tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun followernya banyak, tetapi apa yang bisa dibuatnya?
“Mana mungkin, presiden terpilih belum dilantik. Jadi Kabinetnya belum diumumkan secara resmi,” bantah Klitsco dengan nada yang berusaha tenang.
“Lihat saja bocorannya di internet! Aku sudah mencarinya di Google,” sergah istrinya lagi.
Klitsco hanya bisa menghela napas panjang lagi. Dalam hatinya, ia tahu bahwa jika sudah berbantah seperti ini, istrinya akan terus melontarkan argumen-argumen panjang yang tidak akan berujung.
Sebagai seorang yang tidak terlalu suka berdebat, ia lebih sering memilih diam dan menunggu badai mereda.
“Ya sudah, terserah kamu saja deh,” gumam Klitsco akhirnya, sambil bangkit dari kursi.
Untuk menghindari perdebatan lebih lanjut, Klitsco segera mempersiapkan diri untuk pergi ke pasar sayur. Sudah menjadi rutinitasnya setiap pagi, ia akan berjalan kaki ke pasar untuk membeli keperluan dapur.
Di usia lanjutnya ini, dia perlu setiap hari berjalan, biar kakinya tidak lumpuh. Apa lagi jalan kaki merupakan olah raga ringan tetapi manfaatnya banyak.
“Hey, jangan pakai baju seperti itu!” tiba-tiba istrinya berteriak dari dapur, melihat Klitsco mengenakan baju usangnya. “Nanti orang-orang menganggapmu terlalu miskin!”
Klitsco menoleh dan hanya tersenyum tipis. Ia tahu istrinya tidak pernah puas dengan pilihannya dalam berpakaian, selalu merasa bahwa penampilan mereka mencerminkan status sosial di mata orang lain.
“Ya sudah, kamu atur saja bajunya,” ujar Klitsco patuh.
Ia pun menunggu dengan sabar sambil berdiri di dekat pintu, sementara istrinya mencarikan pakaian yang lebih layak menurutnya.
Setelah semuanya siap, Klitsco pun berangkat ke pasar. Dengan sengaja, ia memilih berjalan kaki. Bukan hanya untuk menghemat ongkos, tapi juga demi menjaga kesehatannya.
Di usianya yang sudah tidak muda lagi, berjalan kaki adalah salah satu bentuk olahraga yang paling ia nikmati.
Di pasar, Klitsco sibuk memilih sayuran segar, membeli kelapa, dan tidak lupa membeli kepala ayam untuk makanan kucing-kucing peliharaan mereka yang jumlahnya mencapai 25 ekor.
Setelah memastikan semua belanjaan sudah lengkap, ia pulang dengan hati-hati membawa kantong belanjaan yang cukup berat.
Setibanya di rumah, Klitsco langsung bergegas ke dapur. Ia me mengupas dan memecahkan kelapa, mengambil airnya, lalu mencungkil daging kelapanya dengan hati-hati.
Setelah itu ia turun ke tanah dan menjolok pohon nangka di samping halaman rumah untuk mengambil buahnya sebagai bahan sayur, kemudian mengupasnya dengan hati-hati.
Hari-hari seperti ini memang terasa padat, namun Klitsco menikmatinya. Baginya, melakukan pekerjaan rumah adalah cara lain untuk membantu istrinya yang sibuk dengan usahanya.
Istrinya membuat tas dan baju dari kain perca untuk dijual, mencoba menambah pemasukan mereka.
Setelah menyelesaikan tugasnya di dapur, Klitsco beralih ke kolam ikan di belakang rumah. Di sana, ia memancing ikan-ikan Nila dan Bawal untuk makan siang mereka.
Selama memancing, pikirannya melayang-layang, memikirkan novel yang sedang ia garap secara online. Menulis adalah salah satu cara Klitsco melarikan diri dari rutinitas.
Ia tidak berharap karyanya akan terkenal, tapi menulis membuatnya merasa hidup.
Selesai dengan semua urusan di luar rumah, Klitsco kembali ke dapur untuk memasak kepala ayam yang dibelinya. Dia mencampur daging ayam itu dengan nasi kemarin untuk diberikan kepada kucing-kucing mereka.
“Sudah selesai semua, Dek? Apa lagi yang bisa kubantu?” tanya Klitsco saat ia menghampiri istrinya yang sedang duduk di ruang tamu, sibuk menjahit kain perca.
“Sudahlah, mungkin tak ada lagi. Aku juga sibuk dari pagi. Kamu lakukan pekerjaanmu saja dan tahan laparmu dulu. Nanti kita makan bareng,” jawab istrinya tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaannya.
Klitsco hanya mengangguk. Ia sudah terbiasa dengan cara bicara istrinya yang sering terdengar ketus namun penuh perhatian.
Dalam hatinya, ia tahu bahwa mereka adalah pasangan yang tidak sempurna, tapi saling melengkapi. Klitsco menyadari bahwa istrinya bukanlah lawan bertengkar, melainkan kawan hidup yang harus ia pahami dan cintai apa adanya.
Dia pun duduk di depan komputer, bersiap melanjutkan novelnya yang tertunda. Menulis memang menjadi pelariannya dari dunia nyata, terutama ketika ia membutuhkan ketenangan dari percakapan panjang yang sering kali berujung pada perdebatan dengan istrinya.
Tapi bagaimanapun, ia selalu merasa bersyukur memiliki seseorang yang dapat ia ajak berbagi hidup.
Kebersamaan mereka memang jauh dari sempurna. Istrinya kerap kali mengomel, memberi instruksi ini itu, bahkan terkadang membicarakan orang lain di belakang.
Sementara Klitsco sendiri bukanlah tipe suami yang suka membantah atau berargumen panjang. Ia lebih memilih mengalah, karena baginya, kebahagiaan rumah tangga terletak pada saling menghormati dan memahami.
Setiap pagi, Klitsco bangun lebih awal, sering kali jam 3 atau 4 subuh, menyiapkan sarapan untuk istrinya. Istrinya memang tak pernah bisa bangun pagi, dan Klitsco sudah terbiasa dengan itu.
Ketika matahari mulai tinggi, Klitsco sudah menyelesaikan banyak pekerjaan di rumah. Saat istrinya baru terbangun dan memulai aktivitasnya, ia akan menyambutnya dengan secangkir kopi dan senyum hangat.
Meski begitu, Klitsco tidak pernah menganggap istrinya sebagai beban. Istrinya adalah teman sejiwa, seseorang yang telah menemaninya melewati berbagai suka dan duka dalam hidup.
Jika pun ada perselisihan, Klitsco lebih sering memilih untuk diam dan membiarkan waktu yang menyelesaikannya. Ia percaya, dengan cara itu, ketenangan akan selalu kembali.
Ketika malam tiba, dan keduanya berbaring di ranjang yang sama, tak ada yang perlu mereka bicarakan panjang lebar. Hanya kebersamaan yang damai, saling bersandar tanpa perlu kata-kata berlebihan.
Klitsco tahu, hidupnya mungkin tidak sempurna, tapi bersama istrinya, ia selalu merasa cukup.
Kisah Klitsco ini menggambarkan kehidupan yang mungkin sederhana di mata banyak orang, tetapi penuh makna bagi mereka yang menjalani.
Dalam kesederhanaan dan rutinitas sehari-hari, Klitsco menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil: membantu istrinya, merawat kucing-kucing mereka, menulis, dan melakukan pekerjaan rumah tanpa banyak keluhan.
Bagi Klitsco, cinta tidak selalu tentang hal-hal besar, melainkan tentang ketulusan hati dan kesediaan untuk saling mengalah.
Pada akhirnya, Klitsco tahu bahwa hidupnya bersama istrinya adalah perjalanan yang tidak sempurna, tapi di situlah letak keindahannya.
***