Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Cicak itu diam. Tak bergerak seperti mayat. Kedua matanya terbuka lebar, memandang diam keadaan yang sedang berlangsung di ruangan. Seolah ia mengerti, satu suara saja akan membuat situasi semakin ricuh.
Di sofa paling pojok di ruangan itu, Si Bocah Lelaki duduk sambil menekuk lututnya. Wajah kelamnya mengintip, melirik pertengkaran orang tuanya yang semakin memanas. Ia mengigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis.
Mungkin Si Bocah Lelaki merasakan tatapan yang tertuju padanya. Si Bocah Lelaki lalu menatap Si Cicak. Mata kecil itu kini penasaran, berpikir apakah Si Cicak mengerti perasaannya saat ini. Si Cicak kemudian mengedipkan matanya, seolah menjawab pertanyaan Si Bocah Lelaki. Mata Si Bocah Lelaki membesar, sorot lega muncul di sana. Tau kalau kini ia memiliki teman baru.
Rumah itu hampir selalu sepi. Satu-satunya yang membuat rumah itu terlihat hidup hanyalah saat teriakan pertengkaran kedua orang tuanya terdengar.
Orang tua Si Bocah Lelaki selalu berangkat pagi dan pulang larut malam. Karena itu setiap hari Si Bocah Lelaki hanya sendirian ditemani si bibi di rumah besar itu. Terkadang ia menghabiskan waktu belajar dan membaca buku di kamarnya. Setelah itu ia akan menghabiskan waktu menonton TV di ruang keluarga. Ia tidak pernah berbuat ulah. Ia anak baik. Mungkin terlalu baik untuk menjadi anak dari orang tuanya yang sangat egois.
Selama di rumah itu, terkadang ia menyadari kehadiran Si Cicak itu. Ia mengenalinya. Si Cicak itu memiliki tanda corak hitam kecil di ujung ekornya, sama persis seperti cicak yang menyaksikan pertengkaran orang tuanya beberapa minggu yang lalu. Sering kali ia menemukan Si Cicak hanya diam menatapnya. Si Bocah Lelaki tersenyum, senang melihat Si Cicak mengawasinya.
“Hari ini ayahku tidak pulang ke rumah lagi,” katanya suatu hari. “Kata Ibu, Ayah mungkin tidak akan tinggal di sini lagi.”
Ia menatap Si Cicak. Si Cicak kemudian mengedipkan matanya.
“Aku tau. Aku juga tidak percaya. Jika Ayah tidak tinggal di sini lagi, ia pasti akan membawaku dan Ibu juga.”
Hari-hari berikutnya, ayah Si Bocah Lelaki memang tidak pernah pulang ke rumah itu lagi. Jadilah rumah itu semakin sepi.
Si Bocah Lelaki sekarang bahkan sudah tidak sering lagi berada di rumah. Setelah pulang sekolah, ia langsung berangkat untuk mengikuti kursus lagi. Setiap hari. Ia akan sampai di rumah saat senja, kemudian ia langsung mengerjakan tugas sekolah lalu ia terlelap tidur saking lelahnya. Ia bahkan tidak bermain dan menonton TV lagi seperti normalnya anak 8 tahun. Tenaganya sudah terlalu terkuras karena mengikuti kursus-kursus yang disuruh ibunya.
Ia dan ibunya kini tidak lebih dari dua orang asing yang tinggal bersama. Mereka hanya bertemu saat sarapan pagi, hanya berbasa-basi sesaat menanyakan tentang sekolah si anak. Terkadang Si Bocah Lelaki mencoba menceritakan kegiatan sekolahnya dengan riang, namun ibunya hanya berkomentar seadanya. Ia terlalu sibuk memikirkan pekerjaan kantornya.
“Aku pernah bertanya pada temanku apakah ibunya punya pekerjaan,” ceritanya suatu hari. Si Cicak menempel di dinding kamarnya, mendengarkan ceritanya dengan diam.
“Aku pikir ibuku tidak pernah di rumah selama akhir pekan karena ia harus bekerja. Tapi semua temanku bilang padaku kalau ibunya juga memiliki pekerjaan dan selalu berada di rumah saat akhir pekan, bermain dengan mereka.” Wajahnya berkerut sedih.
Si Cicak menatapnya diam, tidak bergerak sedikit pun.
“Aku tidak mengerti kenapa ibuku tidak pernah di rumah saat akhir pekan …”
Si Bocah Lelaki kemudian menatap sekeliling kamarnya. Beberapa saat kemudian, ia menoleh pada Si Cicak.
“Apa menurutmu karena rumah ini?”
Si Cicak diam, seolah-olah sedang memikirkan kebenaran terkaan Si Bocah Lelaki. Kemudian, Si Cicak mengedipkan matanya.
Si Bocah Lelaki mengangguk paham. “Apa yang harus kita lakukan, kalau begitu?” gumamnya pelan.
Hari-hari berikutnya, ibunya hampir tidak pernah pulang ke rumah. Si Bocah Lelaki kini sering kali tinggal berdua dengan Si Bibi. Terkadang Si Bibi tidak habis pikir betapa egois majikannya terhadap anak itu. Mungkin memang pasangan muda itu belum siap untuk menikah, apalagi menjadi orang tua.
Si Bocah Lelaki itu kini sering termenung, memikirkan alasan orang tuanya meninggalkannya di rumah sendiri. Sering kali dia menatap diam sekeliling rumah itu, dan mulai muncul sorot benci muncul di mata itu.
Suatu malam, Si Bocah Lelaki memasuki kamarnya sambil membawa sebuah botol besar. Ia membawanya dengan kedua lengan kecilnya. Si Cicak mengikutinya hingga ke kamar, lalu ia diam mengamati Si Bocah Lelaki.
Ia mulai membuka botol itu, lalu menuangkan isinya ke tempat tidurnya, lemarinya, mainan-mainannya, hingga ke buku-buku sekolahnya. Setelah isi botol itu habis, Si Bocah Lelaki memandangi kamarnya. Bau tajam mulai menyelubungi ruangan itu. Hidungnya mengernyit, tidak menyukai bau cairan yang ia tuang ke segala penjuru kamarnya.
Si Cicak bercicit, tidak juga menyukai bau tajam itu. Si Bocah Lelaki mendengar Si Cicak, ia mendongak menatap asal suara itu.
“Maafkan aku. Aku juga tidak menyukai baunya. Tapi hanya ini yang bisa aku gunakan” bisiknya pelan.
Sambil menahan napas, Si Bocah Lelaki menyogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil. Sebuah korek api. Ia mulai membuka isinya dan mengambil sebatang korek api. Tangannya mulai menggesekkan batang korek api itu ke sisi kotak dengan tidak mahir berkali-kali. Hingga akhirnya api kecil muncul di ujung batang itu.
“Ini bisa menyelesaikan semuanya,”gumamnya. Lalu ia melemparkan batang itu ke tempat tidur.
Api langsung berkobar tanpa ampun, menjalar ke setiap jejak minyak tanah yang menggenang di setiap sudut kamar. Si Bocah Lelaki tersebut menatap kamarnya dengan takjub. Si Cicak kemudian begerak menjauh dari kobaran api, tapi matanya masih tetap terpaku pada Si Bocah Lelaki.
“Aku tau ayah dan ibu tidak suka tinggal di rumah ini. Rumah ini harus musnah,” katanya.
Api mulai melahap habis buku-buku sekolahnya, melelehkan mainan-mainannya yang diam dan mulai menjalar liar mendekati kaki Si Bocah Lelaki yang masih berdiri tak bergerak. Si Cicak mulai bercicit keras, seperti meneriaki Si Bocah Lelaki untuk keluar dari kamar itu sebelum api memakan badan kecilnya.
Si Bocah Lelaki masih diam melihat api yang semakin membesar. Si Cicak kini bercicit liar, semakin keras.
Cicitan liar Si Cicak akhirnya sampai ke telinga Si Bocah Lelaki, ia mendongak menatap Si Cicak, lalu berlari menghampirinya. Ia kemudian mengeluarkan sebuah kaleng kaca kecil dari saku celananya.
“Masuklah, kamu akan aman di sini,” bisiknya pada Si Cicak. Si Cicak masuk ke dalam kaleng kaca. “Kita harus menjemput Bibi dulu di bawah,” sambungnya.
Si Cicak mengedipkan matanya. Si Bocah Lelaki tersenyum, kemudian ia berlari keluar dari kamarnya. Asap mulai mengepul keluar dari kamar Si Bocah Lelaki, api mulai memberontak keluar dan menjelajahi lemari di ruang keluarga, melahap habis apa pun yang berada di sana.
Sesampai di lantai bawah, Si Bocah Lelaki langsung berteriak dan mengetuk keras pintu kamar Si Bibi. Berusaha membangunkannya, Si Cicak pun ikut bercicit. Api kini mulai menjalar ke tangga dan langit-langit.
Pintu kamarnya akhirnya terbuka. Si Bibi keluar dengan tatapan nanar di matanya, menyadari lidah api yang menari-nari di atas kepalanya. Ia kemudian menarik Si Bocah Lelaki ke pelukannya dan mulai berlari menuju pintu keluar terdekat. Isak panik terdengar dari bibir Si Bibi bahkan setelah akhirnya mereka semua selamat sampai ke luar rumah.
Si Bibi tetap memeluk Si Bocah Lelaki hingga mobil pemadam kebakaran datang. Bibirnya kini tak hentinya mengucap syukur atas nyawa mereka yang selamat. Si Cicak menatap Si Bocah Lelaki dari dalam kalengnya. Di pelukan si bibi, Si Bocah Lelaki sama sekali tidak menangis. Tidak ada sorot takut, panik atau pun khawatir di matanya. Ia hanya menatap diam melihat rumahnya terbakar habis, hitam mengepul penuh asap. Rumah besar itu kini tidak lagi terlihat mewah dan indah. Mungkin memang beginilah sebenarnya pemandangan rumah itu. Hitam dan rusak.
Beberapa jam kemudian, orang tua si bocah datang. Keduanya memiliki raut wajah yang sama, kekhawatiran. Sesuatu yang pertama kali di lihat oleh Si Bocah Lelaki, Si Bibi, bahkan Si Cicak. Ibunya berlari menghampiri Si Bocah Lelaki, memeluknya erat sambil terisak kencang. Ayahnya menyusul memeluk mereka berdua, wajahnya berkerut penuh penyesalan. Di depan rumah itu, mereka berpelukan dalam waktu yang lama.
Si Cicak bertemu pandang dengan Si Bocah Lelaki. Dia menatap Si Cicak, senyum kecil muncul di mulutnya. Seolah ingin mengatakan bahwa rencananya berhasil. Bahwa rumah itu memang penyebab orang tuanya meninggalkannya.
Pemadam kebakaran kemudian menghampiri keluarga itu. Mereka berkata kemungkinan besar asal api berasal dari kamar Si Bocah Lelaki. Si Bocah Lelaki mulai terlihat takut, sadar bahwa orang tuanya akan memarahinya jika mereka tau bahwa ia membakar rumah itu, anak seumurnya selalu dilarang bermain api.
Tapi kedua orang tuanya justru terlihat semakin bersyukur. Mereka bersyukur atas keselamatan putranya yang seharusnya sudah mati dilahap api sekarang. Tidak terbesit di benak mereka bahwa ialah Si Pembakar Rumah.
Si Bocah Lelaki kini duduk di rerumputan halamannya, masih memeluk kaleng Si Cicak. Ia menatap kedua orang tuanya yang kini sedang berbicara pada petugas pemadam kebakaran.
“Aku rasa mulai sekarang kami akan bersama,” katanya dengan yakin.
Ia mengangkat kaleng itu, berusaha bertatapan dengan Si Cicak dari dekat. Si Cicak berbalik, menatap Si Bocah Lelaki. Si Cicak kemudian mengedipkan matanya.
Alis Si Bocah Lelaki mengerut. “Aku tidak akan mengaku kalau aku yang melakukannya. Mereka akan memarahiku habis-habisan.”
Si Cicak mengedip lagi. Si Bocah Lelaki mengangguk. “Ya, selamanya. Aku akan menyimpan rahasia ini selamanya.”
Kedua orang tuanya memanggil Si Bocah Lelaki. Ia menaruh kaleng itu di rumput kemudian berlari menghampiri orang tuanya.
Saat Si Bocah Lelaki kembali, ia melihat kaleng itu kosong. Ia menatap ke sekelilingnya, mencari-cari keberadaan Si Cicak. Tatapannya tertuju pada tanaman di depannya. Si Cicak merangkak di dekat batang tanaman.
“Kamu akan pergi?” tanya si anak. Ada sorot sedih di matanya.
Si Cicak berhenti, menatap Si Bocah Lelaki. Sejenak kemudian ia mengedip, ia menggeser badannya ke arah kedua orang tua Si Bocah Lelaki. Si Bocah Lelaki mengikuti arah tatapan Si Cicak, kemudian ia tersenyum.
“Ya, kamu benar. Aku tidak akan sendirian lagi.” Ia menatap Si Cicak sejenak. “Apa kamu akan menjaga rahasiaku?”
Si Cicak terdiam lama, kemudian ia mengedipkan matanya. Lalu ia mulai merangkak menghilang dari penglihatan Si Bocah Lelaki. Terus merangkak menjauh dari halaman itu, rumah itu, dan bocah lelaki itu sambil membawa rahasia dan kesaksiannya.
THE END
Copyright © 2016 by Indah Thaher