Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku menatap layar sistem. Sudah berkali-kali ku-refresh, tapi tak kunjung betul. Di hadapanku, deretan kode 406.723 ribu doa berkedip, jumlahnya terus bertambah setiap detik.
"Bagaimana ini? Jika terus begini, doa-doa itu tidak bisa kita kerjakan," keluh rekanku, suaranya terdengar cemas.
Sebelumnya, sistem ini tidak pernah error. Tapi hari ini, entah apa yang membuatnya rusak. Kami adalah Divisi Doa, salah satu divisi terkecil di antara unit-unit semesta. Pekerjaan kami sederhana: menunggu pesan dari Bumi, lalu mengklasifikasikannya berdasarkan energi harapan yang terkandung di dalamnya untuk menentukan mana yang dikabulkan dan mana yang tidak.
"Bagaimana jika kita kerjakan doa yang mendesak saja dulu?" saranku, mencoba berpikir jernih.
"Tapi doa yang kita terima terlalu banyak untuk dikerjakan sendiri," sanggah rekanku.
"Ketua, bisakah kita meminta bantuan dari divisi lain?" tanyaku pada ketua tim yang sedari tadi mondar-mandir gelisah.
"Aku akan coba hubungi Divisi Mimpi. Semoga mereka bisa membantu."
Aku membuka beberapa pesan acak. Ada doa untuk dapat menyelesaikan ujian, kesembuhan, kenaikan pangkat, sampai doa agar terjadi bencana alam dan pemakzulan presiden.
Saat aku sedang memilih mana doa yang bisa dikabulkan, tiba-tiba sistem bergerak sendiri. Lampu-lampu panel berkedip liar, dan nama-nama doa di layar berubah menjadi kode-kode aneh. Sistem mulai mengabulkan doa secara acak.
"Aku dapat laporan dari divisi sebelah! Terjadi kekacauan di Bumi," ucap ketua timku, suaranya meninggi.
"Sistem mengabulkan doa secara acak!" lapor rekanku, matanya membelalak.
Dalam hitungan detik, Bumi menjadi kacau balau. Sinyal yang masuk ke sistem kami berubah menjadi gelombang kekacauan: macet total di mana-mana, cuaca mendadak mendung dan hujan deras, dan banyak lagi.
Seperti inilah jika doa tidak diseleksi. Banyak doa yang tidak tulus, bahkan ada yang bisa merugikan orang lain. Sebagian besar orang di Bumi mengira doa mereka akan langsung didengar, tanpa tahu bahwa ada filter di sini.
"Kita harus menghentikannya," seruku, mencoba mencari tombol shutdown yang tidak ada.
”Aku menemukannya!” seru salah satu teknisi, memecah kepanikan kami. Ia menunjuk ke layar monitor yang menampilkan grafik doa-doa, di mana sebuah titik merah menyala tak wajar, berukuran jauh lebih besar dari doa lainnya.
”Sepertinya ada satu doa yang menghambat saluran,” lanjutnya, suaranya dipenuhi nada kaget.
Aku mendekat, mencoba melihat apa yang dimaksud. Mataku menyipit, mencari-cari keanehan pada titik merah itu. Doa yang terkandung di dalamnya sangat singkat, tapi memiliki energi harapan yang luar biasa kuat, sampai-sampai memutarbalikkan sistem kami.
Doa itu berasal dari seorang anak yang sangat tulus: “Semoga Ayah dan Ibu tidak pernah berpisah.” Doa semacam ini, meski niatnya baik bisa jadi begitu kuat hingga merusak sistem karena mencoba mengintervensi takdir yang sudah ditetapkan.
"Tolak doa itu!" perintah Ketua, suaranya tegang.
Aku menekan tombol pembatalan berulang kali, tapi tidak berhasil. Layar sistem berkedip, menampilkan pesan kesalahan.
"Lapor Ketua," kataku, "sudah kucoba batalkan, tapi tidak bisa. Doa ini menolak untuk dibatalkan."
Situasi ini tak terduga. Kami bisa mengabulkan, membatalkan, atau menunda doa, tapi belum pernah ada doa yang sekuat ini.
"Bagaimana jika kita kabulkan saja?" usul rekanku.
Seketika, kami semua terdiam. Usulan itu terasa gila. Mengabulkan doa itu berarti kami harus melawan takdir yang sudah digariskan.
"Itu menyalahi takdir," kataku, menyuarakan keraguan semua orang.
Ketua menatapku dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. "Mungkin," katanya, "kita bisa bicarakan dengan Divisi Takdir terlebih dahulu."
Kami mencoba menghubungi Divisi Takdir. Layar di depanku menampilkan sosok-sosok tanpa ekspresi, seperti patung yang diselimuti kabut. Begitulah Divisi Takdir, kaku dan dingin, hanya bekerja berdasarkan aturan dan garis nasib yang sudah digariskan.
"Ada apa menghubungi kami?" tanya Ketua Divisi Takdir, suaranya sedingin es.
Ketua timku langsung ke inti masalah, "Kami membutuhkan persetujuanmu. Ada doa yang begitu kuat hingga membuat sistem kami error. Doa itu tidak sesuai takdir, tapi juga sulit ditolak. Bisakah kita mengubah takdirnya?"
Ekspresi dingin itu sedikit berubah. "Apa maksudmu? Kita tahu kita tidak boleh mengubah takdir secara asal-asalan!"
"Tapi doa ini merusak sistem kami!" bentak rekanku, frustrasi.
Ketua Divisi Takdir tidak menanggapi. Ia berbalik dan berbicara sesuatu dengan anggota timnya. Tiba-tiba, sebuah gambar muncul di layar kami: seorang anak kecil dengan wajah sangat sedih. Keadaan rumahnya tampak kacau, barang-barang berserakan di lantai.
"Apakah kita tidak bisa mengajukan revisi ke Pusat?" tanya Ketua Divisi Takdir pada timnya, suaranya kini sedikit melunak.
Kami menunggu dengan tegang saat Ketua Divisi Takdir berbicara dengan Pusat. Ada keheningan panjang yang mencekam, hanya diselingi suara klik dari tombol-tombol yang mereka tekan. Akhirnya, Ketua Divisi Takdir kembali menatap layar kami, ekspresinya lebih suram dari sebelumnya.
"Pusat setuju," katanya, suaranya pelan dan berat. "Takdir orang tua itu bisa diubah."
Kami semua menghela napas lega, tapi tidak lama.
"Tapi ada konsekuensi," lanjutnya, membuat jantungku berdebar kencang. "Pusat tidak akan mengubah takdir tanpa ganti rugi."
Aku menelan ludah. "Ganti rugi apa?"
Ketua Divisi Takdir menunjuk layar, dan gambar anak kecil itu kembali muncul. "Jika orang tuanya tidak bercerai, anak itu yang akan menanggung konsekuensinya." Ia berhenti sejenak, suaranya hampir tak terdengar. "Konsekuensinya... sangat besar. Ini akan berkaitan dengan kesehatan anak itu."
Di layar, gambar si anak kecil terlihat semakin kabur, seperti energi harapan dalam dirinya sedang terkikis. Kami semua terdiam. Doa tulus seorang anak yang ingin orang tuanya bersatu kini berbalik menjadi bencana bagi dirinya sendiri. Kami berhasil menemukan solusi, tapi solusinya jauh lebih buruk daripada masalahnya.
Kami memutuskan untuk meminta bantuan Divisi Mimpi, satu-satunya divisi yang bisa menjangkau alam bawah sadar manusia secara langsung. Rencananya, kami akan mengirimkan mimpi kepada si anak menggunakan figur yang paling ia percayai dan sayangi: neneknya.
Ketua timku menghubungi Divisi Mimpi. Seorang operator muncul di layar, wajahnya tampak lelah dan matanya cekung. "Ada apa? Kami sibuk mengurus mimpi buruk di Bumi," ujarnya.
"Kami butuh bantuanmu. Kirimkan pesan melalui mimpi kepada seorang anak. Kami butuhkan neneknya sebagai perantara," jawab Ketua timku.
Operator itu menghela napas panjang. Ia mengetikkan nama sang nenek di sistem mereka, lalu layar di belakangnya berkedip-kedip, mencari data. Ia mengerutkan kening.
"Aku tidak bisa menemukannya," ucapnya. "Data neneknya sudah tidak ada di arsip kami."
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Neneknya sudah bereinkarnasi," jawab operator itu, suaranya datar.
Kami semua terdiam. Rencana kami hancur. Harapan terakhir kami untuk menghindari konsekuensi fatal itu kini lenyap. Si nenek, satu-satunya penghubung emosional yang bisa kami gunakan, sudah kembali ke Bumi dalam wujud yang lain.
Akhirnya, Ketua Divisi Doa mencoba menghubungi Divisi Lapangan. Setelah menjelaskan situasinya, dari sistem yang rusak hingga doa tulus seorang anak yang mengancam takdir, Divisi Lapangan dengan cepat menerima tawaran untuk melacak nenek itu.
"Ini misi yang unik," kata Ketua Divisi Lapangan, suaranya terdengar antusias. "Kami akan segera mengirim tim terbaik kami ke Bumi."
"Tunggu," potongku, sebuah ide melintas di kepalaku. "Jika nenek itu bereinkarnasi menjadi manusia, kita bisa menggunakannya, kan? Mungkin... kita bisa menanamkan pesan itu ke dalam dirinya, agar ia bisa menyampaikannya kepada cucunya di Bumi."
Semua orang terdiam. Ideku terasa berani, bahkan mungkin gila. Mengintervensi reinkarnasi adalah sesuatu yang belum pernah kami lakukan.
Setelah pelacakan intensif menggunakan energi, kami mendapat laporan dari tim lapangan. Nenek itu sudah ditemukan. Namun, harapan kami langsung pupus saat kami mendengar hasilnya.
Ia bereinkarnasi menjadi kucing peliharaan anak itu.
Semua mata tertuju ke layar, di mana sebuah gambar anak kecil itu sedang memeluk seekor kucing berwarna oranye. Kucing itu tampak tenang, seolah ia tahu segalanya.
Ketua Divisi Doa akhirnya menyerah. Raut wajahnya menunjukkan perpaduan antara keputusasaan dan kelegaan yang mengerikan. Setelah semua upaya gagal hanya ada satu jalan keluar.
"Kita tidak punya pilihan lain," katanya, suaranya parau. Ia menatap kami satu per satu, seolah mencari pembenaran. "Kita harus mengabulkan doa itu."
Aku tidak bisa berkata-kata. Rekanku membuang muka, matanya berkaca-kaca. Kami semua tahu, mengabulkan doa itu berarti kami harus menyetujui konsekuensi yang diminta Pusat. Konsekuensi yang akan ditanggung oleh seorang anak yang tidak bersalah.
Layar di depan kami berkedip. Kode-kode yang tadinya kacau perlahan kembali teratur. Kami membiarkan sistem bekerja. Doa itu, doa yang tulus dan murni untuk menyatukan kembali keluarganya kini terkabul.
Namun, di Bumi segalanya berubah.
Di balik jendela kami, kami bisa melihat data-data. Orang tua anak itu yang tadinya di ambang perceraian kini memutuskan untuk bersatu. Mereka terlihat saling berpelukan, air mata kebahagiaan membasahi pipi mereka. Namun, di saat yang sama kami juga melihat data kesehatan anak itu. Garis-garis yang tadinya normal kini menurun drastis. Sebuah titik merah menyala di samping namanya, menunjukkan bahwa ia akan mengidap penyakit mematikan.
Sistem kembali normal. Doa-doa dari seluruh dunia kembali masuk, terklasifikasi dengan rapi. Namun, ada harga yang harus kami bayar. Sebuah harga yang terlalu mahal, yang akan terus menghantui kami selamanya. Kami berhasil menyelamatkan sistem, tapi kami mengorbankan seorang anak.
Setelah sekian lama dari kerusakan sistem itu, kami masih sering memantau anak itu. Di layar, wajahnya yang dulu ceria kini pucat. Ia dirawat di rumah sakit, banyak alat terpasang di tubuhnya. Mesin yang berdetak dan selang-selang yang menopang hidupnya. Semua itu adalah harga yang harus ia bayar.
Setiap kali aku melihatnya, rasa bersalah itu terasa nyata. Kami berhasil. Sistem kembali normal. Jutaan doa dari seluruh dunia kembali terproses tanpa hambatan. Namun, di antara semua itu, ada satu doa yang kami kabulkan dengan mengorbankan segalanya. Sebuah doa yang akhirnya membawa kesedihan yang tak terhindarkan.
Di Bumi, di rumah yang kini terasa hampa, kucing oranye itu terus menunggu. Ia hanya mau tidur di tempat tidur yang biasa digunakan anak itu. Di sisi jendela, matanya terpaku pada jalanan. Ia adalah satu-satunya saksi bisu dari takdir yang telah kami ubah.
Suatu hari, garis data kesehatan si anak di layar kami berhenti. Hati kami mencelos. Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melihat data dari orang tuanya. Doa mereka untuk bersatu telah terkabul, tapi kebahagiaan itu kini hancur berkeping-keping. Mereka terlihat saling berpelukan, bukan karena cinta melainkan karena duka yang begitu mendalam.
Air mata penyesalan mengalir di wajah mereka, menutupi senyum yang pernah kami lihat. Mereka tahu, kebahagiaan yang mereka dapatkan datang dengan harga yang tak terbayangkan. Mereka berhasil menjaga janji pernikahan mereka tapi mereka kehilangan segalanya.
Kami berhasil menyelamatkan sistem, tapi kami mengorbankan satu jiwa. Sebuah harga yang terlalu mahal yang akan terus menghantui kami selamanya.