Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Klening! Klening! Klening!
Entah sejak kapan kleningan ini muncul di kampung Sekar Taji. Tidak ada yang tahu siapa yang pertama kali memasangnya di kampung itu. Seakan-akan kleningan ini tumbuh menggantung di depan atau samping rumah orang-orang di sana. Semakin hari, rumah-rumah yang memiliki kleningan semakin bertambah.
Suaranya mengalun di telinga diselingi dengan angin sepoi yang membawa suara itu pergi.
Klening! Klening! Klening!
Sebenarnya kleningan sendiri adalah sebutan di kampung Sekar Taji untuk menamai hiasan gantung itu. Mereka menamainya berdasarkan suaranya yang klening-klening setiap tertiup angin. Biasanya kleningan ini dibuat dari botol kaca bekas, paku, benang, dan kardus. Lalu, dirakit agar paku bisa mengenai botol bekas. Sementara kardus digunakan untuk menangkap angin.
Suara kleningan cukup menghibur. Seakan panasnya siang bisa terobati dengan suaranya. Tetapi, tidak bagi anak Bu Ani, Fathan, dia selalu merintih kesakitan setiap mendengar alunan kleningan. Telinganya memang sudah sakit karena kebanyakan memakai earphone. Kata dokter telinganya jadi lebih peka terhadap suara. Sehingga suara dentingan seperti itu membuat kepalanya seperti dipukuli godam raksasa.
Apalagi semenjak tetangga mereka, Bu Mesia, siang ini juga ikutan memasang kleningan. Semenjak itu Fathan terus-terusan menangis di kamarnya. Bergulung-gulung di atas kasur menahan rasa sakit. Bu Ani ketakutan dibuatnya. Tak tega melihat anak semata wayangnya itu menderita.
"Kita ke rumah sakit lagi saja ya, Nak?" katanya setengah berbisik. Mengelus dada tidak tega melihat anaknya kesakitan.
Tapi Fathan menggeleng, dia merasa tidak nyaman ketika selang-selang aneh dimasukkan di telinganya.
Siang tadi Bu Ani sudah sempat mendatangi rumah Bu Mesiah. Memintanya untuk menurunkan kleningan-nya. Akan tetapi, beliau menolak keras. Bahkan sampai mendorong Bu Ani keluar rumahnya. Kalian bisa membayangkannya seperti drama picisan.
Tapi, kali ini Bu Ani sudah tidak tahan lagi. Dia menyahut kerudung jingga kebanggaannya. Dengan masih memakai daster, sore itu dia melabrak kembali rumah Bu Mesiah di samping rumahnya. Ini sudah ke tiga kalinya dia mendatangi rumahnya. Pokoknya kali ini kleningan itu harus turun.
"Bu Mesiah! Bu Mesiah!" panggil Bu Ani.
Bu Mesiah keluar dengan tampang kesal. Di pikirannya sudah terdikte kata-kata buruk yang akan diucapkan. Sayangnya, anak bungsunya sedang ada di ruang tamu juga sore itu, asyik makan kuaci. Jadi dia meredam perekataan kotornya. "Apa lagi sih, Bu Ani?"
"Tolong, Bu. Kleningan-nya di turunkan. Anak saya sedang sakit," kata Bu Ani tanpa basa-basi. Kali ini dia sudah siap bertempur sampai titik darah penghabisan.
"Tidak bisa, Bu. Itu Bapaknya anak-anak yang pasang, nanti saya bisa dihajar kalau asal menurunkan."
"Tapi anak saya kesakitan kalau mendengar kleningan, Bu. Saya yang tanggung jawab kalau Pak Mamat pulang nanti, bagaimana?"
Bu Mesiah bersikeras tidak mau mencopot kleningannya, kecuali Pak Mamat sendiri. Sementara saat itu, Pak Mamat sudah berangkat ke kantornya. Pulangnya masih nanti malam. Bu Ani tak bisa menunggu lagi, anaknya bisa mati kalau sampai menunggu lagi, pikirnya.
Karena perselisihan tak kunjung usai, keduanya mengundang Pak RT ke rumah Bu Mesiah. Meminta solusi.
"Bu Mesiah, tolong mengerti kondisi Bu Ani, ya. Kita hidup bertetangga harus rukun," kata Pak RT setelah mendengar cerita keduanya. "Soal Bapak Mamat itu biar saya yang atur."
"Tidak bisa, Pak. Pokoknya saya tidak mau kalau yang menurunkan bukan suami saya sendiri. Iya mungkin diluar dia mengiyakan nasihat kalian, setelah sampai rumah, saya yang dihajar habis-habisan."
Akhirnya, Pak RT menjemput Pak Mamat di kantornya. Menyuruhnya lekas pulang. Bu Ani sedikit lega mendengarnya. Tetapi, Pak Mamat pulang dengan marah-marah.
"Lho kenapa harus saya turunkan? Toh tetangga lain masih memasangnya. Menurunkan atau tidak, itu hak saya, dong," wajah Pak Mamat memerah marah. “Bisa-bisanya saya diruruh pulang hanya karena masalah yang tidak berguna seperti ini. Gaji saya jadi dipotong demi ini tahu.”
“Tetapi, setiap hak individu selalu dibatasi hak orang lain, Pak. Anak Bu Mesiah juga berhak untuk mendapatkan kesehatan.” Pak RT mencoba menjelaskan pelan-pelan. “Lagi pula Pak Mamat kan siang hari kerja, nggak pengaruh juga kan?”
Pak Mamat mengangkat tangannya, “Bapak pikir saya siapa? Saya orang kelurahan, Pak. Jangan sok mengajari saya tentang hak dan kewajiban. Pokoknya saya tidak mau menurunkan kleningan saya! Mentang-mentang RT saja menggurui sekali.”
Warga lain yang mendengar keributan itu mulai mendekat. Sehingga pelataran yang sempit itu semakin sesak. Seakan langsung menjadi tontonan keributan perkara kleningan ini. Hanya beberapa warga yang ikut mengeluarkan pendapat untuk menemukan solusi. Sementara yang lain cuma berbisik di belakang. Takut disentak oleh Pak Mamat. Lalu, seseorang mengusulkan, "Bagaimana kalau kleningan semua orang diturunkan saja?"
Usulan itu menimbulkan pro kontra. Beberapa setuju dan sebagian lainnya tidak. Suasana benar-benar ricuh. Bahkan Pak RT kewalahan menghadapi mereka. Latar Bu Mesiah semakin sempit. Orang-orang tak henti berdatangan seperti semut yang mengerumuni gula. Pak RW pun sampai tidak bisa ikut masuk ke rumah Pak Mamat untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
"Kleningan ini bisa mendatangkan rezeki, lho. Apalagi masa pandemi yang bikin seret seperti ini. Kleningan sangat berguna."
"Bodoh! Siapa yang mengajari seperti itu!"
"Pokoknya kleningan harus diturunkan!"
Gerombolan tersebut terpecah menjadi dua dan saling bentrok. Yang perempuan saling jambak. Yang laki-laki adu jotos. Teriakan kesakitan terdengar di sana-sini. Tidak ada yang tahu telinga seseorang telah hancur dengan suara gaduh di depan rumahnya. Sampai akhirnya, pemenangnya adalah kelompok orang-orang yang setuju kleningan diturunkan.
Bu Ani yang kerudung jingga-nya robek tertawa puas. Dia berterima kasih kepada semua orang. Hatinya benar-benar lega. Dengan begini anaknya tidak akan kesakitan lagi, pikirnya. Jadi, dia buru-buru pulang. Menemui anaknya. Anaknya sudah duduk dengan santai sembari memainkan gadget-nya lagi. Seakan dia langsung sehat begitu kleningan diturunkan.
“Fathan, kamu sudah sembuh, Nak?” panggil ibunya penuh haru. Dengan senyum lebar, Fathan mengacungkan jempol, “Telinga Fathan sudah tidak sakit, Bu.”
“Syukurlah, kalau begitu kamu segera makan, ya?”
“Apa, Bu?!” kata Fathan setengah berteriak.
“Kamu segera makan.”
“APA?! Jangan main dulu?”
Hati Bu Ani yang sempat lega kembali teracak-acak. Bingung dengan apa yang terjadi pada anaknya. “Kamu kenapa, Nak?” tanya Ibunya pucat.
"Ibu ngomong apa? Fathan nggak bisa mendengar ibu."
Keduanya panik.
"Bu, Fathan kenapa nggak bisa mendengar ibu?"
Bu Ani menangis memeluk Fathan. "Fathan jangan membuat ibu takut!"
"Bu Fathan kenapa?!"
Bu Ani terus memanggil nama Fathan. Tapi dunia Fathan telah sunyi seutuhnya.
Di kejauhan, suara kleningan itu tetap berbunyi.
Klening! Klening! Klening!
Tapi tak ada lagi yang peduli.
Dampit, 3 September 2021
NB: Kunjungi kumpulan cerita penulis berjudul "Do Not Expect" di menu utama ya. thx u :)