Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Hujan turun rintik-rintik malam itu. Langit Jakarta tampak malas menunjukkan bintang. Di peron stasiun yang nyaris sepi, seorang lelaki paruh baya duduk sendiri, memeluk tas kulit usangnya. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya tajam menatap rel panjang di depannya, seolah sedang menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar kereta.
Namanya Pak Darma. Usianya 58 tahun, dan hari ini adalah hari terakhirnya bekerja sebagai satpam di sebuah kantor kecil di bilangan Sudirman. Pensiun. Kata yang dulu terdengar indah, kini terasa seperti pisau dingin di punggung.
Ia menunduk. Di tangannya ada selembar amplop berisi surat undangan wisuda anaknya. Tertulis nama: Rina Darma Putri, S.I.Kom. Anak semata wayangnya, yang dibesarkannya sendiri setelah istrinya meninggal sepuluh tahun lalu.
Rina tak tahu bahwa ayahnya dipecat secara halus seminggu lalu. Bukan karena masalah, tapi karena usia. Perusahaan itu butuh tenaga muda. Pak Darma tidak marah, tidak menangis. Ia hanya tersenyum pahit dan mengucap terima kasih. Dunia terus berputar, dan ia tahu dirinya hanya bagian kecil dari roda itu.
Kereta terakhir menuju Bogor akan tiba sebentar lagi. Ia berniat pulang, tapi pikirannya masih tertinggal di antara kenangan. Ia teringat saat Rina kecil menangis minta dibelikan sepatu baru untuk lomba 17 Agustus. Saat itu ia hanya punya cukup uang untuk makan malam. Tapi malam itu juga ia lembur demi putrinya.
“Pak, kereta ke Bogor datang lima menit lagi,” ujar petugas stasiun sambil berlalu.
Pak Darma hanya mengangguk. Matanya berkaca-kaca. Ia sadar, dirinya tak punya pekerjaan lagi. Tabungannya menipis. Tapi ada satu hal yang membuatnya tetap duduk di sana: harga dirinya.
Amplop di tangannya bukan hanya undangan wisuda. Di dalamnya, ada tiket pesawat yang Rina kirimkan agar ayahnya bisa datang ke Yogyakarta, menghadiri acara penting itu.
Tapi ia menolak. Ia tak mau datang dengan pakaian lusuh, membawa wajah letih dan tangan kosong. Ia ingin, jika pun harus berdiri di samping anaknya nanti, ia adalah kebanggaan, bukan beban.
Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya.
“Pak Darma?” suara itu lembut dan ragu-ragu. Seorang pria muda dengan setelan kantor berdiri di sampingnya.
“Eh… iya, saya,” jawab Pak Darma kaget.
“Saya Adrian, dulu kerja di kantor tempat Bapak jadi satpam. Bapak masih ingat saya?”
Pak Darma mengerutkan kening, lalu tersenyum samar. “Ah iya, kamu yang sering pulang paling malam, ya? Yang suka saya bukakan pintu belakang.”
Adrian tertawa. “Iya, Pak. Saya selalu ingat kebaikan Bapak. Tanpa Bapak, saya sering lupa kunci ruang server.”
Pak Darma ikut tertawa kecil.
“Pak… saya tadi lihat Bapak dari jendela kereta. Maaf lancang, tapi boleh saya bantu? Saya kerja di perusahaan IT sekarang. Kami butuh orang yang teliti dan disiplin untuk bagian keamanan dan operasional.”
Pak Darma terdiam. Sejenak, pikirannya kosong. Lalu perlahan, harapan menyusup ke dalam dadanya.
“Usia saya sudah 58, Dek. Masih layak?”
“Buat kami, yang penting sikap dan tanggung jawab. Dan Bapak punya dua-duanya.”
Kereta menuju Bogor tiba dengan suara gemuruh. Tapi kali ini, Pak Darma tak berdiri. Ia menoleh ke arah Adrian, lalu menatap lagi surat undangan di tangannya.
Mungkin… ini bukan akhir. Mungkin, hidup memang seperti kereta. Kadang kita harus menunggu di peron lebih lama. Tapi akan selalu ada kereta lain, membawa kita menuju tujuan yang tak kita sangka.
Dan malam itu, Pak Darma memilih untuk tidak pulang. Ia memilih untuk percaya.
Udara pagi itu terasa sedikit lebih hangat meski langit Jakarta masih tertutup awan kelabu. Pak Darma berdiri di depan cermin kecil di kamar kosnya. Ia merapikan kerah kemeja abu-abu yang dipinjam dari tetangga sebelah, Pak Umar. Sedikit kebesaran, tapi jauh lebih layak dipakai daripada seragam lamanya yang lusuh dan mulai robek di ujung lengan.
Ia menghela napas panjang. Di meja kecil dekat jendela, selembar surat kontrak kerja sementara dari OrionTech tergeletak, belum ditandatangani. Di sampingnya, undangan wisuda Rina terbuka, memperlihatkan foto anak perempuannya yang kini sudah dewasa. Senyum Rina di foto itu begitu cerah, seperti ibunya dulu.
Tangannya sempat ragu meraih pulpen, tapi ia ingat percakapan semalam.
“Ayah… aku nggak butuh Ayah sempurna. Aku cuma butuh Ayah datang.”
Kalimat itu seperti menyalakan kembali api di dadanya. Ia tersenyum tipis, lalu menandatangani kontrak dengan mantap. Tanda tangan yang sedikit gemetar, tapi penuh tekad.
Dua minggu kemudian, Pak Darma resmi bekerja di OrionTech sebagai staf keamanan operasional. Hari-harinya diisi dengan pelatihan ringan tentang sistem pemantauan gedung, prosedur keamanan data, dan sedikit pengenalan teknologi. Tak semua bisa ia cerna cepat—tapi tak satu pun ia abaikan.
Ia membawa buku catatan kecil ke mana pun ia pergi, mencatat setiap istilah yang asing: biometric lock, access log, system override. Di malam hari, ia akan mencari tahu artinya di warung kopi kecil dengan Wi-Fi gratis.
Beberapa anak muda di kantor memandangnya heran. Beberapa tersenyum sopan, namun ada juga yang memandang sinis.
“Ngapain sih, perusahaan rekrut orang tua? Gak match banget sama kultur kita,” gumam seorang staf IT kepada temannya, tanpa tahu bahwa Pak Darma mendengar.
Pak Darma tidak tersinggung. Ia hanya menunduk dan kembali menulis catatan. Ia tahu, dirinya bukan lagi bagian dari dunia yang bergerak cepat. Tapi bukan berarti ia tidak bisa belajar mengejarnya.
Suatu hari, sistem keamanan di lantai lima mendadak bermasalah. Alarm palsu terus berbunyi, dan server internal tak mencatat pergerakan siapa pun. Beberapa staf panik, terutama karena lantai lima menyimpan beberapa perangkat penting perusahaan.
Teknisi IT sibuk mencari penyebab, tapi belum juga menemukan solusi. Adrian, yang kini menjadi koordinator proyek keamanan, terlihat cemas.
Pak Darma yang sedang mengantar laporan harian ke ruang kontrol, memperhatikan pola suara alarm. Ada jeda 3 detik setiap kali bunyi aktif, lalu diam 7 detik. Ia tidak mengerti sistemnya, tapi pola itu mengingatkannya pada sistem pengaman manual lama yang ia pelajari saat masih muda.
Ia meminta izin untuk memeriksa ruang panel secara fisik. Awalnya staf muda mengabaikannya, tapi Adrian mengangguk setuju.
Dengan alat sederhana dan sedikit akal lama, Pak Darma menemukan bahwa salah satu sensor pintu logam rusak karena baut kendur. Ia memperbaikinya dalam waktu kurang dari 10 menit.
Alarm berhenti. Sistem kembali stabil.
Adrian tersenyum puas. “Pak Darma, kayaknya kita butuh lebih banyak orang yang teliti kayak Bapak.”
Kali ini, beberapa staf muda bertepuk tangan kecil. Salah satu dari mereka, yang sebelumnya sinis, mendekati Pak Darma dan berkata, “Wah… saya kira tadi Bapak cuma bakal ngeliatin doang. Hebat, Pak.”
Pak Darma hanya tersenyum. Ia tidak butuh tepuk tangan. Ia hanya ingin merasa berguna.
Sementara itu, hubungan dengan Rina membaik. Kini mereka rutin saling mengirim pesan singkat. Rina masih tidak tahu soal pekerjaan baru ayahnya. Ia hanya tahu ayahnya tidak jadi pulang ke Bogor karena "sedang mengurus sesuatu penting."
Hari wisuda makin dekat. Rina mengirim tiket pesawat kedua, memohon agar ayahnya datang.
Pak Darma akhirnya membalas:
“Ayah akan datang, tapi bukan naik pesawat. Ayah akan naik kereta—kereta yang Ayah pilih sendiri, bukan karena terpaksa. Ayah ingin kamu melihat bukan hanya seorang ayah, tapi seorang laki-laki yang berdiri di atas kakinya sendiri.”
Di layar ponselnya, Rina mengetik balasan lama sekali sebelum akhirnya mengirim:
“Aku bangga, Yah. Selalu.”
Hari wisuda tiba. Pak Darma naik kereta dari Stasiun Gambir, mengenakan kemeja putih bersih, celana panjang yang disetrika rapi, dan sepatu yang baru disemir. Di tangannya ada tas kecil berisi buku catatannya—bukti bahwa ia tidak berhenti belajar.
Sepanjang perjalanan ke Yogyakarta, ia memandangi jendela. Pemandangan ladang, perkampungan, dan stasiun-stasiun kecil menyapanya seperti kenangan lama. Ia teringat masa lalu saat ia membawa Rina kecil naik kereta ke kampung halaman ibunya. Saat itu, mereka hanya punya nasi bungkus dan sebotol air, tapi tawa Rina mengisi seluruh gerbong.
Sesampainya di lokasi wisuda, Rina berdiri di antara mahasiswa lain, mengenakan toga dan selendang kelulusan. Saat melihat ayahnya datang dari kejauhan, ia langsung berlari menghampiri, memeluknya erat.
“Yah…” suaranya bergetar. “Terima kasih sudah datang.”
Pak Darma membalas pelukan itu, menahan air mata. “Terima kasih sudah bertahan, Nak. Terima kasih sudah tumbuh begitu indah.”
Beberapa orang menoleh pada mereka. Seorang ayah tua berpakaian sederhana, dan seorang putri yang meraih impian. Mereka bukan pemandangan luar biasa, tapi di mata satu sama lain, mereka adalah segalanya.
Malam itu, setelah acara selesai, mereka duduk berdua di warung gudeg dekat stasiun Tugu. Pak Darma akhirnya menceritakan semuanya: tentang pemecatannya, tentang pekerjaannya di OrionTech, dan tentang rasa malunya yang sempat menahan langkahnya.
Rina tak berkata apa-apa selama beberapa saat. Lalu, dengan suara pelan ia berkata, “Yah… Ayah nggak pernah harus jadi sempurna untuk jadi pahlawanku.”
Pak Darma tersenyum. Kali ini, ia merasa ringan. Seperti seorang penumpang yang akhirnya tahu ke mana arah rel yang ia pilih.
Tamat