Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Ketika Hujan Tak Lagi Menjadi Cerita
0
Suka
45
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Ketika Hujan Tak Lagi Menjadi Cerita

Awalnya aku ingin sekali bermain dengan teman-temanku. Namun ibuku melarangnya karena takut hujan turun hingga aku sakit dan tidak bisa sekolah besok. Hari-hari yang kuhabiskan adalah bermain sehabis pulang sekolah.

“Bu, aku main dulu ya!” kataku pulang sekolah dan langsung melempar tas ke kasur.

“Hati-hati, jangan hujan-hujanan nanti sakit!” ibuku memperingatkan.

Dengan sinar matahari yang sedang turun menuju ke ufuk barat cakrawala dan perlahan-lahan mulai menghilang, cerah, tidak terlalu panas. Pohon-pohon menari-nari riang dengan angin sepoi-sepoi, burung-burung bercericit pulang mencari makanan dan bergembira ketika induknya datang membawa makanan. 

Begitu perhatiannya ibuku, setiap apapun yang kulakukan tidak lepas dari nasihatnya. “De, kamu kalau hujan neduh dulu di tempat yang aman jangan maksain buat pulang dulu, tunggu sampai hujannya reda. De, kamu jangan ini, jangan itu!” wejangannya kala itu tidak pernah terlewat di tiap harinya.

Namun ada juga yang membuat aku agak kesal sama ibu. Di tengah asik-asiknya main, ibuku kadang menghampiriku dan menjemputku untuk pulang membantunya memasak di rumah, padahalkan aku masih anak kecil baru aja kelas 5 SD. Lagi seru-serunya main. Walaupun aku main lumayan jauh dari rumah tetep saja, ibuku selalu saja mencariku dimana pun aku berada. Sampai sebegitunya kata teman aku. Atau memang aku hanya anak satu-satunya. Baru sebentar ditinggal sudah gelisah di rumah. Aku selalu dimanjakan oleh ayah dan ibuku. Mereka bagiku sangat berarti, gak akan ada yang bisa menggantikannya.

Pukul tiga sore aku berpamitan ke ibu untuk mengerjakan tugas kelompok bersama teman-teman di rumah Ersa. Tugas itu harus dikerjakan sekarang karena besok harus dikumpulin langsung, aku lupa ini sebenarnya tugas dari minggu kemarin tapi baru ngerjain sekarang. Langit terlihat menghitam, burung-burung berlarian terbang menuju sarangnya masing-masing. Daun kering beterbangan ke sana kemari tanpa tujuan, anak-anak riang berlarian menanti hujan turun dan siap menari-nari dengan rintik-rintik hujan.

Aku sendiri awalnya ragu untuk berangkat kerja kelompok sekarang, melihat cuaca hari ini gak mendukung sekali. Tapi karena tugas harus dikumpulin besok mau gimana lagi? Ibuku akhirnya mengizinkanku walaupun ia sedikit khawatir dan kesal melihat keadaan yang sudah mulai gelap ini.

“Jangan lupa kabarin de, kalau sudah sampai rumah temanmu itu!” ibuku menasihati dengan serius dan melambaikan tangan kepadaku seraya berpamitan.

Sehabis kerja kelompok aku pulang bersama Felia dan Rani. Aku berjalan kaki sekitar satu kilometeran menuju rumah. Udara terasa lebih sejuk, dan aroma tanah basah sudah mulai tercium. Seiring waktu, awan gelap menggulung perlahan, dan akhirnya, tetesan pertama hujan mulai jatuh.

Benar saja di tengah jalan mulai turun hujan.

Kami berteduh di sebuah saung kecil yang mengarah ke pesawahan, pemandangan yang begitu indah melihat Gunung Galunggung terlihat sangat jelas. Sinar matahari perlahan mulai tertutupi oleh kabut awan yang siap menurunkan air hujan lebih banyak lagi. Tas kusimpan di saung itu, semua peralatan kerja kelompok disimpan semua di saung. Di sebuah desa kecil yang terletak di kaki bukit, hujan selalu menjadi kisah yang dinanti dan dirindukan. Setiap kali mendung gelap menyelimuti langit, warga desa tahu bahwa hujan akan datang. Namun, hujan kali ini terasa berbeda.

Hujan yang datang bukanlah hujan biasa. Ia datang dengan deras, membawa ketenangan yang aneh sekaligus misterius. Suara gemericik air yang jatuh di atap rumah terdengar seperti musik yang menenangkan hati. Kami bertiga memutuskan untuk berjalan keluar, merasakan sentuhan air yang dingin di kulit. Kami akan bermain di luar, berlari di tengah-tengah hujan, dan tertawa tanpa peduli pada dunia sekitar. Hujan selalu menjadi momen kebahagiaan dan kelegaan.

Kami bermain hujan-hujanan dengan riang gembira sehabis melepas penat kerja kelompok, berlari-larian mengitari lapangan. Lama kelamaan hujan mulai membesar sepertinya sudah tidak bersahabat lagi. Aku memutuskan untuk berhenti saja. Tetapi Rani keukeuh ingin terus bermain karena itu baru pertama kalinya ia hujan-hujan dengan seriang itu, agak jauh dari rumah dan lebih bebas untuk bermain.

Angin berhembus kencang meniup saung yang kita tempati, suasana sudah tidak aman lagi, langit telah gelap tertutup kabut dan semakin hitam di atas sana.

“Ayo kita pulang!” dengan nada panik Felia mengajak pulang.

Aku dan temanku ketakutan melihat kondisi seperti itu. Kami berdiam dulu di saung sambil menunggu hujan reda. Baju sudah basah semua, menunggu reda sepertinya masih lama, badan semakin terasa menggigil sudah satu jam kita menunggu. Tidak ada tanda-tanda hujan mau berhenti.

“Bagaimana ini, aku takut banget, bisa-bisa kita kemalaman di sini!” kata Rani sambil nyender kepadaku dan saling merangkul.

Kalau mau lanjut pulang, hujan masih gede dan suara geluduk dan petir masih terdengar kencang. Menunggu juga, badan sudah basah gini, gak kuat nahan dingin. Kami berpelukan ketakukan sambil menghangatkan badan berusaha untuk tetap tenang dan saling menguatkan.

“Pasti orang tua kita sedang nyariin kita nih! Aku takut nanti dimarahin lagi” kataku dengan menggigil.

 

“Ayah, aku khawatir sama anak-anak. Apalagi ini hujan gede disertai gemuruh petir. Apa mereka masih di rumah lagi kerja kelompok atau sudah perjalanan pulang. Aku takut banget semoga mereka baik-baik saja” ucap ibu khawatir.

“Perasaan ayah juga mulai gak enak Bu, apa kita coba susul aja ke sana sekarang ya. Mau di telpon ke mamahnya Ersa gak bisa, lagi aliran listrik, padam karena terkena petir dan hanphone ayah juga mati” jawab ayah.

Orang tuaku akhirnya mencariku ke rumah Ersa, tetapi mereka tidak menemukanku karena sudah pulang duluan bersama teman. Mereka terus mencari sepenjang jalan. Dengan perasaan yang sudah was-was takut kenapa-kenapa anaknya. Mereka berteriak dengan keras menyeru aku dan teman-teman.

Nisa..Rani..Felia dimana kalian? Teriak ibu khawatir.

Mereka bertanya ke orang-orang yang lewat, apakah melihat anak kecil bertiga yang menggendong tas, yang satu baju merah marun, yang kedua pakai baju biru tua dan yang ketiga memakai baju serba hitam dan terdapat tahi lalat di dagunya yang kecil.

Ibuku teringat, bahwa aku pernah bercerita kepadanya tentang saung itu di dekat pesawahan yang sering kami lewati ketika pulang sekolah dan menjadi tempat bermain kami di sana. Dan akhirnya ibuku mendatangi saung itu, benar saja kami bertiga sedang dalam keadaan menggigil satu jam lebih di sini menunggu pertolongan tanpa ada orang yang lewat sekalipun, yang akhirnya mereka datang juga. Buru-buru ayah meminta bantuan ke warga terdekat untuk bisa memberikan pertolongan pertama.

Kami pun sementara dibawa dulu ke rumah warga untuk sekadar istirahat dan diberikan teh hangat supaya badan kami terasa lebih enakan. Setelah hujan reda kamipun pulang ke rumah masing-masing.

Akhirnya aku tiba di rumah dengan sedikit omelan dari ibu yang khawatir banget kepadaku.

“Kenapa kamu hujan-hujanan? Ibu kan sudah memperingatkan kamu berkali-kali, kamu gak nurut-nurut sih! kalau sakit gimana, kalau besok gak sekolah gimana, ketinggalan pelajaran. Untung gak kenapa-kenapa tadi coba! Kalau terjadi sesuatu kamu akan di hukum sama ibu gak boleh main selama sebulan!

“Sudah bu, namanya juga anak kecil, biarin aja dia lagi menikmati masa-masanya, biarkanlah dia bersenang-senang menghabiskan masa kecil, kalau udah dewasa kan, susah untuk kaya gini tuh” bela ayah kepadaku.

Namun, seiring berjalannya waktu, semua itu berubah. Orang-orang mulai menghindari hujan, khawatir tentang kesibukan dan pekerjaan yang harus segera diselesaikan.

Aku menatap tetesan hujan yang jatuh dengan penuh rasa syukur. Aku merasa bahwa hujan kali ini membawa pesan. Seperti hujan yang membersihkan segala kotoran di bumi, mungkin inilah saat yang tepat untuk membersihkan hatiku dari segala beban yang selama ini menumpuk. Hujan memberikan kesempatan untuk beristirahat sejenak, untuk merenung, dan untuk menerima semua yang ada dalam hidup ini.

Kini momen itu tidak bisa kita rasakan lagi dan hujan tidak lagi menjadi sebuah cerita yang bisa diputar kembali ke masa kecil. Hanya menjadi sebuah kenangan yang tak pernah terlupakan. Ahh, aku selalu sedih untuk mengingatnya kembali.

 

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Cerpen
Ketika Hujan Tak Lagi Menjadi Cerita
Herdi Riswandi
Novel
Childhood Journey
R. C Febiola P
Novel
Bronze
Semesta
MiiraR
Novel
TEDUH DALAM BARA Dua Perempuan Teluk Naga
Hans Wysiwyg
Novel
IKATAN PEJUANG
NUR C
Flash
Rumpang
Nadia Auliyah
Novel
Kata Mamak
elesia maria tamba
Novel
Alfa
Haneul
Novel
Sementara Saja
Edgina
Novel
Bronze
Mellifluos - The Melody of Heart
Nia Dwi Noviyanti
Novel
A Withering Iris
Alline Elia
Novel
ARADHEA
Rudie Chakil
Novel
Heart Disease At Love
Nimas Rassa Shienta Azzahra
Novel
Fight For Love
Anna Onymus
Novel
In Silence, In Darkness.
Wardatul Jannah
Rekomendasi
Cerpen
Ketika Hujan Tak Lagi Menjadi Cerita
Herdi Riswandi
Flash
Bronze
Si Buta di Angkutan Kota
Herdi Riswandi
Flash
Perjalanan Paling Berkesan
Herdi Riswandi
Cerpen
Paradoks Kehidupan
Herdi Riswandi