Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Di sebuah kota kecil yang damai, di mana waktu seakan berjalan lebih lambat dari tempat lain, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Arka. Hari-harinya dihabiskan di bangku sekolah dasar, menjalani enam tahun yang tenang namun bermakna. Selama itu pula, ia sekelas dengan seorang gadis bernama Laila.
Mereka tidak pernah benar-benar dekat. Interaksi mereka terbatas—sekadar saling berpapasan di lorong, atau sesekali bersama dalam tim lomba. Tapi bagi Arka, Laila bukan sekadar teman sekelas. Ia adalah sosok yang diam-diam ia kagumi. Gadis yang tenang, tertutup, dan terlihat sempurna di mata seorang pemuda yang sedang belajar mengenal dunia.
Setiap kali melihat Laila, jantung Arka berdetak lebih cepat. Bahkan hanya karena senyuman singkat atau tatapan mata yang kebetulan bertemu. Ia pun sebenarnya sadar bahwa senyuman itu bukan ditujukan untuknya. Tapi karena cinta, ia tetap bahagia melihatnya tersenyum, meskipun tahu pasti senyuman itu bukan untuk dirinya. Ia tak pernah berani menyapa, meski banyak kesempatan terbuka. Sebaliknya, Arka membiarkan khayalannya melayang—membayangkan Laila sebagai sosok misterius, jauh dari jangkauan, seperti bintang yang hanya bisa dilihat dari kejauhan.
Hari demi hari berlalu, dan Arka tetap terperangkap dalam dunia khayalnya sendiri. Rasa suka itu terus tumbuh, bukan pada siapa Laila sebenarnya, tapi pada bayangan tentang Laila yang ia ciptakan dalam pikirannya. Ia jatuh cinta bukan pada kenyataan, melainkan pada ide tentang seseorang yang belum pernah benar-benar ia kenal.
Tapi bukan berarti Arka tak ingin memilikinya. Hanya saja, dalam hati kecilnya, ia tahu—ini belum waktunya. Mereka masih anak-anak, terlalu dini untuk memikirkan hal-hal seperti cinta atau hubungan. Apalagi keduanya berasal dari keluarga yang cukup terpandang dan agamis. Bukan perkara takut atau pengecut, tapi lebih pada keyakinan bahwa perasaan itu cukup dinikmati diam-diam, tanpa harus segera diperjuangkan.
Waktu bergulir. Mereka lulus dari sekolah dasar dan perlahan menjauh. Pertemuan pun menjadi langka—hanya sekali atau dua kali dalam setahun, biasanya saat Arka pulang ke rumah kakeknya. Setiap kali melihat Laila dari kejauhan, meski tanpa sapa, Arka merasa hatinya kembali hangat. Seperti baterai yang terisi ulang hanya dengan kehadirannya.
Namun suatu hari, rasa penasaran membuat Arka mencari tahu tentang Laila lewat media sosial. Dan di sanalah segalanya berubah. Laila yang ia temui di layar ponsel bukanlah sosok yang selama ini ia bayangkan. Ia kini tampil lebih terbuka, penuh ekspresi, dan tampaknya sangat menikmati perhatian banyak orang. Bukan lagi gadis tertutup dan tenang seperti dalam ingatan Arka.
Rasa kecewa pun perlahan tumbuh. Perasaan yang selama ini ia jaga rapat-rapat, yang ia bangun dalam diam, mulai runtuh. Ia merasa seperti seseorang yang sangat mencintai makanan dari restoran favorit—langka, istimewa, dan selalu dinikmati dengan penuh rasa syukur. Tapi ketika makanan itu akhirnya ia cicipi lagi, rasanya sudah berubah. Tak sama. Tak lagi seperti dulu. Dan kini, ia tak lagi menginginkannya.
Meski begitu, Arka tak bisa sepenuhnya melepaskan. Di balik kekecewaannya, ada kerinduan yang tak bisa dijelaskan. Ia masih ingin melihat Laila, meski hanya sebentar. Meski ia tahu bahwa yang ia rindukan mungkin hanyalah kenangan. Atau lebih tepatnya, khayalan.
Sampai sekarang, bahkan saat ia bertemu dengan ibu Laila—yang merupakan guru di sekolahnya dulu—Arka masih merasa berdebar. Rasanya seperti ingin tampil baik, sopan, dan bisa terlihat sebagai anak yang membanggakan. Bahkan jika yang ia temui hanyalah saudara-saudara Laila, atau siapa pun dari keluarganya, perasaan itu tetap ada. Seolah semua yang berhubungan dengannya membawa nuansa berbeda—entah itu orang-orangnya, tempat duduk yang pernah ia tempati, atau bahkan lorong sekolah tempat Laila sering lewat.
Ada pula momen-momen kecil lain yang menancap kuat di ingatan Arka. Seperti saat ulangan di salah satu kelas. Gurunya waktu itu menjanjikan hadiah uang lima ribu rupiah bagi siapa saja yang bisa menjawab semua soal dengan benar. Tak ada yang berhasil, tapi nilai tertinggi diraih oleh dua orang: Arka dan Laila. Mereka sama-sama mendapatkan nilai 95. Entah karena tak ingin mengecewakan, atau karena hanya mereka yang paling mendekati sempurna, sang guru akhirnya memberikan hadiah itu hanya kepada mereka berdua.
Lalu ada juga kejadian sebelum ujian semester. Sang guru menjanjikan hadiah untuk tiga besar. Arka yang saat itu benar-benar serius belajar akhirnya berhasil menjadi juara dua, sementara Laila menjadi juara satu. Anehnya, meski berbeda peringkat, mereka mendapatkan hadiah yang sama persis: tempat pensil, lima pensil, lima pena, dan penghapus. Padahal, juara tiga menerima hadiah yang jauh lebih sedikit.
Arka sempat heran. Jika memang hadiah untuk semua peringkat dibuat sama, bukankah seharusnya juara tiga juga mendapat hal yang serupa? Tapi tidak. Yang membuatnya semakin bingung adalah kenyataan bahwa hanya dirinya dan Laila yang mendapat hadiah penuh. Ia pun akhirnya menyimpulkan sendiri—mungkin karena nilai mereka hanya berbeda tipis, bahkan hanya selisih sekian koma, guru mereka memutuskan untuk menyamakan hadiahnya. Bukan karena peringkat, tapi karena pencapaian mereka yang nyaris seimbang.
Ada satu lagi cerita yang tak kalah membekas. Di tahun terakhir SD, semua siswa diwajibkan masuk sekolah agama sebagai syarat tambahan sebelum ke SMP. Sebagian besar teman-teman Arka sebelumnya tidak sekolah agama, dan hanya mengaji biasa. Namun karena latar belakang guru sekolah agama yang juga mengajar di SD mereka, ia sudah tahu kemampuan dasar para siswa. Semua anak satu kelas, termasuk Arka dan Laila, dinilai sudah cukup untuk langsung masuk ke kelas tiga sekolah agama, bukan dari kelas satu seperti biasanya.
Namun sesungguhnya, hanya dua murid yang sempat direkomendasikan langsung ke kelas empat—tingkat akhir sekolah agama—yaitu Arka dan Laila. Tapi keduanya sama-sama menolak. Laila tak bisa karena sore harinya ia harus pulang ke rumah utamanya, sementara kelas empat diadakan malam hari. Arka pun menolak karena ia sudah punya jadwal mengaji kitab di tempat lain yang juga berlangsung di malam hari. Akhirnya, semua teman sekelas termasuk mereka berdua, masuk ke kelas tiga bersama.
Banyak kesamaan yang diam-diam Arka rasakan, meski tampak sepele. Tapi bukankah memang begitu cinta bekerja? Ia menyambungkan hal-hal yang paling kecil, memberi makna pada sesuatu yang biasa saja, dan menghubungkan segalanya dengan satu nama: Laila.
Barangkali selama ini, yang benar-benar ia cintai bukanlah Laila—melainkan versi Laila yang hidup dalam pikirannya. Sosok ideal yang tak pernah benar-benar ada. Dan kini, ia harus belajar menerima kenyataan bahwa ia tak bisa terus hidup dalam bayangan masa lalu.
Perjalanan Arka adalah kisah tentang harapan, kebingungan, dan akhirnya... penerimaan. Ia belajar bahwa cinta sejati bukan tentang mengagumi dari jauh atau memuja dalam diam. Cinta sejati adalah tentang menerima seseorang sebagaimana adanya—dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dan meski menyakitkan, Arka tahu
... sudah waktunya melangkah maju.