Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kita hanya punya waktu tiga puluh hari.
Tiga puluh hari yang semula terasa panjang, kini terasa seperti nafas yang hanya dihela sekali dan habis.
Hari pertama KKN, aku masih mengira kisah ini akan sederhana. Bangun pagi, kerja bakti, penyuluhan, menulis laporan, lalu tidur. Tapi aku lupa satu hal: manusia tak pernah hanya membawa koper berisi baju dan alat mandi. Kita juga membawa rasa.
Dan rasa itu tumbuh di antara kami tujuh orang asing yang tinggal dalam satu atap.
Kami sampai di Padukuhan Sukaluyu pukul dua siang, bus kampus berdebu, dan semua kelelahan. Aku, Ardi, dan lima mahasiswi: Alya, Nina, Mira, Sita, dan Tari.
Alya langsung menyusun pembagian tugas. “Kita harus sistematis. Ini bukan liburan,” katanya, mencoret di papan tulis kecil yang kami bawa dari kampus.
Ardi hanya tertawa. “Baik, Komandan.”
Mira mulai menulis di buku catatannya. Kata dia, setiap hari akan ia isi dengan puisi. Tari sibuk membereskan dapur. Sita menyalakan kipas angin portabel dan bilang, “Desa ini panas banget, kayak hati yang habis diselingkuhin.”
Semua tertawa. Tapi tidak aku.
Aku mengamati mereka. Raka, si pendiam dan rasional. Aku. Entah mengapa aku tahu kisah cinta pasti akan muncul, dan bukan aku tokohnya.
Ardi dan Alya semakin sering bersama. Alya yang biasanya tegas, mulai menurunkan nada suaranya saat bicara pada Ardi. Dan Ardi dia selalu punya alasan untuk duduk di sebelah Alya saat makan malam.
Nina melihat itu. Aku melihat Nina.
Dia sering duduk di beranda, memeluk lututnya, memandangi langit desa yang bersih dari polusi. Kadang ia menghela napas, kadang tersenyum kecil pura-pura tak terganggu.
Lalu malam itu, dia bicara padaku.
“Raka,” katanya pelan. “Menurutmu, Ardi tahu kalau aku suka dia?”
Aku terdiam. “Entahlah.”
“Padahal aku cuma pengin tahu… rasanya dicintai balik itu kayak apa.”
Aku tak tahu harus bilang apa. Tapi aku tahu persis rasa itu dan bukan karena aku mencintai Nina.
Mira menemukannya di sela proposal program: selembar kertas lipat empat, tulisan tangan, tanpa nama.
“Kalau saja kau tahu, aku ingin menjadi tempatmu pulang. Tapi kamu lebih suka orang yang tak pernah diam di satu tempat.”
Kami membacanya bersama. Sita langsung menuduh, “Ini pasti kerjaan Mira.”
Mira tersenyum, “Kalian pikir cuma aku yang bisa nulis begini?”
Nina pucat. Aku menatapnya, dan dia mengalihkan pandangan.
Malam itu, aku mendengar suara sobekan kertas dari arah dapur. Dan suara sesenggukan yang tertahan.
Hari itu, acara penyuluhan gagal total. Warga tak datang karena salah info dari pihak desa. Alya panik, Ardi menyalahkan sistem, Sita melempar proposal ke meja dan berkata, “Capek! Kita kerja mati-matian, kalian malah sibuk kode-kodean cinta murahan!”
Semua hening.
Alya berbalik, wajahnya merah. “Kalau kamu capek, jangan libatkan perasaan pribadi ke kerja kelompok.”
“Ya, terus kalian berdua itu enggak ada perasaan pribadi?”
Ardi berdiri. “Cukup!”
Hari itu, kami makan malam tanpa suara.
Malam sunyi. Aku dan Sita duduk di bale bambu depan posko, dengan segelas teh dan jangkrik sebagai musik latar.
“Kamu tahu, Ka?” katanya.
“Apa?”
“Aku sebenarnya takut suka sama orang. Aku terbiasa sendiri.”
Aku menoleh. “Aku juga.”
Ia tertawa pahit. “Lucu ya? Kita duduk berdua, tapi merasa sendiri.”
Aku ingin menggenggam tangannya. Tapi aku tak punya keberanian seperti Ardi.
Nina memberanikan diri bicara pada Ardi, dengan suara hampir patah.
“Aku suka kamu. Sejak awal. Tapi aku tahu kamu sukanya sama Alya.”
Ardi menunduk. “Nina, maaf… aku enggak pernah sadar. Aku kira kamu cuma baik.”
Nina tertawa kecil, basah.
“Itu masalahnya, Di. Cewek baik enggak selalu cukup.”
Malam itu sunyi sekali.
Tak ada tawa, tak ada obrolan keras, tak ada suara musik dari speaker Ardi seperti biasanya. Semua sibuk sendiri mencuci baju terakhir, mencatat laporan, atau hanya duduk merenung di pojok-posko.
Aku menemukan Sita di halaman belakang, duduk sambil memandang langit.
“Langitnya jernih banget malam ini,” ujarku membuka percakapan.
“Besok kita enggak akan lihat bintang bareng lagi, ya?” katanya tanpa menoleh.
Aku duduk di sebelahnya, cukup dekat untuk merasakan kehangatan, cukup jauh untuk tetap saling menjaga jarak.
“Sita…”
“Ya?”
“Aku enggak akan paksa kamu untuk jawab apa-apa. Tapi aku cuma mau bilang: tiga puluh hari ini terasa beda karena kamu.”
Ia menoleh, dan untuk pertama kalinya tak menyembunyikan tatapannya.
“Aku juga, Ka. Aku belajar… bahwa enggak semua perasaan harus buru-buru ditentukan. Tapi, kalau kamu masih mau tetap ngobrol, kirim kabar, walau kita udah bukan tim KKN aku mau.”
Aku tersenyum kecil. Rasanya hangat, seperti teh yang belum sempat diminum tapi cukup untuk membuatmu nyaman hanya dengan aromanya.
Pagi itu semua bergerak pelan. Bukan karena ngantuk, tapi karena enggan.
Mira menempelkan puisi terakhirnya di pintu posko:
“Perjalanan ini seperti benih ada yang tumbuh, ada yang diam, dan ada yang pergi ditiup angin. Tapi kita semua pernah ada dalam tanah yang sama.”
Tari sibuk membungkus oleh-oleh dari warga. Ardi membantu mengangkat koper ke truk, dan diam-diam mencuri pandang ke arah Alya yang tampaknya sudah kembali jadi Alya si ketua: tegas, efisien, dan sulit ditebak.
Nina menggendong anak kecil yang selama ini selalu duduk di pangkuannya saat program PAUD. Ia mencium kening bocah itu dan berbisik, “Semoga kamu tumbuh di tempat yang penuh cinta. Tidak seperti aku.”
Kami mengemasi barang. Foto-foto dicetak, warga berkumpul, anak-anak menangis.
Alya memeluk Ardi. “Terima kasih. Kamu bikin hari-hari di sini… agak lebih ringan.”
Ardi menjawab, “Kamu juga, Komandan.”
Mira membacakan puisi perpisahan. Nina menangis di pelukan Tari. Sita hanya melambai padaku, tapi aku tahu, dari caranya menatapku ia berharap kita akan bertemu lagi.
Bus melaju meninggalkan Padukuhan kecil itu, membawa kami kembali ke kenyataan yang telah lama menunggu. Tiga puluh hari seharusnya waktu yang pendek, tapi nyatanya cukup untuk membangun ikatan dan meretakkannya juga.
Di dalam tim KKN kami, ada dua cowok: aku, Raka, dan Ardi, sahabatku sejak semester pertama. Lalu lima cewek: Alya yang cerdas tapi judes, Nina yang lembut dan penuh perhatian, Sita si pendiam berhati hangat, Mira si tukang nyanyi, dan Tari yang selalu bisa menenangkan suasana ketika emosi kami mulai panas-panasnya.
Awal KKN, semua tampak biasa. Kami menyusun program kerja, berkenalan dengan warga, dan sibuk membagi tugas. Tapi seperti kata orang, tinggal bersama selama sebulan bisa membuatmu melihat sisi-sisi orang yang bahkan mereka sembunyikan dari diri sendiri.
Nina mulai menyukai Ardi. Terlihat dari cara dia menyajikan teh manis hanya untuk Ardi sepulang kerja bakti. Dari cara dia tertawa terlalu keras ketika Ardi bercanda. Dan dari puisi yang dia tempel diam-diam di dinding dapur.
Ardi? Seperti biasa. Tenang. Tidak peka. Atau mungkin pura-pura.
Alya, di sisi lain, tidak suka dengan semua kehebohan itu. “Kita di sini kerja, bukan drama cinta,” katanya. Tapi aku pernah lihat dia berdiri lama di depan pos ronda, menunggu Ardi yang tak kunjung kembali dari rapat dusun. Ada sesuatu yang tak selesai antara mereka.
Sementara aku? Aku sibuk mencatat, mendengarkan, diam-diam memperhatikan Sita yang selalu duduk paling akhir, selalu menulis di buku kecilnya, dan selalu menyimpan air mata di sudut matanya saat semua tertawa.
Malam ke-20, surat cinta anonim muncul di papan pengumuman. Ditujukan untuk “seseorang yang tak pernah bisa dijangkau, tapi selalu ada dalam doa.” Kami semua saling menatap, menebak-nebak siapa pengirimnya. Tapi hanya Nina yang memerah wajahnya, dan hanya Sita yang menunduk dalam.
Hari-hari berlalu, dan kami mulai lelah. Bukan karena kerja, tapi karena perasaan yang tak tersampaikan. Saat program sosialisasi kami gagal karena kurang persiapan, emosi meledak. Alya menyalahkan Ardi. Ardi mengangkat bahu. Nina menangis dan mengunci diri di kamar.
Malam itu, aku menemani Sita menyapu halaman. Diam. Lama. Lalu dia berkata, “Kadang, yang paling menyakitkan dari perasaan bukan ditolak. Tapi tak pernah sempat disampaikan.”
Aku menoleh, menatap matanya, dan merasa kalimat itu juga untukku.
Kami tak perlu saling menyentuh malam itu. Tapi di antara bintang dan suara jangkrik, kami tahu bahwa kami sedang menggenggam sesuatu yang pelan-pelan mulai tumbuh.
Hari ke-29, Nina mengaku pada Ardi. Di depan semua orang. Dengan suara bergetar, mata sembab. “Aku suka kamu, Di. Dari minggu pertama.”
Ardi menunduk. “Maaf, Nin. Aku terlalu takut menyakiti. Tapi justru malah bikin luka.”
Nina tersenyum kaku. “Nggak apa-apa. Setidaknya sekarang aku bisa tidur nyenyak.”
Malam itu aku duduk berdua dengan Sita di teras balai dusun. Kami tidak bicara banyak. Hanya saling berbagi diam yang hangat.
“Kalau waktu kita lebih lama, mungkin aku berani bilang aku suka kamu dari hari keempat,” kataku.
Sita tertawa pelan. “Kalau waktu kita lebih lama, mungkin aku juga akan jawab dari hari kelima.”
Hari ke-30, kami pamit pada warga. Pelukan. Foto bersama. Makan terakhir. Lalu naik bus.
Nina duduk di sebelah jendela, menatap sawah yang makin mengecil. Ardi duduk sendiri di belakang. Alya tak bicara sepatah kata pun sepanjang perjalanan. Sesekali, matanya bertemu dengan Ardi dari kaca spion bus, tapi tak ada yang berani menyapa duluan. Ada jeda panjang yang tak mereka isi, dan mungkin memang tak akan pernah mereka isi.
Tari duduk di tengah, sibuk membagikan camilan yang dia beli diam-diam semalam. Sejak awal, dia adalah orang yang menjaga kami tetap utuh senyumnya, celotehnya, bahkan caranya mengelak saat ditanya soal cinta. Mungkin dialah alasan kami tak pernah benar-benar pecah jadi serpihan.
Aku dan Sita duduk berdampingan, dan untuk pertama kalinya, kami tidak merasa perlu mengatakan apa pun. Cukup satu genggaman tangan yang tidak terlalu erat, tapi cukup untuk tahu kami pernah ada di titik yang sama.
Tiga bulan kemudian, sebagian dari kami bertemu di kampus. Akrab, tapi lebih seperti kenalan lama yang pernah berbagi tenda di pegunungan. Ardi dan Alya duduk bersebelahan di seminar, tapi tak saling sapa. Nina datang terlambat, lalu pulang duluan.
Sita? Kami tetap bertukar pesan sesekali. Tidak sering, tapi selalu hangat.
Hingga setahun kemudian, di hari yang sama dengan keberangkatan dulu, aku menerima sebuah email.
Dari: Sita
Subjek: 365 Hari Sejak Kita Pulang
Isi:
"Masih ingat jalan setapak menuju sungai yang selalu kita lewati diam-diam? Aku ke sana lagi hari ini. Dan aku merasa kamu masih duduk di sana, menyusun kalimat yang tak sempat kau ucapkan waktu itu. Kalau kamu masih menyusunnya, aku masih menunggu kalimat terakhirnya. Tapi kalau sudah selesai, kirimkan. Aku siap membaca."
Aku tersenyum.
Kadang, cinta tak datang seperti kembang api. Ia hadir seperti matahari pagi tak mengejutkan, tapi pasti.
Dan mungkin, ini bukan akhir.
Mungkin, ini baru bab berikutnya dari kisah kita nyata.
TAMAT