Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Apakah penyesalan selalu datang terlambat, bahkan di hari ulang tahun yang seharusnya penuh suka cita? Tujuh belas tahun Sherly menanti hari ini, gerbang menuju kebebasan dan pengakuan. Namun, di tengah gemuruh harapan akan KTP dan lampu hijau untuk menjalin kasih di mata orang tuanya, bayangan seorang pemuda dari masa lalunya justru menghantui. Setahun sudah ia berpacaran diam-diam dengan Dikin, terhitung sejak ulang tahunnya yang ke-16. Dulu, mata bening Dikin selalu menatapnya penuh ketulusan, mata yang sama yang dulu sering mencuri pandang padanya saat ia kecil, bermain masak-masakan di bawah pohon jambu rindang dekat rumahnya. Pohon jambu itu… sebuah kenangan pahit-manis yang kini kembali mencuat. Dulu, Dikin jatuh dari sana, dan di saat yang sama, Sherly menyadari ada kehangatan aneh yang menjalar di hatinya saat melihat bocah itu meringis kesakitan. Namun, kehangatan itu pupus seiring kepergian Sherly ke kota. Janji untuk menunggu tak pernah terucap, hanya lambaian tangan singkat yang meninggalkan kekosongan di hati Dikin. Dan kini, di hari ulang tahun Sherly yang ke-17, takdir mempertemukan mereka kembali dalam situasi yang canggung dan memilukan – sebuah jendela pecah dan tatapan mata Sherly yang tak lagi menyimpan kehangatan masa kecil.
Bagi Dikin, Sherly adalah satu-satunya. Sejak pertama kali matanya menangkap sosok gadis kecil yang asyik dengan boneka-bonekanya di bawah rindangnya pohon jambu, hatinya telah terpaut. Ia rela berlama-lama memanjat pohon yang sama, mengabaikan gigitan semut dan teguran pemiliknya, hanya demi bisa mencuri pandang pada senyum Sherly yang bagai mentari pagi. Bahkan, kejatuhannya dari pohon jambu, yang seharusnya menyakitkan, justru menjadi momen tak terlupakan karena kepanikan dan suara lembut Sherly yang bertanya keadaannya. Saat itu, Dikin tak hanya jatuh dari pohon, tetapi juga semakin dalam ke dalam pesona gadis itu.
Sayangnya, keindahan masa kecil itu harus terenggut oleh kenyataan pahit. Kepindahan Sherly ke kota bagai petir di siang bolong bagi Dikin. Ia hanya bisa terpaku melihat mobil bak terbuka yang membawa serta separuh jiwanya. Dalam benaknya, ia merajut angan-angan tentang janji setia, namun bibir Sherly membisu. Hanya lambaian tangan tanpa kata yang menjadi perpisahan mereka. Dikin kecil hanya bisa menyimpan nama Sherly dalam hatinya, sebuah nama yang akan terus ia bawa seiring berjalannya waktu. Apakah cinta pertama yang tak terbalas akan selamanya menjadi patokan ideal dalam mencari pasangan?
Hari-hari tanpa Sherly terasa hampa. Sekolah dan bermain bola bersama Atep menjadi pelarian Dikin dari kesepian. Halaman rumah nenek Sherly, tempat di mana mereka dulu bebas bermain tanpa takut dimarahi, kini terasa berbeda. Kenangan akan Sherly seolah berbisik di setiap sudutnya.
Suatu sore, saat Dikin dan Atep tengah asyik bermain, sebuah insiden tak terduga terjadi. Tendangan keras Atep meleset dan menghantam jendela rumah nenek Sherly. Suara kaca pecah membuyarkan kesenangan mereka. Teman-teman Dikin langsung tunggang langgang melarikan diri, namun kaki Dikin terasa berat untuk bergerak. Dari balik pintu yang terbuka, muncul Sherly bersama nenek dan ibunya. Wajah keduanya memerah menahan amarah, dan mata Sherly menatap Dikin dengan tatapan yang tak lagi ia kenali.
"Rusak ini mah, Nek," ujar ibunya Sherly dengan nada penuh penyesalan bercampur kejengkelan, sambil menunjuk ke arah jendela yang kacanya berantakan. Tatapannya kemudian beralih pada Dikin, penuh tuduhan.
"Bukan saya yang nendang," jawab Dikin gugup, suaranya hampir tak terdengar. Jantungnya berdebar kencang, bukan karena takut dimarahi, tetapi karena tatapan Sherly yang terasa asing.
Nenek dan ibunya Sherly saling bertukar pandang, kemudian kembali menatap Dikin dengan sorot mata menyelidik. Di halaman itu, memang hanya ada Dikin. Bola yang tergeletak tak jauh dari pecahan kaca menjadi saksi bisu. Dikin tahu, ia tak bisa mengelak. Ia hanya bisa menundukkan kepala, merasakan gelombang malu dan penyesalan menghantam dirinya. Di hadapan Sherly, gadis kecil yang dulu mengisi hari-harinya dengan senyuman, kini ia berdiri sebagai seorang anak laki-laki ceroboh yang telah merusak properti keluarganya. Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah Sherly masih mengingatnya? Apakah kenangan manis di bawah pohon jambu itu masih tersisa di benaknya, ataukah kini ia hanya melihatnya sebagai sumber masalah?
Bersama Iwan, kakaknya yang berusia 27 tahun, Dikin bertanggung jawab memperbaiki jendela yang pecah. Iwan, dengan tubuh tegap dan sorot mata yang penuh tanggung jawab, berkali-kali meminta maaf kepada nenek dan ibunya Sherly. Namun, di balik permintaan maaf itu, terselip omelan kecil untuk adiknya yang dianggap ceroboh. Dikin hanya bisa menunduk, merasa bersalah dan malu. Ia sempat mencari teman-temannya yang ikut bermain kemarin, berharap ada saksi yang bisa meringankan bebannya, namun tak satu pun dari mereka menampakkan diri.
"Nanti kami beli kaca baru dan langsung dipasang sekarang, Nek," kata Iwan dengan nada menyesal, berusaha meyakinkan nenek Sherly. Di mata Dikin, kakaknya selalu menjadi pelindung, tameng dari berbagai kesalahan yang pernah ia perbuat. Kehadiran Iwan sedikit meredakan ketegangan di udara.
Tak lama kemudian, Sherly keluar dari rumah, membawa nampan berisi dua cangkir – satu kopi dan satu teh hangat – serta sepiring roti. Ia meletakkannya di meja dengan gerakan pelan.
"Terima kasih," ucap Dikin lirih, merasa tak pantas menerima keramahan itu setelah kejadian yang ia sebabkan.
"Ternyata ada suaranya nih orang," celetuk Iwan sambil mengacak-acak rambut adiknya, berusaha mencairkan suasana yang masih kaku.
"Jangan terlalu keras pada adikmu, Iwan. Dia sudah mengaku salah," tegur nenek Sherly dengan nada lembut.
Dikin segera mengibaskan tangan kakaknya dari kepalanya. Meski berada sedekat ini dengan Sherly, ia masih belum berani menatap wajah gadis itu. Sesekali ia hanya bisa mencuri pandang ke arahnya. Sherly tampak membantu ibunya melipat pakaian di ruang tamu. Gerakan tangannya cekatan dan rapi. Momen itu terekam jelas di benak Dikin. Ia dan kakaknya tinggal berdua di rumah sederhana mereka. Tiba-tiba, sebuah pikiran melintas di benaknya: Apakah aku juga boleh membawa pakaian kami ke sini untuk dilipat Sherly? Jika aku yang melipat, hasilnya pasti tidak serapih ini. Pikiran konyol itu membuatnya sedikit tersenyum kecut.
Malam itu, sebelum tidur, bayangan Sherly terus berputar di benaknya. Hari yang penuh insiden itu justru membangkitkan kembali perasaan yang dulu pernah ia kubur dalam-dalam. Ia, si anak laki-laki yang sangat suka menendang bola ke dinding rumah, kini merasakan kembali debaran aneh di dadanya – rasa jatuh cinta yang dulu pernah hadir di bawah pohon jambu.
Saat ini, di hari ulang tahun Sherly yang ke-17, Dikin berdiri di sampingnya dengan jantung berdebar kencang. Di tangannya tergenggam sebuah kotak kecil berisi hadiah yang sudah lama ia persiapkan: sebuah music box berbentuk mobil kecil. Ia telah meminta tolong teman-teman di warnet untuk menyisipkan lagu Vierra berjudul "Semua Tentangmu" ke dalamnya.
"Anak jaman sekarang," komentar salah satu abang warnet sambil tersenyum kecil, sedikit menggoda Dikin yang tampak gugup.
Lirik lagu itu bagai representasi sempurna dari perasaannya:
Semua tentangmu selalu membekas di hati ini
Cerita cinta kita berdua akan selalu
Semua kenangan tak mungkin bisa (ku lupakan ku hilangkan)
Takkan mungkin ku biarkan cinta kita berakhir
Reff:
Ku tak rela, ku tak ingin kau lepaskan semua
Ikatan tali cinta yang t'lah kita buat selama ini
Lagu itu benar-benar menggambarkan kondisi hatinya yang setiap malam selalu terbayang sosok Sherly. Setelah menyerahkan music box itu, Dikin memperhatikan ekspresi Sherly dengan saksama. Awalnya tampak bingung, namun begitu alunan melodi dan lirik lagu itu terdengar, matanya berkaca-kaca.
Sherly terlihat sangat senang. Meskipun Dikin merasa sedikit bodoh dan tidak romantis, ia bisa merasakan ketulusan di balik hadiah sederhana itu. Senyum yang merekah di bibir Sherly kali ini tampak begitu tulus, seolah ada beban berat yang terangkat dari pundaknya.
Music box dengan lagu Vierra itu menjadi teman setia Sherly sebelum tidur. Ia tidak lagi merasa kesepian di kamarnya. Di tahun-tahun itu, ponsel belum semarak seperti sekarang. Tentu saja, Dikin dan Sherly tidak memilikinya. Dulu, setiap kali rindu melanda, Dikin selalu mengajak teman-temannya bermain bola di halaman rumah Sherly, berharap bisa melihat gadis itu meskipun hanya sebentar. Namun, kali ini ajakannya ditolak.
"Kita sudah cukup dewasa untuk main bola di halaman rumah orang," ujar Atep, yang saat itu baru saja masuk SMA dan mulai meninggalkan kebiasaan bermain bola demi menekuni hobinya memukul drum di sebuah band baru.
Malam itu, setelah memberikan music box, Dikin pulang dengan hati campur aduk. Kebahagiaan melihat Sherly tersenyum bercampur dengan kecemasan yang begitu tinggi. Bagaimana seseorang menghadapi kenyataan bahwa kebahagiaan yang dirasakannya mungkin akan segera direnggut? Benar saja, beberapa hari kemudian, badai datang menerjang. Orang tua Sherly akhirnya mengetahui hubungan diam-diam mereka. Kemarahan ayah Sherly meledak seperti petir di siang bolong. Namun, ibunya yang kini aktif mengikuti pengajian rutin, memilih cara yang lebih lembut namun tak kalah menusuk.
Di ruang tamu rumah Sherly, Dikin duduk berhadapan dengan kedua orang tua gadis itu. Ayah Sherly menatapnya tajam, sementara ibunya berbicara dengan nada tenang namun penuh ketegasan. Nasehat-nasehat tentang batasan pergaulan, tentang fokus pada pendidikan, dan tentang bahaya pacaran di usia muda mengalir bagai arus sungai yang tak terbendung. Meskipun disampaikan dengan santun, permintaan tersirat – bahkan kemudian tersurat – dari ibunya Sherly untuk mengakhiri hubungannya dengan putrinya, membuat hati Dikin mencelos. Apakah cinta remaja selalu dianggap sebagai penghalang masa depan? Ia merasa terpojok, bingung harus berbuat apa. Di satu sisi, ia menghormati orang tua Sherly, namun di sisi lain, ia tak bisa membayangkan hidup tanpa gadis itu. Ketika harapan dan kenyataan bertentangan, jalan mana yang seharusnya dipilih? Kecemasan mencengkeram dadanya begitu kuat, membuatnya sulit bernapas. Ia takut kehilangan Sherly, satu-satunya orang yang benar-benar mengerti dirinya. Malam-malam setelah pertemuan itu dipenuhi dengan kegelisahan dan tidur yang tak nyenyak. Setiap dering telepon rumah Sherly membuatnya berjengit, takut mendengar kabar buruk.
Tekanan dari ibunya membuat Sherly menjadi lebih sensitif. Ia jadi lebih sering marah, dan sayangnya, kemarahan itu kerap kali dilampiaskan kepada Dikin. Hubungan yang dulu terasa begitu indah dan penuh kehangatan, kini berubah menjadi hari-hari yang penuh pertengkaran dan kesalahpahaman. Bisakah cinta bertahan di bawah tekanan eksternal yang begitu besar? Namun, anehnya, di tengah segala kesulitan itu, selalu ada saja cara bagi mereka untuk kembali berbaikan. Mungkin ada ikatan kuat yang sulit diputuskan begitu saja.
Suatu sore, saat Dikin dan Sherly menikmati es cekek di dekat rumah, Dikin memberanikan diri menceritakan nasehat – dan permintaan – dari ibunya. Dengan kata-kata yang hati-hati, ia menyampaikan bahwa mungkin memang sebaiknya hubungan mereka berakhir di sana. Namun, Sherly menolak dengan keras. "Aku tidak ingin putus, apapun yang terjadi," katanya dengan nada tegas, matanya berkilat-kilat. Seberapa besar pengaruh orang tua dalam menentukan arah hubungan anak remaja?
Esoknya, Sherly memberikan music box yang sama kepada Dikin. "Dengarkan ini," ujarnya mantap, menatap Dikin dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Kamu tidak boleh lupa. Nanti kalau sudah sadar, kembalikan lagi padaku." Setelah mengucapkan kata-kata itu, Sherly berbalik dan pergi, meninggalkan Dikin yang sedang sibuk membolongi bola plastik, berencana bermain bola di halaman rumah temannya untuk mengusir kegundahan.
Kata-kata ibunya Sherly ternyata sangat menyentuh hati Dikin. Ia mulai merenungkan nasihat itu dan menyadari bahwa mungkin memang hubungan ini sebaiknya tidak dilanjutkan, demi kebaikan Sherly dan dirinya sendiri. Tiba-tiba, sebuah ide nakal terlintas di benaknya. Ia ingin mengganti lagu romantis di music box Sherly dengan ceramah tentang larangan pacaran. Sebuah cara yang mungkin bodoh, tapi entah mengapa terasa benar saat itu. Ketika kata-kata terasa sulit diucapkan, apakah tindakan simbolis bisa menjadi jalan keluar?
Tanpa pikir panjang, Dikin bergegas menuju warnet. Ia meminta bantuan abang-abangan di sana untuk menyuntikkan file ceramah agama tentang larangan berpacaran ke dalam music box itu.
"Ada apa ini? Putus kah?" tanya salah satu abang warnet sambil terkekeh, tak dapat menahan tawanya melihat permintaan aneh Dikin. Tawa itu sedikit mengganggu Dikin, namun ia terlalu fokus pada rencananya untuk mempedulikannya. Ia hanya ingin Sherly mengerti, dengan caranya sendiri, bahwa mungkin memang inilah jalan terbaik bagi mereka. Sebuah perpisahan yang dibalut dengan kenangan akan lagu cinta dan nasihat agama. Akankah Sherly mengerti maksudnya?
Ketika Sherly menerima kembali music box dari Dikin, alunan ceramah tentang larangan berpacaran yang keluar dari dalamnya membuatnya tertegun. Awalnya ia bingung, lalu rasa sakit dan amarah bercampur aduk di hatinya. Ia menemui Dikin, matanya berkaca-kaca, menuntut penjelasan atas tindakan yang dianggapnya kekanak-kanakan dan tidak menghargai perasaannya. Di tengah isak tangisnya, Sherly mengungkapkan betapa sulitnya ia menerima keputusan Dikin. "Meskipun kamu memutuskan hubungan ini," ucapnya dengan suara bergetar, "aku akan tetap mencintaimu, Dikin. Selamanya." Kata-kata itu bagai mantra yang menyayat hati Dikin, membuatnya merasa bersalah dan bimbang atas keputusannya. Namun, ia tetap berusaha meyakinkan Sherly bahwa perpisahan ini adalah jalan terbaik, meskipun hatinya sendiri terasa hancur berkeping-keping.
Sayangnya, keteguhan hati Sherly untuk mencintai Dikin selamanya ternyata tak bertahan lama. Baru satu minggu setelah perpisahan yang penuh air mata itu, sebuah kabar mengejutkan sampai ke telinga Dikin. Sherly terlihat berduaan dengan seorang siswa laki-laki di kantin sekolah. Bukan hanya sekadar teman, tatapan dan senyum yang mereka bagi jelas menunjukkan adanya hubungan yang lebih dekat. Dan laki-laki itu tak lain adalah ketua OSIS sekolah mereka, sosok yang selama ini dikenal cerdas, populer, dan menjadi idola banyak siswi.
Kabar itu menghantam Dikin bagai pedang yang ditusukkan langsung di jantungnya. Sesekaki terasa sesak, seolah berhenti bernafas. Rasa sakit hati, pengkhianatan, dan kebingungan bercampur menjadi satu. Janji Sherly tentang cinta abadi terasa seperti lelucon pahit. Ia merenungkan kembali semua kenangan mereka, dari senyuman di bawah pohon jambu hingga lagu cinta dari music box. Apakah semua itu hanya ilusi? Apakah cinta pertama memang serumit dan sesingkat ini? Dikin terdiam, mencoba memahami kenyataan pahit bahwa hati manusia bisa berubah secepat musim berganti, dan janji "selamanya" terkadang hanya bertahan selama hitungan hari.
-Tamat