Username/Email
Kata Sandi
Alamat Email
Kata Sandi
Jenis Kelamin
Aku menyandarkan punggung pada jok angkot yang begitu dingin—permukaannya terasa beku seperti es. Pandanganku terjebak pada air yang mengalir deras di jendela, mengubah dunia luar menjadi ilusi abstrak. Sore itu, udara terasa begitu dingin, rasanya menggigit hingga ke tulang punggungku. Aku menarik ritsleting jaket hoodie abu-abu hingga ke leher, lalu mengepalkan tangan dan menggesekkan telapaknya kuat-kuat, mencoba meraih sedikit kehangatan yang tak kuasa kuraih.
Gemuruh besi angkot bergetar hebat didera badai di atas atap, menciptakan suara yang keras dan memekakkan telinga. Di luar, curahan air deras mebentur kaca, dan embun dari napas hangatku menciptakan siluet bayangan buram. Di balik keriuhan itu, aroma khas hujan—paduan aroma tanah basah, aspal dingin, dan kelembapan yang menyengat—mengalir lembut ke dalam kabin. Aku membiarkan diriku tenggelam dalam pekatnya aroma itu.
Aku sengaja memilih sudut belakang, posisi paling sunyi, tempat aku bisa menyendiri. Jalanan di luar yang basah, kacau, dan dipenuhi genangan seolah menjadi refleksi sempurna dari hatiku yang sedang bergejolak. Setiap kali roda mobil yang melintas merobek genangan, cipratan airnya mengalunkan melodi yang lembut. Alunan itu, tanpa kusadari, menyeret kembali serpihan memori lama yang telah mati-matian ku segel dalam ingatan.
Selama ini, aku telah memendam kenangan itu di lapisan paling bawah hati ku, di bawah tumpukan tugas dan kegiatan kampus yang berusaha ku mati-matian mengekangnya. Namun, hujan sore ini seolah membuka ingatanku. Tanpa permisi, rasa rindu yang telah kutahan dengan sekuat tenaga meledak ke permukaan.
Aku meremas ujung jaket hingga kainnya kusut, berusaha keras menghalau perasaan itu. Aku memejamkan mata erat-erat, berharap suara hujan yang bising bisa menenggelamkan bisikan memori di otakku. Sia-sia. Kehangatan suara baritonnya kembali terngiang, membawa ingatanku kembali terlempar pada hari itu.
Tiba-tiba, bel istirahat berdentang nyaring, memecah keheningan yang tegang. Seperti komando, para siswa melonjak dari kursi dan berhamburan. Suara derit bangku beradu sengit dengan tawa dan teriakan gembira. Semua orang bergegas menuju kantin, siap mengisi perut yang kosong dan mengistirahatkan otak yang terkuras habis oleh pelajaran yang tidak dimengerti.
Aku memilih untuk berdiam diri di kelas hari ini, duduk di bangku kayu belakang dan paling pojok. Lalu, aku membuka novel yang sudah usang, mendekatkannya ke wajah, menelusuri setiap baris dengan penuh konsentrasi.
Namun, fokusku buyar saat suara derit kursi kayu diseret kasar di lantai. Tubuhku menegang. Aku tahu, seseorang telah duduk di sampingku. Jantungku tiba-tiba berdebar tidak keruan. Aku bahkan bisa merasakan napasku tertahan di dada. Aku menahan diri untuk tidak menoleh, memaksa mata tetap terpaku pada halaman yang kubaca.
Dari sudut mataku, aku menangkap sosok familiar itu. Dia tidak melakukan apa-apa, hanya menatapku tanpa berkedip sedikit pun. Kedua lengan kekarnya terlipat di atas meja, menjadi bantalan nyaman bagi kepalanya, seseorag itu berada di sebelahku. Kehadirannya yang tiba-tiba terasa seperti medan magnet, menarik seluruh perhatianku menjauh dari dunia novel yang sedang ku baca.
“Kenapa?” tanyaku datar, nada suaraku mengandung tuntutan, tanpa menoleh dari novel.
“Nggak,” jawabnya dengan suara bariton rendah, nada suaranya begitu dekat hingga bergetar di telingaku. “Aku cuma lagi menikmati pemandangan.”
Aku mengernyitkan dahi, terpaksa menoleh sedikit. “Pemandangan apa?” tanyaku penasaran.
Dia menarik napas perlahan, membuat jantungku berdesir. “Pemandangan yang mungkin tidak akan terulang lagi, Aina.”
Saat itu juga, firasat buruk yang dingin menusukku. Aku segera menutup buku, lalu memutar tubuh sepenuhnya menghadapnya, menatap lurus ke mata karamel yang indah itu. “Memangnya kamu mau ke mana, Raiden?”
Ia mengangkat kepala dari lipatan lengannya, pandangan matanya kini tajam dan penuh arti. “Aku nggak ke mana-mana, Aina. Tapi kita? Kita akan ke mana-mana. Sebentar lagi kelulusan. Setelah itu, kita akan sibuk membangun hidup masing-masing. Bukankah begitu alur yang harus kita jalani?”
Napasku tercekat di tenggorokan, dan jantungku langsung berdetak kencang. Dia mengucapkan ketakutan terbesarku dengan begitu lugas.
“Kamu tidak mau kita terus bersama?” tanyaku, buru-buru membuang pandangan ke jendela kelas. Rasanya mustahil untuk mempertahankan kontak mata dengan intens seperti ini.
Raiden mengembuskan napas panjang. Tangan kanannya bergerak maju, seolah ingin meraihku, namun urung. Ia menjatuhkan tangan itu ke meja dengan bunyi pelan. Sorot matanya berubah serius dan tajam. “Bukan aku tidak mau. Tapi aku tidak bisa berjanji. Aku tidak bisa memastikan bahwa kisah kita akan berakhir bahagia. Kamu tahu keadaanku, kan?” tanyanya, suaranya terdengar sedikit parau.
Aku hanya diam kaku, menundukkan kepala, berjuang keras menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk.
“Na,” panggilnya tegas. Dia menggeser kursinya sedikit lebih dekat, hingga lutut kami nyaris bersentuhan.
Aku bergeming, menolak merespons. Rasa sakit mulai menjalari kerongkonganku.
“Aina,” panggilnya lagi, kali ini nada suaranya melunak, penuh keputusasaan, dan nada permohonan yang menyesakkan “Tolong tatap mataku.”
Setelah terdiam lama, aku memutar kepalaku perlahan. Dia sudah duduk tegak menghadapku, tubuhnya sedikit mencondong ke depan, seolah ingin meraih jiwaku. “Dengar, Aina. Kamu adalah seseorang yang sangat berharga untukku. Kamu bukan hanya 'alasan' hidupku punya harapan—kamu adalah jangkar yang menahanku agar tidak tenggelam. Sebelum kamu hadir, hidupku adalah labirin dingin, penuh puing, dan tanpa cahaya. Tapi matamu— adalah satu-satunya cahaya yang menembus kegelapan itu. Kamu yang membuat duniaku cerah, bahkan ketika sekelilingku gelap gulita dan ketika aku sendiri sudah menyerah untuk mencari jalan keluar.”
Dia menjeda, matanya menjelajahi wajahku. “Kamu memang wanita paling menyebalkan, Aina. Cerewet, suka mengomel untuk hal-hal sepele, emosian sampai meledak-ledak karena perkara kecil, dan egois karena selalu memaksa seseorang menuruti keinginanmu. Tapi, ironisnya, kamu pula wanita yang paling ingin aku lindungi. Wanita yang selalu muncul dalam pikiranku, yang aku khawatirkan keselamatannya melebihi siapapun, bahkan mungkin setara dengan Mamah dan adikku.”
Wajahnya menampilkan ekspresi getir. Ia menyentuh pelipisnya sejenak. “Kadang, aku benar-benar bertanya pada Tuhan—kenapa Dia mengirimkan sebuah cahaya sepertimu—wanita yang begitu terang, cerah, dan penuh kehidupan—untuk hadir di hidupku yang sudah berantakan, yang selama ini kubiarkan hancur berkeping-keping tanpa keinginan untuk dirakit kembali?"
Aku tidak lagi menunduk. Aku membalas tatapannya, menatap wajah yang diselimuti kepedihan, namun juga ketulusan yang tak terelakkan.
“Mungkin,” kataku sambil tersenyum tipis, “Tuhan ingin kamu tahu bahwa Dia menyayangimu. Makanya, Dia menghadirkan aku yang ceria ini, Raiden.”
Raiden tertawa pelan. Bukan tawa yang meledak, melainkan tawa yang renyah, merdu, dan hangat. Tawa yang selalu menjadi melodi favoritku, tawa yang dalam sekejap meluluhkan semua pertahanan emosional yang susah payah kubangun sejak tadi.
Dia menggeser tubuhnya lebih dekat, nyaris menyentuh wajahku. “Kamu tahu, kenapa aku selalu merasa kamu adalah belahan jiwaku?” tanyanya, hampir berbisik."Karena namamu, Aina, artinya Mata. Dan namaku, Raiden, artinya Alam. Saat dua nama itu digabungkan, itu bukan sekadar rangkaian kata—itu adalah sebuah puisi tentang takdir yang tercipta.”
Dia mengangkat jari telunjuknya, perlahan dan hati-hati, menyentuh tepi mataku dengan kelembutan dan meninggalkan jejak kehangatan di mataku. “Matamu diciptakan untuk memandang luas, Aina, dan aku—sebagai Alam—ingin menjadi satu-satunya pemandangan yang tak pernah membuat matamu lelah. Jika matamu adalah lensa dunia, maka akulah seluruh panorama semesta yang akan mengisi keindahan pandanganmu.”
Dia menatapku lebih dalam, kesedihan samar menyelimuti ketegasan matanya. Raiden menghela napas berat. “Ikatan itu sudah terukir sejak nama kita disematkan. Hanya saja, kita harus menerima, bahwa ikatan jiwa ini harus berjalan sendiri-sendiri, walau realita berkata lain.”
Aku menundukkan wajahku lagi, tidak sanggup menahan rasa sakit itu. “Aku tidak ingin kamu pergi,” bisikku, suaraku tercekat.
Saat itu juga, aku merasakan genggaman yang tiba-tiba dan sangat kuat di kedua tanganku, seolah ia takut kehilanganku detik itu juga. Tangan dingin Raiden meraih kedua tanganku yang mulai mendingin, lalu ia menarik tanganku ke wajahnya, menunduk dalam-dalam, menyembunyikan kepedihan di punggung tanganku. Bahu kirinya bergetar hebat, menahan tangis yang ia tahan.
“Maaf,” lirihnya, suaranya terdengar pecah dan hampir hilang.
Air mata yang sejak tadi kutahan akhirnya tumpah, menetes membasahi punggung tanganku. Aku menarik tanganku perlahan, mengusapnya cepat, lalu kembali menatap keluar angkot, ke jalanan yang basah kuyup.
“Ya Tuhan, kenangan itu lagi...” Batinku mengulang mantra yang sama.
Kenangan itu kembali, membawa rindu yang menyesakkan. Sulit kumengerti, mengapa Raiden—pria yang jauh dari kriteria idealku—justru bisa begitu istimewa. Dialah cinta pertamaku. Sosok yang jauh dari sempurna itu, justru mampu mewarnai hidupku yang selama ini terlalu teratur dan serba disiplin.
Sakit ini adalah keputusannya.
Aku tahu, Raiden menorehkan luka sedalam ini karena rasa sayangnya yang besar. Demi rasa sayang itu, ia memaksaku menjauh agar aku bisa menemukan kebahagiaan yang tidak bisa ia berikan.
Maka, pengorbanannya—yaitu kepedihan ini—adalah hal yang harus kuterima. Konsekuensi dari keputusannya adalah kami harus saling melihat dari jauh, dan aku harus menjalaninya.
Melupakan? Mungkin tidak, sebab kenangan indah itu abadi. Tapi mengikhlaskan, itulah keharusan. Aku harus mengikhlaskan agar memori ini menjadi penopang kedewasaanku. Aku harus melanjutkan hidup dengan semangat baru, menciptakan masa depan, dan membuka hati bagi seseorang yang kelak hadir untuk menyempurnakan kekosongan yang tak bisa diisi oleh Raiden.
Aku menghela napas yang sangat panjang dan dalam, membuang semua beban dan sesak yang telah lama menumpuk di dadaku. Dengan suara nyaris tak terdengar, aku berbisik ke dalam keheningan angkot. “Mulai saat ini, Raiden, aku harus pergi—melanjutkan hidupku tanpamu. Aku mungkin tidak bisa melupakanmu, tapi aku akan mengikhlaskanmu sepenuhnya agar aku bisa terbebas dari rasa rindu yang memenjarakanku ini. Terima kasih telah hadir dan menjadi pelajaran terindah. Aku harap kamu benar-benar bahagia. Dan untuk terakhir kalinya, aku akan mengucapkan ini—Aku mencintaimu, Raiden.”
Aku memejamkan mata, membiarkan rintik hujan di luar membasuh wajahku. Deru mesin angkot mereda. Cahaya lampu jalanan samar-samar menembus kelopak mataku. Ya, aku merasakan kedamaian yang baru. Lalu, aku membuka mata, siap untuk menghadapi kehidupan yang baru yang akan aku jalani. Benarlah apa yang dikatakan pepatah Korea yang selalu ku tanam di dalam hati.
“Cinta pertama adalah untuk mendewasakan seseorang. Namun, cinta terakhir-lah yang menyempurnakan orang itu.”