Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku pernah mendengarkan sebuah ucapan 'Kesabaran mendatangkan kebenaran'. Aku merasa itu benar, atau sebenarnya kata kebaikan apapun bisa disandingkan dengan kata kesabaran. Jika aku mengatakan 'Kesabaran mendatangkan kekayaan', aku yakin semua orang mendengarkan akan percaya dan mengamininya.
“Aku tidak setuju dengan itu. Bagaimana kalau aku bilang ‘Kesabaran mendatangkan kemiskinan’. Karena secara realitas, kesabaran juga bisa berarti buruk jika dilakukan di tempat yang tidak seharusnya,” bantah Santi.
“Aku menyadari itu, tapi manusia akan selalu memilih untuk memikirkan hal yang baik karena mereka tidak ingin tersiksa oleh pikiran mereka sendiri,” jawabku mengalihkan pandangan ke jendela melihat mobil yang melaju dengan cepat ke arah yang berbeda dengan kami.
Kami sedang melakukan perjalanan menuju rumah tanteku. Awalnya hanya Ibu, Ayah, dan aku saja yang akan pergi. Tapi entah kenapa saat kami hendak pergi, Santi datang ke rumahku untuk mengajak pergi. Karena aku berniat pergi ke rumah saudara, tentu saja aku menolaknya. Aku memang menolaknya, tapi Ayah malah mengajak Santi untuk ikut pergi.
Anehnya dia menyetujuinya. Meskipun nanti sore sudah kembali ke rumah, tapi aku tidak ingin melakukannya jika tanpa persiapan. Bahkan persiapan perjalanan ini sudah aku siapkan sejak kemarin malam. Begitulah ceritanya kenapa Santi bisa ikut dalam acara keluarga kami dan entah kenapa kami berdebat tentang bagaimana manusia melihat konsep kesabaran.
Telepon berdering ketika aku melihat sebuah mobil sedan yang lupa mematikan wipernya. Telepon tersebut adalah milik Ibuku. Dia mengambil ponsel pintar yang ada di dalam tasnya dan mengangkat ke telinganya dengan pelan.
“Halo,” sapa Ibu ke orang yang berada di seberang.
“Sudah sampai mana,” balas orang di seberang. Meskipun tidak mengaktifkan mode speaker, suara telepon itu terdengar di telinga kami karena pengaturan suara telepon Ibuku diatur sampai maksimal.
“Ini masih di Demak. Mungkin sekitar satu jam lagi sampainya,” jawab Ibu mengira-ira.
“Kal …” terdengar suara dari seberang terdistorsi dan macet-macet.
“Halo Ran. Sinyalnya kok putus-putus,” keluh ibu sambil memandang ponselnya yang bertuliskan ‘Menghubungkan’. “Lah, sekarang malah di tutup. Gimana sih.”
“Siapa Bu?” tanya Ayahku sambil pandangannya terfokus di jalan.
“Mba Rani.”
Ya, aku sudah bisa menduganya dari pembicaraan mereka. Mba Rani atau aku memanggilnya tante Rani adalah kakak perempuan Ibuku. Dia tinggal di daerah Kudus karena suaminya adalah orang asli sana. Jadi dia sekarang bertempat tinggal di sana.
“Hey, aku punya ide yang menarik. Gimana kalo kita bertaruh?” usul Santi tiba-tiba.
“Untuk apa kita bertaruh, dan bertaruh apa?”
“Untuk membuktikan apakah kesabaran mendatangkan kebenaran atau kesalahan. Untuk taruhannya, apa ya?” ucapnya belum siap. “Aku nggak mau taruhan pake barang. Gimana kalo yang kalah harus menuruti perkataan yang menang. Sekali saja,” usul Santi.
“Boleh. Lalu apa penentu kemenangannya?”
“Tadi kan telepon tante Rani tiba-tiba terputus. Coba tebak apa penyebabnya. Jika dengan kesabaran kamu bisa menjawabnya dengan benar, kamu memang. jika kamu salah kamu kalah. Omong-omong aku juga akan menebak dan tebakanku adalah karena acara disana ramai, dan tante Rani terlalu sibuk sehingga dia tidak bisa telepon lama-lama,” ucap Santi memutuskan.
“Aku belum ngomong setuju loh,” keluhku.
“Palingan ya setujukan. nggak ada bedanya,” ucapnya seolah mengerti jalan pikiranku. Tapi memang benar sih. Jengkel juga ketika orang lain tahu apa yang aku pikirkan. Selain itu, dia menebak dengan jawaban yang memiliki kemungkinan besar untuk benar. Karena tante Rani di sana sebagai penyelenggara acara dan tuan rumah, tentu saja dia sibuk. Tapi tantangan ini adalah tentang kesabaran. Jadi aku harus sabar untuk memikirkannya agar mendapatkan jawaban yang sebenarnya.
Pertama adalah kumpulkan dulu informasinya. Kesalahan fatal yang Santi lakukan adalah, dia tidak menyadari kalau sambungan teleponnya sempat terganggu sebelum putus. Dan penyebab gangguan itu bisa banyak sekali, dan salah satunya adalah jawaban Santi, karena ramai. Tapi Santi tadi memberikan alasan putusnya sambungan telepon karena tante Rani terlalu sibuk. Jadi keramaian itu bisa juga aku gunakan sebagai alasan.
Tapi jika dipikir lebih jauh, gangguan sinyal akan terjadi jika keramaiannya benar-benar ramai, seperti konser atau acara lain yang mengumpulkan masa banyak. Acara yang akan kami datangi hanyalah kumpul keluarga besar biasa. Jadi secara tingkat keramaian, itu tidak sampai mengganggu sinyal telepon.
Kemungkinan selanjutnya adalah kendala ponsel milik tante Rani. Entah karena baterainya habis atau tiba-tiba mati. Aku menduga seperti itu karena hal itu pernah terjadi kepadaku. Saat itu aku pulang dari kegiatan wisata yang diadakan sekolah dan menelpon untuk meminta dijemput oleh Ibu. Karena seharian bepergian, aku tidak mengisi baterai ponselku. Sehingga ketika aku menelpon saat bateraiku mau habis, sinyal teleponnya terputus-putus. Beruntung Ibuku langsung tahu kalau aku minta dijemput.
Itu bisa menjadi alasan kuat. Pembuktiannya tinggal tanya ke Tanteku apa yang terjadi ketika dia menelpon Ibuku tadi. Jawaban itu bisa aku gunakan tapi kemungkinannya masih 50:50. Jadi masih ada kemungkinan salah.
“Gimana, udah ketemu jawabannya?” tanya Santi mengganggu proses berpikirku.
“Tunggu. Kamu mengganggu,” balasku.
“Ih, kamu terlalu serius.”
Agar bisa kembali fokus, aku alihkan pandanganku ke jalan biar tidak diganggu oleh Santi. Ku lihat mobil-mobil melintas dengan cepat dari arah yang berlawanan. Biasanya dengan melihat sesuatu yang monoton seperti ini, aku bisa masuk ke mode fokus dengan lebih cepat. Ternyata tidak, mataku malah terfokus kepada mobil yang melintas. Bukan kepada mobilnya, tapi ke wipernya.
Tadi aku menemukan satu mobil yang lupa untuk mematikan wipernya. Sekarang ada lebih banyak dan tidak mungkin itu hanya sebuah kebetulan. Ku amati lebih cermat mobil-mobil itu. Seperti yang aku duga, itu bukanlah sebuah kebetulan. Wiper dihidupkan bisa karena kayanya kotor atau yang kedua–karena hujan.
“Bu, berapa nomor Tante Rani?” tanyaku mencari petunjuk.
“Satu. Emang kenapa?” jawabnya malah bercanda.
“Bukan jumlah nomor yang dimilikinya Bu, tapi nomor telepon tante Rani,” balasku yang tidak tertawa atas candaan Ibu.
“Haha, iya. Ini lagi tak bukain. nol, delapan, sembilan, lima,...” jawabnya sampai lengkap.
Aslinya aku hanya membutuhkan 3 angka di depannya untuk mengetahui apa kartu yang digunakannya. Karena itu bisa memperkuat alasan yang aku berikan. Angka sembilan dari nomor tersebut adalah nomor dari provider Tree. Aku juga menggunakannya untuk kebutuhan internetku, dan sinyalnya sering hilang ketika di wilayah tersebut dilanda hujan. Sekarang informasinya sudah lengkap dan aku percaya dengan jawabanku 100%.
“Jawabannya adalah karena gangguan sinyal oleh hujan. Itu jawaban finalku,” kataku percaya diri.
“Ha, hujan. Kelihatannya awannya cerah-cerah aja tuh,” katanya menunjuk ke langit dari tempat yang kita tuju.
“Hujan juga tidak harus dibarengi dengan awan mendung. Hujan bisa jatuh meskipun langitnya cerah. Nanti saja kita buktikan di lokasi mana yang benar.” Santi setuju dengan itu dan kami terus mengobrol sampai tiba di tujuan.
Aku sudah percaya diri ketika melihat tanah yang basah dari jendela mobil. Tanahnya tidak sampai becek, tapi terlihat dengan jelas bahwa belum lama dari ketika sampai, hujan turun di sini.
Aku melirik wajah Santi yang kesal dan bilang, “aku mau minta apa ya kira-kira?”
“Pemenangnya belum ditentukan sampai kita bertanya ke Tante Rani,” jawabnya sebal.
Ya, terserah kamu saja. Tanpa kami mencarinya, tante Rani datang menyambut kedatangan kami. Tanpa pikir panjang, kami bertanya tentang kejadian itu dan tampaknya kali ini kesabaran menang.