Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hidupku merana. Aku sebatang kara, tak punya harta benda, bahkan pekerjaan untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar. Baru saja aku didepak dari toko bangunan tempatku akhirnya mendapat pekerjaan setelah hampir satu bulan menganggur. Padahal, belum sampai seminggu sejak aku mulai menggantung hidup dari sana.
Berbekal tas kecil berisi uang sisa dua puluh ribu Rupiah dan ponsel berlayar retak, aku menelusuri jalanan pinggir kota. Pikiranku kosong. Semangat hidupku kian meredup seiring langkah kaki yang semakin berat dan gontai.
Sudah lebih dari setahun aku menjalani kehidupan yang penuh penderitaan. Sekitar enam bulan yang lalu, istriku kabur dengan membawa anak kami yang belum genap dua tahun. Katanya, dia sudah tak sanggup hidup denganku, lelaki pecundang yang tak bisa memberi nafkah. Aku tak dapat menyanggah. Aku mengakui bahwa diriku memang seorang pecundang. Aku terlalu memercayai orang lain. Lebih tepatnya, memercayai penipu bermulut manis.
Kira-kira satu setengah tahun yang lalu, ketika investasi kripto sedang marak diperbincangkan, seorang teman semasa sekolah mengajakku berinvestasi pada salah satu koin kripto. Dia bilang, koin itu punya potensi yang bagus sekali. Aku diming-imingi bakal mendapat keuntungan besar dengan mudah dan waktu yang relatif cepat. Tak lupa dia pun menunjukkan bukti-bukti atas kesuksesannya berinvestasi di koin kripto itu, yang kulihat sangat dapat dipercaya.
Maka kuhabiskan hampir seluruh tabunganku—hasil dari bekerja sebagai karyawan rendahan di sebuah perusahaan kelas menengah—untuk berinvestasi di koin itu. Namun, kesuksesan instan yang terus-menerus temanku imingi itu rupanya semu belaka.
Bukannya meroket, seperti yang selalu temanku ujarkan, nilai koin itu malah terus menerus terjun bebas, terjerumus ke titik terendah. Aku pun menelan kerugian yang teramat besar. Sementara temanku, dengan tidak bertanggung jawab, menghilang layaknya ditelan bumi.
Nahas, kesialanku rupanya tidak berhenti di situ saja. Dua bulan pasca insiden koin keparat, lagi-lagi aku mendapat kejutan tak terduga.
Perusahaan tempatku menggantungkan hidup, rupanya tengah terombang-ambing nyaris kolaps. Satu-satunya cara agar perusahaan itu bisa bertahan hanyalah dengan mengurangi karyawan. Aku pun dipaksa pasrah, ketika menjadi satu dari puluhan orang yang bernasib sial. Itulah awal mula dari kesengsaraan yang ternyata terus-menerus merenggutku tanpa ampun.
Bulan demi bulan berganti, tabunganku yang tinggal sedikit semakin menipis, sementara aku tak kunjung mendapat pekerjaan tetap. Anak kecilku tak henti-hentinya menangis, meminta susu. Istriku pun berubah total. Wajahnya tak pernah lagi tersenyum layaknya dulu. Nada bicaranya tak lagi selembut saat-saat lalu. Kemudian, tibalah waktunya bagi istriku meneriakkan isi hatinya yang selama ini dipendam, dan dua orang yang paling aku sayangi akhirnya melarikan diri dariku.
Sepanjang lamunanku akan masa lalu, tak terasa hari sudah menjelma gelap. Aku tetap saja menekuk wajah. Langkahku terasa semakin berat. Aku begitu frustrasi, bahkan rasa lapar pun tak bisa lagi otakku menanggapinya.
Lalu, di tengah kepalaku yang mendadak nyeri, sekonyong-konyong terbesitlah keinginan untuk mati malam ini. Sambil tetap memaksa melangkah, kupikirkan berbagai ide mengakhiri hidup menyedihkan ini dengan matang. Akan tetapi, semua ide-ide itu rasanya mustahil untuk kulakukan saat ini.
Aku berpikiran untuk menyayat urat nadi atau gantung diri di dalam kamarku, tapi itu tak mungkin lagi. Aku baru saja diusir dari indekos karena menunggak uang sewa tiga bulan. Aku berpikiran untuk terjun bebas dari gedung tinggi. Tapi gedung siapa? Aku tak mungkin bisa masuk ke sembarang gedung begitu saja. Terjun bebas dari jembatan ke dasar sungai pun percuma, karena di kota ini tidak ada satu pun sungai, apalagi jembatan.
Ah, aku terpikirkan cara lain yang mungkin ampuh; melompat ke tengah jalan saat truk besar melintas cepat. Tapi bagaimana jika aku belum mati setelah ditabrak? Bagaimana jika aku berhasil dilarikan ke rumah sakit tepat waktu dan berhasil diselamatkan? Mau dibayar dengan apa biaya perawatannya nanti? Aku pun berdecak gusar. Memikirkan cara mati saja aku tak bisa, apalagi memikirkan hidup.
Ketika terhanyut dalam pikiran akan kematian yang semakin melayang jauh, tanpa sengaja aku malah berhenti di depan sebuah toko tua nan usang. Kupandangi plang yang bergantung di atas pintu masuk toko itu. Sulit untuk membacanya di tengah cahaya temaram, apalagi karena tulisannya yang sudah memburam. Namun, setelah menyipitkan mata agar lebih fokus, barulah aku bisa membacanya.
“Toko … keramat?” Secara spontan, aku menggumamkan nama toko itu.
Lalu semilir angin sejuk sekelabat menggelitik telingaku. Hawanya menjalar hingga ke tengkuk, membuatku meremang. Samar-samar, aku bisa mendengar semacam bisikan, tetapi tak bisa aku menalar kalimat apa yang diutarakan. Dan pada detik-detik berikutnya setelah bisikan itu perlahan sirna, sekonyong-konyong aku sudah berdiri tegak di dalam toko itu.
Kesan pertama yang kudapatkan setelah berada di dalam adalah rasa ngeri. Sekujur badanku spontan bergidik. Hawa di sekitar tempat ini terasa begitu dingin, juga suram. Dan yang paling aneh, sekeras apa pun aku berusaha pergi dari sini, sekeras itu juga aku tak dapat bergerak—kecuali untuk masuk lebih dalam. Terpaksa aku pun melangkahkan kaki, maju dengan hati-hati.
Ruangan yang didominasi warna umber ini, menurut hematku, dipenuhi barang-barang yang tampak aneh, antik, dan … keramat. Seperti yang ada di sebelah kiriku ini, contohnya. Sebuah bola kristal. Bola itu bening mengilap, bersemayam pada semacam bantal berlapis kain berwarna biru gelap. Aku tak paham untuk apa fungsi bola kristal mencurigakan itu, jadi aku melewatinya.
Benda lain yang menarik perhatianku adalah sebuah boneka. Bukan jenis boneka normal yang lucu dan menggemaskan, tapi jenis lain yang berwujud suram. Kalau tidak salah ingat, itu boneka Voodoo. Aku mengetahuinya karena pernah melihat boneka sejenis itu di film-film Barat.
Sampailah aku di ujung ruangan … tunggu dulu. Aku bergeming instan. Otakku menangkap satu hal yang teramat ganjil. Mengapa dari tadi aku tak melihat satu orang pun di sini? Bukannya aneh jika dalam sebuah toko tidak ada satu orang pun yang menjaganya? Namun, pemikiranku ini mendadak sirna lantaran ekor mataku menatap sesuatu di sudut toko.
Bukan benda aneh kali ini, tetapi benda antik. Sebuah cermin berukuran sekitar empat telapak tangan orang dewasa. Cermin itu berbingkai perunggu, dan terlihat sama suramnya dengan toko ini. Namun, yang membuatku terpukau adalah ukiran pada bingkainya. Aku tak tahu berjenis apa, tapi lihatlah! Betapa cantiknya benda itu. Tebakanku, cermin itu sudah berumur lebih dari tiga ribu tahun.
Ragu-ragu, aku menggerakkan tangan untuk mengambilnya. Sudah menjadi kebiasaan seseorang ketika memegang cermin, pastilah menghadapkannya ke arah wajah. Itu juga yang kulakukan sekarang. Terlihatlah di situ refleksi wajah menyedihkan dari seorang aku.
Bentuk wajahku lonjong dengan rahang tirus karena kurang asupan gizi. Raut mukaku sekarang tampak begitu kusut dan muram. Rambutku pun tak kalah kusut dari wajahku; panjang, kering, dan bercabang. Mata sipitku menatap dengan tanpa cahaya. Ada garis-garis hitam di bawah kedua mataku akibat kurang tidur. Bibirku pun kering karena dehidrasi.
Sekonyong-konyong, saat tengah iba melihat air muka menyedihkanku, pantulan dari cermin itu malah menampakkan ekspresi yang berbeda. Aku terkesiap bukan kepalang. Mataku sontak terpejam. Namun, meski begitu, otakku menginstruksikan untuk tetap menatapnya. Maka, kutelan ludah, lalu mulai membuka kedua mata perlahan.
Wajahku dalam cermin itu menyeringai. Lebar, hingga berkesan menakutkan. Kedua ujung bibirku seperti menyentuh telinga. Jika arah bibirku berlekuk ke atas, kedua mataku malah sebaliknya; berlekuk ke bawah. Aku menjadi semakin panik, sampai-sampai hampir saja cermin itu terlepas. Tanganku, tidak, seluruh tubuhku kini bergetar begitu hebat.
Belum sempat aku menenangkan jantungku yang semakin liar berdetak, pantulanku dalam cermin itu mulai berseru, “Takdir! Akan kuberi kau kuasa untuk mengulang takdirmu sendiri!”
“Mengulang … takdir?”
“Yang perlu kau lakukan hanyalah memecahkan cerminnya!”
“Ma-maksudnya?”
“Kematianmu sudah dekat. Tapi, dengan kuasaku, kau dapat mengulang takdirmu itu. Dengan kata lain, kau dapat mengakali kematian!”
Aku terdiam. Masih bingung antara percaya dan tidak percaya dengan omongan itu. Namun yang pasti, hatiku tergugah. Seperti ada yang merasuki tubuhku, kuangkat tangan yang memegang cermin, lalu melemparnya sekuat tenaga. Pecah.
Akan tetapi, alih-alih melihat pecahan cermin di lantai, aku malah sadar jika sekarang sedang berada di sebuah ruangan kosong. Kejadian itu begitu capat. Aku bergeming. Sendirian dan kebingungan. Mungkinkah itu mimpi? Ataukah hanya ilusi? Entahlah. Yang jelas, badanku tetap saja tak berhenti bergidik. Buru-buru aku berlari, keluar dari tempat suram ini.
Di luar, orang-orang seperti melihatku dengan tatapan heran dan berkesan penuh kecurigaan. Itu wajar. Siapa yang tak akan curiga kalau melihat seseorang—dengan tampang begini pula—tiba-tiba keluar dari bekas toko yang sudah kosong? Tapi aku tak mau ambil pusing.
Susah payah aku mengatur napas yang menggebu karena kejadian aneh tadi. Butuh sekitar dua menit untukku melakukannya. Setelah tenang, sambil berjalan, kucoba mengingat apa saja yang tadi kulalui. Semuanya jelas, tidak seperti mimpi yang biasanya hanya dapat diingat sepenggal saja. Kalau itu nyata, berarti, apakah sebentar lagi aku akan mati?
Sekonyong-konyong langkahku terhenti. Memikirkan kematian membuat jantungku seperti meloncat keluar. Baru saja satu detik aku sadar kalau tubuhku berhenti tepat di tengah jalur jalan raya. Aku pun terpental. Sebuah truk menabrakku. Saat melayang, aku merasa sekitaranku bergerak dengan sangat lambat, dan inilah yang terlintas di benakku; yang tadi itu, rupanya kenyataan!
Layaknya orang yang terjaga dari mimpi buruk, mataku terbuka dengan dada yang teramat sesak. Aku sadar jika sedang berdiri sekarang. Aku berdiri di tempat yang familier; tempatku menemukan cermin berbingkai perunggu. Badanku lemas bukan main. Aku terhuyung kemudian ambruk seketika. Sambil duduk, satu tanganku memegang kepala yang terasa mau pecah.
“Satu takdir sudah kau ulang. Sekarang tersisa dua takdir lagi!” Bisikan itu tiba-tiba bergema dalam kepalaku.
Sial, aku benar-benar bisa mengakali kematian! Namun, untuk orang gagal sepertiku, hal itu justru membuatku kecewa. Untuk apa punya kuasa mengakali kematian jika awalnya saja sudah berniat untuk mati? Belum lagi jika harus tiga kali merasakan sakitnya meregang nyawa. Itu namanya bukan keuntungan, tapi kesialan. Tiga kali kesialan.
Aku pun bangkit, lalu keluar dari tempat ini. Saat tiba di luar, semuanya sama persis dengan yang sebelumnya aku lalui. Orang-orang yang melintas terlihat sama. Tatapan mereka pun juga sama. Aku kembali menelusuri jalan yang kulewati di kesempatan pertama. Setibanya aku di lokasi persis tempatku sebelumnya tertabrak truk, aku tiba-tiba bergeming, lalu menyeringai perlahan. Terlintas di pikiranku untuk bukan hanya mengakali takdir, tapi mempermainkannya!
Pandanganku mengarah jauh ke arah kanan. Terlihat dari situ—sekitar tiga ratus meter—sebuah truk melaju di sepanjang jalan yang kebetulan kosong. Agak cepat aku melangkah, lalu berhenti di tengah jalur jalan itu dengan badan yang menghadap ke arah datangnya truk.
Beberapa waktu berlalu, truk itu kini berada sekitar seratus meter. Dapat kulihat pengemudi truk dengan panik menekan klakson. Aku menyeringai. Adrenalinku terpacu. Belum pernah kudapat perasaan seperti ini sebelumnya. Dan kalau boleh jujur, aku merasa begitu senang sekarang.
Jarak truk dariku sudah lima puluh meter! Sekaranglah waktunya untuk menghindar. Aku melompat ke kanan. Truk besar berhasil kuhindari. Tapi nahas, sekonyong-konyong tubuhku malah menyambar mobil dengan keras. Rupanya, tanpa pernah kusadari, ada satu mobil yang dengan kencang menyalip truk dari sebelah kiri. Aku pun kembali mati untuk yang kedua kalinya.
Takdir dan kematian. Pada dasarnya dua hal itu tidaklah bisa dihindari, apalagi diakali dan dipermainkan. Aku pun tahu itu. Tapi kesempatan langka ini sangatlah jarang, bahkan tidak pernah dimiliki satu orang pun sebelumnya. Hanya aku, orang menyedihkan macam akulah yang secara tak sengaja mendapatkan kuasa mengakali takdir dan kematian.
Aku sudah bangkit kembali. Ini kesempatan ketiga. Lebih tepatnya kesempatan terakhir. Aku tergelak sejadi-jadinya. Ini terlalu menyenangkan! Rasanya aku ingin mempermainkan takdir dan kematian sebanyak-banyaknya! Namun, saat teringat ini adalah kesempatan terakhir, aku mendadak hening.
“Cermin sialan!” teriakku sesaat kemudian. “Kenapa kau hanya memberiku tiga kesempatan, bajingan! Lebih banyak lagi … aku mau mempermainkan takdir lebih banyak lagi!” Gelakku semakin nyaring.
Berteriak dan tertawa sekuat-kuatnya membuat napasku menggebu. Kini aku terdiam, berpikir. Rupanya apa yang dikatakan orang-orang itu benar. Manusia akan jadi lupa diri saat mendapat kekuasaan, apalagi kalau punya kuasa untuk mengulang takdir. Tapi aku tak peduli dengan omong kosong itu. Rasa senang dalam diriku ini sudah mendarah daging.
Aku belum merasa puas. Sama sekali belum. Layaknya binatang buas yang haus akan mangsa, aku tak lagi menggunakan akal, tapi insting. Dan sekarang, instingku untuk bisa mempermainkan takdir sebanyak-banyaknya itu sudah mencapai puncaknya. Emosiku semakin tak terkontrol. Kedua mataku dengan liar menjelajahi setiap sudut ruangan, mencari keberadaan cermin berbingkai perunggu.
“Lagi-lagi-lagi,” gumamku berulang-ulang. Bukan hanya mata, kini kedua kakiku pun ikut bergerak mengelilingi tempat suram ini. Dari hanya bergumam, aku pun jadi berteriak, “Lagi-lagi-lagi! Di mana kau cermin sialan?! Beri aku kesempatan lagi! Sebanyak-banyaknya!”
Aku tak dapat menemukan apa yang kucari. Rasa kesal dan amarah semakin mendesak dalam dadaku. Rasanya begitu sesak dan panas. Berteriaklah aku sejadi-jadinya, meluapkan kekesalan dan kemarahan yang tak dapat lagi kubendung.
Tanpa sadar, aku berhenti di tempatku melihat cermin itu pertama kali. Suasana di tempat ini sekakin gelap, mungkin sudah lewat tengah malam, tapi entah bagaimana aku bisa melihat jelas benda yang tergantung pada dinding di depanku. Aku menemukannya! Itu dia!—cermin berbingkai perunggu!
“Pecahkan … pecahkan cerminnya!”
Kubenturkan kepalaku sekuat-kuatnya ke badan cermin itu. Kulihat cerminnya hancur dalam sekali benturan, namun kembali menyatu. Kubenturkan lagi kepalaku. Cerminnya pecah kembali, lalu menyatu lagi. Kubenturkan lagi, lagi, dan lagi. Berkali-kali, hingga wajahku dipenuhi darah yang mengalir tiada henti.
“Lagi! Pecahkan lagi!”
Benturan kepalaku semakin kuat dan cepat, hingga tak ada lagi sakit yang bisa kurasakan. Suara dentumannya pun menjadi terdengar nyaring—mungkin tengkorakku sudah retak sekarang. Benturan demi benturan itu berlangsung sangat lama sekali, sampai-sampai pandanganku perlahan buram. Tapi tetap kubenturkan kepalaku lagi dan lagi, tiada henti.
Sampai pada akhirnya, sebelum membenturkan lagi kepalaku, aku sadar kalau di depanku itu tidak ada cermin! Pandanganku semakin buram, dan perlahan jadi gelap. Kubenturkan lagi kepalaku untuk yang terakhir. Pelan kali ini. Aku pun terhuyung, lalu jatuh. Sialan, orang menyedihkan sepertiku ternyata akan mati dengan cara yang juga menyedihkan.[]