Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Aksi
Keras Kepala
3
Suka
779
Dibaca

MANUSIA keras kepala—yang sialnya adalah anakku—itu akhirnya terkapar juga.

Sudah berkali-kali kukatakan agar ia tahu diri, bercita-cita sewajarnya saja, tetapi kepalanya terlalu keras untuk menerima petuah dariku. Setiap kali ia bercerita tentang keinginannya dan aku berceramah atas pilihannya, dengan lantang ia malah menjawab, “Zaman sudah berubah, Pak. Aku tidak mau jadi petani. Aku ingin jadi presiden!”

Bah!

Presiden, katanya. Hingga kelahiran ketujuh pun aku tak sudi merestuinya jadi petinggi negeri. Amit-amit jabang bayi! 

Aku telah menyaksikan para rekan gerilyawan yang dulu mengumpati kompeni, lantas setelah negara merdeka, mereka malah berebut kursi dan menjajah negerinya sendiri. Menjarah rakyatnya sendiri. Bahkan menjagal sesama kawan seperjuangan semasa di militer.

Aku telah melihat sendiri, mereka yang dulu angkat senjata sembari berteriak “Merdeka!”, pada akhirnya tega menancapkan tombak ke mulut dan perut sesama bangsanya. Menyumpal mulut-mulut yang bertentangan dengan mereka. Menyumbat perut-perut dengan sembako murahan, supaya mereka bisa diatur dan dimainkan semau pemerintah—yang padahal sembako kualitas rendahan itu diberikan hanya lima tahun sekali, itu pun jika Pak RT tak melewatkan namanya dalam daftar penerima bantuan.

Aku tak ingin anak lanangku menjadi bagian dari para badut berdasi, yang merasa profesinya seksi dan bergengsi, padahal sama sekali basi. Tak akan pernah kubiarkan. Berdekat-dekatan dan berurusan dengan mereka pun jangan sampai. Sumpah demi Ibu Pertiwi, aku tak akan tenang hidup dan mati jika keinginan anakku benar-benar terjadi.

Namun, dia adalah anakku. Bocah lanang yang mewarisi keras kepalaku. Ia rela minggat dan menumpang di rumah seorang ningrat, demi bisa berpendidikan tinggi. Demi bisa meluaskan relasi. Demi bisa bergelimang modal untuk mencari modal. Entah bagaimana pula ia bisa memelas dan bernegosiasi dengan jutawan itu sehingga dihidupi dan disekolahkan. Uluran tangan yang malah membikin anakku makin keterlaluan.

Tapi aku bisa apa? Nasi orang kaya itu telah mengubah tak hanya lidah anakku, tapi seluruh indra di tubuhnya hingga melupakan aku, bapaknya. Ia pasti juga lupa dengan kerbau yang telah bekerja keras di sawah demi menghidupinya. Lupa dengan tangan emaknya yang kurus kering, tapi begitu kuat mencabut ubi dan singkong. Lupa dengan adik-adik yang diam-diam mengidolakannya sebagai “Mas yang pintar”. Lupa dengan ambin bambu di teras rumah yang menjadi saksi bisu ketika aku menyampaikan nasihat dan larangan, termasuk melarangnya jadi presiden.

Ia telah melesat terlampau jauh, hingga kakinya melewati ambang batas tapak. Melayang-layang bak orang mabuk, lupa daratan. Lupa kepada silsilah. Lupa kepada tanah yang telah memberinya makan. Lupa kepada rakyat yang telah memberikan suaranya. Lupa jika dulunya ia termasuk golongan yang tertindas dan begitu senang ketika mendapat kiriman sembako setiap musim pemilihan—sembako yang habis kurang dari seminggu dan harus dibayar dengan penderitaan selama lima tahun ke depan. Ia telah melupakan segalanya, termasuk akarnya sebagai wong cilik.

Namun, sungguh, aku takkan pernah lupa bahwa ia anakku. Anak lanangku yang kepalanya lebih keras daripada kepalaku. Bedanya, dulu aku gigih melawan penjajah, sedangkan ia begitu pongah melawan idealismenya sendiri.

Ah, persetan dengan idealisme! Ia sekarang telah menjadi politikus. Ia telah menjadi cukong berjas rapi. Senyumnya hanya di depan kamera dan di atas podium. Perutnya telah mengembang, yang apabila tertusuk jarum hukum—yang selalu tajam ke bawah itu—maka akan muncratlah uap-uap amarah, beserta nanah dan darah rakyat yang dirampas haknya.

Sebentar lagi, ia akan menggelepar layaknya ikan bandeng yang terseret rob hingga ke pekarangan, yang menjadi rejeki nomplok dan rebutan para warga di sekitar tambak. Ingatkah kau, Nak, betapa dulu Bapak melarangmu agar tak ikut menjarah bandeng-bandeng itu? Namun, kepalamu yang keras dan mulutmu yang licin malah menjawab, “Aku tidak menjarah apa pun, Pak! Ikan-ikan ini sendiri yang datang ke rumah kita!”

Lalu kau tersenyum jemawa karena ancaman “Kau akan mencret berhari-hari!” dariku rupanya tidak terjadi. Kau tetap sehat, kau tetap bandel, kau tetap suka menjarah harta orang lain!

Dari Nirwana, aku menyaksikan kepala-kepala yang bergerombol mengepung istana. Kepala mereka merah membara didera derita. Disiram keringat perjuangan yang bercampur dengan berliter-liter liur anakku saat berjanji kampanye.

“Atas nama revolusi, tembakkan peluru eksekusi!” teriak mereka, menabuhkan genderang perubahan. Barangkali, mereka sedang mabuk dan berkhayal berada di Perancis. Bersiap mengeksekusi Louis XVI dan Marie Antoinette yang hidup foya-foya saat rakyat kesusahan membeli roti.

Kepala mereka barangkali tak sekeras kepala anakku, tetapi jika berjuta-juta kepala yang tak terlalu keras itu bersatu, mereka pasti menang. Aku yakin itu. Sebab hal yang sama juga kulakukan ketika menjadi gerilyawan dulu—sebelum dilupakan dan hidup terlunta-lunta karena enggan bergabung sebagai anggota dewan.

Dari Nirwana, kutiupkan ruh perjuangan yang dulu gagal kuwariskan kepada anak lanangku. Aku tak bisa ikut di tengah riuh semangat pergerakan, tetapi semoga restuku melicinkan jalan mereka: menggulingkan anakku dari kursi yang membuatnya jemawa.

Manusia keras kepala—yang sialnya adalah anakku—itu akhirnya terkapar juga. Ia terkulai di tengah lapang istana. Matanya tetap congkak, kepalanya menengadah congak. Seolah amarah rakyat bukan hal penting yang perlu diperhatikan.

Ia tak tahu, jika dari Nirwana, ayahnya telah memberkati. Bukan hanya kepada para pengunjuk rasa, tetapi juga kepada jagal-jagal bayaran yang hanya tahu duit agar bisa makan. Aku telah mengirimkan Maut untuk menjemput anakku. Aku sudah berpesan kepada Maut, agar anakku berpulang sebagai belia. Sebagai anak lanangku yang hanya mendengar perkataanku. Sebagai anak lanangku yang selalu mencucu saat kuminga membelikan minyak tanah ke kampung sebelah. Anak lanangku yang selalu bungah ketika menyantap sekaleng sarden yang dibadi lim bersama adik-adiknya. Anak lanangku yang belum bercita-cita menjadi presiden.

Dor!

Manusia keras kepala—yang sialnya adalah anakku—itu akhirnya terkapar juga. Mengosongkan kursi kekuasaan. Membiarkan jabatannya jadi rebutan oleh orang-orang yang selama ini menjilati tangannya; oleh orang-orang yang menunggu anakku lengser; oleh orang-orang yang kini berada di kerumunan manusia di depan istana.

Aku sedang menunggu anakku di Nirwana, semoga ia bisa sampai selekasnya. Semoga ia diizinkan masuk Nirwana, walau hanya sementara. Aku sedang menunggu anakku yang kembali belia, bertelanjang dada, dan rambut pirang panjang sangit karena terlalu sering dibakar matahari. Aku sedang menanti ia agar bisa duduk bersama, sembari menertawakan para mahasiswa yang sibuk unjuk rasa, tetapi di kemudian hari jadi pejabat juga!

Aih, tapi itu hanya angan-angan.

Penjemput Maut menghampiriku dengan mulut cemberut. Aku menyambutnya dengan dahi berkerut, meminta penjelasan lebih lanjut.

“Kepalanya terlalu keras, Pak. Peluru pun enggan menembus tempurungnya. Mental.”

“Kepalanya yang teramat keras atau moncong senjata yang empuk karena dilapisi segepok uang suap?”

Kami tertawa getir. Demi takhta, anak lanangku bahkan berani berkongkalikong dengan takdir.

•••

Kendal, Februari 2025

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Aksi
Cerpen
Keras Kepala
Rizky Anna
Cerpen
Bronze
Kebenaran Tak Pernah Mati
Muhammad Ari Pratomo
Flash
Bronze
DENDAM & CINTA
mushodah
Cerpen
Bronze
Hari Sabtu Ceria
Mochammad Ikhsan Maulana
Novel
Bronze
Sholat Yo
Hermawan
Flash
Pertunjukan Malam
Lebah Bergantung
Cerpen
PROJECT V ~Epilogue~
Permadi Adi Bakhtiar
Flash
HITS
Affa Rain
Flash
Tokoh utama
Lentera jingga
Novel
Venture into Turmoil
Jose Justin
Novel
Bronze
Para Joki
Farida Zulkaidah Pane
Cerpen
Aksara dan Visual Dalam Desa
Adam Nazar Yasin
Flash
Sandera
Justang Zealotous
Flash
Bronze
Manusia Super
Afri Meldam
Skrip Film
The good detectiv
fasya aditya
Rekomendasi
Cerpen
Keras Kepala
Rizky Anna
Cerpen
Manusia Berjantung Pisang
Rizky Anna
Cerpen
LALI
Rizky Anna
Novel
SARU [Kumpulan Cerita]
Rizky Anna
Cerpen
Bakso Madura
Rizky Anna
Novel
JEGAL
Rizky Anna
Cerpen
Wani Wedi
Rizky Anna