Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Ketika Lampu Padam
2
Suka
26
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku pertama kali melihatnya saat listrik kota mati.

Gelap menelan segalanya, begitu pekat sampai aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Jalanan lengang, suara mesin berhenti, hanya ada teriakan anak kecil yang menangis takut. Dari balkon-balkon tetangga, cahaya lilin berkelip, seperti bintang palsu yang terpaksa dipasang di langit buatan. Bau asap parafin tipis menusuk hidung, bercampur dengan kelembapan malam setelah hujan siang tadi.

Aku duduk di lantai ruang tamu, resah. Gelap mengingatkanku pada masa kecil, ketika ayah belum pulang dan aku menunggu dengan cemas di dekat jendela. Sejak beliau meninggal, rasa takut pada kegelapan seakan menempel di tubuhku, meski aku sudah dewasa.

Dan di antara pekat itu, dia muncul.

Tanpa suara langkah, seolah sudah hafal jalan menuju pintu rumahku.

Tubuhnya ramping, wajahnya samar diterangi cahaya temaram. Rambutnya selalu setengah basah, menetes pelan di ujung-ujung helai—seperti baru keluar dari hujan yang tak pernah turun. Ada dingin yang menyelimuti dirinya, tapi anehnya, dingin itu tidak membuatku menjauh.

“Boleh aku duduk?” suaranya lirih, nyaris kalah oleh suara jangkrik.

Aku mengangguk, meski hati berdebar. Namanya Naya, ia bilang begitu sambil tersenyum samar. Kami bicara dengan bisikan, duduk di lantai ruang tamu, tertawa kecil sambil menunggu petugas PLN yang entah di mana. Sesekali tangannya menyentuh tanganku, dingin sekali, seperti air sumur. Tapi justru itu yang membuatku merasa tenang, seolah semua kecemasan ikut dibawa pergi olehnya.

Setiap kali lampu nyala—klik!—dia lenyap. Begitu saja. Tak ada pamit. Tak ada jejak. Hanya kursi kosong di sebelahku, seolah aku baru saja berbicara dengan bayangan.

Awalnya aku kira halusinasi. Mungkin kepala pusing, mungkin kesepian. Tapi malam berikutnya, ketika listrik kembali padam, dia datang lagi. Dan lagi. Sampai aku sadar: aku bukan lagi menunggu PLN memperbaiki kabel, tapi menunggu dirinya.

Kami jatuh cinta di antara lilin, kopi dingin, dan suara serangga malam.

---

Suatu malam, aku bertanya sambil menatap api lilin yang bergoyang:

“Naya, kalau suatu hari listrik nggak pernah mati lagi, apa kita juga bakal hilang?”

Dia menoleh, bibirnya nyaris tak bergerak. Tapi matanya—mata yang seakan memantulkan nyala lilin—menyimpan jawaban yang lebih dalam dari sekadar kata.

“Aku cuma ada di gelapmu,” bisiknya.

Kata-kata itu seharusnya jadi peringatan. Tapi aku justru semakin jatuh.

---

Lalu datanglah hari itu. PLN mengumumkan jaringan baru: listrik kota stabil selamanya. Tak akan ada pemadaman lagi. Orang-orang bersorak, bersulang, merayakan terang.

Aku justru merasa jantungku runtuh.

Jam delapan malam aku tetap menunggu di ruang tamu. Menyalakan lilin, meski terang benderang sudah mengisi seluruh kota. Tapi gelap tidak datang. Naya tidak datang.

Aku mengerti akhirnya:

cinta kami memang ditakdirkan singkat, hanya sekelebat—seperti cahaya lilin sebelum mati ditiup angin.

Atau setidaknya, aku kira begitu.

---

Malam berikutnya aku nekat mencabut sekring listrik rumahku sendiri. Klik. Gelap pun datang, menelan ruang tamu.

Dan di situ… dia berdiri lagi. Naya, dengan senyum yang seakan tahu betul kebodohanku.

“Kamu beneran mau main curang begitu?” katanya sambil terkekeh. Suaranya seperti desir angin yang masuk lewat celah jendela.

Aku memeluknya erat.

“Kalau seluruh kota nggak pernah mati lampu lagi, biar cuma rumah ini yang jadi gelap.”

Dia terdiam sesaat, lalu menempelkan keningnya ke pundakku.

“Kamu akan kehilangan banyak hal kalau terus begini.”

Aku tahu dia benar. Tapi aku tidak peduli.

Sejak malam itu, aku hidup dengan dua dunia:

siang dan terang untuk semua orang, malam dan gelap untuk kami berdua.

---

Tapi gelap beberapa jam tak cukup. Aku ingin hari-hari penuh bersama Naya.

Maka aku membangun rumah kecil di tepi hutan, jauh dari kabel PLN, jauh dari suara dunia. Aku sengaja menenggelamkan rumah itu dalam kegelapan abadi.

Dan di sanalah hal aneh mulai terjadi.

Semakin lama aku tinggal, semakin aku merasa dunia terang menjauh. Kadang aku bermimpi tetanggaku mencari-cari aku, memanggil namaku di depan pintu yang sudah lama terkunci. Kadang aku menemukan koran kusam tertiup angin di jalan masuk hutan, dengan berita samar yang membuat hatiku berdebar: seseorang hilang, seseorang lupa kembali.

“Naya… apa ini nyata?” bisikku suatu malam, gemetar.

Dia menggenggam tanganku, hangat meski kulitnya dingin.

“Nyata atau tidak, kamu memilihku. Itu sudah cukup.”

Aku ingin percaya. Tapi bayangan dunia luar makin pudar. Wajah orang-orang hilang dari ingatanku. Bahkan cahaya matahari pun terasa seperti legenda yang diceritakan nenek-nenek tua.

“Naya,” tanyaku suatu kali, “kalau aku hilang di mata mereka, apa kamu akan tetap melihatku?”

Dia menunduk, lalu tersenyum tipis.

“Selama ada gelap, aku tak akan pernah pergi.”

---

Hari-hari berubah jadi bulan, bulan jadi tahun—atau mungkin hanya ilusi. Waktu di tempat ini cair, melarut, lenyap.

Aku mulai lupa rasanya berjalan di bawah matahari. Aku tak lagi tahu apakah wajahku masih sama, atau sudah memudar seperti mimpi yang ditelan malam.

Terkadang aku mendengar suara dari luar—teriakan samar, panggilan namaku yang bergema di antara pepohonan. Tapi setiap kali aku melangkah mendekat, suara itu lenyap, digantikan tawa lirih Naya yang memanggilku pulang.

Yang aku tahu hanya satu: aku mencintainya.

Dan jika cinta berarti tersesat dalam gelap tanpa jalan pulang—

maka biarlah aku hilang selamanya.

---

Suatu malam aku keluar sebentar dari rumah hutan. Jalan setapak dipenuhi daun basah, licin oleh embun. Angin dingin berbisik di telinga, membawa suara yang samar-samar mirip teriakan namaku.

Di ujung jalan, ada selembar kertas kusam tersangkut ranting. Aku meraihnya.

Koran.

Tanggalnya—dua tahun lalu.

Judulnya membuat tenggorokanku membeku:

“Seorang pria hilang misterius saat pemadaman listrik terakhir di kota. Polisi hanya menemukan lilin yang sudah meleleh di ruang tamunya.”

Aku menjatuhkan koran itu. Dadaku sesak, dunia berputar.

Aku berlari pulang, ke dalam gelap, ke Naya. Dia menunggu di depan pintu, tenang, seolah sudah tahu apa yang baru kubaca.

“Apa aku…” suaraku pecah, “…sudah hilang dari dunia mereka?”

Naya menggenggam tanganku, jari-jarinya dingin tapi kokoh.

“Kamu tak pernah hilang. Kamu hanya sudah berada di tempat yang seharusnya.”

Aku menatap matanya, berusaha mencari sisa-sisa kepastian.

“Kalau begitu… apakah aku masih bisa kembali?”

Dia menggeleng pelan. “Kembali untuk apa, kalau di sini aku selalu ada?”

Air mataku jatuh, entah karena lega atau putus asa. Aku memeluknya, merasakan tubuhnya yang setengah nyata, setengah bayangan.

Dan lilin di tanganku padam—

menelan semuanya.

---

Gelap itu kini bukan lagi ancaman, tapi rumahku.

Aku mendengar detak jantungnya berpadu dengan detakku sendiri, seperti dua nyala yang saling bersembunyi di balik bayangan.

Di luar sana, mungkin namaku hanya tinggal baris singkat di berita lama. Mungkin foto wajahku menempel di tiang listrik, warnanya sudah pudar ditelan hujan dan matahari. Mungkin keluargaku sudah berhenti mencari.

Tapi di sini, di pelukan Naya, aku masih ada. Aku masih nyata.

Jika dunia terang telah melupakanku—biarlah.

Karena dalam kegelapan ini, aku menemukan cinta yang bahkan cahaya tak mampu menyingkapnya.

Dan bila suatu hari dunia terang menertawakan, menyebut kisahku hanya dongeng orang hilang—biarlah.

Aku tidak lagi butuh mereka.

Aku sudah memilih.

Aku sudah menetap.

Di antara lilin yang padam, aku menemukan hidupku kembali.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (1)
Rekomendasi dari Romantis
Novel
Gold
Resist Your Charms
Bentang Pustaka
Skrip Film
Junior 'Love' Senior #SCRIPT
Aniela
Novel
Bronze
My Elf Prince
Febby Adistya
Novel
Bronze
Pelangi Sesudah Hujan
Luna Hanayuki
Novel
Bronze
Bias Rasa
Selvi Nofitasari
Novel
CINTA MONYET
Putri Zulikha
Cerpen
23:59
Billy Yapananda Samudra
Cerpen
Ketika Lampu Padam
Aulia umi halafah
Novel
Gold
Helen Dan Sukanta
Mizan Publishing
Novel
Bronze
Revanadya
Noranita Vinka
Novel
a Bunch of Love
Titi Trisnaning Adyantari
Novel
Tandus
NIP
Skrip Film
Sekuntum Bunga Untukmu
Nida C
Novel
Gold
Polaris Fukuoka
Mizan Publishing
Novel
Bronze
L.E.O
Septiani Nurhayati Effendi
Rekomendasi
Cerpen
Ketika Lampu Padam
Aulia umi halafah