Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Kerajaan di Balik Kabut
Di ujung dunia, jauh melampaui peta-peta kuno yang digambar para pelaut, terbentang sebuah lautan berkabut yang disebut Samudra Awan. Tidak ada kapal yang pernah kembali setelah mencoba melewatinya. Orang-orang percaya, di balik kabut itu terdapat dunia lain, sebuah kerajaan yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang dipilih.
Araya, seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang tinggal di desa nelayan kecil, selalu bermimpi tentang sebuah istana kristal di tengah kabut. Dalam mimpinya, ia mendengar suara lembut yang memanggil namanya.
"Araya… datanglah… waktumu telah tiba."
Sejak kecil, Araya berbeda dengan anak-anak lain. Ia bisa memahami bahasa burung dan terkadang melihat cahaya aneh melayang di malam hari. Ibunya selalu berkata bahwa darah para Penjaga mengalir dalam dirinya, meski tak ada seorang pun di desa yang tahu apa maksudnya.
Suatu malam, saat bulan purnama menggantung di atas lautan, Araya melihat cahaya biru berputar di atas ombak. Ombak itu seolah berbisik, memanggilnya. Dorongan aneh membuatnya mengambil perahu kecil milik ayahnya yang sudah tiada, lalu berlayar seorang diri menuju kabut.
Desa menatapnya dengan cemas, karena semua orang tahu bahwa siapa pun yang masuk ke Samudra Awan tak pernah kembali. Namun Araya merasa, jika ia tidak mengikuti panggilan itu, jiwanya akan terkunci selamanya.
Kabut itu dingin, tebal, dan berkilau seperti debu bintang. Araya merasa perahunya tidak lagi menyentuh air, melainkan melayang di udara. Tiba-tiba, kabut terbuka, memperlihatkan sebuah negeri luas yang dipenuhi pohon berkilau, sungai emas, dan langit ungu dengan dua matahari.
Di tengah negeri itu berdiri sebuah istana kristal menjulang tinggi, memantulkan cahaya seperti pelangi. Burung-burung bercahaya beterbangan, sementara naga berwarna perak melintas jauh di langit.
Araya menahan napas. Dunia yang ia lihat dalam mimpi benar-benar ada.
Ketika Araya melangkah ke pelataran istana, seorang wanita bermahkota kabut muncul. Rambutnya panjang berwarna perak, matanya biru bagai lautan dalam. Ia memperkenalkan diri sebagai Ratu Elyndra, penguasa Kerajaan Kabut.
“Araya,” katanya dengan suara lembut namun bergema. “Engkau adalah keturunan terakhir Penjaga Jembatan. Hanya engkau yang bisa menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia kami.”
Araya kebingungan. Ia tidak pernah mendengar tentang Penjaga Jembatan. Namun Elyndra menjelaskan bahwa dunia manusia dan dunia fantasi dulunya terhubung, tetapi pintu itu ditutup agar manusia tidak menghancurkan keajaiban. Hanya para Penjaga yang mampu membuka dan menutup jembatan itu. Kini, keseimbangan terguncang, karena bayangan gelap mencoba merebut kekuatan kerajaan.
Elyndra membawa Araya ke ruang kristal, di mana sebuah peta cahaya menampilkan retakan besar di langit utara. Dari sana, muncul sosok bayangan berwujud manusia, namun bermata merah menyala. Namanya Morthal, penyihir yang diasingkan ribuan tahun lalu. Ia menginginkan kunci jembatan agar bisa menguasai dunia manusia dan dunia fantasi sekaligus.
“Kunci itu ada di dalam dirimu, Araya,” jelas Elyndra. “Hanya darahmu yang dapat mengaktifkannya. Jika ia mendapatkannya, segalanya akan berakhir.”
Araya gemetar. Ia hanyalah seorang gadis desa. Bagaimana mungkin ia bisa melawan penyihir sekuat itu?
Untuk melindungi Araya, Elyndra memperkenalkannya pada tiga makhluk penjaga:
-Fae, Sang peri elf berukuran kecil tetapi sangat kuat.
-Spencer, ksatria berkuda putih dengan pedangnya
-Thorn, manusia setengah serigala yang memiliki kekuatan luar biasa.
Mereka bertiga akan menjadi pelindung sekaligus teman seperjalanannya. Bersama mereka, Araya harus menuju utara untuk menutup retakan sebelum Morthal berhasil melewatinya.
Perjalanan mereka penuh dengan keajaiban dan bahaya. Mereka melewati Hutan Nyanyian, di mana pohon-pohon bisa berbicara dan memberi nasihat. Mereka menyeberangi Danau Bintang, airnya jernih hingga memperlihatkan bintang-bintang yang terpantul seperti cermin langit.
Namun, di balik keindahan, banyak bahaya yang mengintai. Gerombolan bayangan yang dikirim Morthal menyerang mereka di malam hari, mencoba mencuri kekuatan Araya. Dalam setiap serangan, Araya merasakan kekuatan aneh di dalam dirinya, seolah cahaya biru keluar dari tangannya, melindungi teman-temannya.
Suatu malam, Araya bermimpi bertemu dengan sosok pria berjubah putih. Ternyata ia adalah kakeknya, seorang Penjaga terakhir yang gugur di dunia manusia.
“Araya,” katanya, “darah kita bukan hanya beban, melainkan anugerah. Kau adalah jembatan itu sendiri. Cahaya yang kau miliki mampu menutup retakan, tapi hanya jika kau percaya pada dirimu sendiri.”
Araya terbangun dengan air mata. Kini ia memahami, dirinya bukan sekadar gadis desa. Ia adalah warisan terakhir yang menentukan nasib dua dunia.
Akhirnya, mereka tiba di Gerbang Utara, tempat retakan itu menganga di langit, menyedot energi sekitar. Morthal sudah menunggu, tubuhnya diselimuti kabut hitam, wajahnya setengah hancur oleh kutukan.
“Serahkan kekuatanmu, gadis kecil,” ujarnya dengan suara bergemuruh. “Dunia ini terlalu indah untuk manusia. Aku akan menyatukannya dalam kegelapan abadi.”
Pertempuran pun pecah. Spencer melawan naga hitam milik Morthal, Fae menghujani pasukan bayangan dengan panah cahaya, Thorn bertarung gagah berani. Namun Morthal terlalu kuat. Ia berhasil menahan Araya dengan rantai bayangan, mencoba menarik keluar cahaya biru dari dadanya.
Saat hampir menyerah, Araya mengingat kata-kata kakeknya. Ia menutup mata, merasakan cahaya dalam dirinya. Tiba-tiba tubuhnya dipenuhi sinar biru, rantai bayangan pun meleleh.
Dengan teriakan penuh keberanian, Araya mengangkat kedua tangannya, melepaskan cahaya yang menembus langit. Retakan perlahan menutup, sementara Morthal berteriak marah, tubuhnya terpecah menjadi debu hitam dan lenyap ke dalam ketiadaan.
Kerajaan Kabut berguncang, namun ketika cahaya mereda, langit kembali damai. Dua matahari bersinar indah, menandakan akhir dari ancaman.
Ratu Elyndra menyambut Araya dengan senyum penuh bangga. “Engkau telah menyelamatkan dua dunia. Namun kini, pilihan ada di tanganmu. Apakah kau ingin tinggal di sini sebagai Penjaga Jembatan, atau kembali ke dunia manusia sebagai gadis biasa?”
Araya terdiam. Ia mencintai dunia baru ini, teman-temannya, dan keajaiban yang tak mungkin ia temui di desanya. Namun ia juga ingat ibunya, yang menunggunya di tepi laut.
Akhirnya, Araya memutuskan kembali ke dunia manusia. “Aku ingin melindungi jembatan dari sisi manusia,” katanya. “Tapi suatu hari, aku akan kembali.”
Kabut mengantarnya pulang. Saat perahunya muncul kembali di pantai desa, semua orang terkejut melihatnya selamat. Ibunya memeluknya erat, menangis bahagia.
Araya tidak menceritakan segalanya. Namun di dalam hatinya, ia tahu dunia lain itu benar-benar ada, dan suatu saat panggilan kabut akan datang lagi.
Setiap malam, ia melihat ke laut dengan senyum kecil. Karena kini, ia bukan lagi gadis biasa, melainkan Penjaga Jembatan, pelindung dua dunia.
Beberapa hari setelah Araya kembali ke desanya, laut tampak lebih tenang dari biasanya. Kabut yang dulu menakutkan kini tampak lembut, memantulkan cahaya biru di permukaannya. Araya tahu bahwa itu bukan kabut biasa, melainkan tanda bahwa dunia fantasi masih terhubung dengannya.
Suatu malam, ia berdiri di dermaga sambil menatap cakrawala. Angin laut berembus membawa bisikan lembut:
"Terima kasih, Penjaga."
Araya tersenyum. Ia tak lagi merasa terpisah antara dua dunia. Ia tahu, selama kabut masih turun di laut utara, jembatan itu akan selalu ada dan ia akan selalu menjadi penjaganya.
Cahaya biru berkilau di telapak tangannya, lalu lenyap bersama embusan angin.
Akhirnya, dua dunia pun damai.