Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
"Cepat! Bawa dia ke ruang operasi!"
Aku tak tahu seperti apa diriku.
"Pasang oksigennya! Kita mulai operasi 5 menit lagi!"
Orang-orang sibuk mendorong tubuhku memasuki ruang operasi. Aku tak merasakan apapun, seluruh tubuhku mati rasa. Mataku tak bisa dibuka pun mulutku tak mampu bicara. Namun aku mendengar semua yang terjadi disekeliling. Bunyi-bunyi yang asing di telinga. Seruan-seruan para dokter dan perawat yang sibuk di sekelilingku.
"Suntikkan obat biusnya!"
Aku tak tahu apakah aku siap mati, aku pun tak punya tujuan hidup lagi. Entah apa yang akan terjadi padaku saat ini. Aku kedinginan, aku kesepian dan aku rindu seseorang.
***
Kevin membuka matanya. Kelopak matanya terasa berat, perih seperti baru saja terkoyak dari tidur panjang. Ia mengerjap beberapa kali, memaksa pandangannya fokus pada sekeliling. Yang pertama menyambutnya adalah warna biru langit yang jernih tak berawan, pucuk-pucuk pepohonan yang tinggi dan rimbun, serta sungai di dekatnya yang airnya mengalir tenang, begitu bening hingga dasarnya terlihat.
Ia mengangkat badannya dari hamparan rerumputan tempat ia terbaring. Duduk terdiam sejenak, menenggelamkan diri dalam pemandangan yang begitu murni dan mempesona. Ada ketenangan yang merayap di jiwanya.
"Apakah aku sudah mati?" tanyanya dalam hati, sambil mencoba berdiri. "Di mana ini sebenarnya?"
Ia melemparkan pandangan jauh ke kanan dan kiri, namun tak ada satu pun sosok lain. Tempat ini benar-benar sunyi, sepi, namun kesunyian itu tidak mencekam—justru terasa menenangkan, seolah jauh dari hiruk pikuk dunia.
Kaki telanjangnya melangkah perlahan menuju sungai. Air jernih itu mengalir di atas bebatuan yang licin. Saat ia membungkuk, wajahnya terpantul jelas di permukaan air yang tenang. Ia refleks mengangkat tangan kirinya menyentuh pipi. Terasa jelas ada luka goresan di kulitnya, namun ketika ia menarik tangannya, tak ada setetes pun darah yang menempel. Anehnya, luka yang tampak cukup dalam itu sama sekali tidak menimbulkan rasa sakit.
Ia membalikkan badan, menjauhi sungai, dan kembali menyusuri padang rumput. Angin sepoi-sepoi yang lembut menerpa, membuat kemeja putihnya sedikit berkibar, sementara ujung celana putihnya bergesekan pelan dengan rerumputan yang ia pijak. Matanya tertuju pada sebuah deretan semak yang ternyata adalah pohon-pohon mawar, membatasi sisi padang rumput itu.
Tepat di depan sebuah pohon yang paling pinggir, Kevin mengulurkan tangannya. Di sana, setangkai mawar merah darah terlihat memikat, dan warnanya seakan semakin pekat saat disentuh jemarinya.
"Petiklah!" Seru suara di dalam otaknya.
Kevin menarik tangannya spontan. Ia menoleh cepat ke segala arah. Kosong. Tetap, tidak ada siapa pun di sana selain dirinya. Ia kembali menatap mawar merah yang seolah memanggilnya.
"Petik!" Lagi-lagi suara itu datang, kini terasa lebih mendesak.
Kali ini Kevin tidak menarik tangan. Justru, ia mengulurkan tangannya lebih jauh. Suara angin di sekelilingnya terdengar seperti alunan melodi yang sangat pelan. Jari-jari Kevin merengkuh tangkai mawar merah itu. Ujung jari telunjuknya langsung tertusuk duri tajam. Namun, Kevin sama sekali tidak merasakan perih. Dengan mudah, mawar itu terlepas dari tangkainya—jauh lebih mudah dari yang seharusnya.
Setangkai mawar merah itu kini dalam genggamannya. Ia kembali melangkah, tak tahu arah. Langit di atasnya mulai berubah; sinar matahari menghilang, digantikan oleh gumpalan awan mendung yang gelap. Rintik air hujan mulai berjatuhan. Kevin segera berlari kecil, mencari tempat berteduh. Ia menemukan sebuah ceruk batu, mirip gua kecil, dan akhirnya duduk bersandar di dalamnya. Ia memandangi mawar merah yang masih ia pegang erat.
Hujan di luar tak menunjukkan tanda akan berhenti, dan waktu terus berjalan, berganti malam. Kevin mulai merasakan kelelahan yang luar biasa. Ia memeluk kedua lututnya, menundukkan kepala, kemudian memejamkan mata. Udara dingin dari hujan yang turun di luar gua menusuk masuk, menerpa sela-sela rambutnya. Perlahan, genggaman tangannya melemas. Setangkai bunga mawar itu terlepas dari jemarinya, jatuh tanpa suara ke tanah.
***
"Kevin? Kevin?" panggil Naura, suaranya selembut desahan angin, nyaris tak terdengar di ruangan isolasi yang hening. Ia menepuk-nepuk pipi Kevin dengan ujung jemarinya, sebuah sentuhan yang penuh harap.
Barusan, ia melihat kelopak mata kakaknya bergetar halus, seperti tirai yang hendak tersingkap, namun ternyata kesadaran itu belum juga kembali. Tiga hari penuh telah berlalu sejak Kevin melewati fase kritis pasca-operasi. Kini, yang tersisa hanyalah penantian yang memilukan, menunggu mata itu terbuka dan jiwa itu kembali utuh.
"Bagaimana keadaannya?" tanya seorang suara paruh baya dari seberang ruangan.
Itu adalah Anggrek, seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun, wajahnya dihiasi garis-garis kecemasan yang mendalam. Ia sedang menjaga putrinya, seorang gadis muda yang juga terbaring koma, korban tragedi ledakan yang sama dengan Kevin—sebuah kengerian yang terjadi seminggu lalu di sebuah gedung pernikahan megah.
Naura menyahut dengan gelengan pelan, sebuah isyarat keputusasaan yang sunyi. Anggrek mengangguk mengerti, ekspresinya memancarkan kesamaan nasib. Putrinya pun belum menunjukkan perkembangan berarti.
"Aku berharap dia cepat sadar dan menjalani hidupnya lagi seperti sedia kala," gumam Naura, suaranya sangat lirih, hampir tertelan keheningan.
Ia menggenggam tangan Kevin yang terasa hangat namun tak bergerak, menatap wajah kakaknya yang sebagian tertutup balutan kain kasa dan plester. Di wajah itu, sisa-sisa trauma terlihat samar di balik perban medis yang steril.
"Kak," ucapnya lirih, "Cepat sadar, dan lupakan semua rasa sakit yang kamu rasa. Lupakan dia."
Satu tetes air mata panas menetes, membasahi punggung tangan Kevin.
"Kau berhak mendapat yang lebih baik," tambahnya, suaranya bergetar. "Kau akan bertemu yang lebih baik."
Ia memejamkan mata, membiarkan kenangan pahit itu kembali merayapi benaknya, seolah baru terjadi beberapa detik lalu. Ia masih mengingat dengan jelas setiap detail peristiwa seminggu yang lalu.
Saat itu, Naura berdiri di ambang pintu kamar, menahan ledakan tangis dan amarah yang bergolak di dadanya. Matanya tertuju pada punggung Kevin yang tegap, sedang berdiri di depan cermin besar, merapikan setelan jas hitamnya yang terlihat sempurna dan rapi. Naura menghela napas panjang, frustrasi karena Kevin tak kunjung mendengarkan desakannya.
"Tidak usah datang, kamu tidak perlu datang, Kev!" Naura kembali mengucapkan kata-kata yang telah ia ulang beberapa menit yang lalu, suaranya mengandung nada putus asa.
Kevin membalikkan badan. Di wajahnya tersungging senyum tipis yang pedih, sebuah topeng yang dipaksakan untuk terlihat bahagia.
"Aku tidak apa-apa," ucapnya tenang, sambil merapikan dasi hitam yang menggantung di kerah bajunya. "Aku baik-baik saja, tak perlu khawatir."
Naura menggeleng kuat, tubuhnya maju, menghadang jalan Kevin. "Urungkan niatmu sekarang, Kev! Dia bahkan tak pantas untuk mendapatkan senyuman darimu."
Kevin tersenyum lagi, senyum yang tak mencapai mata. Ia menepuk bahu Naura pelan, lalu menghela napas panjang.
"Bagaimana pun juga dia sahabat kita sejak kecil. Kita tetap harus datang ke pernikahannya."
"Tapi dia meninggalkanmu demi pria lain!" seru Naura, tak mampu lagi menahan gelombang amarahnya. "Kamu tak perlu datang ke sana untuk memberinya ucapan selamat, Kev! Ini terlalu menyebalkan dan menyakitkan! Bahkan aku tak mau melihatnya menggunakan gaun pernikahan, berdiri di samping pria itu."
Kevin menundukkan kepalanya sedikit, senyumnya masih tergantung samar. "Ya sudah kalau begitu," ia kembali mengangkat wajahnya menatap Naura. "Kamu tidak usah pergi, biar nanti aku titipkan salam saja."
"Tapi, Kev!" cegah Naura, tangannya terulur saat Kevin menggeser tubuhnya dari ambang pintu, berniat melewatinya. "Kev! Kevin!" bentaknya. Kevin tak menggubris. Ia tetap berjalan menjauh, langkahnya mantap menuju pintu keluar rumah, meninggalkannya dalam kepedihan.
Beberapa jam kemudian, Naura dikejutkan oleh dering telepon yang memecah keheningan. Nomor asing tertera di layar ponselnya.
"Betul ini kediaman Saudara Kevin Anthoine?" tanya seorang pria dengan suara formal di ujung sambungan telepon.
"Iya betul, ada apa ya?" Perasaan dingin dan tak enak langsung merayapi Naura.
"Saudara Kevin menjadi salah satu korban ledakan Bom di Gedung JCC, saat ini sedang dalam perjalanan menuju Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo."
Air mata Naura langsung jatuh, membasahi pipinya. Jika saja ia tahu akan terjadi malapetaka seperti ini, ia pasti akan menahan Kevin dengan segenap kekuatannya saat itu. Agar Kevin tidak pernah berangkat ke pesta pernikahan yang menghancurkan hatinya. Agar ia terhindar dari ledakan bom di Gedung itu. Agar ia tidak terbaring tak sadarkan diri, terkepung alat-alat medis seperti saat ini.
"Kevin, ku mohon sadarlah," ucapnya lirih, suaranya tercekat oleh penyesalan yang tajam.
***
Angin kencang yang tadinya menderu di luar kini telah mereda menjadi embusan yang lembut, membawa aroma tanah basah dan daun-daun hutan. Deru air hujan yang sebelumnya memekakkan telinga kini lenyap, digantikan oleh keheningan malam. Kevin mengangkat wajahnya dari lipatan tangan di atas lutut, merasakan ketegangan yang lama tertahan mereda. Ia perlahan membuka matanya, tidak yakin berapa lama ia telah tertidur. Kini, ia sepenuhnya sadar bahwa malam telah menyelimuti tempat persembunyiannya.
Teringat pada benda yang semula ada di tangannya, Kevin buru-buru mencari mawar merah itu. Bunga itu tidak ada lagi di genggamannya, dan di permukaan tanah tempat ia duduk pun tak terlihat. Kevin segera berdiri tegak, matanya menyapu sekeliling gua yang remang-remang. Hingga matanya menangkap sesuatu di ambang gua, pemandangan yang membuatnya hampir melompat kaget.
Seorang gadis duduk membelakanginya, tepat di batas antara kegelapan gua dan cahaya malam. Gaunnya, berwarna merah menyala seperti darah, memiliki lipatan-lipatan kain yang indah, menyerupai tumpukan kelopak bunga mawar yang mekar.
"Permisi! Oi!" seru Kevin, suaranya memecah keheningan gua.
Gadis berambut cokelat panjang sebahu itu menoleh. Wajahnya memantulkan ekspresi terkejut yang jauh lebih besar daripada yang dirasakan Kevin.
Ia segera bangkit berdiri, membalikkan badannya menghadap Kevin. Mata besarnya yang indah melotot penuh kebingungan, seolah ia baru pertama kali menyaksikan keberadaan seorang manusia.
Kevin bergerak pelan, mencoba mendekat. Namun, setiap langkah maju yang diambil Kevin, gadis itu ikut melangkah mundur dengan hati-hati.
"Tenang! Aku tak berniat jahat," ujar Kevin. Entah mengapa, saat menatap mata besar gadis itu yang mempesona dan bibir tipisnya yang berwarna merah alami, jantungnya mulai berdetak kencang, sebuah ritme baru yang asing.
"Tenang!" Kevin mempercepat langkahnya sedikit.
"Hei!" serunya, karena gadis itu bergerak semakin cepat, lalu tiba-tiba membalikkan badan dan mulai berlari menjauh.
"Hei! Tunggu!" Kevin bergegas mengejarnya.
Gadis itu mengangkat sedikit ujung gaunnya yang panjang, lalu berlari tanpa alas kaki di atas rumput yang masih basah sisa hujan. Ia sesekali menoleh ke belakang, memastikan jarak Kevin, namun tak pernah menghentikan larinya. Ujung gaun merahnya ikut basah, meninggalkan jejak samar di rerumputan.
"Hei! Berhenti dulu! Apa kamu tidak lelah?" seru Kevin, napasnya mulai terengah. "Aku minta maaf, aku tak akan mengganggumu, izinkan aku menanyakan satu hal saja."
Entah keajaiban atau rasa lelah, gadis itu akhirnya menghentikan langkahnya, menoleh ke arah Kevin yang kini berhenti, terengah-engah sambil memegangi kedua lututnya. Sadar gadis itu tak lagi melarikan diri, Kevin segera menegakkan tubuhnya. Ia melangkah mendekat dengan hati-hati.
"Kamu mengizinkan aku menanyakan satu hal?" tanya Kevin begitu ia berdiri di hadapan gadis itu.
Gadis itu mengangguk. Dari jarak sedekat ini, kulitnya tampak putih bersih, dan bulu matanya yang lentik terlihat jelas.
"Di mana ini sebenarnya? Sekarang kita berada di mana?" Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat liar di otaknya. Namun Kevin belum membuka mulutnya, ia masih tenggelam dalam tatapan mata indah gadis di hadapannya.
"Tempat apa ini?" Itulah yang seharusnya ia ucapkan segera, tetapi kini hal itu terasa tidak penting. Tak peduli ia berada di mana, hidup atau mati, yang jelas ia merasakan dorongan kuat—ia tak ingin gadis ini menjauh lagi.
"Kamu..." ucap Kevin terbata, suaranya tercekat. "Siapa namamu?" Pertanyaan sederhana itu yang akhirnya lolos dari bibirnya.
Gadis itu tersenyum, sebuah senyum indah yang menampilkan deretan gigi putih yang rapi.
"Rose," jawabnya dengan suara lembut dan jelas. "Kamu?" tanyanya kemudian, mengulurkan tangan kanannya ke arah Kevin.
"Kevin," sahut Kevin, segera menyambut dan menjabat tangan lembut itu, lalu membalas senyumnya.
Rose menurunkan tangannya, lalu kembali melangkah maju. Di sampingnya, Kevin berjalan mengiringi.
"Kita ke bukit!" ujar Rose tiba-tiba, suaranya penuh semangat. Ia menggandeng tangan Kevin, menariknya berubah arah, dan mulai berlari kecil.
Tak ada rasa lelah, takut, atau bingung lagi di benak Kevin; hanya ada kenyamanan yang luar biasa. Rasa nyaman itu begitu mendominasi, seolah ia tak lagi membutuhkan makan, minum, atau bahkan tidur. Perasaan aneh yang menghangatkan dada ini muncul sejak detik pertama ia melihat Rose. Kini, tangan lembut Rose ada di pergelangan tangannya, membimbingnya menaiki sebuah bukit kecil yang landai, hatinya terasa ringan, seolah tak pernah ada keresahan yang singgah.
"Lihat!" Rose menunjuk ke langit, saat mereka tiba di puncak bukit. "Indah sekali bintang-bintang itu," tambahnya, lalu duduk di permukaan rumput.
Kevin ikut duduk dan mendongak, menatap lautan bintang yang gemerlap. Jumlahnya tak terhitung, memancarkan cahaya yang jauh lebih terang dan memesona dari yang pernah ia saksikan seumur hidupnya. Namun, pesona langit tak bertahan lama menarik perhatiannya. Pandangannya segera kembali tertuju pada wajah Rose. Terpaku dan terpesona.
"Rose, kamu bahagia?" tanya Kevin, suaranya pelan.
Rose menoleh, lalu menggeleng. "Kamu tidak boleh bertanya lagi! Kan sudah memberikan satu pertanyaan," sahutnya dengan raut wajah yang serius. Detik berikutnya, ia tertawa dan tersenyum. "Bercanda," ucapnya, membuat Kevin ikut tertawa kecil.
"Aku, tak tahu apakah ini yang dinamakan bahagia. Yang jelas dari semua rasa yang ada, terselip rasa kesepian dalam hati, seakan ada yang hilang namun aku tak tahu apa. Tapi yang jelas aku belum mau pulang."
Kata 'Pulang' terasa asing di telinga Kevin, namun juga familiar.
Ia kembali mencoba berpikir keras tentang tempat ini dan ke mana ia seharusnya kembali. Rasa kesepian, perasaan ada yang hilang, hal itu juga bersemayam di benaknya. Tetapi lagi-lagi, semua pikiran logis itu tersingkir saat ia menatap Rose. Ia tahu perasaan apa ini, ia jatuh cinta pada pandangan pertama.
Dalam pikirannya saat ini, hanya ada keinginan untuk mengenal Rose lebih jauh dan selalu berada di sisinya.
"Haaah!" Rose menghela napas, lalu membaringkan tubuhnya telentang di atas rumput. Ia memandang lurus ke langit malam yang menjadi atap mereka. "Aku ingin tidur."
Ia kemudian memejamkan matanya.
Kevin tersenyum menatapnya, lalu ikut berbaring di samping Rose. Namun, tidak seperti Rose yang terlelap menatap langit, Kevin berbaring miring, menatap wajah Rose yang kini damai dalam tidurnya. Ia membiarkan waktu berlalu begitu saja, tak peduli di mana ia berada dan ke mana ia harus pulang. Ia tak ingin memikirkan apapun, ia hanya ingin bersama wanita ini lebih lama.
***
Naura membuka matanya yang terasa berat setelah terlelap sebentar di sofa tunggu. Sebuah suara berderak, diikuti bunyi roda besi yang digulirkan, segera menarik perhatiannya. Ia buru-buru menoleh ke arah seberang ruangan. Di sana, Anggrek dan beberapa perawat tengah sibuk memindahkan anak gadisnya ke sebuah ranjang dorong.
Naura berdiri, merenggangkan tubuhnya yang kaku, lalu berjalan mendekat ke sisi ranjang. Wajahnya dipenuhi tanya.
"Mau dipindahkan?" tanyanya pada Anggrek.
Anggrek menggeleng pelan. Matanya yang sembab menatap pilu wajah putrinya yang tertutup rapat oleh perban medis, hanya menyisakan celah kecil di mata, lubang hidung, dan mulutnya.
"Dia akan dioperasi," ucap Anggrek lirih, suaranya tercekat. "Jika dia sadar nanti. Ia tak boleh melihat wajahnya yang terbakar seperti ini."
Perasaan tidak enak tiba-tiba menyergap Naura. Di tengah keputusasaan yang melanda, entah mengapa sempat terbesit di otaknya bahwa ucapan Anggrek itu konyol—sebuah pemikiran yang jahat.
Karena, sejujurnya, perkembangan anak Anggrek jauh lebih buruk dibanding Kevin, dan Kevin sendiri sudah berada dalam kondisi yang sangat kritis. Naura segera menunduk, buru-buru meminta maaf dalam hati atas pikiran buruknya. Ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa jika memang Tuhan menakdirkan seseorang untuk sadar, tak peduli seberapa kritis kondisinya, keajaiban itu pasti akan datang.
Ia mengangkat wajah lagi, memaksakan seulas senyum tulus. "Semoga ia cepat pulih dan sadarkan diri." Ia menyematkan doa terbaiknya.
Anggrek mengangguk, ekspresi wajahnya sedikit melembut. "Semoga Kevin juga cepat sembuh," jawabnya. Setelah itu, ia bergerak mendorong ranjang anaknya bersama beberapa perawat, keluar dari ruangan isolasi.
Setelah menyaksikan punggung Anggrek menghilang di balik pintu, Naura kembali berjalan ke sisi tempat tidur Kevin. Ia menarik kursi di samping ranjang, lalu menatap kalender dinding yang tergantung di atas meja nakas—di samping wadah berisi buah-buahan segar yang entah kapan Kevin bisa menyentuhnya. Matanya terpaku pada tanggal yang dilingkari.
Hari telah berlalu begitu cepat namun terasa sangat lambat. Sudah genap seminggu Kevin terbaring tak sadarkan diri. Seminggu penuh penantian sunyi.
***
Terik matahari yang menyelinap dari sela-sela kelopak matanya terasa menyilaukan, memaksa Kevin untuk tersentak bangun. Ia membuka mata tiba-tiba, menatap langit. Malam telah usai, kini fajar telah menjelma pagi yang cerah. Ia menengok cepat ke kanan dan kirinya, mencari sosok Rose, namun gadis itu lenyap.
"Rose!" panggilnya, seraya beranjak dari rumput. Ia memandang ke segala arah, mencoba menembus cahaya pagi, tapi Rose tidak ada di mana pun.
"Rose!" serunya, melangkah cepat menuruni bukit. Nada suaranya berubah panik, "Rose!" teriaknya, kini berlari menuruni lereng bukit.
Kevin terdiam di kaki bukit, menunduk lemas. Rasa kehilangan yang menusuk menjalar di hatinya. Ia bahkan belum sempat banyak mengobrol dengan Rose. Belum mengenalnya lebih jauh. Ia tidak tahu bagaimana caranya agar bisa bertemu kembali. Ia memejamkan kedua matanya erat-erat, mencoba menenangkan degup jantungnya yang kacau, berusaha memikirkan sesuatu yang logis di tengah keanehan ini.
"Hah?" Tiba-tiba ia memekik. Matanya terbuka lebar dan ia langsung berbalik, berlari kembali menaiki bukit dengan tergesa. Ia teringat akan sebuah kilasan yang ia lihat saat pertama kali membuka mata. Langkahnya semakin dipercepat, dan mulai diperlambat ketika ia mendekati tempat ia terbangun.
Ia menyambangi setangkai bunga mawar merah yang tergeletak di atas rumput, tepat di sebelah bekas tempatnya berbaring. Kevin berjongkok di hadapannya, kemudian meraihnya dengan tangan kanan.
"Rose?" Pikirannya mulai kalut. Ia melempar kembali mawar itu ke rumput dengan bingung, kemudian berdiri tegak. Namun beberapa detik kemudian, ia kembali berjongkok dan meraih mawar itu lagi.
"Aku harus memastikannya sendiri," ucapnya pada dirinya sendiri, sebuah tekad gila muncul. Ia kemudian berjalan menuruni bukit untuk kedua kalinya, membawa mawar itu erat-erat.
Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam berlalu. Kevin terus menggenggam bunga mawar itu di tangannya, duduk di tempat yang sama, menunggu sesuatu terjadi. Menunggu kehadiran Rose di hadapannya lagi. Meskipun itu adalah pemikiran yang gila dan tidak masuk akal, Kevin berharap dugaannya benar.
Matanya mulai terasa perih karena terus terjaga, dan matahari pun perlahan mulai turun dari singgasananya, mewarnai langit dengan jingga. Kevin sudah tidak mampu lagi untuk terus menahan kantuk. Ia memejamkan matanya untuk sementara, berusaha memastikan mawar itu tetap di tangannya, meskipun pada kenyataannya bunga itu kembali terlepas dari genggamannya dan jatuh ke rumput.
"Kevin!"
"Kevin!"
"Hei!"
Kevin samar-samar mendengar namanya dipanggil, dan pipinya terasa disentuh oleh ujung jari telunjuk. Ia membuka matanya perlahan, mengangkat wajahnya. Dan di hadapannya, Rose berjongkok.
Tanpa sadar, sebuah senyum lebar langsung mengembang di wajah Kevin. Ia mengulurkan kedua tangannya, merengkuh bahu Rose, dan memeluknya erat. Rose yang mulanya kaget, akhirnya membalas pelukannya sambil tertawa renyah, tawa yang seperti alunan musik lembut di telinga Kevin.
"Jadi kamu.."
"Stttt!" cegah Rose, melepas pelukannya untuk meletakkan jari telunjuknya yang halus di bibir Kevin. "Jangan diucapkan meski kau sudah tahu."
"Ku mohon," Kevin menggenggam kedua tangan Rose erat. "Jangan pergi lagi."
Rose menggeleng, matanya memancarkan kesedihan yang tak terucapkan. "Tempat kita bukan di sini."
"Lalu di mana?" Kevin tak mengerti, hatinya diliputi kecemasan.
"Pejamkan matamu," ucap Rose, dengan lembut membelai kedua kelopak mata Kevin.
Kevin pun menurut, memejamkan mata, merasakan kenyamanan yang begitu mendalam dan menenangkan. Nafasnya tercekat di tenggorokan ketika ia merasakan bibir Rose menyentuh dahinya dengan lembut.
"Jangan buka matamu!" seru Rose, suaranya sedikit mendesak saat Kevin terlihat hendak membuka matanya.
"Kita akan bertemu lagi, jika memang ditakdirkan." Entah mengapa, suara Rose terdengar seperti menjauh.
"Kita akan bertemu lagi." Suaranya kini menggema, semakin samar. "Sampai berjumpa lagi," ucapnya terakhir, sebelum akhirnya lenyap tak terdengar lagi, meninggalkan Kevin dalam kegelapan dan keheningan.
"Kevin!" seru sebuah suara wanita yang terasa akrab, diikuti sentuhan lembut di pipinya. "Kevin?" Suara itu jauh dari desahan menenangkan Rose yang terakhir ia dengar. "Kevin? Ya ampun!"
Kelopak mata Kevin terbuka sepenuhnya. Ia menatap seorang gadis yang wajahnya basah oleh air mata lega, berdiri di sisinya.
"Naura?" panggil Kevin, suaranya serak.
"Keviiiiin!" pekik Naura, suaranya pecah karena kelegaan yang luar biasa. Ia segera memeluk Kevin erat-erat, seolah takut kakaknya akan menghilang lagi.
"Di mana aku?" tanya Kevin, pandangannya masih belum sepenuhnya fokus.
"Di rumah sakit, kau sudah dua minggu tak sadarkan diri," terang Naura, sambil melepaskan pelukan dan membantu Kevin untuk duduk bersandar pada bantal. Gerakannya sangat hati-hati. "Kau pasti masih sangat pusing?" tanyanya saat Kevin memegangi kepalanya, mencoba mengumpulkan kepingan ingatan.
Kevin masih dilingkupi kebingungan, pikirannya terjebak di antara mimpi dan kenyataan. Mana yang nyata? Perjalanan sunyi di padang rumput bersama Rose, atau kamar rumah sakit yang dingin ini? Pandangannya kemudian tanpa sengaja terlempar ke papan nama yang tergantung di atas tempat tidur di seberang ranjangnya. Sebuah nama yang tertulis di sana—yang identik dengan sosok dalam mimpinya—membuat matanya terbuka lebar, penuh kesadaran yang tajam. Rose Inafi.
"Ada seseorang bernama Rose di sini?" tanyanya tiba-tiba, suaranya mendesak, membuat Naura tersentak kaget.
"I-iya," sahut Naura kebingungan. "Seorang gadis korban ledakan yang sama."
"Di mana dia sekarang?" tanya Kevin, matanya menyala penuh semangat, seolah seluruh tenaganya yang hilang telah pulih kembali.
"Dia? Di kamar lain. Ruang VIP bersama Ib..."
Kevin segera turun dari kasur sambil membawa tiang infusnya, mengabaikan rasa perih yang menjalar diseluruh tubuhnya. Memaksa dirinya untuk kuat, berjalan dengan kaki telanjang keluar kamar.
"Kevin!" seru Naura, matanya membelalak kaget, melihat kakaknya itu berlari menyusuri lorong. Langkahnya masih terlihat lunglai dan tidak stabil, namun tekadnya mengalahkan kelemahan fisik. Naura segera mengejarnya.
"Dimana?" tanya Kevin kemudian. Wajahnya panik.
"Disana," tunjuk Naura ragu.
Tanpa menunggu Kevin langsung melanjutkan langkahnya, mengarah ke ruangan yang ada di pojok lorong. Tanpa permisi ia langsung membuka pintu, berdiri terengah-engah di ambangnya.
Ia terdiam sejenak. Pandangannya terpaku pada dua orang wanita di dalam. Keduanya menengok, mata mereka melotot kaget karena kedatangan Kevin yang tiba-tiba dan tanpa permisi.
Satu wanita, yang sedang berdiri memegangi sebuah apel, adalah Anggrek. Mulutnya ternganga karena tak menyangka Kevin sudah siuman juga dan tiba-tiba mendatangi ruangan anaknya, pandangannya bergantian antara Kevin yang masih lemah dan Naura yang menyusul dengan napas terputus-putus.
Yang satunya lagi adalah putrinya. Gadis yang wajahnya masih dipenuhi perban itu juga terperanjat kaget melihat Kevin, namun sedetik kemudian, ia menyunggingkan sebuah senyum—senyum yang terasa begitu familiar, menembus kabut memori Kevin. Matanya yang bulat indah, bulu matanya yang lentik, Kevin tahu, itu Rose.
-The End-