Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Ketika Kata Tak Lagi Mengikat
Tak semua luka butuh kata-kata. Tapi tak semua cinta bisa diam selamanya.
Eca mempelajari semua itu pada musim hujan ketiga sejak kepergian Arga. Ia masih menyimpan ratusan pesan yang tak pernah sampai pada tujuannya. Pesan-pesan itu tersimpan rapi dalam folder khusus yang ia beri nama “nanti”. Ia percaya semua kata dalam pesan itu akan menemukan jalannya sendiri.
Arga, pria yang pernah menjadi bagian penting dalam hidup Eca. Ia pergi bukan karena kemarahan. Buka pula karena terjadi pertengkaran. Ia hanya pergi seperti senja yang menghilang perlahan di balik awan, tanpa janji akan kembali.
Tiga tahun lalu, Eca dan Arga adalah sepasang kekasih yang tak butuh kata untuk saling memahami. Arga adalah seorang penulis puisi yang lebih suka mendengar dunia daripada menaklukkannya. Eca, gadis periang dengan impian sederhana yaitu dicintai dengan jujur.
Namun cinta tak selamanya bisa ditebak dari puisi
Eca dan Arga bertemu di sebuah acara komunitas literasi kampus. Di sebuah kedai kopi kecil. Eca saat itu baru pertartama kali datang, direkomendasikan oleh temannya karena katanya, “kamu suka baca, kamu pasti suka suasanya.”
Arga menjadi pembaca puisi terakhir malam itu. suaranya tenang, penuh keyakinan, dan kalimat-kalimatnya seperti lahir dari tempat yang sunyi. Eca tak pernah menyukai puisi, tapi ia menyukai ketulusan yang tak dibuat-buat. Baginya puisi Arga bukan sekedar indah tapi ia jujur.
Setelah acara selesai, karena kekagumamnya pada puisi Arga memberi keberanian pada fera untuk menyapa Arga. “puisimu bukan jenis yang biasanya aku suka. Tapi entah kenapa, terasa begitu kena.”
Arga terseyum kecil dan berkata, “berarti ada yang tersampikan.”
Dari obrolan singkat malam itu, Eca dan Arga menjadi semakin dekat. Eca mulai rutin datang ke acara komunitas, dan Arga selalu hadir meskipun hanya duduk sebagai pendengar.
Pertemanan mereka tumbuh dengan sederhana, mulai dari membahas buku favorit, menjelajahi toko buku bersama, atau sekedar membagi kutipan lucu yang mereka temui dari buku lama.
Eca mulai menyukai bagaimana Arga mendegar tanpa menyela. Ia tak pernah menggurui. Ia memperhatikan. bahkan ketika Eca bercerita hal tak penting, Arga tetap menyimaknya seolah itu hal penting.
Dan Arga, tanpa ia sadari, mulai menanti-nanti tawa Eca. Gadis itu seperti membawa cahaya dalam ruangan-ruangan sunyi yang biasa ia tempati sendirian. Setiap kehadirannya sepergi jeda yang menyenangkan dari dunia yang penuh metafora.
Dan begitulah, perlahan tapi pasti, tanpa deklarasi dan tanpa janji, perasaan tumbuh. Di antar halaman buku, di antara jeda diskusi, di antara diam yang lama-lama terasa nyaman.
Namun tak pernah ada kata cinta yang diucapkan
Dan lambat laun. Ecaa bertanya-tanya, “apakah ia mencitai Arga?, atau hanya mencintai versinya sendiri tentang Arga?”
Eca pernah meminta kepastian, tak dengan paksaan, hanya kejujuran.
“kenapa kamu tak pernah bilang langsung kalau kamu mencintaiku?” tanyanya suatu malam, saat itu mereka sedang duduk bersama di teras rumah Arga. Hujan turun pelan, menimbulkan suara samar di atap seng.
“karena bukankah kamu sudah tahu?” jawab Arga dengan senyum yang justru terasa jauh bagi Eca.
Eca menarik napas panjang. Ia menatap ke langit yang mendung dan berkata lagi, “tahu dan yakin itu berbeda”
Arga tak menjawab. Diamnya memanjang, menciptakan ruang kosong yang dingin di antara mereka.
Itu bukan pertama kalinya Eca mengangkat topik itu. beberapa waktu terakhir Eca merasa seperti berjalan sendiri dalam hubungan yang tak diberi nama. Mereka dekat, mereka saling menjaga, tapi taka da satu kata pun yang menjelaskan posisi mereka. Eca merasa sepergi menggenggam udara.
Beberapa kali Eca ingin membahas kejelasan status hubungan mereka. Tapi Arga selalu mengalihkannya. Ia berbicara soal buku baru, soal acara komunitas, soal hujan yang sebentar lagi datang. Dan Eca merasa lelah menunggu ruang untuk berbicara.
Puncaknya adalah malam itu, ketika Eca mendengar kabar bahwa Arga mendapat tawaran residensi penulisan di luar kota selama enam bulan. Bukan soal kepergiannya yang menyakitkan, tapi karena Eca mendegarnya dari orang lain.
“kenapa kamu ga cerita soal residensi itu? Tanya Eca.
Arga menghela nafas. “aku belum yakin akan pergi.”
“tapi kamu mempertibangkannya, dan kamu gak cerita.” jawab Eca penuh emosi.
“aku gak mau kamu merasa tertekan…” jawab Arga.
Eca menggeleng, air matanya menahan di pelupuk. “aku gak butuh kamu melindungiku dari keputusan. Aku butuh kamu hadir. Bicara. Mengajak aku jadi bagian dari pilihanmu.”
Malam itu mereka tidak bertengkar. Tapi tidak juga saling memaafkan. Ada jeda panjang setelah Eca pergi meninggalkan arga. Jeda yang terus mengambil alih hingga pagi datang.
Keesokan harinya, Arga masih tertidur di atas meja dalam ruangan tempat dia biasa menulis. Ruangan itu sepi dan dingin hanya sedikit cahaya yang masuk di sela-sela jendela yang tertutup gorden. Eca datang tanpa banyak kata, Eca menuliskan kalimat di kertas dan meninggalkannya di meja Arga.
“kata-kata tak cukup kalau tak disertai keberanian untuk menatap dan mengakui. Dan aku tak bisa terus mencintai bayangan yang tak pernah memelukku.”
Eca pergi meninggalkan Arga. Tak ada salam. Tak ada rencana kembali. Tapi juga tak sepenuhnya putus. Karena di hati Eca, masih ada harapan bahwa suatu saat, kata-kata akan menemukan keberaniannya.
***
Musim terus berganti, hujan datang dan pergi. Sekarang Eca memulai hidup baru sebagai editor lepas. Hidup berjalan, meski tak sepenuhnya hilang rasa kehilangan.
Ia tumbuh, tapi tak lupa. Ia bahagia, tapi tak benar-benar utuh.
Setiap kali hujan turun di sore hari, ia mengingat suara Arga. Bukan puisinya, tapi suaranya saat memanggil namanya dengan nada pelan, hampir seperti berbisik. Seperti rahasia.
Di kotak surat elektroniknya, masih ada beberapa draf email untuk Arga yang tak pernah dikirim. Di dalamanya, ada kabar-kabar kecil: tentang buku yang sedang ia baca, tentang proyek menulis barunya, tentang kucing liar yang sering datang ke kostnya.
Eca tidak tahu apakah Arga akan membaca jika ia kirim. Tapi menulis sesuatu untuk Arga menjadi caranya untuk menjaga sesuatu yang dulu pernah tumbuh.
Hingga suatu hari, sebuah paket kecil datang ke kost Eca. Tanpa nama pengirim. Di dalamnya ada buku berjudul "Kumpulan Surat yang Tak Pernah Terkirim". Di halaman pertama, tertulis:
“Untuk seseorang yang pernah aku cintai dalam diam. Jika kau membaca ini, berarti aku sudah berhenti bersembunyi.”
Tangannya gemetar. Ia mengenali tulisan itu.
Buku itu berisi puluhan surat yang ditulis Arga setelah kepergian Eca. Bukan puisi. Bukan metafora. Hanya kalimat-kalimat sederhana tentang kerinduan yang tertahan, tentang ketakutan untuk jujur, tentang luka karena kehilangan yang diciptakan sendiri.
Eca membacanya pelan, menahan napas di tiap halaman. Ini bukan tulisan seorang penyair. Ini tulisan seorang lelaki yang akhirnya berani bicara, meski lewat kertas.
Di halaman terakhir, ada kalimat yang membuat matanya berkaca:
“Aku menulis ini bukan untuk membuatmu kembali. Tapi untuk memberitahumu, bahwa sejak kau pergi, aku belajar berbicara bukan untuk dunia tapi untuk satu orang yang benar-benar penting.”
Dan di balik halaman itu, ada tiket kereta. Tanggal keberangkatan: hari ini. Tujuan: kota tempat Eca tinggal.
Eca mendekap buku itu erat-erat. Untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, ia merasa seluruh kata-kata yang pernah ia tunggu akhirnya sampai.
Stasiun kecil itu sepi. Hanya ada suara langkah dan percikan hujan di atap seng.
Eca berdiri di sana, menunggu. Ia tidak membawa bunga. Tidak mengenakan pakaian khusus. Hanya jaket lama yang pernah ia pakai saat mereka pertama kali bertemu. Angin membawa aroma tanah basah, dan kenangan datang bersamaan dengan suara peluit kereta.
Arga turun perlahan dengan sebuah ransel. Ia tidak membawa koper. Tidak membawa apa-apa, kecuali sepasang mata yang langsung mencari satu wajah yang tak pernah ia lupakan.
Mereka saling menatap. Tak ada pelukan. Tak ada kalimat maaf. Tak ada “aku merindukanmu.” Tapi semuanya sudah tampak di sana, dalam tatapan yang jujur dan terbuka.
Eca melangkah mendekat, satu langkah, dua langkah.
Lalu berkata pelan, “Kali ini, jangan kirim aku surat. Bicaralah.”
Arga mengangguk. Suaranya rendah, nyaris pecah, tapi jelas, “Aku mencintaimu. Dulu. Sekarang. Dan jika kau izinkan, nanti.”
Eca menutup mata sejenak. Bukan karena ragu. Tapi karena hatinya akhirnya tenang.
“Sudah lama aku menunggu kalimat itu,” ucapnya. “Dan sekarang, kata-kata itu tak lagi menyakitkan.”
Mereka berjalan keluar stasiun, berdampingan. Tak ada janji-janji besar. Tak ada rencana muluk. Hanya dua orang yang memilih saling mendengar, tanpa perlu lagi bersembunyi di balik kalimat-kalimat indah.
Di langit, hujan masih turun. Tapi mereka telah tiba di rumahnya.