Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku sedang menimbang dalam hening. Di tengah kenestapaan yang tak bertepi, pelukan bahkan tak sempat menjadi angan. Langkah-langkah kakiku menjelajahi kepelikan, menyusuri lorong gelap dalam jantung yang dilumuri cairan pekat berwarna hitam—warna patah, warna luka, warna cinta yang dikhianati diam-diam.
Dunia ini... ah, seolah hanya tempat untuk menghayal—tentang keunikan, kelayakan, dan kenikmatan yang jarang berpihak pada kita yang terlambat tumbuh. Semesta seperti sahabat tua yang menatap dari jauh, mengajak merenung dalam sunyi yang panjang, bercumbu dengan rindu yang menggantung di langit, menyapa bintang-bintang yang tak pernah menunjukkan arah pulang. Kadang aku merasa seperti bayangan dari seseorang yang pernah ada. Seperti sisa dari kisah yang tak selesai dibacakan.
Apakah kita—aku, engkau, dan seluruh tanya di antara kita—memilih hidup yang lebih sesak oleh keheningan, daripada sesak yang disebabkan oleh kehadiranmu yang justru berbalik arah?
Cinta, ya… cinta memang demikian. Penuh teka-teki yang tak cukup dijelaskan oleh kosakata yang kita miliki. Bahasa kita terlalu miskin untuk memahami luka yang ditinggalkan oleh orang yang kita harap menetap. Terlalu payah untuk mengungkapkan bahwa hati yang patah tak selalu bisa dirakit kembali. Dan lebih buruk lagi, cinta yang tidak dijaga malah bisa menjadi senjata.
Dan kopiku, ah, bahkan aromanya pun hanya sebatas kecupan. Seperti harummu terakhir kali—di meja bundar, di antara riuh percakapan manusia-manusia di kedai pinggir jalan itu. Meja bundar itu, kini tinggal kenangan, tinggal sunyi yang mengendap seperti ampas yang tak ingin dituang. Kedai itu mungkin masih buka. Tapi kita sudah lama tutup buku.
Aduh, sayang… pernahkah kau benar-benar merasakan, atau setidaknya membayangkan, hidup dengan persoalan yang tak kunjung reda? Penderitaan yang menyesak dada? Penolakan yang membekas lebih dalam dari bekas luka fisik? Pernahkah kau duduk diam dan memikirkan betapa sulitnya mencintai seseorang yang hanya tahu cara pergi? Atau mungkinkah engkau hanya tahu cara datang untuk kemudian pergi tanpa jejak?
Aku pernah bertanya hal serupa pada seseorang. Wajahnya tak menyerupaimu, tapi tanyaku tetap sama. Dan jawabannya? Hanya satu kalimat pendek yang menyayat: "Kamu tidak pernah benar-benar ada." Seperti angin. Seperti bayang-bayang. Seperti kacang yang melupakan kulitnya, barangkali.
Lagi-lagi ini hanya tentang perjalanan menuju babak terakhir. Ah, babak terakhir… bukankah hanya kisah baik yang berakhir dengan cara yang baik, seperti lirik lagu Raim Laode itu? Tapi siapa peduli? Aku muak. Aku letih. Bahkan aku tak tahu, sampai kapan aku harus kuat. Kuat menanggung rindu yang tak tahu malu. Kuat menahan waktu yang tak mau menunggu. Kuat menghadapi hari yang berulang-ulang menyodorkan kenangan.
Sampai aku terbiasa dengan kepura-puraan yang disamarkan dengan senyum?
Sampai aku terbiasa menjadi dewasa dalam dunia yang gemar bersandiwara?
Sampai aku lelah menjelaskan bahwa aku hanya ingin dimengerti—bukan dikendalikan?
Sampai aku tak lagi mendengar suaramu, bahkan dalam ingatan?
Sampai aku tak lagi mencarimu dalam puisi, atau bayang wajahmu di sela hujan yang jatuh diam-diam.
Andai aku boleh menuntut Tuhan, aku hanya ingin satu hal:
"Tunjukkan padaku alasan, mengapa cinta yang tulus tidak layak untuk abadi?"
Atau setidaknya, biarkan aku tahu bahwa cinta yang hilang bukan bentuk hukuman, tapi pelajaran.
Mungkin aku keliru menempatkan diri. Mungkin aku terlalu berharap menjadi bagian dari hidupmu, padahal yang kau butuhkan hanya seseorang yang bisa membacamu tanpa bertanya. Tapi aku bukan psikolog, sayang. Bukan pula peramal. Aku hanyalah seseorang yang mencintaimu dengan cara sederhana—yang ingin dimengerti tanpa perlu menerka isi hatimu setiap waktu. Aku hanyalah manusia yang berserah pada waktu, pada luka, dan pada takdir yang seringkali datang dalam bentuk kehilangan.
Kau adalah buku yang belum selesai kubaca.
Tapi sebelum sempat kuletakkan penanda halaman, kau sudah menghilang, meninggalkan kata “kita” yang tak pernah selesai ditelaah. Kata yang terus melayang dalam pikiranku seperti nyanyian sunyi yang mengendap di antara baris-baris doa.
Kita, rumah yang kau lihat sebagai dinding batu.
Padahal di dalamnya, ada kamar yang menunggumu.
Ada ruang yang ingin kau isi, tapi tak sempat kau buka.
Rumah itu mungkin tak sempurna, tapi ia punya halaman belakang tempat kita bisa tertawa—jika saja kau sempat tinggal lebih lama.
Aku tahu, ikhlas itu tak sesederhana kata-kata bijak yang viral di media sosial.
Ia butuh penerimaan. Butuh kerelaan. Butuh kehilangan.
Namun di balik semua itu, aku belajar satu hal:
Bahwa cinta tak harus selalu layak untuk dimiliki,
Terkadang, ia hanya datang untuk mengajarkan arti melepaskan.
Seperti hujan yang datang tak diundang tapi menyuburkan.
Aku membacamu tak dari cantiknya sampul. Tapi dari bab-bab luka yang kau simpan.
Dan kini aku tahu, dunia ini bukan hanya tentang cinta, kelayakan, atau kehangatan.
Tapi tentang bagaimana kita bertahan di antara serpih yang berserakan. Tentang bagaimana hati belajar berdamai dengan kenyataan.
Pada akhirnya, kita semua hanyalah pengelana
Yang menyusuri gelombang, memikul rasa sakit,
Sebelum akhirnya—perlahan tapi pasti—
Menemukan jalan itu:
Sirratalmustakim.
Jalan yang lurus, yang penuh liku sebelum sunyi benar-benar menjadi damai.
Aku hanya ingin kau tahu:
Bahwa cinta tak semestinya membuat siapa pun merasa kalah.
Bahwa kepergianmu tak akan kugugat.
Dan rumah ini, meski tak pernah selesai,
Akan tetap berdiri, dalam ingatan.
Dalam sunyi.
Dalam puisi yang tak pernah tamat kutulis tentangmu.
Dalam bayang-bayang senyummu yang terakhir, yang masih hangat di benakku.
Karena beberapa cinta memang tidak untuk dimiliki—hanya untuk dikenang.
Dan sebelum seluruh kata tertutup oleh jeda, izinkan aku menambahkan satu lagi bait dalam cerita kita yang tak pernah sempurna:
Aku masih mengingat sore-sore yang kita lewati tanpa janji, hanya dengan tatap dan senyum yang perlahan pudar. Aku masih bisa mencium jejak langkahmu di jalan setapak menuju rumahku—rumah yang tidak megah, tapi selalu menunggu. Kini aku menulis ini dengan tangan yang bergetar, tapi hati yang mulai belajar menerima: bahwa tidak semua kehilangan harus disesali, karena dalam kehilangan kita menemukan kedalaman.
Dan kini, tibalah aku di simpang kata yang paling lirih:
Selamat tinggal.
Dalam getar suara yang tak pernah sempat kau dengar,
Dalam hela napas yang penuh sisa hujan semalam,
Kutatap bayangmu yang pergi tanpa pamit, tanpa salam.
Selamat tinggal, wahai kekasih yang tak pernah benar-benar kugenggam,
Engkau kutulis dalam rima yang retak, namun tetap kupuisikan dalam diam.
Biar malam menyimpanmu dalam temaram, dalam senyap yang lama,
Sebab hatiku telah belajar: mencintai bukan selalu memiliki,
tapi merelakan dengan elegan, dalam bahasa paling puitis:
—melepaskanmu... dengan cinta yang tak pernah habis. Namun engkau harus menanggung semua akibat atas ulahmu sendiri. "Siapapun yang berani menyakiti hati seorang penyair maka siap-siaplah engkau, abadi bersama karyanya"