Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ini sungguh pertemuan yang tak terduga, Aruna masih mengingat hari itu dengan jelas, hari di mana dirinya untuk pertama kali berpapasan dengan Zenard, dosen muda di jurusan sastra. Ia baru saja memasuki semester akhir dan sedang mencari topik skripsi yang bisa membuatnya bersemangat. Saat itu, Zenard sedang memberikan materi sastra klasik dengan gaya yang tidak biasa, ia menggabungkan teori dengan pandangan hidup yang membuat para mahasiswanya, termasuk Aruna, terpaku mendengarkan.
Aruna yang biasanya tidak terlalu menonjol di kelas, merasa seperti ditarik oleh energi Zenard. Ada ketertarikan yang begitu kuat dalam dirinya, meskipun ia berusaha menepis rasa itu sebagai kekaguman semata. Tetapi, semakin sering ia mendengarkan Zenard berbicara, semakin dalam perasaan itu tumbuh, melampaui kekaguman.
Setelah kelas usai, Aruna memberanikan diri menghampiri Zenard untuk bertanya tentang topik yang bisa ia kembangkan untuk skripsinya. Zenard menyambutnya dengan senyuman ramah, senyuman yang semakin membuat hati Aruna berdebar. Ia tak tahu mengapa dirinya merasa begitu nyaman dan terhubung dalam perbincangan singkat itu.
Setelah pertemuan pertama yang mengesankan, Aruna semakin sering berdiskusi dengan Zenard, terutama tentang materi-materi untuk skripsinya. Dalam percakapan itu, mereka tidak hanya berbicara tentang sastra, tetapi juga mulai berbagi pandangan hidup, cita-cita, dan pengalaman pribadi. Zenard adalah pria yang cerdas dan perhatian, selalu mendengarkan dengan saksama ketika Aruna bercerita tentang dunia kecilnya.
Aruna pun menyadari bahwa perhatian yang Zenard berikan jauh lebih hangat dibandingkan dengan dosen lain. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara Zenard menatapnya, seolah-olah dirinya bukan hanya mahasiswinya, melainkan sosok yang benar-benar dipahami dan dihargai. Tanpa mereka sadari, pertemuan yang seharusnya formal berubah menjadi pertemuan yang dinantikan oleh keduanya.
Suatu sore, ketika hujan deras mengguyur, Zenard mengajak Aruna untuk berteduh di sebuah kafe kecil di dekat kampus. Di sanalah, untuk pertama kali, Aruna merasakan getaran perasaan yang lebih kuat. Zenard berbicara panjang lebar tentang mimpi-mimpinya, tentang perjalanannya menjadi seorang dosen, dan tentang bagaimana ia merasa menemukan kembali gairah hidup melalui dunia sastra. Aruna menyimak, terpesona dengan setiap kata yang terucap.
Tanpa disadari, Zenard mulai menggenggam tangan Aruna yang dingin karena hujan. Aruna terkejut, tetapi tidak melepaskan genggamannya. Ia hanya menunduk malu, merasakan hangatnya genggaman itu yang meresap hingga ke dalam hatinya. Namun, di balik semua kehangatan itu, ia tidak pernah menyadari bahwa ada sesuatu yang belum ia ketahui tentang pria yang duduk di hadapannya itu.
Hubungan mereka semakin dekat seiring berjalannya waktu. Aruna merasakan kebahagiaan yang sulit digambarkan ketika Zenard mulai mengirim pesan-pesan singkat di luar jam pertemuan mereka, menanyakan kabar atau sekadar berbagi puisi. Meski masih ada keraguan kecil, Aruna terhanyut dalam perasaan itu. Ia tahu Zenard bukanlah pria bebas dan ia tahu ada batasan yang tidak boleh ia lewati, tetapi ia menolak memikirkannya terlalu dalam.
Pada suatu malam, Zenard mengajak Aruna makan malam. Suasana malam itu begitu hangat, Zenard menceritakan bahwa ia harus menghadapi banyak tekanan di pekerjaan, dan betapa Aruna menjadi satu-satunya orang yang membuatnya merasa tenang. Aruna tidak bisa menahan dirinya lagi di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia telah jatuh cinta pada pria itu. Ia berani bertanya pada Zenard tentang hubungannya yang sebenarnya, berharap mendapat kepastian.
Namun Zenard hanya tersenyum samar dan menggenggam tangan Aruna lebih erat. “Aruna, percayalah kepadaku jadi jangan khawatirkan hal-hal yang akan menyakiti hati kita,” katanya pelan. “Kita jalani apa yang ada saat ini.”
Aruna menuruti kata-kata Zenard dan mulai mengabaikan tanda-tanda yang tidak diinginkan. Meski hatinya ingin percaya bahwa hubungan mereka bisa lebih, ia memilih untuk menerima kenyataan yang ambigu itu.
Namun tak butuh waktu lama agar semuanya terungkap. 2 bulan usai mereka menjalani hubungan yang tak jelas seperti itu, saat di luar jam kuliah, Aruna tak sengaja melihat Zenard keluar dari sebuah toko bersama seorang wanita yang menggendong anak kecil. Mereka tampak bahagia, berbincang sambil sesekali tertawa, dan Zenard terlihat begitu mesra dengan wanita itu.
Hatinya seketika hancur. Aruna tidak percaya bahwa pria yang selama ini ia cintai telah menyembunyikan fakta penting dari hidupnya. Selama ini ia berpikir bahwa dirinya adalah satu-satunya yang spesial bagi Zenard, tetapi kenyataan mengatakan sebaliknya.
Keesokan harinya, Aruna memutuskan untuk menemui Zenard dan meminta penjelasan. Ia merasa berhak untuk tahu kebenarannya. Di depan Zenard, ia mengungkapkan semua yang ia rasakan, entah itu kebingungannya, kemarahannya, dan juga rasa sakit yang mengoyak hatinya. Zenard terdiam, terlihat terpukul, tetapi ia tidak menyangkal.
“Aku minta maaf, aku tidak pernah bermaksud untuk menyakitimu, Aruna,” ujar Zenard dengan suara serak. “Kau adalah kebahagiaan yang tak pernah kurencanakan, sesuatu yang datang tanpa aku sadari.”
“Tapi kau sudah berkeluarga,” balas Aruna, air matanya menetes tanpa bisa ia tahan lagi. “Kenapa kau membuatku merasa istimewa jika kau tidak benar-benar mencintaiku?”
Zenard terdiam. Ia tidak punya jawaban. Meski hatinya juga hancur melihat Aruna terluka, ia tahu bahwa kenyataan tidak bisa diubah. Ia mulai menyesali apa yang selama ini telah dilakukannya. Ia pun mengakui semuanya kepada Aruna.
Setelah pertemuan itu, Aruna berusaha keras untuk melupakan Zenard. Ia menjauh dari semua kenangan yang pernah mereka bagi, tetapi bayangan Zenard terus menghantuinya. Di satu sisi, ia mencintai Zenard dengan sepenuh hati, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa Zenard tidak bisa meninggalkan keluarganya untuknya.
Pada malam kelulusan, Aruna bertemu Zenard untuk terakhir kalinya. Zenard mencoba meraih tangannya, tetapi Aruna menepisnya dengan tegas.
“Aku tidak bisa lagi menjadi bagian dari hidupmu yang penuh kepalsuan ini, Zenard,” katanya. “Kau adalah kenangan yang akan selalu kucintai, tetapi hanya itu... kenangan.”
Dengan air mata yang berlinang, Aruna meninggalkan Zenard, meninggalkan kampus, dan membawa luka yang mungkin tidak akan pernah sembuh. Ia tahu bahwa cintanya pada Zenard akan tetap ada, tetapi kini ia harus menguburnya di dalam hati yang terluka.
Bertahun-tahun kemudian, Aruna tetap mengenang Zenard sebagai cinta pertamanya yang tak tergantikan. Ia tak pernah menghubungi Zenard lagi, dan mereka tak pernah bertemu. Cinta yang sempat mereka bagi kini menjadi luka yang membekas, kenangan tentang masa lalu yang tak bisa diulang.
Zenard, di sisi lain, terus menjalani hidupnya, menyesali kesalahan yang pernah ia lakukan. Dalam diam, ia tahu bahwa Aruna adalah kebahagiaan yang tak bisa ia raih. Mereka mungkin telah memilih jalan masing-masing, tetapi hati mereka akan selalu terikat pada kisah yang tak pernah usai—cinta yang datang di saat yang salah, dan berakhir sebagai kenangan yang pedih.