Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Kepulangan Lestari Bersama Seporsi Bakso
0
Suka
24
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Pukul sepuluh malam hari dalam sebuah kontrakan kecil—hanya tiga petak. Sialnya perut Lestari kerontangan, padahal kedua matanya sudah berkedip mengantuk.

"Duh, kenapa sih setiap mau tidur selalu saja begini?" Lestari sudah muak dengan kondisi perutnya yang sudah menjadi suatu kebiasaan pada saat malam hari—padahal seluruh badannya sudah terbaring di tempat tidur.

"Stok mie instan sudah habis lagi. Harus cari makanan di luar, ada-ada saja!" dengus Lestari.

Lestari pun mulai bangkit dari tidurnya dan bergegas menuju ke luar rumah untuk mencari makanan yang bisa mengganjal perutnya hingga pagi hari nanti. Tak lupa Lestari juga mengunci pintu rumah dan ia langsung berjalan.

"Makanan apa ya yang ada jam segini?" Lestari pun bingung harus makan apa pada tengah malam itu.

Karena memang di kawasan kontrakan yang Lestari huni, jarang sekali pedagang kaki lima yang lewat di sekitar sana. Jika ada pun, Lestari harus berjalan jauh untuk mencari para pedagang yang letaknya sangat jauh dari kontrakan Lestari—tak punya kendaraan apa pun.

Ting! ... Ting! ... Ting! ...

Suara sendok yang diketuk ke mangkuk membuat langkah kaki Lestari terdiam. Kepalanya menoleh ke semua arah mata angin untuk mencari tahu apa yang ada di balik sumber suara itu. Dari arah selatan, samar-samar terlihat oleh kedua matanya Lestari, ada satu orang yang sedang mendorong sebuah gerobak di bawah lampu sorot jalan bewarna kuning— berjalan pelan di tepi jalan.

"Nah itu seharusnya bisa untuk menutupi perutku yang rewel ini." Dengan yakinnya Lestari mulai berjalan kembali—kini menghampiri gerobak itu.

"Neng? Mau bakso?" Orang yang mendorong gerobak itu lebih dulu menoleh ke arah Lestari.

"Iya mas, satu porsi ya." Tanpa pikir lama, Lestari langsung memesan satu porsi bakso dan duduk di salah satu bangku plastik berwarna merah yang telah disediakan oleh penjual bakso itu.

Hanya perlu waktu sebentar untuk menunggu satu mangkuk porsi bakso pesanan Lestari. "Ini ya neng baksonya, silakan dimakan." Penjual bakso itu mempersilakan Lestari untuk memakan bakso yang telah dibuat olehnya dengan sangat ramah.

"Iya mas, terima kasih ya." Lestari membalasnya dengan sebuah senyuman kecil.

Dengan amat lahap Lestari memakan bakso itu. Namun, tak ada ekspresi yang diperlihatkan oleh Lestari saat memakannya karena memang ia masih sangat mengantuk. Sudah hampir setengah porsi bakso itu Lestari habiskan, ia berhenti makan secara mendadak. Matanya sudah tak kuat lagi untuk melihat apa pun yang dapat Lestari pandang di hadapan dan sekitarnya. Ia pun akhirnya tertidur menunduk sambil memegang mangkuk bakso menggunakan kedua tangannya. Tak lama dari itu, Lestari kembali mengangkat kepalanya—tatapannya kosong—tanpa sadar mengigau. Dan oleh karena itu, penjual bakso itu sigap menanyakannya dan ada sedikit kesalah pahaman terhadap pemikiran penjual bakso itu kepada Lestari.

"Jangan sambil melamun, neng. Tidak baik, apalagi sudah malam begini." Penjual bakso itu mengira bahwa Lestari sedang melamun.

"Saya kangen Si Mbok, mas." Dan di sini Lestari tiba-tiba saja melantur, membuat pedagang bakso itu sedikit khawatir.

"Si Mbok? Kenapa memangnya neng dengan Si Mbok?"

"Sudah tujuh tahun saya tidak bertemu dengannya. Saya kangen. Tetapi, tak punya ongkos untuk pergi menemuinya."

"Memangnya di mana Si Mbok kamu itu?"

"Di Jawa."

Bulu kuduknya berdiri, seperti ada ribuan jarum yang sedang menusuk diri penjual bakso itu. Hatinya berdegup tak beraturan dengan ritme yang sangat kencang.

"Duh, ini cewek kesurupan apa gimana sih? Kok malah saya yang jadi takut."

Tiba-tiba badan Lestari tersentak, seperti baru kehilangan kesadarannya dan terbangun—keringat jagung dari penjual bakso itu sudah membasahi sebagian badannya.

"Neng ... Neng gak apa-apa kan?" tanya penjual bakso itu dengan nada yang bergetar.

"Mas, saya memangnya kenapa? Sepertinya saya tadi ketiduran. Maaf ya mas, kalau jadi bikin takut." Lestari cepat-cepat menghabiskan bakso yang masih tersisa dalam mangkuk itu.

"Oh, neng kayaknya mengigau tadi. Jangan terlalu banyak hal yang dipikirin, neng. Kan jadinya yang kasihan badannya neng sendiri kan?" Penjual bakso itu mencoba menasihati Lestari untuk tidak terlalu memikirkan suatu hal.

Nasihat dari penjual bakso itu benar-benar masuk ke dalam hatinya Lestari. "Iya mas, saya juga sadar jika ini tidak baik. Banyak kebiasaan saya yang berubah drastis semenjak terlalu memikirkan hal yang seharusnya tidak perlu ada saya yang terlibat dalam persoalan itu." Lestari bangun dan memberikan mangkuk yang sudah tersisa kuah baksonya saja.

Lestari merogoh saku celananya untuk mengambil uang. "Ini mas mangkuknya. Jadi, berapa harganya?"

"Sepuluh ribu aja, neng."

Langsung saja Lestari untuk memberikan uang sesuai harga satu porsi yang telah ia bawa. Tetapi, ia baru ingat akan suatu hal. Ia tak memiliki apa pun di kontrakannya untuk makan pada pagi hari.

"Mas, saya mau satu porsi lagi deh. Tapi dibungkus ya." Lestari kembali memberikan uang berjumlah sepuluh ribu untuk membayar satu porsi bakso yang akan dibungkus.

"Oh ya, boleh neng. Tunggu sebentar ya."

Satu porsi bakso dibungkus dengan plastik berwarna hitam sudah berada di genggaman Lestari. Penjual bakso itu menyampaikan beberapa kalimat sebelum akhirnya mereka berdua benar-benar berpisah.

"Neng, langsung tidur ya. Kamu itu lelah, hanya saja dirimu yang selalu memaksa untuk bilang jika kamu itu masih bisa. Nyatanya?"

Lestari hanya membalas dengan senyuman yang penuh makna kepada penjual bakso itu—ia paham arti senyuman Lestari tanpa harus dijelaskan dengan kata-kata. Dan mereka kini benar-benar berpisah. Penjual bakso itu melanjutkan berjualan, sedangkan Lestari melangkahkan kakinya menuju ke kontrakan.

Sesampainya di kontrakan, Lestari menaruh bakso yang baru saja ia beli di atas meja makan. Dan ia langsung membaringkan badannya di tempat tidur. Dan benar, kali ini Lestari benar-benar bisa tidur sampai pagi hari.

***

Tolong! Tolong! Tolong!

Suara teriakan histeris dari salah satu orang lelaki membuat semua orang yang mendengarnya langsung mendekatinya dan menghampirinya.

"Ada apa ini?" Salah satu orang yang mendengar suara teriakan meminta tolong itu bertanya-tanya keheranan.

"Lestari pak! ... Lestari!" Lelaki itu Benar-benar gelagapan dalam menyampaikan informasinya.

"Ya, ada apa dengan Lestari? Yang benar jika bicara, jangan setengah-setengah."

"Lestari terkapar di lantai. Tubuhnya kaku, mulutnya berbusa, berberapa bagian tubuhnya membiru, dan denyut nadinya sudah berhenti. Baru saja saya ingin mengembalikan mangkuk miliknya. Namun, saat saya ketuk pintunya, tak ada jawaban dari dalam. Dan ternyata pintu itu tak dikunci oleh Lestari. Setelah saya membuka pintunya, saya langsung menemukan kondisi Lestari sudah seperti itu."

Para warga yang mendengar itu langsung histeris. Ada yang langsung menghampiri rumah Lestari untuk mengetahui kebenarannya. Banyak juga tetangga Lestari yang menangis—tak kuasa menahannya—orang sebaik Lestari harus mati mengenaskan seperti itu. Ada juga sebagian warga yang menjauh dari kerumunan karena tak kuat lagi melihat kondisi Lestari yang seperti itu.

"Hubungi polisi sekarang! Kematiannya Lestari terasa janggal." Salah satu warga mulai curiga dengan apa yang terjadi kepada Lestari.

Beberapa warga mengangguk setuju—sependapat dengannya. Salah satu warga langsung menghubungi kepolisian untuk mengidentifikasi kematian Lestari lebih lanjut.

***

Dua mobil polisi datang bersama dengan satu mobil ambulans di belakangnya. Ini kali pertamanya para warga melihat mobil-mobil itu datang ke kawasan tempat mereka.

"Di mana mayatnya berada, pak?" Tanpa banyak bicara, salah satu petugas kepolisian menanyakan keberadaan jasadnya Lestari.

"Masih ada di dalam rumah, pak." Salah satu warga menunjuk ke arah rumah Lestari.

Ada enam anggota kepolisian yang langsung masuk ke dalam rumah Lestari. Mereka memiliki tugas masing-masing. Ada yang memeriksa seluruh sesuatu yang mencurigakan di seluruh isi rumah maupun sekitarnya untuk mengumpulkan seluruh bukti fisik. Ada juga yang melakukan pemeriksaan awal pada jasad Lestari. Dan terakhir, ada yang melakukan pengamanan di sekitar rumah Lestari untuk membuat suasana lebih kondusif dan membawa kantong mayat berwarna oranye untuk menggotong jasadnya Lestari.

"Bagaimana pak? Apa ini terjadi karena ada pelaku dibalik kematian Lestari?" Salah satu warga langsung menanyakan kepastiannya kepada petugas kepolisian.

"Kami tidak menemukan sesuatu yang sangat mencurigakan untuk dijadikan bukti kuat bahwa ini adalah kasus pembunuhan. Namun, ada secarik kertas kecil berisi tulisan yang dilipat, kartu identitas korban, dan satu mangkuk bakso yang tampaknya belum korban makan."

"Apa isi pesan dari secarik kertas yang ditulis oleh Lestari?" Para warga terus saja melontarkan pertanyaan kepada petugas kepolisian.

"Sepertinya ini pesan kepada keluarganya."

Petugas kepolisian yang lainnya sudah menandai kontrakan yang dihuni oleh Lestari menggunakan police line berwarna kuning untuk memungkinkan penyelidikan lebih lanjut oleh petugas kepolisian.

"Terima kasih banyak bapak-bapak dan ibu-ibu atas laporannya. Kami izin pergi ke rumah sakit untuk memastikan kematian korban." Salah satu petugas kepolisian berpamitan kepada seluruh warga yang menyaksikan kejadian itu.

Para warga juga tak lupa memberikan ucapan terima kasih kepada semua petugas kepolisian yang telah sigap datang ke lokasi.

***

Jasad Lestari sudah sampai tepat di depan rumah sakit. Jasadnya langsung saja dibawa ke ruangan otopsi untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut oleh dokter forensik dan timnya.

"Tak ada faktor utama penyebab korban karena seseorang. Kematiannya benar-benar dilakukan oleh dirinya sendiri," ucap dokter forensik yang telah memeriksa seluruh tubuhnya Lestari.

"Bawa saja jasadnya ke kampung. Si korban rindu pada Si Mbok." Tiba-tiba ada seseorang yang datang menghampirinya—membuat dokter forensik dan pihak kepolisian yang sedang menunggu hasil langsung menoleh.

"Apa anda adalah bagian dari keluarga korban."

"Saya adalah Aden, penjual bakso. Korban tadi malam baru saja memakan satu porsi bakso yang ia langsung makan dan satu porsi lagi dibungkus untuk dibawa pulang ke rumahnya."

Ternyata itu adalah Aden, penjual bakso yang baru saja tadi malam bertemu dengan Lestari. Aden menjelaskan dengan detail tingkah lakunya Lestari yang bisa dibilang cukup aneh.

"Tak lain dan tak bukan, seharusnya korban mengalami depresi yang berat jika saya mendengar apa yang bapak tadi sampaikan kepada kami." Dokter forensik itu langsung menyebutkan faktor utama penyebab kematian dari Lestari.

"Lalu bagaimana, dok? Apakah korban ini dapat dibawa ke kampungnya?" tanya Aden.

Dokter forensik itu mengangguk. "Sudah. Tak ada tindak kriminal yang dialami oleh korban."

"Boleh saya ikut?" Aden menawarkan diri kepada tim medis dan pihak kepolisian yang akan mengantarkan jasad Lestari untuk ikut mengantarkannya."

"Sebentar, saya lihat dulu di mana kampungnya berada." Salah satu petugas kepolisian merogoh saku bajunya yang berisi kartu Identitas Lestari. "Sekitar 4 jam perjalanan untuk mengantarkannya."

Aden mengangguk—pihak kepolisian dan medis pun mengizinkannya untuk Aden ikut bersama mereka. Akhirnya mereka semua langsung bergegas jalan menuju kampung halaman Lestari.

***

Tok! Tok! Tok!

Pintu yang terbuat masih dari kayu tradisional itu diketuk tiga kali. Suara tongkat yang diangkat perlahan dan langkah kaki yang sedikit menyeret menghampiri suara ketukan itu. Perlahan gagang pintu ditarik ke bawah.

Nget ...

Dersik pintu terbuka. Perempuan paruh baya dengan tongkat yang ia pegang di tangan kanannya.

"Ada ... Apa ini?" tanya perempuan itu dengan nada yang tertatih-tatih.

Apa benar ini adalah ibu dari Lestari?" Pihak kepolisian langsung saja menanyakan kebenarannya.

"Iya ... Betul. Memangnya ada apa dengan Lestari dan itu bukannya kantong mayat?" Ibu itu menunjuk ke arah kantong mayat berwarna oranye yang dibawa oleh petugas kepolisian.

"Si Mbok! Maafkan saya. Seharusnya saya tak membiarkan Lestari pulang malam itu." Penjual bakso itu langsung berlari dan memeluk Si Mbok.

"Anak ibu sudah berpulang ... Lestari meracuni dirinya sendiri pada pagi hari tadi."

Brak!

Tubuh Si Mbok langsung tak berdaya. Tubuhnya langsung terduduk di lantai beralaskan semen. Air matanya langsung tak tertahan lagi untuk keluar. Penjual bakso itu menoleh ke arah tim medis dan pihak kepolisian. Ia mengangguk dan tersenyum—menyuruhnya untuk meninggalkan mereka berdua di sana. Tim medis dan pihak kepolisian paham dengan kondisinya dan mereka langsung pergi meninggalkan Si Mbok dan penjual bakso itu.

"Ya ampun nduk, kok kamu tega sih ninggalin Si Mbok? Kenapa harus jadi seperti ini?" Dalam tangisnya, Si Mbok bertanya-tanya kepada tubuh yang sudah ditinggalkan oleh raganya.

"Sudah, Mbok. Tak ada habisnya jika Si Mbok terus-menerus menangisi sesuatu hal yang sudah tak ada lagi di dunia ini."

Si Mbok berusaha membersihkan air matanya yang terus keluar menggunakan kedua tangannya. "Kamu siapa le? Teman dekatnya Lestari ya?"

"Saya Aden, Mbok. Saya penjual bakso yang baru saja bertemu Lestari untuk pertama kalinya tadi nalam."

"Kamu orang baik le. Tak usah merasa bersalah atas kematian Lestari. Si Mbok juga tahu hatimu sangat bersedih atas kepergiannya. Tapi percayalah, Lestari pasti selalu mengingat pertemuan denganmu."

***

Setelah mayat dari Lestari dikebumikan, Si Mbok mengajak kepada Aden untuk duduk dibawah pohon mangga dekat rumahnya sambil melihat matahari yang sebentar lagi akan turun ke ufuk barat.

"Oh ya aku lupa memberitahu suatu hal kepada Si Mbok."

"Apa itu le?" tanya Si Mbok—penasaran.

"Ini ada pesan yang ditulis oleh Lestari. Mungkin sebelum ia melakukan ini semua, ia sempat menulis sebuah pesan terakhir." Aden memberikan secarik kertas yang sudah diberikan oleh pihak kepolisian sebelum pergi.

"Si Mbok takut sedih lagi le jika baca surat dari Lestari ini."

"Coba saja dulu dibaca. Mungkin Lestari ingin menyampaikan sesuatu kepada Si Mbok.

Si Mbok mengangguk pelan dan mulai membuka kertas itu perlahan.

Ditulis ketika aku tak kunjung bisa tertidur di atas kasur. Mungkin nanti pagi, akan ada orang yang akan menemuiku dalam keadaan yang seperti tak biasanya. Lalu, akan ada sosok malaikat yang rela mengantarkanku sampai aku bertemu Si Mbok. Dalam jiwa yang masih hidup ini, aku berjanji akan selalu ada dikala Si Mbok riang, sedih, atau pun marah atas apa yang terjadi pada hari-hari Si Mbok. Mungkin nanti malam, tubuh ini perlahan sudah di makan oleh hewan kecil. Menyisakan kerangka tulang dan tengkorak manusia. Mungkin aku akan dihukum oleh Tuhan atas perbuatanku. Tapi ini adalah satu-satunya cara untuk bertemu Si Mbok. —Lestari yang sudah tak lagi menanggung beban duniawi, tapi merasakan rasa sakit atas perbuatan yang sudah jelas tertulis oleh aturan alam semesta ini.

Tanpa sadar, air mata Si Mbok sudah membasahi hampir semua kertas itu. Dan disaat yang bersamaan, hujan lebat turun dari langit yang semula cerah.

"Langit pun sedih mendengar berita kepergianmu, nduk." Air matanya Si Mbok sudah bercampur dengan air yang diturunkan oleh langit.

Aden yang tak kuasa melihat itu, mendekat dan memeluk erat Si Mbok. Bersama hujan lebat, mereka berdua merenungi kematian seseorang yang tak diinginkan.

—Tamat—

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
You or her
Khaerunnisa
Novel
Stigma
Nita Simamora
Novel
KAKTUS
L.Biru
Novel
Ekawarna atau Pancarona?
kar.
Cerpen
Kepulangan Lestari Bersama Seporsi Bakso
muhamad Rifki
Skrip Film
We were Ship In The Night : The Warm Place
Lilly Amundsen
Novel
Mazha Dhinanty
Fyafiae
Skrip Film
Titik-titik
Muhammad Alfi Rahman
Skrip Film
Imperfect Family
Rosiana Quraisin
Cerpen
Bronze
I B U
Yuli Harahap
Novel
Peti Uang
Art Fadilah
Komik
Bronze
Paralel Signal
[Raven_Owl]
Flash
REKAYASA
Reiga Sanskara
Flash
Bronze
Melody Ariana
Indah Budiarti
Flash
INI COSPLAY?
Tirani K. C.
Rekomendasi
Cerpen
Kepulangan Lestari Bersama Seporsi Bakso
muhamad Rifki
Novel
Terdampar Perspektif
muhamad Rifki
Cerpen
Bronze
Setiap Kali Air Matanya Menetes
muhamad Rifki
Cerpen
3 Foto Dalam Satu Kisah
muhamad Rifki
Cerpen
Saat Bersamamu di Surya Kencana
muhamad Rifki
Cerpen
Iskandar (Istri kandidat Darma)
muhamad Rifki
Flash
Gagal Fokus Sampai Salah Tujuan
muhamad Rifki
Novel
Tak Kunjung Penantian
muhamad Rifki