Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Saat kamu masuk gym, terdapat piramida kasta sosial yang tidak tertulis namun nyata adanya. Di puncak piramida, ada para "Sultan Gym". Ciri-cirinya: Glowing, Bau badannya wangi Jo Malone (bukan bau balsem otot), dan outfit-nya dari ujung kepala sampai kaki harganya bisa buat DP perumahan subsidi.
Di tengah piramida, ada "Regular Gym Bro". Mereka yang pakai kaos Under Armour atau Nike (bisa asli, bisa KW super), fokus latihan, dan masih bawa botol air mineral kemasan yang sudah dipakai ulang seminggu.
Dan di dasar piramida, di kerak paling bawah, ada kaum "Sudra Gym". Ciri-cirinya: Pakai kaos partai sisa kampanye tahun lalu, celana futsal yang karetnya sudah melar, dan sepatu lari merek lokal yang solnya sudah mulai mangap minta lem aibon.
aku adalah raja dari kaum sudra ini (soalnya cuma aku doang yang di level itu).
Hari ini, seperti biasa, aku datang dengan outfit kebanggaanku: Jersey Chelsea musim 2010. kaos pemberian teman, tepatnya kaos yang kupinjam dari teman dan lupa kukembalikan. Sablonan di dadanya sudah retak-retak membentuk pulau-pulau kecil, mirip peta Indonesia. Celanaku adalah celana kolor yang karetnya sudah agak kendor. Kalau aku lari di treadmill, aku harus memegangi celana biar tidak terjadi pornografi tak disengaja.
Target operasiku hari ini bukanlah beban 100 kg, melainkan seorang wanita yang kusebut sebagai: Si Mbak Cantik.
Dia Selalu datang jam 9 pagi tepat. Cantik? Jangan ditanya. Kulitnya glowing parah, seolah-olah dia mandi pakai air zam-zam dicampur serum SK-II. Keringatnya tidak pernah bercucuran menjijikkan seperti aku, keringatnya hanya berupa butiran embun estetik yang menempel manja di dahinya.
Selama dua minggu, aku hanya menjadi pengagum rahasia dari balik tiang Squat Rack. Aku mengamatinya seperti intel. Tapi hari ini, entah setan mana yang merasukiku, aku merasa punya keberanian lebih.
Aku baru saja menyelesaikan set bisep. Aku mengaca di cermin buram dekat toilet.
"Not bad, Yo," bisikku pada diri sendiri. "Lenganmu mulai kelihatan ada isinya dikit. Wajahmu... ya standar lah, tapi kalau dilihat dari jauh, mata disipitkan, dan menggunakan sedotan aqua, mirip aktor laga."
Kepercayaan diriku melambung. Hati Kecilku mulai memprovokasi.
"Sikat, Yo! Ajak kenalan! Mumpung dia sendirian. Minimal tanya cara pakai alat atau tanya jadwal latihan. Cinta itu butuh keberanian, bukan cuma butuh protein!"
Aku menarik napas panjang. Aku melihat target. Dia sedang duduk di alat Lat Pulldown (alat tarik beban dari atas ke bawah untuk punggung). Kebetulan sekali, alat di sebelahnya kosong.
Ini dia skenarionya:
Sempurna.
Aku mulai melangkah. Dada dibusungkan (untuk menutupi perut yang belum sixpack malah cenderung six month), perut ditahan (napas dikit-dikit), jalan tegap ala militer.
Namun, Saudara-saudara, ada satu hal yang tidak aku perhitungkan. Yaitu kemampuan mataku yang memiliki fitur auto-scan harga barang secara otomatis. Semakin aku mendekat ke zona radiasi Mbak Cantik, semakin detail aku melihat apa yang dia kenakan. Dan di situlah, tragedi mental dimulai.
Jarak 10 Meter: Zona Sepatu
Mataku tertuju pada kakinya yang jenjang. Dia memakai sepatu lari berwarna putih bersih tanpa noda.
Mereknya: Hoka One One Clifton 9.
Otak kalkulatorku berbunyi: Ting! Rp 2.500.000.
Aku melirik ke bawah, ke kakiku sendiri. Aku memakai sepatu lari lawas yang kubeli diskonan di toko yang udah tutup 3 tahun lalu. Mereknya tidak jelas, tulisannya "Sprot" (typo dari Sport). Tali sepatunya sudah brudul.
Jarak 7 Meter: Zona Legging & Atasan
Semakin dekat, semakin jelas detail kain yang membalut tubuhnya. Itu bukan kain biasa. Itu kain yang terlihat lembut, menyerap keringat, tapi membentuk tubuh dengan sempurna tanpa terlihat murahan. Di bagian pinggang belakang celananya, ada logo kecil melengkung.
Logo omega? Bukan.
Itu logo Lululemon atau mungkin Alo Yoga.
Otakku berbunyi lagi: Ting! Legging Rp 2.000.000. Sports Bra Rp 1.500.000.
Total baju yang dia pakai hari ini setara dengan gajiku sebulan ditambah THR di awal karir. Dia memakai "UMR Jogja se tunjangan-tunjangannya" di badannya hanya untuk berkeringat. Sedangkan aku? Jersey Chelsea ini gratisan. Celana gombrong ini beli di shopee yang 100ribu dapet 6.
Langkahku mulai melambat. Kakiku terasa berat, seolah ada rantai besi yang mengikat. Tapi aku memaksakan diri. "Masa mundur cuma gara-gara baju? Cinta tidak memandang merek, Yo!" hiburku dalam hati.
Jarak 5 Meter: Zona Aksesoris
Ini adalah zona maut. Di pergelangan tangan kirinya, melingkar sebuah jam tangan pintar. Layarnya besar, bingkainya titanium, strap-nya warna oranye menyala yang ikonik.
Apple Watch Ultra.
Harga: Rp 15.000.000.
Aku refleks menyembunyikan tangan kiriku ke belakang punggung. Jam tanganku adalah smartband dengan merek antah berantah yang layarnya sudah baret-baret dan strap karetnya sudah getas. Kalau jam dia bisa buat telepon, GPS, dan deteksi kecelakaan, jamku fiturnya cuma getar.
Di lantai, tepat di samping kakinya, tergeletak sebuah botol minum. Bukan botol Tupperware. Bukan botol air mineral yang diremas.
Itu botol Corkcicle edisi Star Wars.
Harga: Rp 900.000.
Gila. Botol minumnya saja lebih mahal daripada sisa saldo di ATM-ku saat ini. Aku membayangkan kalau aku tidak sengaja menyenggol botol itu sampai lecet. Aku mungkin harus mencicil ganti ruginya selama 6 bulan pakai PayLater.
Jarak 2 Meter: Zona Aroma (The Scent of Money)
Aku sudah memasuki radius personalnya. Dan saat itulah, indera penciumanku ditampar keras. Biasanya, area Lat Pulldown itu baunya apek, bau besi berkarat, dan bau keringat laki-laki yang lupa pakai deodoran.
Tapi di radius 2 meter dari Mbak ini, udaranya berubah. Wangi parfumnya langsung menampar hidungku. Baunya mewah. Bukan bau Minyak Tawon atau Freshcare yang biasa kupakai buat ngilangin masuk angin sebelum latihan. Ini bau Baccarat atau Jo Malone. Bau uang. Bau kesuksesan. Bau yang membuat dompetku bergetar ketakutan di dalam loker.
Harga per botol: Rp 5.000.000.
Sedangkan aku? Aku sadar diri, sebelum berangkat tadi aku cuma semprot parfum isi ulang seharga 2000 per mili, aroma Bulgari Extreme yang alkoholnya lebih menyengat daripada wanginya. Kalau parfum dia wangi "Crazy Rich Asian", parfumku wangi "Crazy Mas-Mas Bengkel".
Mentalku sudah retak 90%.
Aku berdiri tepat di samping alat kosong sebelahnya. Dia sedang istirahat antar set, menunduk melihat HP-nya. Di kepalanya terpasang headphone besar warna silver.
Sony WH-1000XM5. Harga Rp 5.999.000.
Fitur Noise Cancelling-nya pasti aktif. Bagi dia, suara denting besi gym dan suara napas ngos-ngosan member lain sudah diredam. Dia ada di dunianya sendiri. Dunia yang hening dan mahal. Aku menelan ludah. Headphone-ku di rumah mereknya "Soni" (pakai 'i'), beli di Shopee harga 50 ribu, kalau bass-nya kegedean suaranya prepet-prepet.
Aku berdiri kaku. Rencana Awal (Ajak Kenalan) rasanya sudah mustahil. Tapi aku sudah kepalang basah. Aku sudah berdiri di sini. Kalau aku balik kanan sekarang, aku akan terlihat seperti orang linglung.
Aku harus bicara. Apa saja.
Aku berdehem. "Ehem."
Suaraku terdengar seperti kodok kejepit pintu. Dia tidak dengar. Tentu saja, headphone 6 juta itu bekerja dengan baik.
Aku memberanikan diri melambai kecil di depan wajahnya (sopan santun kaum Jelata). Dia tersentak sedikit, lalu mendongak. Saat dia mendongak, layar HP-nya menyala terang.
HP-nya: iPhone 15 Pro Max 1TB warna Natural Titanium. Tanpa casing.
Hanya orang yang saldo rekeningnya tak berseri yang berani pakai HP 30 juta tanpa casing. Kalau aku, HP 2 jutaan saja kubungkus casing tebal kayak tank baja biar nggak lecet.
Dan di layar HP yang bening itu, terbaca sebuah notifikasi WhatsApp yang pop-up dengan jelas. Font-nya besar, mungkin dia minus.
Notifikasi:
"Pak Budi Showroom: Ci, unit Porsche Macan-nya sudah ready warna putih ya. Pelunasan 1,8M ditunggu hari ini biar langsung kirim."
DUAR! JEDER!
Bukan cuma mental yang hancur. Ginjal, paru-paru, dan usus besarku rasanya ikut meledak membaca notifikasi itu.
1,8 Miliar. Pelunasan. Ditunggu hari ini.
Porsche Macan.
Dia beli mobil mewah kayak beli kerupuk kaleng. "Ditunggu hari ini."
Duniaku berputar.
Motor Beat-ku yang parkir di luar, yang cicilannya baru lunas bulan lalu setelah 3 tahun berdarah-darah, tiba-tiba terasa seperti rongsokan besi tua.
Gajiku sebulan bahkan nggak cukup buat beli spion mobil barunya. Dia menatapku. Tatapannya datar, tapi di mataku tatapan itu tajam sekali. Dia melepas headphone sebelah kanannya.
"Ya? Ada apa Mas?" tanyanya. Suaranya halus, sopan, tapi berwibawa. Suara orang yang biasa memerintah asisten rumah tangga.
Otakku blank. Kosong melompong. Niat mau nanya "Sering latihan di sini?" hilang musnah. Kalimat itu tertelan kembali ke tenggorokan, tersangkut di jakun.
Aku tidak bisa. Aku tidak sanggup. Kesenjangan sosial ini terlalu lebar. Ini bukan jurang lagi, ini Palung Mariana.
Aku, mas mas biasa ber-Jersey Chelsea gratis pemberian teman, mencoba mendekati Pemilik Porsche Macan? Itu sama saja kayak siput mau balapan sama roket Elon Musk.
Mulutku yang gemetar berusaha mengeluarkan suara. Aku harus ngomong sesuatu biar nggak dikira orang gila yang cuma melotot.
"Itu... Mbak..." kataku gagap.
Dia menaikkan alisnya yang rapi hasil sulam alis 5 juta. "Ya?"
Mataku panik mencari objek untuk dibahas. Mataku tertumbuk pada botol mahalnya di lantai.
"Itu... botolnya..."
"Kenapa botol saya?" tanyanya bingung.
Dan meluncurlah pertanyaan paling bodoh dalam sejarah umat manusia.
"Itu botolnya... kalau diisi air panas... melepuh nggak Mbak?"
Hening.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik yang terasa seperti tiga abad.
Wajah Mbak Cantik itu berubah. Dari datar menjadi bingung, lalu menjadi prihatin. Dia menatapku seolah aku adalah spesies langka yang baru keluar dari goa zaman purba.
"Ini Corkcicle, Mas," jawabnya pelan, seperti menjelaskan pelajaran IPA ke anak TK. "Tahan panas 12 jam. Tahan dingin 24 jam. Jadi nggak melepuh."
"Oh..." Aku mengangguk-angguk. "Hebat ya. Botol saya kalau diisi air panas langsung menciut soalnya."
Dia tidak tertawa. Dia tidak tersenyum. Dia hanya menatapku dengan tatapan: 'Mas ini butuh bantuan medis atau bantuan sosial?'
"Ada lagi, Mas?" tanyanya.
"Eng... enggak Mbak. Cuma mau nanya itu aja. Penasaran. Makasih infonya. Siapa tau nanti saya kapan-kapan bisa beli."
Aku langsung membalikkan badan dengan gerakan patah-patah.
"Permisi."
Aku berjalan cepat menjauh dari zona radiasi kemewahan itu.
Jantungku berdegup kencang bukan karena jatuh cinta, tapi karena shock berat. Malunya itu lho, menembus sampai ke tulang ekor.
Nanya botol melepuh? Pertanyaan macam apa itu?!
Aku berjalan cepat menuju area treadmill di pojok paling gelap.
Sambil berjalan, aku melihat pantulanku di cermin besar. Jersey Chelsea rombeng. Celana kolor kendor. Dan botol minum plastik bekas air mineral yang sudah kupakai ulang selama sebulan sampai labelnya copot. Isinya air galon gratisan dari gym.
Aku menghela napas panjang. Sadar, Cahyo. Sadar.
Kamu dan dia itu beda spesies. Dia adalah Angsa Putih yang berenang di Danau Geneva sambil minum wine. Kamu adalah Lele Dumbo yang berenang di empang keruh sambil makan pelet.
Hari itu aku belajar satu hal penting: Sebelum mendekati cewek di gym, pastikan dulu kamu membentuk mental (dan saldo rekening). Karena di gym, beban terberat bukanlah barbel 100 kilo, melainkan sadar diri saat berdiri di sebelah outfit seharga DP Rumah.
Aku memutuskan untuk latihan lengan saja hari ini. Biar kuat menahan beban hidup.