Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Malam itu, rel memantulkan cahaya sisa hujan. Kilap logamnya bergetar seperti garis nadi raksasa yang berhenti berdetak. Kereta komuter meluncur di tengah kota yang masih menyala di kejauhan, sampai tiba-tiba, suara besi berhenti. Tidak dengan jeritan, hanya sebuah hentakan tumpul. Lalu hening.
Lampu di setiap gerbong padam serentak. Sekejap, dunia jadi ruang tanpa warna. Hanya sisa dengung arus listrik yang memudar perlahan, seperti napas terakhir mesin.
Dari luar, sirene terdengar samar. Jauh. mungkin dari arah stasiun berikutnya. Mungkin juga dari sesuatu yang lain. Beberapa penumpang menatap ponsel yang tak lagi bercahaya, yang lain memegangi pegangan besi dengan kaku. Tidak ada yang bicara.
Tidak ada suara pemberitahuan apa pun, hanya ada suara kereta yang masih panas. Desis udara, seperti tubuh yang menolak mati.
Dikejauhan, kota memantulkan cahaya merah oranye di langit berawan. Gedung-gedung tinggi terlihat seperti menara api yang menatap gerbong-gerbong gelap di bawahnya. Seseorang mencoba membuka jendela, tapi terkunci. Suara logamnya memecah keheningan sebentar, lalu tenggelam lagi.
Dalam kegelapan, setiap penumpang mendengar napas sendiri. Ada yang berbisik pelan, “Kenapa berhenti?” tapi suaranya segera ditelan udara lembap.
Waktu terasa menahan diri. Lima menit terasa seperti jam. Satu-satunya cahaya berasal dari rokok yang dinyalakan diam-diam di pojok gerbong. Cahaya kecil, berkedip seperti bintang yang kesepian. Asapnya menari di udara, perlahan, seolah mencoba mencari arah.
Air hujan masih mengalir di antara batu-batu. Satu tetes menetes dari bawah gerbong, jatuh ke genangan, menciptakan lingkaran yang tak pernah selesai.
Dari pengeras suara, terdengar suara parau, nyaris tak terddengar:
“Mohon maaf… ada gangguan sinyal. Mohon tenang.”
Lalu diam lagi.
Seperti film yang terjeda di tengah adegan penting. Kota di luar mungkin sedang kacau, tapi dalam gerbong, yang paling menakutkan justru sunyinya.
Kursi 14B berada tepat di bawah lampu yang padam. Hanya pantulan cahaya rokok dari penumpang lain yang kadang menyorot wajah Laras, memecah gelap seperti kilat yang terlalu lelah menyambar. Ia duduk tegak, memeluk tas selempang lusuh berisi naskah yang belum sempat ia buang. Di luar kaca, kota berputar seperti kilau minyak di permukaan air. Tak nyata, tak menyentuh.
Laras baru pulang dari pertunjukan yang gagal. Ia masih bisa mendengar tepuk tangan hambar itu. Bunyi yang terdengar sopan tapi tak punya nyawa. Satu jam lalu ia berdiri di panggung kecil di Menteng, menceritakan naskah tentang manusia modern yang terjebak di dalam lift. Ironi yang kini terasa terlalu dekat.
Ia tersenyum tipis pada dirinya sendiri, getir, seperti orang yang baru sadar bahwa hidup kadang meniru sandiwara paling murahan. Kereta berhenti, hidupnya juga. Macet di antara dua stasiun, dua fase hidup yang tak tersambung.
Di depannya, kaca jendela memantulkan bayangan samar: seorang perempuan berambut pendek, wajahnya setengah tertelan gelap, dengan mata yang menatap dirinya sendiri seolah mencari alasan kenapa masih di sini. Ia mengetuk kaca pelan. Suara kecil itu terdengar seperti isyarat rahasia, tapi tak ada yang menjawab.
Jari-jari yang dulu lentur mengarahkan aktor kini gemetar, menca...