Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Kisah lama
1
Suka
36
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku tak pernah bercerita tentang kisah. Kisah kasih. Tapi, kisah ini sepertinya harus kuungkapkan. Betapa dia telah lama kukubur hidup-hidup di tanah ini. Tanah yang menjelma menjadi tubuh manusia yang selalu kotor dan berdebu. Di dalam tubuh, entah di bagian mana? Terlalu dalam aku menguburnya, sampai tak terasa dimana jasadnya hidup di sini.

Mengapa dia aku kubur? Karena menyebalkan. Matanya tak terpandang. Tangannya tak tergenggam. Mendekatnya pun kami seperti magnet utara dan selatan. Dia yang utara. Aku selatan. Kalian tau arah mata angin di medan datar? Berlawanan bukan? Dia selalu ke atas dan aku ingin ke atas juga, tapi langkahku terlalu lemah untuk melawan arah gravitasi sehingga selalu ke bawah.

Dengan keadaan seperti itu, bagaimana aku mendekatkan hatiku? Sedang raga saja tak mampu. Entah mata apa itu? Sulit sekali aku memandangnya. Mata sombong yang mengarah kepadaku saja tak sudi. Mulut sombong yang menyapaku saja meminta mata untuk melirik. Bungkam mulutnya. Tapi matanya melirik hanya sebagian. Anehnya, masih saja jantung ini tak karuan karena kesombongannya. Carut-marut, Morat-Marit. Bagaimana aku menjalani hidup dengan jantung sakit seperti ini? Hidup macam apa yang akan aku jalani? Karena itu aku menguburnya.

Duduk dengan jarak tak seberapa, hanya dua bangku, dia berceloteh riang bersama kawan yang menurutku mereka biasa berkawan denganku. Tapi entah ketika ada dia, nyaliku menyusut, kering, tak ada air. Tiba-tiba saja dehidrasi. Hingga kuputuskan tak kan kusebrangi kedua bangku itu. Dari pada aku mati dengan diagnosa jantung membanting tulang terlalu keras.

Sudahlah dia tak sudi denganku, seperti yang aku bilang tadi, matanya, mulutnya, tangannya, apalagi hatinya tak pernah hanya sekedar melirik. Lalu kapan aku menguburnya? Butuh waktu lama. Tiga tahun lebih satu semester. Terasa lama karena setiap hari harus berpapasan dengannya. Ingin rasanya kuikat jantung ini dengan rangka yang menyangganya. Sungguh bagian tubuh paling tak berguna. Aku tinggal saja di rumah. Tapi, ternyata masih berdetak memporak-porandakan isi laci meja belajar walaupun ragaku berjalan tanpa jantung. Dahsyat bukan? Tiga tahun aku hidup dengan penyakit jantung kronis ini.

Baiklah, aku bisa hidup sehat tanpanya ketika kita berpisah. Bahkan ujung jariku ketika menulis kata 'kita' saja, aku sungkan. Terlalu berani aku menulis 'kita' yang berarti aku dan kamu. Setelah tiga tahun, hampir tak ada kenangan manis kecuali jantung yang berantakan. Aku merasa bebas, walaupun hati terbelenggu rasa rindu yang menggebu sebelum pergulatan antara hidup dan mati melanda. Hidupku harus diperjuangkan setelah tiga tahun menjalani masa percobaan untuk hidup di sekolah yang katanya masa-masa paling indah.

Aku berjuang untuk hidup dengan jantung yang dulu berulah ketika di dekatnya. Sekarang, hanya saat aku mengingatnya jantung ini mengulanginya. Bahkan mengingatnya saja aku merasa tak pantas. Tak pantas saja, karena entah dia menganggapku apa.

Perlahan ku obati penyakit ini, agar sehat badan ini menghadapi dunia penghidupan bagi manusia yang berjuang demi masa yang ada di depan. Aku berhasil menguburnya hidup-hidup, walaupun aku yakin dia masih hidup. Dalam sekali.

***

Oh, dia tersenyum. Setelah itu, menyapa. Dia menyebut namaku. Aku harus apa? Aku terlalu banyak berpikir. Tanganku terlalu bergetar untuk diangkat. Bibirku terlalu susah untuk tersenyum. Hanya mataku yang melirik. Ya Tuhan, tak hanya jantung yang berantakan. Ternyata anggota tubuh yang lain menyesuaikan.

Aku mendengar banyak hal tentangnya. Aku mencari sisa-sisa informasi tentangnya. Dia tumbuh di dalam tubuh yang rapuh. Aku tau itu. Dia banyak menyimpan luka. Aku tau itu. Aku tau banyak tentangnya.

Pernah sekali aku melihatnya menangis. Saat itu, aku tepat dibelakangnya. Kuayunkan tanganku, walau berat, untuk mengusap kepalanya. Tapi siapa aku? Menyapanya saja kesulitan.

Dia suka bermusik. Aku juga. Kita bertemu di ruang dengan banyak alat musik di dalamnya. Dia di ujung barat pintu, sedang aku di ujung timur. Pernah aku bersaing dengannya. Tapi aku kalah.

Dia suka bermain peran. Aku juga. Pernah kita menunggu untuk sekedar mendaftarkan diri mengikuti ekstra teather sekolah. Waktu itu, sekitar dua jam kita menunggu. Tapi, kita duduk di ujung yang berberbeda walau itu masih satu bangku. Aku suka.

Pernah juga dia melihatku bermain voli. Aku melihatnya. Dia tidak. Basket pun begitu. Dia bermain. Aku melihatnya. Dia tidak. Cedera dikakinya membuatku penasaran apakah besok kita berjumpa? Tentunya sakit.

Pernah aku mengobrol dengan teman-temannya. Kita satu kelas. Tapi dia menjaga jarak, hanya dua bangku tapi tak bergabung. Aku meliriknya. Anak yang aneh. Tapi aku suka.

Sudah tiga tahun kami tak bertemu. Tapi tiba-tiba aku tau nomor HP-nya. Entah dari mana, datang sendiri atau aku tak sengaja mencari informasi tentang nomor HP-nya. Setiap malam ku pandangi tombol kirim tapi aku tak sanggup. Siapa aku?

***

Aku sudah bilang, sudah lama aku menguburnya hidup-hidup. Tapi sepertinya dia masih hidup. Suatu malam, Ada pesan di HP temanku. Kugali lagi tumpukan tanah yang menguburnya. Aku kegirangan, sampai lupa bagaimana mata itu melirikku. Dia masih hidup. Namanya menghentikan jantungku.

"Aku temanmu," katanya.

'kau penyakitku' aku membalasnya dalam hati.

Sudah satu dasawarsa dia hidup dalam kuburan tanah tubuhku.

"Kelihatannya besok kita bisa bertemu," dia memulai pembicaraan.

"Di pertemuan rutin?" Aku mencoba biasa saja, walaupun jempol bergetar hebat. Memang selama ini dia tak pernah hadir. Dan aku pun malas untuk datang. Satu-satunya alasanku, ya dia. Aku terlalu takut untuk menghadapi penyakitku yang dulu.

Ku persiapankan segala sesuatunya untuk besok, termasuk hati yang mungkin terluka lagi. Jantung yang mungkin jatuh sekali lagi.

Di ruang sempit dengan tiga sajadah terbentang ke arah Kiblat. Dia menungguku di samping pintu.

"Aku mau menikah," katanya dengan mata memandangku tegas.

Mata itu yang kutunggu menatapku lekat. Bibir itu yang kutunggu untuk menyapaku. Kutunggu dibalik kesombongannya. Semuanya kutunggu tanpa sadar. Bahkan aku yang menguburnya. Tetapi, ternyata semuanya tetap kutunggu.

"Iya, selamat, ya! Dengan siapa?" Tiba-tiba semua tubuh berkoordinasi untuk menopang jantungku. Kuat, ya! Setelah ini, tak lagi kukubur. Kuhancurkan hingga tak bersisa serpihannya.

"Mau, ya?" Tiba-tiba pertanyaannya membuyarkan rencanaku.

"Maksudnya?" tanyaku terbata.

"Aku tak tau, bagaimana aku melaluinya ...," dia mulai menjelaskan namun tiba-tiba telingaku tak berfungsi. Aku tak mendengar lagi perkataannya. Kelihatannya bibirnya bergerak tak tentu arah. Sebenarnya ini yang kutunggu dari dulu. Tetapi mengapa aku tak melihatnya dengan jelas. Ada apa dengan organku? Otakku berpikir keras tentang pertanyaan terakhirnya. Otak bekerja, mengapa seluruh organku berhenti berfungsi?

Beberapa menit aku tersadar, "Iya, mau!"

"Hah?"

Reaksi apa ini? Mengapa dia seperti tak percaya bahwa jantungku berantakan karenanya. Dia tak merasa selama ini? Ah, terserah karena sekarang jantungku berhenti. Aku menyerah oleh pinangannya. Aku tak peduli kehipuan apa nantinya yang aku jalani bersama orang 'sombong' ini.

Sementara setelah itu, aku menyadari ...

Dua jantung yang berdetak hebat tak akan pernah menyatu.

Dua sikap yang tak terkendali tak akan pernah saling menyapa.

Jadi, tenanglah semampumu, kawan.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Kisah lama
Reda Rendha Deviasri
Novel
True Love
salisa
Cerpen
Bronze
Penny Bertanya Tentang Cinta
ardhirahma
Novel
Bronze
Dersik
Chika Manupada
Novel
Good Bye Sal
Tyaa Aurellia
Novel
Pak Kade Fall In Love
Bukualfi
Skrip Film
Kenanglah Daku, Semesta Bekerja!
Aghnia
Novel
Gold
-8°C
Mizan Publishing
Cerpen
Bronze
Cerita Anak Kos: Menemukan Arti Keluarga di Tengah Jauh dari Rumah
Vincentius Atrayu Januar Dewanto
Novel
Bronze
C I N T A R A
Little Zombie
Novel
Bronze
Jodohku Bukan Ahli Surga
Suci Afiati
Cerpen
Bronze
My Dear Cousin
Mas Intan
Novel
Bronze
YANG TERPILIH
Ratnasari
Flash
Perspectives on Love
Lail Arahma
Cerpen
Collapse
Rama Sudeta A
Rekomendasi
Cerpen
Kisah lama
Reda Rendha Deviasri
Novel
MAHAGURU
Reda Rendha Deviasri
Novel
Sepedaku
Reda Rendha Deviasri
Flash
Malang pertamanya
Reda Rendha Deviasri
Cerpen
Di Balik Tirai
Reda Rendha Deviasri
Flash
Di Balik Tirai
Reda Rendha Deviasri