Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Tidak peduli jika semua orang mengutuk dan melempariku dengan batu aku tetap akan mencintainya. Pembunuh berantai yang telah menewaskan sembilan orang itu adalah kekasihku. Jika kalian bertanya bagaimana aku bisa mencintai manusia keji sepertinya maka aku akan dengan senang hati membagi kisahku, toh kuberitahu atau tidak kalian juga tetap menganggapku gila jadi akan kutulis tanpa suara.
Semua bermula dari 7 bulan lalu saat aku lari dari rumah dengan keadaan lebam di sekujur tubuh setelah dihajar habis-habisan oleh seorang lelaki yang seharusnya kupanggil bapak. Entah seberapa jauh aku lari dari kota sampai tiba di sebuah pondok yang ada di dalam hutan dan tidak sengaja tertidur disana.
“Jika sudah bangun cepat makan sarapanmu dan segera pergi dari sini.”
“Sial! Dia tahu aku hanya pura-pura tidur.” Rutukku dalam hati. Karena sudah ketahuan aku memilih untuk menyantap sarapan yang sudah dihidangkan di hadapanku.
“Oleskan ini pada lukamu sebelum pergi.”
“Terima kasih."
Sudah kuduga ia orang baik, tidak seseram mukanya yang garang. Jika mau mengusirku seharusnya tidak perlu memberi sarapan atau obat untuk lukaku.
“Bisa tolong oleskan ini di wajahku? Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena tidak ada cermin disini.” Entah apa yang merasukiku sampai punya keberanian memerintahnya melakukan sesuatu.
Ia segera menghentikan pekerjaannya dan mendekat padaku, mengambil alih mangkok berisi obat herbal racikannya itu.
“Ini akan sakit.”
Sekali lagi kulihat dengan jelas sisi lembut yang ada dalam dirinya. Ia mengoleskan obat dengan hati-hati dan ikut meringis sesekali saat aku mengaduh kesakitan
“Ijinkan aku tinggal disini, bersamamu.”
“Aku bisa membunuhmu.”
“Kau tidak akan memberiku makan dan obat jika ingin membunuh.”
“Aku bukan orang baik”
“Kau orang baik dan aku tahu itu.”
“Mengapa kau ingin tinggal di pondok kumuh yang ada di tengah hutan bersama orang asing sepertiku?”
“Jika aku pulang maka ia akan memukuliku lagi sampai mati karena berani kabur dari rumah, jadi tidak akan ada bedanya mati sekarang atau nanti.”
Ia berpikir sesaat, mungkin tidak tegak memikirkan bahwa aku harus dipukuli sampai mati.”
“Tapi kau harus lari jika aku berusaha menyakitimu di kemudian hari.”
“Maksudnya?”
“Turuti saja apa kataku.”
“Baik.”
“Panggil aku Han, itu namaku.”
“Panggil aku Nada.”
Mulai hari itu aku benar-benar tinggal di pondok bersamanya, menghabiskan hari bersama membuat kami dekat dan mengandalkan satu sama lain sampai aku tahu apa maksud perkataannya saat kami pertama kali bertemu.
Hari itu malam sudah larut, aku berniat tidur dan mematikan salah satu lampu minyak yang ada diatas. Sama sekali tidak ada ucapan selamat malam hari ini, Han bahkan tidur lebih cepat dari biasanya.
“Jadi keparat itu punya kekasih baru sampai aku tidak bisa keluar berhari hari.”
“Han? Apa kau terbangun?” tanyaku yang masih tak mendengar ucapannya.”
“Jangan panggil aku dengan nama itu! Aku berbeda dengannya!” bentaknya dengan keras.
Aku terkejut melihat perubahan sikapnya, lelaki itu jelas bukan Han. Ada sosak lain yang hidup dalam dirinya, sosok yang mungkin saja membunuhku dalam sekejap.
“Jangan mendekat!” Aku balas membentak.
“Bagaimana bisa perempuan cantik sepertimu bisa jatuh hati pada pembunuh keji sepertinya? Kau pasti tidak tahu kalau kekasihmu itu sudah membunuh sembilan orang.”
“Kau yang membunuh! Bukan Han, kalian berdua bukan orang yang sama.”
“Plakk” Ia melayangkan tamparan keras sampai aku jatuh tersungkur, ujung bibirku berdarah.
“Kami tinggal di tubuh yang sama, jika aku pembunuh maka ia juga pembunuh.” Suarnya semakin meminggi.
“Tubuh itu bukan milikmu, bodoh! Pergi dan jangan halangi hidupnya lagi.”
Lekaki itu tersenyum menyingrai. “Aku sudah memberi tahu cara agar aku pergi dari tubuhnya tapi pengecut itu terlalu takut untuk melakukan apa yang kuminta. Tanyakan saja padanya saat ia kembali besok.
***
Esoknya Han benar-benar kembali, aku berpura-pura tidak terjadi apa-apa karena tak ingin membuatnya khawatir.
“Apa yang terjadi semalam?”
Ternyata Han tahu kalau orang itu datang, mungkin karena Han tidak punya ingatan apapun sejak tertidur.
“Orang itu datang.”
Han mengepalkan tangannya kuat, buku-buku jarinya memutih, raut wajahnya seperti ingin segera menghajar seseorang. “Apa ia yang melakukan ini padamu?”
“Aku baik-baik saja.”
“Bukankah aku sudah memintamu lari? Mengapa masih disini, kau bisa terluka, Nada.” Ucapnya dengan nada khawatir.
“Aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri. Dia bilang padaku bahwa ada cara untuk membuatnya pergi.”
“Aku jelas tidak bisa melakukannya, ia memintaku untuk melengkapi pemunuhan terakhirnya.”
Hatiku hancur saat mendengarnya, sekarang aku tahu kenapa Han memilih untuk tinggal di hutan dan tidak bertemu siapapun. Ia tidak ingin membunuh siapapun lagi. “Maaf memintamu melakukan hal sulit.” Aku memeluk erat Han yang sedang ketakutan.
Kami menyiapkan makan malam seperti biasa, aku lebih banyak menghabiskan waktu menggenggam erat tangannya ketimbang membantunya memasak. “Aku mencintaimu, Han.”
Itu pengakuan cinta pertamaku sejak pertama kali bertemu. Kuharap ia tahu seberapa besar cintaku padanya.
Ia hanya tersenyum dan pergi menyiapkan meja makan. Selesai makan aku berusaha mengumpulkan keberanian untuk menanyakan sesuatu.
“Kenapa tidak membunuhku saja waktu itu? Tidak akan ada yang aneh jika aku mati setelah dipukuli habis-habisan.”
“Kau menangis kesakitan dalam tidurmu, bagaimana aku bisa tega membunuh orang yang sudah kesakitan.”
Aku menggenggam tangannya lagi. “Pasti sulit sekali melewatinya sendiri.”
Han mengangguk. “Aku selalu terbangun dengan tangan yang berlumur darah, meskipun bukan aku, rasanya seperti melakukan dosa besar. Saat itu aku tidak berpikir untuk bersembunyi di hutan jadi kemanapun aku pergi ia selalu berhasil membunuh.”
“Terima kasih karena sudah menceritakan hal ini padaku.”
“Kali ini aku tidak ingin terbangun setelah membunuhmu, maka dari itu kau harus lari sejauh mungkin saat ia kembali.”
Aku mengangguk.
Kami memutuskan untuk tidur sambil berpegangan tangan hari ini, berpikir bahwa ia tidak akan kembali jika Han tidur dengan tenang. Tapi ternyata salah ia justru kembali setelah Han tertidur pulas, aku yang masih terjaga tentu saja menyadari hal itu.
Dan benar saja, ia berusaha untuk membunuhku. Mengetahui niatnya aku langsung berlari secepat mungkin.
“Percuma saja kau lari, aku akan tetap membunuhmu dan membiarkan mayatmu tergeletak disamping Han.” Ia masih mengejarku.
“Tidak, aku tidak boleh mati.”
Langkahya terlalu cepat, aku terjerembab sampai tak punya daya untuk lari.
“Semua sudah berakhir, sayang. Sampaikan Salam perpisahanmu pada Han.”
“Bunuh aku dan buang mayatku jauh-jauh. Cuci tanganmu sampai tidak ada noda darah yang tersisa. Biar Han mengira bahwa aku sudah lari.”
Ia mendongakkanku paksa. “Apa yang kau sukai darinya? Ia adalah pengecut yang tidak bisa melakukan apa-apa, bahkan saat melihat Ibunya dibumuh oleh ayahnya sendiri.”
Jadi itu alasan kepribadian lain terbentuk dalam dirinya. “Kematian ibumu itu sama sekali bukan salahmu atau Han. Kalian berdua masih sangat belia saat melihatnya jadi tidak perlu merasa bersalah.”
“Omomg kosong! Ucapkan selamat tinggal sekarang.” Ia bersiap meghubuskan pisau kearahku, tapi sedetik kemudian Han kembali dan menghunuskan pisau itu ke jantungnya sendiri.
“Tidakkk, jangan pergi, tidak Han.” Aku menangis histeris.
“Terima kasih karena kau tidak mati, Nada. Terima kasih karena tetap hidup.”
Aku masih menangis. “Jangan pergi tinggalkan aku sendiri.”
“Maaf karena baru mengucapkannya sekarang, tapi kuharap kau tahu bahwa aku mencintaimu.”
Aku tetap menggenggam tangannya sampai akhir, menjadi satu-satunya saksi bagaimana Han mengakhiri pertarungan panjang dan menjadi pembunuh untuk dirinya sendiri. Memberi bukti tentang seberapa besar ia mencintaiku.