Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Pada usia empat, Rintik baru sadar bahwa ia tak memiliki sepasang alas kaki yang lengkap. Mungkin karena masih muda ia dapat berjalan tanpa beban yang begitu berarti---berusaha tak menghiraukan cemoohan karena alas kakinya hanya sebelah. Namun, terkadang ia penasaran.
Setelah jam main sore yang malah menghimpun kekesalan, Rintik bertanya kepada ibundanya, “Kenapa sepatuku hanya sebelah?”yang dijawab dengan, “Nanti coba kita cari.”
Tepat pukul 06.45 malam, Rintik dan ibundanya berdiri sebelum palang pintu perlintasan, menanti kereta lewat.
“Kita tunggu sini, ya?” ujarnya lembut dengan senyum lebar.
Rintik mengangguk. Tak lama kereta api lewat, tubuh kecilnya hampir terhempas, tetapi sang ibu menggenggam tangannya erat. Tak ada yang perlu ditakutkan Rintik selama jemari lembut nan kurus itu terajut dengan miliknya.
Melihat kereta lewat menjadi hobi mereka berdua. Biasanya usai hari berat kala sang ibu masuk kamar berlinang air mata. Berselimut kantuk, Rintik mengusap pipi yang tulangnya menonjol tersebut. Sang ibu tersenyum lemah sambil mengucapkan mantra yang selama setahun ini tak jenuh didengar Rintik, “Jadilah anak yang kuat dan mandiri.” Kemudian esok atau sore harinya mereka pergi melihat kereta lagi.
Pada usia enam, Rintik dan ibunya menemukan alas kaki sebelah yang baru. Sayang, semua dibayar mahal. Sang ibu melepas genggamannya, membiarkan Rintik berjalan sendiri, memilih menggenggam sepatu sebelahnya yang baru.
Rintik berjalan dengan terhuyung-huyung dan kesakitan tanpa alas kaki, tetapi tak lama ia teringat mantra sang ibu, ‘Jadilah anak yang kuat dan mandiri’. Sebab itu, jadilah Rintik anak yang kuat dan mandiri, yang mengerjakan semua sendiri, termasuk menangis dalam sembunyi.
Pada usia 18, energi Rintik mulai habis. Ia bertanya dalam harap yang tak satu pun dapat membisikkan jawabannya, “Apakah ada orang di dunia ini yang membutuhkanku?”
Pada usia 19, Rintik mulai mengenal benci. Semua karena seutas artikel tentang manipulasi. Rintik membacanya dengan seksama dan terperinci, seolah tetek bengek permasalahan itu akan keluar di ujian nasional.
Tujuan manipulasi adalah untuk mengontrol korban agar selalu menurut kepadanya. Mereka akan dibuai dengan kata-kata manis seolah korban adalah pusat dunia.
Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu.
Kamu hebat, aku percaya kamu bisa mandiri.
Bukannya tidak mau pulang, tapi rejeki di tangan Tuhan.
Kamu yang berhati-hati, belajarlah yang lebih giat.
Percayalah bahwa aku menyayangimu.
Telepon Rintik berdering di malam ulang tahunnya. Kelereng mata bergulir ke bawah, mengintip sekilas siapa yang memanggil, kemudian mematikannya dengan segala emosi seperti menginjak bara putung rokok di atas aspal kasar. Rintik berjalan dalam gelap malam, mencari arti keberadannya, bertanya apakah ada yang menginginkannya. Hingga tak terasa ia berhenti di depan palang pintu perlintasan kereta. Gerbong transportasi itu melaju kencang membawa penumpang pada tujuannya.
Rintik pun menanam dendam dalam hati. Setiap hari ia mengguyurnya dengan kegundahan pagi, dipupuk dengan rasa soliter penuh arogansi, tak lupa bernyanyi untuk secuil harapan dingin demi kepuasan pribadi.
Setiap bulan ia memeriksa buku tabungannya. Deret angka semakin banyak, tak masalah ia yang kurus karena berpuasa demi buku tabungan yang gendut. Bila semua lancar tahun depan ia pasti bisa membeli sebuah motor bekas, kemudian membeli ponsel pintar dengan kamera tiga puluh dua mega piksel, kemudian menyicil rumah, dan ia akan memamerkan pada dunia bahwa ia bisa hebat tanpa meminta belas kasihan seseorang ... karena Rintik anak yang kuat dan mandiri.
Pada bulan sepuluh di usianya yang ke-22, Rintik akhirnya jatuh cinta.
Rintik pernah merasakan jatuh cinta saat muda atau cinta monyet. Cinta monyet Rintik saat itu jatuh pada kakak kelas yang mengampunya saat masa orientasi siswa. Siapa sangka, ia akan bertemu kembali dengan cinta monyetnya tersebut. “Ini pasti sudah suratan takdir”, pikir Rintik.
Namanya Azhar. Bila diibaratkan dengan ruang angkasa, Azhar adalah planet Uranus. Dingin! Bertentangan seratus delapan puluh derajat, bila Azhar berada di dekat Rintik ia akan menjadi matahari hangat dan menyenangkan. Perasaan spesial itulah yang disukai Rintik.
Azhar memiliki massa yang mampu membelokkan eksistensi Rintik hingga lelaki kurus jangkung itu menjadi titik pusat rotasi kehidupan dari perempuan berkulit kuning langsat. Istilah modernnya Rintik menjadi bucin alias budak cinta.
Bila memiliki mulut, maka hati Rintik saat ini pasti sudah menjulurkan lidah, seperti anjing yang haus kasih sayang dan lapar perhatian. Ia tak peduli dengan rekening gendutnya yang mulai kurus atau satu dua belenggu baru kala mereka bertemu.
Kalau dipikir-pikir hidupnya lebih banyak merugi saat bersama Azhar. Akan tetapi tak mengapa, sebentar lagi semua akan dibayar dengan sebuah mahligai rumah tangga yang indah. Rintik tak sabar merasakan keluarga yang berfungsi secara normal.
Pada usia ke-24, Rintik menulis pidato pada dua lembar ukuran folio. Pidato khusus yang akan ia sampaikan pada sang ibu yang telah lama tak berkabar selain mengucapkan selamat Idulfitri. Rintik mengambil napas panjang, komat-kamit mulutnya merapal inti pidato, dan satu notifikasi dari ponsel mengaburkan konsentrasinya.
“Ini pacarmu, kan? Dia sering beli lipstik sama produk perawatan wajah di sini, lho! Perhatian banget, deh! Cepetan nikah sana!” Senyum Rintik turun.
Ia tak pernah mendapat hadiah seperti itu dari Azhar. Resah gundah gelisah mulai merambat mengantarkannya pada fakta-fakta yang tak pernah dibayangkannya.
Azhar mendua.
“Sumpah! Dia cuma dinas aja di sini enggak sampai sehari. Dia kerja sales. Lagian kami udah putus,” kilah Azhar. Rintik kemudian menyodorkan bukti pengiriman dengan tujuan rumah perempuan---setelah ditelusurinya secara pribadi---yang merupakan mantan Azhar.
“Sumpah, Rin! Katanya dia langganan di situ, makanya minta bantuan aku buat beli.” Untuk sekian kalinya Azhar mengelak. Namun, ada satu hal fatal tidak diketahui Azhar.
“Aku pernah kerja di tempat itu dan aku kenal semua pegawainya. Mereka cerita kalau kau sering membeli barang di situ. Mereka pikir semua itu untuk aku, tapi dari sekian barang yang mereka catat tak satu pun aku menerimanya darimu,” beber Rintik.
Seketika massa Azhar melemah, menjadi debris-debris tajam yang melukai Rintik. Perempuan itu melempar selembar kertas yang langsung diterbangkan angin. Ia pergi dalam tangis tanpa suara.
Rintik diam di depan palang perlintasan kereta. Suara sirine memekakkan kedua telinga. Lampu merah bergantian menyinari bekas air mata yang sempat deras mengalir ke dua pipinya. Kereta lewat, angin kencang menerpa. Saat itu pula ia teringat masa kecilnya. Pada malam-malam kala sang ibu membawanya melihat kereta dan menggenggamnya begitu erat seolah takut Rintik akan lepas.
Kini Rintik mengerti kenapa sang ibu menggenggamnya erat. Seperti ada dorongan gila ketika kereta-kereta itu lewat. Seperti ada kelegaan bila ia melompat saat lokomotif menyambar.
“Aku ingin bertemu mama,” rengek Rintik pada dinginnya malam.
Rintik mengambil ponsel, mengetuk kontak ibu dengan perasaan menggebu. Gugup ia menunggu telepon diangkat. Tak lama suara di seberang menyahut. Jantung Rintik hampir melompat ke luar. Sudut bibirnya tajam melengkung ke bawah.
“Halo? Rintik?” sahut suara wanita di seberang sana.
“Mama?” Suara Rintik sedikit meninggi karena bersemangat dan juga bersedih dalam satu waktu.
“Iya. Ada apa, Sayang?” balas wanita itu.
Rintik tak menjawab.
“Sekarang kamu di mana, Sayang?” tanya sang ibu cemas.
“Di depan palang perlintasan kereta,” jawab Rintik sambil menahan air mata. Rintik mengambil napas dalam, menelan ludah, melegakan tenggorokan yang terasa tersendat sebiji udara abstrak.
“Mama, maaf. Rintik belum bisa jadi kuat dan mandiri.” Air mata Rintik tak terbendung lagi.
“Tidak apa-apa Rintik. Kamu sudah berusaha dengan baik.”
Klakson angin kereta api menggema dari kejauhan.