Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Kereta Terakhir Menuju Rumah
0
Suka
4
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Kereta Terakhir Menuju Rumah

Adi melihat jam yang melingkar di tangannya. 5 menit lagi kereta terakhir akan berangkat. Dia segera berlari menuju stasiun. Stasiun terlihat sepi. Hanya ada dia dan petugas yang menjaga di pintu masuk.

“Kenapa terburu-buru, Pak?” tanya petugas itu.

“Saya hampir ketinggalan kereta,” jawab Adi.

“Masih ada waktu kok, Pak. Tidak usah terburu-buru.”

Setelah menempelkan kartunya pada card reader, Adi segera berlari menuju pintu masuk kereta. Dia segera mencari tempat duduk. Adi melihat jamnya lagi sambil menormalkan nafasnya yang masih terengah-engah. Tersisa satu menit.

“Perhatian kepada para penumpang. Kereta api Jaya Senja dengan nomor perjalanan KA 25 tujuan stasiun Kertajati akan segera diberangkatkan dari jalur 1. Pintu kereta akan segera ditutup! Dimohon kepada seluruh penumpang untuk segera memasuki rangkaian gerbong...”

Pengumuman keberangkatan kereta sudah diserukan. Itu tandanya kereta akan segera berangkat. Adi melihat kesekitarnya. Hari ini hanya ada 4 penumpang termasuk dirinya.

Perjalanannya pulang kampung Adi akan ditempuh selama 3 jam. Namun baru 15 menit kereta meninggalkan stasiun, Adi sudah merasa bosan.

Adi melihat ke sekelilingnya lagi. Kereta yang ditumpanginya terlihat tua. Cat kereta yang mungkin dulunya berwarna cerah, kini terlihat pudar dan kusam. Jendela kereta juga terlihat buram dan tergores. Bahkan kursi yang dia tempati terlihat aus dengan jahitan yang terlepas.

“Kereta ini pasti sudah sangat tua,” gumam Adi.

Adi hanya duduk diam sambil melihat lampu berwarna kuning yang berkedip-kedip lemah, sesekali meredup hampir padam sebelum kembali menyala samar.

Dalam diamnya Adi mendengar suara tangis anak kecil. Adi mencari sumber suara. Dia melihat seorang anak laki-laki duduk meringkuk di baris sebelah kanan belakang.

Adi dapat melihat wajah anak kecil itu. Wajahnya sembab dan berkerut. Pipinya basah oleh air mata yang mengalir. Sesekali anak itu menyeka air matanya dengan punggung tangan, namun air matanya tak kunjung berhenti. Rasa iba menyelimuti hati Adi. Dia bangkit dari duduknya lalu berjalan mendekati anak kecil itu.

“Hei, nak,” Adi mencoba menyapa anak kecil itu dengan hati-hati.

“Ada apa? Kenapa menangis?” tanya Adi dengan lembut.

Anak kecil itu perlahan mengangkat kepalanya. Dia melihat Adi dengan pandangan ragu dan sedikit takut. Adi tersenyum tipis mencoba menunjukkan bahwa dia tidak berbahaya.

“Kamu salah naik kereta? Atau kamu merasa sakit?” Adi bertanya dengan nada suara yang terdengar lebih ramah.

Anak kecil itu tidak menjawab. Adi tidak memaksanya, hanya menunggu anak itu merasa nyaman untuk merespons. Adi menatap anak kecil itu dengan dalam. Mata yang sembab itu memancarkan perasaan sedih. Adi merasa familier dengan anak itu. Dia juga dapat merasakan kesedihannya. Kesedihan seperti kehilangan sesuatu yang tak akan pernah kembali.

Adi teringat kenangan masa kecilnya sendiri. Masa ketika rumah terasa seperti medan perang. Di mana tawa jarang terdengar dan ketegangan selalu melingkupi udara. Dalam ingatan itu hanya ada satu tempat untuk berlindung. Neneknya yang memiliki pelukan hangat dan senyuman yang meneduhkan adalah kebahagiaan Adi di tengah badai keluarganya yang berantakan.

“Kamu kangen seseorang?” tanya Adi dengan suara yang sedikit lebih pelan.

“Ayah?” Adi mencoba untuk menebak.

Jika ayah bukan berarti, “Ibu?”

Jika bukan, mungkin “Nenek?”

Mendengar kata ‘nenek’ membuat air mata anak itu kembali tumpah. Kali ini isakannya tak lagi tertahan. Bibir kecilnya bersuara lirih, “Nenekku..... sudah pergi.”

“Kalau boleh tahu, nenekmu pergi ke mana?” Adi bertanya dengan hati-hati.

“Nenekku sudah meninggal.”

Hati Adi mencelos. Kata-kata ‘nenekku sudah meninggal’ seperti gema dari masa lalunya sendiri. Luka lama kini terasa kembali menganga. Adi tahu persis rasa sakit itu. Rasa ditinggalkan oleh satu-satunya cahaya di tengah kegelapan. Adi pernah merasakan kehampaan ketika neneknya tiba-tiba pergi untuk selamanya. Tanpa perpisahan, tanpa kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal.

Adi menarik napas dalam. Ini bukan sekedar anak kecil yang menangis. Ada koneksi yang terasa kuat, seolah dia sedang melihat pantulan jiwanya sendiri di masa lalu. Adi memutuskan untuk duduk di samping anak itu, membiarkan keheningan yang penuh duka menemani mereka berdua.

Adi menatap punggung kecil yang kini terdiam, isakan anak itu perlahan mereda menjadi desah napas teratur seorang yang tertidur. Namun bagi Adi, suara tangis itu masih menggema. Adi merasakan rasa sakit itu muncul kembali seolah ada luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh.

Dulu, nenek adalah satu-satunya pelabuhan aman ketika badai menerpa. Pertengkaran orang tuanya, suara pecahan piring, suara pintu dibanting, semua itu seolah meledak di dadanya. Hanya pelukan dan senandung doa-doa nenek yang dapat meredakan kegelisahan dan kebingungan yang mencengkramnya.

Bertemu dengan anak kecil itu membuat Adi teringat dirinya sendiri di masa lalu. Dia dan anak itu sama rapuhnya ketika kehilangan satu-satunya jangkar. Adi ingat bagaimana dunia terasa runtuh saat neneknya meninggal. Kepergian nenek membuat Adi belajar tentang kerapuhan hidup, tentang kehilangan yang meninggalkan lubang tak terisi.

Gerbong kereta ini terasa seperti kapsul waktu yang membawa kembali semua yang telah Adi kubur. Adi menepuk lembut kepala anak itu. Dia berusaha memberikan kenyamanan yang tidak pernah ia terima saat kecil.

Setelah beberapa saat, anak kecil itu tertidur pulas. Adi memutuskan untuk kembali ke kursinya. Saat Adi berjalan menuju kursinya, tiba-tiba kereta terguncang dan membuatnya nyaris kehilangan keseimbangan. Bersamaan dengan itu lampu di langit-langit berkedip kemudian meredup jauh lebih gelap dari sebelumnya. Adi melihat keluar jendela, kereta itu melaju memasuki terowongan gelap.

Saat matanya mulai beradaptasi dengan minimnya cahaya, pandangan Adi menangkap siluet seorang remaja di salah satu bangku di bagian depan. Remaja itu tampak gelisah, sesekali menggerakkan kaki dan tangannya seperti orang kelebihan energi.

Adi merasa ada sesuatu yang familiar dari postur tubuh tegap namun gelisah itu. Dia teringat masa ketika ia menjadi siswa Kelas Khusus Olahraga (KKO). Masa-masa ketika dunia terasa sempit dan impian menjadi satu-satunya tujuan. Masa penuh ambisi dan kekecewaan karena cidera yang tak terduga berhasil merenggut semuanya.

“Kenapa kelihatannya kamu gelisah sekali? Ada masalah?” tanya Adi ke remaja itu.

Remaja itu melepas earphonenya dan melihat ke arah Adi. “Bukan urusanmu, lagi pula kamu siapa?” jawab remaja itu dengan nada sinis.

Adi hanya bisa tersenyum tipis. Dia memahami sikap remaja itu. Sedikit dingin seperti anak sulungnya. “Aku cuma penasaran karena kamu terlihat sedang memikirkan suatu hal yang berat. Mungkin aku bisa membantumu.”

Remaja itu menghela napas panjang. “Bantuan apa? Masa depanku sudah hancur. Bertahun-tahun aku latihan, masuk KKO, sekarang malah begini.”

“Begini bagaimana maksudmu? Cidera?” ucap Adi.

Remaja itu menoleh cepat mendengar perkataan Adi. “Bagaimana kau tahu?” tanyanya sambil menahan rasa kagetnya.

“Ya, cidera sialan. Dokter bilang aku tidak bisa kembali ke performa semula dan karirku sebagai atlet hancur,” lanjut remaja itu.

“Aku tahu rasanya. Rasa sakit yang bukan hanya di fisik. Semua yang kau bangun runtuh dalam sekejap,” ucap Adi sambil menatap mata remaja itu dengan empati yang mendalam.

“Kau tidak akan mengerti!” bentak remaja itu.

“Kau tidak tahu rasanya kehilangan satu-satunya hal yang kau yakini akan membawamu keluar dari semua masalah ini,” lanjutnya.

Adi hanya mengangguk pelan. “Aku mungkin tidak tahu persis apa yang kau rasakan sekarang. Tapi aku tahu, impian itu memang terasa seperti segalanya. Dan ketika itu direnggut, rasanya seperti dunia berakhir,” ucap Adi dengan suara yang tenang dan meyakinkan.

“Tapi tahukah kau? Dunia tidak berakhir. Ini memang penghujung satu babak, tapi juga permulaan untuk babak yang lain. Babak yang mungkin tidak pernah kau bayangkan, tapi bisa jadi sama berharganya.”

Mendengar ocehan panjang Adi membuat remaja itu sedikit yakin. “Babak apa? Aku tidak punya apa-apa lagi. Aku bahkan tidak tahu harus menjadi apa tanpa karate.”

“Ada banyak hal lain yang bisa kau lakukan. Banyak cara lain menjadi kuat dan berarti. Mungkin bukan dengan otot, tapi dengan pikiran atau hatimu.”

Remaja itu terdiam cukup lama. Hingga tak terasa kereta akan segera keluar dari terowongan.

“Maksudmu masih ada harapan?” tanya remaja itu.

Adi tersenyum. “Selalu ada harapan. Hanya saja bentuknya tidak selalu seperti yang kita bayangkan saat masih muda. Terkadang perjalanan paling tak terduga justru yang membawa kita ke ‘rumah’ yang sebenarnya,” ucap Adi dengan penuh keyakinan.

Adi membiarkan remaja itu kembali tenggelam dalam pikirannya, mungkin sekarang dengan sedikit ketenangan yang baru.

Kereta kembali tersentak keras, kali ini diiringi cahaya putih yang menyilaukan saat gerbong melesat keluar terowongan. Mata Adi mengerjap, beradaptasi dengan perubahan drastis itu. Namun, bukannya kembali ke cahaya terang seperti di luar stasiun, gerbong kini diselimuti pendar abu-abu yang lebih tenang namun terasa berat, seolah fajar tak pernah tiba sepenuhnya.

Saat pandangannya pulih, Adi kembali ke kursinya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda. Persis di sebrang kursinya ada seorang pria. Pria itu terlihat dewasa tapi tidak lebih tua darinya. Pria itu berambut klimis dan sudut matanya dihiasi kerutan lelah.

“Pria ini tampaknya pekerja keras,” batin Adi.

Wajahnya bersih tanpa kumis atau janggut, namun ada beban yang jelas terpahat di rahangnya yang keras. Jemarinya memutar-mutar cincin pernikahan perak yang sudah usang di telapak tangannya.

Pria itu tidak melihat ke jendela, matanya terpaku pada pantulan samar dirinya di kaca yang buram. Matanya memancarkan kesepian. Sebuah kekosongan yang hanya bisa dipahami oleh seseorang yang pernah kehilangan separuh jiwanya.

Adi merasakan jantungnya berdebar. Dia menangkap aura kepedihan yang terasa begitu familier. Seolah dia sedang menatap kembali ke dalam titik tergelap dalam hidupnya. Adi seperti melihat kehancuran impiannya membangun keluarga yang ia dambakan.

Adi menarik napas dalam. Langkahnya mantap saat ia mendekati kursi di sebrangnya.

“Maaf, apakah ada yang bisa saya bantu?” ucap Adi perlahan. Suaranya terdengar lebih dalam dari pada sebelumnya.

Pria itu mengangkat pandangannya. Matanya merah dan bengkak namun kering. Ada kelelahan yang luar biasa terpancar dari sana. Pria itu menatap Adi dengan tatapan kosong. Dia menghela napas panjang dan berat seperti beban dunia ada di pundaknya.

“Aku baru saja kehilangan segalanya. Janjiku dan hidupku yang selama ini kubangun, semuanya hancur,” jawab pria itu. Suaranya terdengar serak dan nyaris berbisik.

“Aku tidak pernah menyangka akan berakhir begini. Aku gagal,” lanjutnya. Jemari pria itu masih memutar-mutar cincin dengan gelisah.

“Kegagalan. Rasanya seperti seluruh dunia runtuh, kan? Terutama ketika itu adalah sesuatu yang sudah kau jaga, sesuatu yang kau impikan,” ucap Adi sambil menatap pria itu.

Pria itu menatap Adi. Ada sedikit keterkejutan di matanya. “Kau tahu? Aku tidak tahu siapa kau, tapi kau sepertinya mengerti. Aku merasa hampa. Kosong. Apa gunanya semua ini? Semua perjuangan, semua kompromi, kalau akhirnya begini?”

Pria itu menyandarkan kepala ke kursi, memejamkan mata, membiarkan kepedihan itu menelannya. “Aku tidak bisa berhenti memikirkan, di mana salahku?”

"Pertanyaan-pertanyaan itu akan terus menghantuimu. Akan ada saatnya kau menyalahkan dirimu, menyalahkan dia, menyalahkan keadaan. Itu bagian dari prosesnya,” ucap Adi dengan suara yang tenang dan lembut.

"Tapi terkadang, sebuah perpisahan adalah awal dari pemahaman yang lebih dalam. Tentang siapa dirimu sebenarnya, di luar peran yang selama ini kau sandang."

Adi menatap cincin di tangan pria itu. “Cincin itu memang simbol dari sebuah janji. Tapi nilai dirimu tidak terletak pada janji yang putus itu."

Pria itu membuka mata, menatap cincinnya, lalu kembali menatap Adi. “Lalu, terletak di mana? Aku ini nol. Tidak punya apa-apa lagi.”

"Terletak pada kemampuanmu untuk bangkit. Pada pelajaran yang kau petik. Pada kekuatan yang akan kau temukan, bahkan ketika kau berpikir kau sudah tidak punya apa-apa," Adi mengambil jeda.

"Jalan ke depan memang tidak akan mudah. Akan ada kesendirian, akan ada keraguan. Tapi di sana juga ada kebebasan, kebebasan untuk mendefinisikan ulang siapa dirimu, dan apa 'rumah' yang sebenarnya bagimu."

Pria itu terdiam, tatapannya kini tidak lagi kosong. Tatapannya kini terisi dengan sedikit cahaya harapan. Cincin di tangannya berhenti berputar. Sebuah desah napas terakhir seperti melepaskan beban yang telah lama dipikul keluar dari bibirnya.

Setelah keheningan yang cukup lama, Adi membuka kembali obrolan. “Omong-omong, boleh saya tahu namamu?”

Pria itu menoleh sambil tersenyum tipis. “Namaku Adi.”

Mendengar nama itu, dunia Adi seolah runtuh dan tersusun kembali dalam sekejap. Semua potongan kisah para penumpang tiba-tiba menyatu. Wajah-wajah mereka berkelebat di benaknya, semua dengan garis wajah dan sorot mata yang tak asing. Itu semua adalah dirinya.

Sentakan halus terasa di seluruh gerbong. Suara deru roda yang selama ini mengiringi perjalanan perlahan memudar menjadi keheningan total. Lampu-lampu yang berkedip-kedip pun kini menstabil, memancarkan cahaya keemasan yang menenangkan, menyelimuti seluruh gerbong dengan kehangatan.

“Perhatian kepada seluruh penumpang. Kita telah tiba di tujuan akhir, Stasiun Kertajati.”

Adi mendongak, matanya menatap ke arah pintu gerbong yang perlahan terbuka, memancarkan cahaya yang begitu terang dan damai, seolah-olah ia sedang melihat ke dalam sebuah fajar abadi. Ia menoleh ke seberang. Kursi itu kini kosong. Ia melihat ke belakang, tempat remaja dan anak kecil duduk. Kursi-kursi itu pun kosong.

Sebuah senyum tipis dan damai, terukir di bibirnya. Ia sudah mengerti. Ini bukan akhir, melainkan sebuah awal.

Adi merasakan tubuhnya seolah mengecil lalu menjadi seringan kapas. Pakaiannya terasa berubah, kakinya tiba-tiba terasa lebih pendek. Saat ia mencoba berdiri, ia menemukan dirinya kembali dalam wujud anak kecil, persis seperti yang pertama ia temui di gerbong ini. Rasa takut tidak ada, hanya rasa lega yang tak terlukiskan.

Pintu gerbong terbuka penuh. Di ujung peron yang terang benderang, berdiri seorang wanita tua dengan senyum paling hangat yang pernah ia rindukan. Wanita itu merentangkan tangan, mata tuanya berbinar penuh kasih sayang.

"Nenek!" Seru Adi. Suaranya melengking senang, dan ia berlari. Tanpa ragu, ia menerjang ke dalam pelukan yang sudah lama ia dambakan. Air mata yang dulu ia tumpahkan karena kehilangan, kini adalah air mata kebahagiaan.

Di sana, dalam dekapan nenek, Adi akhirnya menemukan rumah yang sesungguhnya.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Ketos vs Waketos
Citra Wardani
Cerpen
Pengampunan
Anjas Wahyu Agus Saputra
Cerpen
Kotak kecil yang kelam
Laili Kusuma Wardani
Cerpen
Kereta Terakhir Menuju Rumah
Sekar Kinanthi
Novel
Bronze
Lost in Your Heart
Septa Putri
Novel
Bronze
Secangkir Rasa Cukup
Martha Melank
Flash
Bronze
Perjalanan Menuju Kampung Halaman
Fatimah Ar-Rahma
Cerpen
Bronze
Antara Chivas Regal Dan Yoghurt
Risman Senjaya
Novel
Tuan Lori
Adinda Amalia
Skrip Film
Susah Senang
Kevin Alfiarizky
Skrip Film
Musim Semi dan Kisah yang Hilang dalam Mimpi
Arini Putri
Cerpen
DOA SI 5 INCI
Kwikku.com
Cerpen
Bronze
Langit Tak Bisa Diabaikan
alifa ayunindya maritza
Novel
Sawang Sinawang
Monita Alvia
Skrip Film
BIANGLALA
Pradini Kurniawati Putri
Rekomendasi
Cerpen
Kereta Terakhir Menuju Rumah
Sekar Kinanthi