Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Garis hidup yang sempurna seharusnya linier, seperti garis lurus yang membentang tak terputus. Paling tidak, itulah yang ditanamkan dalam diri Aksara sejak kecil. Jika ia menjadi anak yang baik, pandai, dan patuh pada aturan, maka hidupnya akan baik-baik saja. Ia tidak akan pernah kekurangan, karena kelak dengan pendidikan yang tinggi, ia pasti akan mendapatkan pekerjaan di perusahaan bergengsi dengan gaji yang tinggi. Jika ia menjadi gadis baik-baik, ia akan mendapat suami yang baik, yang akan memberinya kebahagiaan dan hidup yang sempurna. Padahal, kenyataannya jalan hidup itu banyak sekali percabangannya. Tidak lurus dan datar begitu saja. Semenjak perjalanan takdir mempertemukannya dengan Pak Arif, seorang pengusaha paruh baya, yang ia temui di pelabuhan ketika sedang menunggu jadwal penyeberangan, Aksara selalu ingat kata-kata beliau. Bahwa manusia lahir dengan membawa misi dan blueprint masing-masing. Tugas kitalah untuk menemukan misi hidup dan menjalaninya sesuai blueprint yang sudah dipersiapkan. Bisa jadi, kehidupan yang awalnya dirasakan baik-baik saja, tiba-tiba diguncang demikian hebatnya. Tak lain sebagai cara-Nya untuk mengarahkan kita menemukan blueprint yang telah Ia rancang demikian sempurna.
Ingatannya melayang ke kehidupannya lima tahun lalu, saat ia memutuskan untuk menggugat cerai suaminya. Selama empat belas tahun berumah tangga, Aksara dengan suaminya tampak baik-baik saja. Bahkan banyak orang merasa iri dengan kehidupan yang dijalani Aksara saat itu. Suami yang sukses dalam karir, kedua putrinya yang lucu-lucu dan cerdas, serta kehidupan yang tampak selalu mudah. Aksara tidak pernah khawatir kekurangan materi. Tinggal di apartemen di suatu kawasan elit ibukota, lengkap dengan mobil dan supir yang siap mengantar Aksara dan anak-anaknya ke manapun dibutuhkan, serta deretan kartu kredit yang siap memenuhi kebutuhannya, cukup membuat hidupnya terasa nyaman. Namun jauh di dalam hatinya, Aksara merasa ada kekosongan. Ia merasa hidup tanpa makna. Ia sering merasa gelisah dan terjaga hingga lewat tengah malam. Di saat tidak bisa tidur, Aksara banyak mengisi waktu dengan membaca atau sekedar menulis untuk menghilangkan kegelisahannya. Begitu terus, hampir setiap hari, hingga suatu hari Aksara menemukan bukti-bukti perselingkuhan suaminya. Hidupnya sudah jelas tak lagi baik-baik saja, dan mungkin hal ini merupakan awal dari perjalanan hidup Aksara yang sesungguhnya.
Hatinya sudah pasti remuk. Meski mampu tampil baik-baik saja di hadapan suaminya seolah tidak ada apa-apa, hatinya tak lagi sama seperti sebelumnya. Ini hati, bukan tembikar yang dapat direparasi seperti kintsugi*. Alih-alih membalas perlakukan suaminya, Aksara menyalurkan kemarahannya dengan melanjutkan kuliah dan banyak menulis. Dalam menjalani kehidupan yang tak lagi baik-baik saja, Aksara dipertemukan kembali dengan Barra, kekasihnya ketika duduk di bangku sekolah menengah. Dari informasi yang diperoleh, Aksara tahu bahwa Barra kini sendiri dan bekerja di sebuah organisasi non-profit. Kehadiran Barra membuat Aksara kembali bersemangat. Entah ada keterlibatan perasaan atau tidak di dalamnya, baik Aksara maupun Barra berusaha keras membatasi komunikasinya hanya di ranah kognisi. Aksara senang berbagi pengalaman dengannya, juga berdiskusi mengenai banyak hal, dari filsafat, humanistik, sastra hingga isu-isu feminis dan lingkungan yang ia bagi bersama Barra. Barra sering menemaninya mengobrol secara daring di malam hari ketika ia tidak bisa tidur. Barra mampu membuat Aksara kembali menemukan diri dan potensinya. Ia kembali merasa berharga. Tidak lagi merasa kurang dari sisi wawasan dan pengalaman. Hal yang mampu membuatnya sejenak melupakan perselingkuhan suaminya dan kekerasan emosional yang kerap diterimanya. Untuk pertama kalinya, Aksara merasa dirinya berdaya. Hal inilah yang menjadi sumber kekuatan Aksara untuk mengambil langkah yang cukup berani: menggugat cerai.
*Kintsugi: seni mereparasi tembikar yang pecah dengan menggunakan perekat bercampur bubuk berwarna emas dari Jepang
***
Pertemuan Aksara dengan Pak Arif dan Eva, putrinya, diyakini Aksara bukan suatu kebetulan. Bagi Aksara, ini adalah cara Tuhan mengarahkan perjalanannya untuk menemukan misi hidup. Sama halnya dengan pertemuannya kembali dengan Barra setelah berpisah selama lebih dari 20 tahun. Pak Arif adalah sosok yang hangat. Siapapun akan merasa telah lama mengenalnya meski baru pertama kali bertemu. Tanpa terkesan ingin tahu, Pak Arif menanyakan tujuan perjalanan Aksara. Entah bagaimana awalnya, mereka terlibat dalam pembicaraan seru dan merasa akrab satu sama lain. Pak Arif banyak berbagi pengalaman dan pembelajaran hidup yang akan selalu diingatnya. Menurut beliau, dalam menemukan misi hidup, terkadang kita harus merasakan nyeri atau ketidaknyamanan, yang mau tidak mau membuat kita bergerak untuk mengatasinya. Terkadang Tuhan menutup jalan yang awalnya kita pahami sebagai jalur yang tepat, agar kita menemukan jalan lain dengan cara berbelok atau memutar. Terkadang kita merasa marah atau kesal karena tidak memahami maksud terselubung Tuhan dalam mengarahkan kita menemukan jalan yang tepat. Hikmah seringkali baru diperoleh setelah kita jauh melalui jalur tersebut. Tak hanya itu, keberlimpahan akan dirasakan pada saat kita menemukan misi hidup yang telah Ia tentukan, sesederhana apapun itu.
Sambil menyimak pembicaraan Pak Arif, ingatan Aksara kembali melayang ke kehidupannya lebih dari 20 tahun lalu, saat ia pertama kali kuliah. Saat itu, Aksara sangat kecewa karena tidak berhasil diterima di fakultas teknik salah satu perguruan tinggi ternama di negeri ini. Sebagai alumnus sekolah menengah favorit di kotanya, Aksara sangat optimis bisa diterima di fakultas yang ia inginkan. Takdir menuntunnya untuk melanjutkan pendidikan ke Fakultas Psikologi. Bidang yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Meski demikian, Aksara tetap mengikuti seleksi masuk ke fakultas teknik yang ia idamkan hingga dua tahun berikutnya, namun lagi-lagi gagal. Hal yang ia syukuri berpuluh tahun kemudian, karena dengan keahliannya Aksara banyak membantu orang lain menemukan potensi diri mereka. Dengan keahliannya ini jugalah, Aksara mampu mencari nafkah dan menghidupi diri setelah bercerai. Pekerjaannya banyak menuntutnya berpergian ke berbagai pelosok negeri ini dan bertemu banyak orang baru. Hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya, bahwa kelak ia dapat melakukan perjalanan seorang diri keliling negeri tanpa rasa takut sama sekali.
Semenjak bercerai, jalan hidup Aksara tidaklah mulus. Ia merasa hampa ketika mantan suaminya merampas begitu saja hak asuk anak-anak mereka darinya. Aksara tahu pasti bagaimana rasanya dicurangi. Ketika putusan perkara diulur-ulur hingga waktu yang tak tentu. Ketika uang berbicara lebih nyaring dari rasa keadilan. Untuk memperjuangkan anak-anaknya kembali hingga ke tingkat yang lebih tinggi, Aksara merasa tidak berdaya karena tidak memiliki cukup uang untuk biaya perkara. Belum lagi, ia harus membantu biaya pengobatan ibunya yang sakit keras semenjak ayahnya pensiun. Masalah datang bertubi-tubi tanpa ada solusi yang pasti. Semua jalan yang ditempuh rasanya buntu, hingga pada suatu titik Aksara tak tahan lagi dan berniat untuk mengakhiri hidupnya. Pertolongan hadir dari arah yang tak ia duga. Jika saja Niskala, sahabatnya sejak di bangku kuliah, tidak menghubunginya pada saat yang tepat, Aksara mungkin hanya tinggal nama. Melalui Niskala, Aksara diperkenalkan pada berbagai komunitas ibu tunggal dan penyintas Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Keterlibatan Aksara dalam berbagai komunitas tersebut cukup mendukung proses penyembuhan luka batinnya. Seringkali secara sukarela ia memberikan sesi konseling kepada sesama anggota komunitas. Saling berbagi dan menguatkan lebih tepatnya. Suatu hal yang juga sama sekali tak pernah ia duga sebelumnya, bahwa kelak ia dapat membantu lebih banyak orang menemukan kekuatan untuk berdiri di atas kaki mereka sendiri.
Ada kepuasan luar biasa pada saat klien-klien yang ditangani Aksara merasakan adanya perubahan dalam diri mereka menjadi lebih mandiri dan berdaya. Ia turut merasakan bahagia ketika mereka berhasil mencapai tujuannya. Apapun itu. Apa yang dikatakan Pak Arif, itulah yang benar-benar ia rasakan. Keberlimpahan. Banyak sekali yang ia dapatkan selama perjalanan hidupnya sejauh ini. Dengan relasi yang semakin bertambah, wawasan dan pengalaman yang semakin luas, maka dengan kondisi finansial yang tak lagi melimpah seperti dulu, ia merasa sangat cukup. Jalan yang ditempuhnya tidaklah mudah, namun ia banyak sekali mendapatkan kemudahan. Sekecil apapun itu. Hidup memang rasanya tidak sempurna tanpa ditemani kedua putri yang selalu dirindukannya. Tetapi hidup memang tak ada yang sempurna bukan? Aksara sadar, bahwa perjalanan menemukan misi hidupnya tak berhenti di sini. Ia masih harus melanjutkan perjalanan hingga hidupnya purna. Entah kapan. Meski banyak orang menemani dan ditemuinya dalam perjalanannya, jalur yang ia tempuh tetap miliknya seorang diri.
Tak terasa, jadwalnya menyeberang telah tiba. Pembicaraan seru di antara Aksara dan Pak Arif maupun Eva membuat waktu menunggu menjadi terasa singkat. Padahal masih banyak topik pembicaraan yang ingin Aksara lanjutkan dengan mereka. Tujuan mereka tidaklah sama, sehingga Aksara harus berpamitan. Tak lupa Pak Arif mengabadikan pertemuan mereka menggunakan kamera tuanya yang selalu ia bawa ke manapun ia pergi. Aksara melangkah menuju pos pemeriksaan sebelum menaiki kapal. Kali ini dengan senyum lebar di wajahnya. Ia tak tahu apa yang kelak ia hadapi di perjalanan hidup selanjutnya. Ia hanya memiliki keyakinan bahwa apapun yang akan ia hadapi kelak pastilah yang terbaik menurut versi-Nya. Tak ada pengorbanan dan rasa sakit yang sia-sia. Ia akan segera bertemu dengan Barra yang kini kembali menjadi kekasihnya, di belahan Timur negeri ini. Segala luka dan perih yang ia alami, kini ia syukuri, karena melaluinya Aksara dapat menemukan diri dan potensi yang tak pernah ia sadari sebelumnya. Untuk pertama kali dalam empat puluh tahun kehidupannya, ia menjadi dirinya sendiri.
***
Alda K.
Jakarta, 7 Juni 2021