Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Kisah Kancing Nenek
2
Suka
2,114
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

/1/

Malam itu aku terbangun sebab mendengar dentingan piano di ruang tengah. Aku tahu, itu pasti Nenek, sebab yang dimainkannya ialah sebuah lagu yang telah tersemat di ingatanku sejak lama. Bukan hanya aku, bahkan sepupuku sekelas tiga SD saja akan nyeletuk saking hapalnya di luar kepala. Lagu yang sering dinyanyikan pada saat upacara bendera.

Sebuah lagu dengan not dasar tanpa improvisasi apa pun. Pada malam yang lengang itu, Nenek sering memainkannya saat orang-orang tengah terlelap. Ia akan bermain dengan mata yang terpejam dan senyum yang menghiasi wajahnya. Barangkali lagu itu membangkitkan kenangan lama di hidupnya, atau mungkin suasana malam yang membuatnya mengingat masa-masa yang telah terlampau jauh di masa lalu. Entahlah. Selama ini, aku hanya diam-diam mendengarkan.

Aku dan Nenek tidak banyak berbincang, meski Nenek adalah inspirasiku untuk terus belajar musik selain Franz Liszt, tentunya. Nenek yang ramah dan ceria sangat disukai oleh banyak orang hingga saudara-saudaraku rela melakukan apa saja demi mendapat pujiannya.

Untuk hal apa pun yang mereka tunjukkan, Nenek akan tersenyum lembut lalu mengelus puncak kepala mereka satu per satu. Mungkin hanya aku saja yang tidak banyak bicara. Hanya aku saja yang belum pernah dielusnya meski aku ingin. Aku terlalu pemalu untuk sekadar menyapanya dan ia terlalu sibuk meladeni orang-orang di dekatnya.

Namun, aku tahu apa yang saudara-saudaraku tidak tahu mengenai Nenek. Aku sangat percaya diri karena saat pagi harinya aku bertanya pada sepupuku, ia hanya mengedikkan bahunya sambil terus memakan roti selai kacang tanpa rasa peduli.

“Kemarilah,” ujar Nenek yang hampir saja membuat jantungku copot.

Aku masih bergeming di tempat persembunyian. Apakah Nenek menyadari kehadiranku? Sejak kapan? Aku yakin dinding di hadapanku ini tidak transparan sehingga Nenek dapat melihatku dengan gamblang.

“Faris, kemarilah, Nak.”

Aku berjengit saking kagetnya. Meski diliputi kebingungan, aku tetap melangkah mendekat. Sangat tidak sopan membuatnya menunggu atau memanggilku untuk yang ketiga kalinya.

Ia dengan senyum lembut menyambutku dengan menepuk bangkunya, memberi isyarat padaku untuk duduk di sebelahnya. Saat itu rasanya begitu mendebarkan. Aku tak pernah bermimpi untuk duduk di sampaingnya, apalagi untuk mendengarnya bercerita mengenai lagu yang seringkali ia mainkan di malam yang lengang. Ia memberiku sebuah kotak yang berisi kancing tembaga yang sudah sedikit berkarat dengan ukiran bunga di tengahnya dan secarik kertas.

Senyum Nenek merekah kala memberikannya padaku. Mungkinkah itu sisa kenangan atas masa mudanya yang sudah lama membayangi pikirannya? Sebuah kancing dan lagu-lagu pemilik cerita manis itu yang membuatku rela terbang ke Jepang untuk menyampaikan pesan terakhirnya kepada seseorang di masa lalu.

Itu adalah hatinya. Tolong kembalikan hati itu kepada pemiliknya.”

/2/

Ia adalah gadis yang luar biasa. Matanya tidak terlalu besar atau terlalu kecil, persis seperti kacang almond. Kulitnya putih bersih dan rambutnya hitam panjang.

Terkadang rambut itu ikut menari saat jemarinya yang lentik memainkan piano. Meski dalam setiap pertunjukan ia ditempatkan di paling belakang—hampir tidak terlihat oleh penonton bahkan—ia tetap begitu menawan mengiringi setiap nyanyian dari teman-temannya, mengiringi kelompok paduan suara. Tidak, itu sama sekali tidak masalah baginya.

“Kita menang lagi!”

“Selamat, ya! Kalian hebat!”

“Apa maksudmu?! Ini juga berkat kamu yang sudah mengiringi kami bernyanyi! Kamu juga sudah berusaha keras! Ayo kita rayakan!”

Melihat genggaman tangan temannya sambil terus berlari kecil, gadis itu tersenyum. Benar. Tidak ada yang perlu dikasihani dari gadis keturunan Jepang itu. Meski terkadang saat belajar sejarah ia seakan dipojokkan oleh apa yang telah keturunannya perbuat pada negeri yang hangat ini.

Lagipula, hal itu sudah lama berlalu. Ia hanya perlu menjalani kehidupannya yang sekarang, tanpa perlu menoleh lagi menyesali sesuatu yang bahkan tidak pernah ia perbuat. Namun kenyataannya tidak semudah itu.

“Kali ini berapa yang hilang?”

“Sekitar 4 sak.”

Gadis itu menghela hapas ketika tak sengaja mendengar percakapan antara Ayah dan salah satu pekerjanya. Selalu seperti ini. Setiap minggu—tidak–bahkan hampir setiap hari, ada saja yang hilang, entah itu beras-beras yang ada di toko ataupun barang-barang di rumah. Sesekali ia berpikir untuk melaporkan hal ini pada polisi tapi memangnya mereka peduli?

Ia paham kalau dirinya berbeda—dibedakan lebih tepatnya. Sesekali ia menatap dirinya di cermin, lalu bergumam: andaikan matanya lebih bulat atau kulitnya lebih gelap, apa ia akan terlihat lebih cantik? Andaikan keluarganya orang Indonesia tulen, apakah mereka akan lebih peduli? Ia teringat jelas ketika ia mengantar ibunya ke rumah Pak RT untuk melaporkan kasus kehilangan pertama kalinya, Pak RT itu berujar:

“Ah, itu kecil. Kau kan kaya, punya toko. Beli saja lagi emas itu. Sekarang memang jamannya susah, beruntung kau bisa makan.”

Ia tak habis pikir. Memangnya kita tidak kesusahan? Bersak-sak beras kami dicuri, emas di rumah hilang, orang-orang itu bertani di sawah kami tapi hasil panen mereka yang ambil. Tidak cukup hanya itu, rumah kami juga mereka jarah, mobil-mobil kami mereka bakar. Ia kesal.

Apa karena menjadi kaya itu salah? Tidak, bukan itu—yang salah adalah menjadi blasteran. Andai saja ia orang Indonesia tulen, apakah perlakuan yang ia terima akan berbeda? Ia memang tak begitu paham urusan bisnis tapi pasti lah kerugiannya semakin bengkak hingga Ayah memutuskan untuk memboyong mereka ke Jepang.

Barangkali kesabaran Ayah juga semakin habis terkikis kekecewaan. Ia tidak begitu mengerti mengapa Ayahnya menyerah pada tanah air yang sangat mereka cintai hingga berita tentang kerusuhan pasca kedatangan Tanaka Kakuei sampai di telinganya.

“Secinta apa pun Ayah pada Indonesia, Ayah lebih mencintai keluarga Ayah,” bisik Ayahnya kala itu.

/3/

Aku bersekolah di SMA Gakushuin khusus wanita di Tokyo. Sekolahku cukup luas dengan tembok batanya yang kokoh serta menjadi pembatas antara sekolah khusus wanita ini dengan SMA Horikoshi. Aku anak yang cukup tertutup di sekolah meski sebenarnya aku tidak mengalami kesulitan yang cukup berarti sebab aku sudah menguasai bahasa ‘Negeri Sakura’ ini sejak kecil.

Aku semakin mengeratkan syal yang tengah kukenakan karena hawa dingin di bulan April ini begitu menusuk kulitku. Padahal sebentar lagi akan musim semi, tapi dingin yang kurasakan seperti di bulan Desember saja.

“Heiji!! Ganbatte!!” seru dua siswi yang ada di depanku.

Aku menoleh ke arah mereka dan melihat dari celah pagar, salah satu anak laki-laki dari SMA Horikoshi itu menoleh ke arah kami dan tersenyum singkat. Kedua siswi itu bersorak gembira. Aku yang terganggu akan hal itu beranjak dari sana.

Saat ini sekolah sudah sangat sepi. Aku yang baru saja selesai piket kelas, memutuskan untuk pergi ke ruang musik dan memainkan piano yang ada di sana. Aku mulai menekan satu tuts di piano itu. Menikmati setiap dentingan dari tuts-tuts piano yang tengah kumainkan sembari bernyanyi di dalam hati.

Tanah airku … tidak kulupakan … kan terkenang … selama hidupku ….

Tanpa sadar aku telah memainkannya hingga selesai. Cairan bening di mataku menetes. Padahal baru satu bulan, tetapi entah mengapa aku sudah sangat merindukannya.

“Melodi yang indah, aku belum pernah mendengar ini sebelumnya."

Aku menoleh ke arah asal suara dan langsung terlonjak kaget saat kudapati anak laki-laki yang kulihat di lapangan itu sudah berada di belakangku.

“Bagaimana kau bisa ada di sini?!” pekikku.

Aku ingin berteriak namun teriakanku teredam sebab ia sudah membekap mulutku dan mengatakan sesuatu tentang kekuasaan orang tuanya. Aku melipat tangan di dada.

“Ibumu seorang kepala sekolah atau tidak, tetap saja perbuatanmu itu melanggar peraturan, siswa dan siswi tetap tidak boleh bertemu,” balasku.

“Kau sendiri suka mengintip anak laki-laki secara diam-diam, bukan? Bersama teman-temanmu itu.” Mendengarnya aku protes tidak terima. Namun ia sama sekali tidak peduli malah ia lebih tertarik pada lagu yang aku mainkan barusan.

“Itu salah satu lagu nasional di negaraku,” jawabku kala ia bertanya.

“Kau blasteran? Eeh … padahal wajahmu seperti orang Jepang asli. Ini menarik, ajari aku memainkannya! Yah, setidaknya satu lagu saja.” tukasnya yang membuatku mau tak mau harus menerimanya.

Begitulah awal kedekatanku dengan Heiji bermula. Setiap pulang sekolah aku diharuskan untuk mengajarinya memainkan piano. Membantunya untuk menghafalkan not balok dari lagu Tanah Airku.

Heiji banyak bertanya tentang lagu itu dan aku menjawabnya dengan antusias hingga tak terasa aku menceritakan semua yang aku tahu tentang Indonesia, termasuk keadaan yang sedang kacau kala itu. Tanpa sadar aku meneteskan air mataku lagi. Padahal sebelumnya aku hanya memendam ini sendirian tapi entah mengapa dengan Heiji rasanya sangat berbeda.

Heiji yang melihatnya sontak saja mengusap air mataku. Pandangannya begitu teduh dan menenangkan. Aku hanya bisa diam, terlalu terkejut dengan apa yang ia perbuat.

Namun itu tidak berlangsung lama. Setelah itu ia menyeringai jail seraya berkata, “Kau cengeng juga ternyata.”

Mendengarnya membuatku memekik malu, mungkin wajahku juga sudah semerah tomat sekarang. Aku mengejarnya di sepanjang koridor sekolah yang sudah sangat sepi.

Dengan Heiji, aku bisa melepaskan semua beban yang ada di pundakku. Dengan Heiji, aku bisa melupakan semua masalah yang menimpaku. Dan dengan Heiji, aku bisa meluapkan semua emosi yang telah lama terpendam sejak dulu. Ia dengan tinggah jahilnya berhasil membuatku kesal dan senang di saat yang bersamaan. Ia dengan tingkah konyolnya pula mampu membuat tawaku lepas tak berbeban.

Hanya ia yang berhasil membuatku rela menunggu selama dua puluh tiga jam setengah hanya untuk mengharapkan tiga puluh menit bersamanya. Hanya ia yang berhasil membuatku berani melanggar peraturan sekolah hanya untuk bersenda gurau dengannya.

Cukup menyenangkan juga memiliki sandaran untuk berbagai macam hal yang tidak bisa kita bagi ke sembarang orang. Tak terasa setahun sudah terlewat begitu cepat bagiku. Heiji sudah lebih mahir memainkan piano, ia juga sudah sangat hapal dengan lagu Tanah Airku beserta liriknya.

“Sebagai tanda terima kasih, maukah kau datang ke festival kembang api bersamaku?” tanyanya setelah berhasil memainkan lagu Tanah Airku dengan piano sekaligus menyanyikannya tiga kali berturut-turut.

Aku yang memang belum pernah melihat festival kembang api, tanpa pikir panjang langsung menyetujuinya.

Malam seakan berjalan merangkak, sangat lambat bagiku yang tengah mengharap-harap. Aku sudah berada di tempat perjanjian kami dengan Yukata dan sandal geta sebagai pelengkap. Rambut yang biasanya tergerai bebas kini kucepol agar terlihat rapi. Heiji tiba-tiba saja sudah berada di hadapanku dengan Yukata berwarna hitam yang sangat cocok dengan tubuhnya. Ia semakin terlihat tampan.

“Kau seperti orang Jepang sungguhan!”

Itulah kalimat pertama yang ia lontarkan padaku. Sebelum aku berhasil mengatakan apa-apa untuk membalasnya, ia sudah lebih dulu menggenggam tanganku dan membawaku dengan lembut ke tepi Sungai Sumida untuk melihat kembang api.

Ia tidak melepaskan genggaman tangannya selama festival itu. Tanganku sudah berkeringat, aku jadi bertanya-tanya apa ia tidak terganggu akan hal itu? Aku ingin melepas genggaman tangannya tapi entah mengapa aku tidak bisa melakukan itu. Aku merasa sangat nyaman.

“Kurasa aku menyukaimu,” ujarnya di tengah letupan kembang api yang begitu indah. Aku menoleh padanya yang sibuk memandangi kembang api dengan tatapan kosong.

“Bagaimana jika aku benar-benar menyukaimu? Bagaimana jika aku tak ingin ini berakhir?” tanyanya yang kini menatap mataku begitu dalam.

“Jangan coba-coba, aku lebih tua darimu,” balasku dengan candaan.

Bisa saja ia hanya ingin menjahiliku seperti biasanya. Namun sepertinya aku salah.

Ia masih setia dengan tatapan itu ketika membalasnya, “Itu tidak akan merubah perasaanku padamu, aku tetap menyukaimu,”

“Bodoh. Aku akan kembali ke Indonesia setelah kelulusan nanti,” ujarku.

Bagaimanapun aku memikirkannya, aku tetap tidak bisa berlama-lama berada di sini. Bagaimanapun aku menyukainya, aku tetap lebih memilih tinggal di Indonesia. Kehadiranku di tempat ini hanya untuk sementara waktu. Saat masanya tiba nanti, aku akan kembali.

“Mengapa kau harus kesana? Kau lupa bagaimana perlakuan orang-orang itu kepadamu? Mereka bahkan tidak menganggapmu manusia!” protesnya.

Aku menggeleng dan tetap melanjutkan pembicaraanku. “Aku akan kuliah di sana.”

“Kau yang bodoh Rena! Indonesia buruk. Banyak pemberontakan, banyak mahasiswa hilang. Kau mau itu? Kau mau berumur pendek?”

“Indonesia tengah terluka, Heiji. Kau tak kan pernah mengerti. Aku harus turut membantunya. Indonesia … lebih membutuhkanku.”

“Hah! Aku tak percaya kau sekeras kepala ini,” ujarnya dengan tawa kecil.

Aku tahu. Aku tahu telah melukai hatinya tapi aku bisa apa?

Aku memilih untuk tidak menjawab dan kembali menikmati kembang api yang terus bermunculan menampilkan pesonanya di langit malam. Setelah pembicaraan itu, kami hanya saling diam hingga festival berakhir.

Sejak kejadian itu, kami tidak pernah lagi saling bertemu. Ia tidak pernah lagi menampakkan dirinya di ruang musik seperti biasa. Hari-hariku kembali kosong dan aku tidak lagi menantikan waktu tiga puluh menit dalam dua puluh empat jam setiap harinya.

Aku mengubur dalam-dalam kenangan itu dengan tidak pernah lagi mengunjungi ruang musik, bahkan hanya untuk sekadar bermain piano. Bagiku semua sudah selesai. Akan lebih baik seperti ini. Jika diteruskan, hubungan yang kami jalani akan sia-sia. Aku tahu bahwa kami tidak akan bersatu. Dan bertemu dengannya, semakin membuatku menciptakan harapan-harapan baru yang bersifat semu. Daripada perasaan ini terus membelenggu, akan lebih baik aku mengusaikannya saat ini juga.

Setahun berlalu begitu cepat. Malam ini adalah malam ulang tahunku yang ke Sembilan belas. Papa memberiku sebuah kotak musik berbentuk piano yang ketika tuasnya diputar, kotak itu akan mengalunkan lagu Tanah Airku. Membuatku semakin rindu akan tanah kelahiranku.

Paginya adalah acara kelulusan sekolahku dan untuk pertama kalinya, acara kelulusan diadakan menjadi satu dengan acara kelulusan siswa SMA Horikoshi. Tak bisa kupungkiri, aku kerap kali tidak bisa menahan diriku untuk tidak mencarinya.

Kesal dengan diriku sendiri, aku memutuskan untuk pergi ke ruang musik saja agar tidak melulu memikirkan pria itu. Namun seakan sudah menjadi takdir, aku malah mendengar dentingan piano yang patah-patah dengan melodi yang tidak asing di telingaku. Permainan yang tidak cukup bagus dan terkesan memaksa itu sudah pasti dirinya.

Ia berhenti memainkan pianonya dan menoleh. Seketika itu kami bersitatap dalam keheningan cukup lama. Seperti biasa, ia yang lebih dulu memecah keheningan.

“Bagaimana kabarmu, Rena-san?” tanyanya.

Aku mengengguk kikuk. Tubuhku masih kaku untuk sekedar digerakkan. Lidahku juga mendadak kelu ketika ingin berucap. Ia tersenyum seraya mengangguk samar. Tanpa kusadari, Heiji menarik kancing kedua dari Gakuran nya hingga kancing itu terlepas. Ia menghampiriku hingga kami saling berhadapan.

“Aku tidak membawa apa-apa selain ini, terimalah,” ujarnya sambil menyodorkan kancing itu kepadaku. Aku masih bergeming di tempatku.

“Ambil saja, anggap itu kenang-kenangan dariku. Tapi kau harus tahu, itu adalah hatiku. Semua ruang di hatiku sudah dipenuhi tentangmu dan aku sudah tidak kuat lagi menahannya. Rena-san, hatiku kau bawa, jadi aku tidak akan bisa mencintai seseorang lagi selain dirimu.”

Tanpa seizinku, ia memasukkan kancing itu beserta secarik kertas ke dalam saku seragamku.

“Aku akan menunggumu kembali meski rasanya itu hanya impian semu. Setelah kupikir-pikir, kita dalam perasaan yang sama dalamnya, Rena. Kau begitu jatuh terlalu dalam pada tanah kelahiranmu sedangkan aku begitu mendambakan cintamu. Bagaimana bisa hanya dalam waktu setahun pertemuan kita aku sangat mencintaimu? Bagaimana bisa negeri yang telah menorehkan derita kepadamu adalah negeri yang begitu kau cintai? Perkara hati, memang banyak misterinya, bukan?”

Setelahnya ia berjalan keluar dari ruang musik, meninggalkan aku yang masih mematung di sana. Kurogoh sakuku untuk melihat tulisan di secarik kertas itu.

/4/

“Sudah seminggu Heiji dirawat. Osteoporosisnya semakin parah. Kini ia hanya bisa berbaring di brankarnya.” Penjelasan dari wanita berstelan rapi itu memecah keheningan di antara mereka.

“Begitukah?” Pria jangkung itu bergumam, sesekali meraba saku jasnya, tempat ia menyimpan kotak peninggalan Neneknya tersebut.

Ia menghela napas pelan. Sudah lama sekali sejak Nenek pergi meninggalkannya bersama kotak itu. Kotak yang berisi kenangan masa lalu mereka. Tidak apa, bukan? Jika ia menganggap kotak itu berisi kenangannya juga? Sebab kotak itu lah yang mendekatkan ia dengan Neneknya. Sebuah kotak rahasia antara mereka berdua, setidaknya itu yang ia pikirkan waktu kecil.

“Jangan bilang siapa-siapa ya? Ini rahasia kita berdua.”

Terbayang kembali wajah keriput Neneknya saat mengatakan hal itu. Untuk anak yang masih berumur 10 tahun, sebuah rahasia memang terlihat seperti harta karun. Ia masih mengingat bagaimana gembiranya waktu itu sampai-sampai bertekad untuk terus menjaga rahasia itu selamanya. Hingga pada saat-saat terakhir Nenek mengungkitnya.

“Kau benar-benar menjaganya, ya? Rahasia kita. Bolehkah untuk yang terakhir kalinya aku merepotkanmu? Ah, aku memang Nenek yang tak tahu diri. Namun ternyata memiliki hati seseorang rasanya seberat ini. Tak kusangka setiap malam aku selalu memikirkannya. Heiji, bagaimana kabar bocah tengil itu? Kami berpisah sebelum aku sempat mengatakan apapun. Jadi … aku ingin meminta padamu untuk menyampaikan salamku pada bocah itu. Bilang padanya bahwa aku bahagia. Aku menyelesaikan kuliahku dengan baik, meski sempat beberapa kali tertangkap BIN. Aku bekerja dengan baik, menjadi reporter dan bermain piano. Aku juga berkeluarga dengan orang yang kucintai dan mencintaiku. Aku berumur panjang, melihat anak-anakku dewasa dan menikah, melihat cucu-cucuku tumbuh besar. Aku benar-benar bahagia. Aku tidak menyesal atas keputusanku waktu itu. Jika ada yang kusesali … itu adalah aku yang tidak mengucapkan kata-kata perpisahan dengan benar dan membuatmu menunggu begitu lama. Tolong … sampaikan itu dan kembalikan kancing kedua ini padanya, Faris.”

Nenek tersenyum kala mengakhiri kalimatnya. Senyum lebar hingga matanya menyipit dan kerutan di wajahnya semakin terlihat. Barangkali ia merasa lega telah mengungkapkan sesuatu yang mengusiknya selama ini. Dengan begitu, semuanya telah berakhir. Faris yang masih mengenakan seragam SMA waktu itu mengangguk tegas. Matanya berkaca-kaca.

“Serahkan padaku, Nek.”

Wanita itu membuka pintu dari sebuah ruang rumah sakit, menampakkan pria yang sudah lanjut usia berbaring dengan brankar yang sudah ditinggikan sehingga ia bisa melihat siapa saja yang datang menemuinya. Pria berusia senja itu tersenyum lebar, senyumnya persis seperti senyuman Nenek saat itu.

“Jadi … kau lah cucunya Rena!” sapanya riang.

“Maaf membuat Anda menunggu selama ini.” Pria bertubuh jangkung itu membungkuk.

Tak terasa air matanya menetes begitu saja ke lantai ruangan rumah sakit tersebut. Sial! Pada akhirnya aku menangis juga.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Namaku CINTA
Mutiara indah kamuning
Skrip Film
Junior & Jameela (script)
amor
Novel
Bronze
Metamorph
Agnesya Febriana
Novel
Bronze
Sekar yang Mekar di Kanvas itu
Inggita Hardaningtyas
Skrip Film
Bahagia Itu..
Christian Rumbo
Skrip Film
Kasih Oleh Rumah
Fatih Hayatul Azhar
Skrip Film
Selangkah Maju (Script)
Yaraa
Cerpen
Kisah Kancing Nenek
Lail Arahma
Skrip Film
Fireworks
Ade Pramoedya Ananta
Flash
Gadis Tercantik di Sekolahku-Elissa
Elisabet Erlias Purba
Cerpen
Toko Kaca Renjana
Arya Rahmadi
Novel
The mosby
Fahmi Sihab
Novel
Big Dream Princess
Sukma Maddi
Skrip Film
Dzikir Sebuah Cincin Retak
Encep Nazori
Flash
Rocko
Fitri F. Layla
Rekomendasi
Cerpen
Kisah Kancing Nenek
Lail Arahma
Flash
Dreamcore Room
Lail Arahma
Flash
Sebuah Bayangan Mengusikku (surat 1)
Lail Arahma
Cerpen
The Supposer
Lail Arahma
Flash
Perspectives on Love
Lail Arahma
Cerpen
Armaghan Knight and The Fertility Goddess
Lail Arahma
Flash
A Rose and A Bride
Lail Arahma
Flash
Bahagia Bukan Hanya Soal Rasa (surat 2)
Lail Arahma
Cerpen
Cara Teraman Mencintaimu
Lail Arahma
Flash
In His Memories
Lail Arahma
Cerpen
Ruang Temu
Lail Arahma
Cerpen
Oiran and The Summer Crow
Lail Arahma