Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Thriller
KKSF #2 Pelarian Seorang Gadis
0
Suka
1,272
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku tak habis pikir. Apa salahnya jika seorang perempuan menghabiskan malamnya dengan minum-minum? Jujur, ini kali pertama aku begini. Itu pun karena masalah pribadi yang mengusik pikiranku baru-baru ini.

Aku baru saja ditinggal pergi pacarku. Dasar lelaki brengsek! Semua lelaki itu sama; egois dan suka seenaknya! Mereka tak segan-segan mempermainkan seorang perempuan hanya demi kesenangan belaka. Itulah yang terjadi padaku.

Diriku tak berguna di mata lelaki itu. Aku diibaratkan sebuah benda yang, jika sudah bosan dipakai, akan dibuang seenak jidatnya saja. Sungguh malang nasibku ini.

Sebenarnya hubungan kami belum berjalan terlalu lama; baru dua tahun. Seharusnya dia merasa beruntung sekaligus senang punya pacar sepertiku.

Parasku ini bisa dibilang sangat cantik. Bentuknya oval, ada kesan-kesan oriental yang terlihat jelas di sana. Kulitku juga putih dan mulus—aku selalu merawatnya di klinik kecantikan yang mahal. Aku juga wanita karir yang sukses.

Pekerjaanku memiliki gaji yang lumayan besar, lebih dari cukup untuk sekadar bermewah-mewahan. Kalau dipikir-pikir, apa kurangnya aku di mata lelaki berengsek itu?

Aku juga bukan perempuan yang posesif. Aku selalu memberi kebebasan kepadanya untuk melakukan hal dia suka. Sedangkan lelaki itu, dia memang tampan dan juga matang; seorang entrepreneur sukses.

Tapi sifatnya itu, lho, yang membuatku tak habis pikir. Dia sangat posesif dan pengatur. Semua harus sesuai dengan kemauannya. Awalnya orang-orang pasti bisa sabar dan memaklumi sikap kekanak-kanakannya itu, tapi lama-lama, siapa yang bisa tahan dengannya?

Aku! Aku tahan dengan sifatnya itu. Bodohnya diriku! Bahkan aku terlihat lebih bodoh lagi saat lelaki tak tahu diuntung itu meninggalkanku. Cinta itu memang buta.

Sebenarnya bukan masalah percintaan sialan itu yang mengganggu pikiranku sekarang, tapi lelaki yang di ujung itu! Dari sejak aku duduk, hingga meninggalkan bar—tak tahu pukul berapa, yang jelas sudah lewat tengah malam, dia selalu memperhatikanku.

Bahkan dia tak segan-segan mengikutiku. Buru-buru aku mempercepat langkahku. Namun dia, dia juga berjalan lebih cepat. Penguntit menyedihkan! Apa lagi sebutannya—selain penguntit—untuk lelaki yang malam-malam begini mengikuti seorang perempuan?

Namun saat aku tak sengaja melirik orang itu untuk memastikan jaraknya, aku menarik kata-kataku barusan. Mata itu bukan mata penguntit, tapi pembunuh! Ya Tuhan, aku belum mau mati!

Jarak rumahku dan bar yang tadi aku kunjungi tak begitu jauh, hanya lima ratus meter. Makanya aku berani berlama-lama di sana. Alasanku bukan hanya itu, tapi karena jalan di daerah ini—walau di pinggiran kota—tidaklah pernah sepi. Bahkan di jam-jam lewat tengah malam seperti saat ini.

Namun layaknya nasib sial yang tak kunjung pergi, malangnya aku ketika di saat genting, jalanan sekitaran mendadak sepi. Kosong. Hanya ada aku dan lelaki mengerikan itu.

Mata lelaki itu tersorot tajam, seakan membelah jalan kosong yang aku lalui. Sampai-sampai aku tak berani untuk menatapnya lagi. Mata itu menyeramkan!—bengis!—penuh dosa! Lututku mendadak lemas ketika tadi melihatnya. Aku sangat takut.

Keringatku bercucur dari ubun-ubun, menjalar hingga ke kaki! Bayangkan betapa dahsyatnya efek dari tatapan bengis itu terhadapku. Kutambah kecepatan langkahku hingga berlari. Pikiranku sangat kacau, melayang entah ke mana.

Kusebutlah beragam doa apa saja yang terpintas di pikiranku. Dan semuanya aku sebutkan sambil terus memohon; jangan ambil dulu nyawaku, Tuhan!

Aku tak bisa fokus. Bermacam-macam pikiran mengerikan kini menghantui otakku. Kepalaku seperti ingin meledak saja rasanya. Aku semakin linglung, sampai-sampai aku lupa jalan menuju rumahku sendiri.

Sempat aku kepikiran untuk berteriak minta pertolongan. Tapi sama siapa? Itu percuma, karena seperti yang sebelumnya kukatakan, tak ada seorang pun di sini. Dan yang semakin membuatku frustrasi adalah, jalan yang saat ini kulewati tak lain merupakan kompleks pertokoan.

Semua toko-toko yang ada di sini sudah tutup. Tidak ada orang yang tinggal di sana, bahkan tak ada batang hidung satpam yang terlihat sekali pun.

Jalanku menuju rumah, selain tidak terlalu jauh, juga tidaklah sulit. Aku hanya perlu berjalan lurus ke arah timur, lalu setelah melewati empat blok—panjang satu blok sekitar seratus meter, aku tinggal berbelok ke kiri, arah utara.

Dari sana, sekitar seratus lima puluh meter, akan terlihat jalan masuk gang ke rumahku. Dari gang itu pun rumahku sangat dekat; rumah ketiga dari depan. Jalannya sangat amat mudah dilalui, jika dengan pikiran jernih. Jika tidak, maka akan bernasib sama sepertiku.

Entah bagaimana ceritanya hingga aku malah masuk ke dalam sebuah gang kecil, buntu pula. Perkiraanku gang itu memiliki lebar yang tidak sampai dua meter, mungkin sekitar satu setengah meter saja. Sangat sempit.

Belum lagi jika melihat ada dua buah bak sampah—berbentuk persegi panjang—yang berdiri di tiap-tiap sisinya. Hal itu masih terbilang untung, karena bak sampah itu tidak berhadapan satu sama lain—ada jarak sekitar tiga langkah dari bak sampah satu ke yang lainnya.

Lantas, di mana untungnya? Entahlah. Aku hanya asal menebak, mungkin agar merasa lebih tenang. Tapi itu sama sekali tak berguna. Aku takkan bisa tenang sebelum lelaki itu berhenti mengintai dan membuntutiku.

Aku berdiri di ambang tembok paling ujung gang sempit itu. Setiap embusan napas yang keluar dari tubuhku seakan membuatku makin gentar. Peluh yang bercucur dari atas kepala semakin besar dan deras.

Detak jantungku, aku sampai bisa mendengarnya dengan jelas. Di tengah gemetarnya tubuh aku berbalik badan. Lelaki itu sudah berada di depanku—hanya terpaut lima langkah saja! Kedua lututku semakin goyah. Mungkin jika aku tak berusaha dengan gigih menahannya, aku akan ambruk saat ini juga.

Lelaki itu maju dengan perlahan. Ingin aku bergerak mundur menjauh, namun kakiku terlalu lemah untuk berjalan. Dia merogoh saku jaketnya. Mengambil sesuatu, mungkin sebilah pisau!—Oh, tidak!—kumohon, aku belum mau mati!

Tangannya masih berada di saku jaket saat tubuhnya sudah berjarak dua langkah dariku. Sekonyong-konyong badanku semakin lemas. Dua lututku tak sanggup lagi menahan bobot badan ini. Aku pun jatuh berlutut.

Yang membuatku sedikit dapat bernapas lega adalah saat melihat tangannya yang sudah keluar dari saku. Rupanya, lelaki itu hanya ingin mengembalikan dompetku yang sepertinya tertinggal di bar.

Dia menyodorkan tangannya ke arahku yang kini terduduk. Tanpa berucap aku mengambil dompetku, dia pun sama diamnya denganku. Aku masih belum dapat bangkit dari dudukku.

Dengan dompet yang masih tergenggam, aku melihat punggung lelaki itu menjauh. Namun setelah berjalan sekitar tujuh langkah dia berhenti, lalu melirikku.

Suasana mendadak hening. Kedua mataku terbelalak. Aku begitu putus asa hingga udara jadi terasa amat berat. Napasku tertahan. Jantungku seakan berhenti berdetak. Karena dari arah lirikan itu aku tahu—sosok yang mengintaiku—dia ada di belakangku![]

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Thriller
Cerpen
KKSF #2 Pelarian Seorang Gadis
Adnan Fadhil
Flash
This valentine
Bungaran gabriel
Novel
Bronze
Keris Puspa Dumilah
Nanang Hadi Sucipto
Novel
Bronze
Villa Cinta
Herman Sim
Novel
POST-WAR
Andika purnomo
Novel
Black Rose
aksara_g.rain
Novel
Anjelica
Ziendy Zizaziany
Novel
Umbuk Umbai
Iyas Utomo
Novel
Bronze
Ngereh
Bakasai
Flash
Macan Kumbang
Ikhsannu Hakim
Novel
Bronze
Berbalas Surat Denganmu
Seli Suliastuti
Flash
Anneliese
Zi Chaniago
Cerpen
Bronze
Skandal
Sulistiyo Suparno
Novel
Bronze
'98 di Negeri Antah-berantah
🕯Koo Marko✨
Novel
Bronze
PAKET!!
mahes.varaa
Rekomendasi
Cerpen
KKSF #2 Pelarian Seorang Gadis
Adnan Fadhil
Cerpen
Bronze
Tragedi yang Indah
Adnan Fadhil
Novel
Lukisan Kematian
Adnan Fadhil
Novel
Memori Berdarah
Adnan Fadhil
Cerpen
Bronze
KKSF #5 Desir Angin, Gemuruh, Langkah Kaki
Adnan Fadhil
Flash
Bronze
Kemah dan Air Mata
Adnan Fadhil
Flash
Bronze
Buku Harian Nana
Adnan Fadhil
Cerpen
Bronze
KKSF #6 Teror Sang Malam
Adnan Fadhil
Cerpen
KKSF #1 Cermin Pengulang Takdir
Adnan Fadhil
Cerpen
KKSF #3 Mahakarya Terakhir
Adnan Fadhil
Cerpen
Bronze
KKSF #4 Mata-Mata Menjijikkan
Adnan Fadhil
Cerpen
Bronze
KKSF #7 Dalam Keputusasaan
Adnan Fadhil