Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Kisah yang Diakhiri dengan Kata Maki
1
Suka
190
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Lontong!

Lelaki yang sebelumnya bercerita dengan semangat sampai air ludahnya menyambar gelas-gelas kopi di meja itu menghentikan suaranya. Dia menutup mulut rapat. Duduk dalam diam, kecuali jari memegang jari yang lain dengan gemas, seakan mau mematahkannya saat itu juga. Kami yang berada di depannya juga diam. Bukan, bukan terpesona dengan aksi yang menawan. Ini soal syok karena kata terakhir yang dia ucapkan dengan nada keras dan mengancam itu sangat tidak lazim. Itu jenis makian yang baru pertama kali kami dengar. Persis dengan sosok sang pengucap yang selama ini tak pernah kami dengar kasar. Jangankan memaki, berkata sambil menunjukkan emosi yang dalam saja tak pernah. Dia orang yang datar, cenderung diam, dan tidak reaktif.

Setelah itu tak ada lagi kata yang keluar darinya. Tapi kami paham, makian yang dia keluarkan tadi benar-benar keluar dari hati. Spontan dan bukan dibuat-buat. Keluar begitu saja tanpa diset. Ya, persis pemain sepakbola yang mampu menendang dengan kekuatan penuh meski sudah di depan gawang. Dia tidak menggunakan teknik seperti mencungkil bola atau mengarahkan bola pelan ke kolong kaki hingga kiper tertipu dan malu. Tendangannya bak geledek yang jika ditahan bisa membuat tangan kiper patah atau ketika tidak dihalau dapat membuat jaring koyak. Sepertinya ini bukan soal gol atau tidak, makian tadi lebih mengarah pada pelepasan. Dan, itu cukup mengerikan.

Tapi, kenapa kata lontong yang dipakai. Apakah jenis makanan itu sudah sedemikian jorok hingga layak dijadikan makian? Masih banyak hewan untuk dijadikan pelampiasan – kalau tak mau menyebut babi atau anjing atau monyet – masih ada yang lain bukan? Biawak, misalnya, atau tongkol atau kambing atau tikus dan atau apalah. Pun, jika tetap harus diwakili dengan nama makanan, bisa saja dodol atau jadah atau sekalian saja ikan asin.

Sayangnya kami tak bisa menanyakan maksud makian dia tadi. Dia telah cukup lama menempatkan diri sebagai orang tak bisa ditanya. Mau tak mau, kami pun memaklumi kalau kata lontong memiliki irama yang pas untuk dijadikan makian. Itu saja.

Namun, rupanya ada yang tak tahan. Dengan hati-hati, seorang kawan bertanya sambil memilih kata yang menurutnya paling tepat. “Kenapa Pak Haji sampai memaki? Sedemikian parahkah situasinya?” katanya.

Pak Haji, lelaki yang dimaksud masih meremas jemarinya. Dia menoleh sebentar. Tapi, mulutnya tetap terkunci. Kami pun kembali diam sembari mencoba mengingat ceritanya di awal tadi. Ya, saat itu dia mulai dengan sebuah pertanyaan: siapa yang tak mau mati di Tanah Suci?

Pertanyaan Pak Haji tak ada yang menjawab hingga dia langsung memesan kopi. Seiring kopi datang dia bercerita tentang hatinya yang sedang susah karena tak bisa melaksanakan umrah dalam waktu dekat. Padahal, dia sudah merencanakan umrah kali ini akan berbeda dengan tujuh kali umrah dan dua kali pelaksanaan ibadah haji yang pernah dia jalani.

Ceritanya, dia ingin mengajak besannya ke Tanah Suci. Ini penting karena usahanya untuk mengajak mertua anaknya itu baru berhasil setelah empat kali mengalami kegagalan. Sang besan itu keras hati dan selalu menganggap belum siap berangkat ke sana. Bukan soal ekonomi, tapi dia selalu bertahan dengan kalimat: belum mendapat panggilan.

Pak Haji kemudian melanjutkan ceritanya tentang perjuangan meluluhkan hati besan. Tentang kunjungan-kunjungannya ke rumah besan. Tentang pertemuan-pertemuan di masjid. Bahkan, tentang obrolan ringan sambil menimang cucu. Dan, kalimat tanya yang dia sampaikan di awal ceritanya tadilah yang menjadi kunci. Ya, siapa yang tak mau mati di Tanah Suci. Rupanya sang besan lebih tergoda untuk merasakan hal itu dibanding status beda yang didapat dari masyarakat usai beribadah ke sana. Menurut Pak Haji, besannya itu sudah duda dan anak-anaknya memang sudah menikah semua. Dia pun sudah pensiun dengan deposito yang bisa menghidupinya – kalau masih tetap hidup – hingga 50 tahun ke depan. Jadi, mati yang baik adalah tujuannya saat ini.

“Seperti besanku itu, aku juga ingin mati di Tanah Suci. Itulah kenapa aku bolak-balik ke sana,” begitu kata Pak Haji.

Kami yang mendengar ceritanya hanya mengangguk-angguk. Belum terbayang soal Tanah Suci kecuali dari berita-berita yang kami santap selama ini. Pun, belum terbayang soal mati yang baik itu seperti apa. Bagi kami, kehidupan belum selesai. Masih banyak utang. Masih banyak janji. Pun, masih banyak rencana yang belum dibuat. Namun, cerita Pak Haji itu tak mungkin dibantah. Jangankan dibantah, untuk menanyakan ulang kalimatnya yang tak jelas saja, kami tak berani. Entahlah, sepertinya kata takut selalu hadir di diri kami saat bertemu dengannya. Kalau kami tak salah ingat, ini bermula ketika dia pulang dari Tanah Suci untuk pertama kali. Ya, saat itu dia langsung menjadi kepala desa. Tanpa banyak cerewet. Dia memimpin dalam diam, tapi semuanya berjalan dengan normal. Dia tak marah ketika pelayanan tak maksimal, dia hanya tersenyum sambil menatap tajam yang melakukan kesalahan. Setelah itu, semuanya menjadi normal kembali. Dan, berkat dia pula desa menjadi aman. Tak ada maling. Tak ada keributan. Pak Haji pun memegang jabatan selama dua periode. Artinya, waktu yang lama bagi dia untuk ditakuti bukan?

Setelah tak lagi menjabat, Pak Haji memang lebih banyak bicara. Dia selalu hadir di warung-warung kopi sambil bercerita yang indah-indah. Memotivasi warga untuk terus bergiat dalam mengejar dunia serta akhirat. Meski banyak kata, dia tak pernah menyalahkan orang. Kebijakan pemerintah pusat yang memberatkan pun dia sambut dengan solusi. Semua dia sampaikan itu tanpa diminta. Tanpa ditanya. Maka, kalau saja dia tak menentang, tentu sudah kami dirikan patungnya di depan kantor desa sebagai penghargaan atas jasa-jasanya selama ini.

Tapi itu tadi, mendadak dia akhiri kisahnya dengan kata maki: lontong!

“Maaf, Pak Haji. Maaf kalau saya bertanya, sedemikian parahkah situasinya?” tanya kawan tadi yang ternyata masih penasaran dengan tanyanya yang tak dijawab.

Seperti tadi, Pak Haji tetap meremas jemarinya. Dia hanya melirik sedikit dan kemudian meneguk kopinya yang sudah hampir habis. Kawan tadi diam sambil menatap kami, seperti meminta dukungan. Kami memilih memandang ke luar jendela. Hari masih pagi dan di depan sana ada seorang ibu bersepeda dengan keranjang di bagian belakangnya.

“Lontong! Lontong!” teriak sang ibu.

Tak ada dari kami yang tersenyum dengan teriakan sang ibu penjual lontong sayur yang selalu keliling kampung itu. Tampak jelas dagangannya masih banyak. Sepertinya orang-orang sudah tak mampu membeli lontong lagi. Mereka tampaknya lebih memilih menggoreng nasi sisa semalam untuk dijadikan sarapan. Sementara lainnya, mungkin lebih memilih ke warung; sarapan tanpa makan, hanya rokok dan kopi.

“Lontong! Lontong! Lontong!” teriak sang ibu lagi.

Kami menoleh Pak Haji yang rupanya sedang melihat kami. Dia tak tersenyum ketika pandangan kami bertemu. Wajahnya datar. Biasanya setelah itu, dia akan memanggil ibu sang penjual lontong, tapi kali ini tidak. Dia biarkan saja kami menunggu pun merelakan sang ibu hilang di balik tikungan yang berdinding rumah warga.

Setelah itu kembali sunyi. Tak ada yang bicara. Pak Haji bangkit untuk pulang. Tak ada yang menahan. Mau tak mau kami mengerti, hari ini kisahnya memang sudah layak diakhiri dengan kata maki: lontong!

 

 

Medan 2020

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bronze
Pintu Tauhid 2
Khairul Azzam El Maliky
Cerpen
Kisah yang Diakhiri dengan Kata Maki
Muram Batu
Novel
Pada Serimbun Pohon
Aozora Rosyidi
Flash
Bronze
Ketua Kelas
Herman Sim
Novel
Bronze
Janji Aniki
Gia Oro
Novel
Bronze
PAPA
Hanna Khoiruzzahro
Novel
PEONY
Lilly Amundsen
Skrip Film
Bintang Jatuh
Steven Tjahyadi
Cerpen
Bronze
Kapten dan Bayi Gigi Berlian
Kemal Ahmed
Novel
Bronze
(Un) happy Marriage
Citra Wardani
Novel
Bronze
Dirgalara
Chris Aridita
Flash
Dreaming
just a author
Novel
Biru & Putih
Arienal Aji Prasetyo
Novel
Bronze
Complicated Love
Ellesss
Novel
SUNRISE
Kala Hujan
Rekomendasi
Cerpen
Kisah yang Diakhiri dengan Kata Maki
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Atas Nama Anjing
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Transkrip
Muram Batu
Novel
Bronze
Laron Jakarta
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Jam Malam di Warung Kopi
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Tengkorak Kakek di Makam Pahlawan
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Tuah Kumis Tikus
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Pembunuh Cicak
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Buruh di Tanah Sendiri
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Dilarang Berharap pada Gigi Palsu
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Kerah Baju dan Balon Ungu
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Dongeng Pulau Merah dan Pengarangnya
Muram Batu
Cerpen
Bronze
Sipanggaron
Muram Batu