Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Slice of Life
Kepala Batu
0
Suka
1,821
Dibaca

Adalah dua pemuda tampan bersaudara kembar berasal dari Selatan, daerah Terang namanya. Mereka Ponidi dan James, rupa mereka tidak begitu mirip seperti saudara kembar pada umumnya, namun mereka sama-sama memiliki mata berwarna hijau gelap. Jika terpantul sinar matahari akan terlihat sangat mengagumkan. Dahulu rakyat sekitar menyangka mereka adalah siluman Ular Sanca Kembar, namun seiring waktu penduduk Terang melihat bahwa mata mereka begitu amat indah.

Sangat mudah membedakan antara mereka berdua, James berkulit putih bersih dan Ponidi berkulit sawo matang. Begitupun dari sifat dan pemikiran mereka bertolak belakang. Cukup membuat heran mengapa sifat mereka jauh berbeda, padahal mereka tumbuh bersama sejak kecil. 

Sejak berumur 7 tahun mereka sudah menjadi yatim piatu. Kedua orangtua mereka menjadi korban kebakaran hebat di Pabrik tempat orangtua mereka bekerja. Kemudian anak kembar itu tumbuh hanya berdua tanpa ada sanak saudara di rumah tua peninggalan orang tua mereka. Sesekali dibantu oleh para tetangga kampung yang iba pada dua anak kecil malang itu. Jika sedang tidak ada belas kasihan dari penduduk kampung, mereka kadang memelas makanan sisa warung-warung, membongkar sampah berharap ada yang masih bisa dimakan, dan seringkali juga mencuri hasil ladang atau mencuri kantong uang orang di pasar. Tidak jarang pula mereka diteriaki, disumpah serapahi, bahkan dipukuli sampai lebam saat dipergoki sedang mencuri.

Suatu kali dimasa lalu, saat mereka berumur 11 tahun, dengan diam-diam mereka masuk ke kebun milik Datuk Rayo pemilik lahan paling luas di kampung mereka. Mereka menyebutnya 'meminta beberapa hasil ladang tanpa memberi tahu sang pemilik'. Sialnya penjaga ladang Datuk Rayo mendapati mereka lalu memecuti mereka dengan rotan halus berkali-kali. Nasib baik bagi dua anak itu, Sang pemilik sedang berada tidak jauh dari situ. 

Datuk Rayo mendatangi keributan yang sedang terjadi lalu menghardik pegawainya yang sedang menghajar bocah menyedihkan itu "Hoiii...! sudah cukup, bawa mereka ke rumahku". 

Dengan sigap para pegawai menuruti perintah tuannya "baik, Tuk".

Di depan teras rumah panggungnya yang luas dengan pemandangan halaman yang rapi dan bersih duduk lah Datuk Rayo dikursi goyangnya yang antik sambil memperhatikan kedua bocah dihadapannya.

Melihat mata hijau meraka yang unik Datuk Rayo terkesima dan tersenyum takjub, kemudian senyum itu berangsur memudar ketika dilihatnya ada banyak bekas luka yang sudah kering maupun yang masih basah ditubuh mereka. Wajah lusuh, kuku panjang yang kehitaman, bau badan yang menyengat dan kotor, ibalah Datuk Rayo kepada mereka. 

"Sekiranya kalau kalian kelaparan, katakan padaku, jangan mencuri" sambil menghisap rokok daun nipah berisikan tembakau Datuk Rayo mulai memceramahi Ponidi dan James.

" Iya, Tuk. Kami minta maaf." James menjawab tertunduk malu atas perbuatannya sambil menahan sakit di punggungnya bekas rotan si penjaga.

"Dia kan kaya, kita hanya ambil pisang beberapa buah saja dari ladangnya, tak akan habis lah itu" celetuk Ponidi setengah berbisik pada James dengan wajah jengkel.

James menetap Ponidi sinis dan menginjak kakinya isyarat untuk diam.

"Aaaakkk..." Ponidi merintih kesakitan, James menginjak tepat pada kaki Ponidi bekas pecutan tadi.

Datuk Rayo melempar pandangan pada Ponidi dengan wajah heran dan geleng-geleng kepala dengan celetukan Ponidi. 

Datuk Rayo menarik nafas dan menatap mereka "Aku akan berikan kalian pekerjaan di ladangku dan imbalannya kalian boleh tinggal dan makan disini bersama pekerja yang lain"

"Wah... Terimakasih, Tuk" James menyambut dengan sumringah membayangkan tidak perlu mencuri lagi untuk makan.

Datuk Rayo kemudian berdiri masih dengan rokok ditangannya yang sudah hampir habis, "Mencuri tidak ada baiknya, perut memang penuh tapi kemanusiaan akan berangsur hilang. Jika sudah begitu kalian bukanlah lagi manusia, hanya seonggok daging bergerak kesana-kemari". Datuk Rayo menyudahi ceramahnya dan berlalu meninggalkan mereka.

Ponidi dan James angguk-angguk kepala mengiyakan ceramah Datuk Rayo yang sebenarnya mereka tidak paham betul apa yang dikatakan Datuk Rayo, bagi bocah 11 tahun yang mereka mengerti bahwa tidak baik mencuri dan yang paling penting adalah mereka tidak akan kelaparan lagi.

Begitulah kelanjutannya, bocah Ponidi dan James akhirnya bekerja di ladang Datuk Rayo sampai mereka dewasa menjadi seorang pemuda. Namun tetap saja, bukan berarti masalah menjad tidak ada. Seringkali dalam hidup mereka masalah itu berganti dari yang satu ke perkara lainnya. Ponidi semakin dewasa bukannya lebih bijaksana tapi selalu saja mengeluh. Berkelahi, adu mulut, tersinggung, dan mudah marah menjadi makanan sehari-hari. James sampai kewalahan dibuatnya.

Tibalah akhirnya saat ini mereka memutuskan untuk pindah dari tanah kelahiran mereka daerah Terang ke daerah Basa yang ada di Utara. Itu adalah jarak yang cukup jauh, mereka harus menempuh perjalanan 3 hari 2 malam lamanya.

Dibenak James hanya bagaimana caranya agar Ponidi bisa berubah menjadi lebih bijaksana, maka dari itu dia setuju untuk pindah dari kampung halamannya.

"Sebentar lagi kita akan membuka lembaran baru, Mes" 

"Bukan kita, kau saja. Aku ikut pindah hanya untuk menemanimu, takut kau membuat keributan" James menjawab santai.

Ponidi melirik malas pada saudara kembarnya itu. Meskipun begitu baginya James adalah segalanya, saudara yang selalu ada untuknya. Menolong, membela, menasehati, merawat dan memarahi juga pastinya.

Ponidi mengajak James pindah lantaran di kampungnya daerah Terang dia selalu sakit hati karena penduduk disana kebanyakan berbicara dengan terus terang tanpa pikir-pikir dulu, dia tidak tahan dengan perkataan orang-orang. Padahal disana mereka sudah enak dengan bekerja pada Datuk Rayo selama ini.

'Pon badanmu sangatlah bau, sakit hidung dibuatnya dan ingin muntah. Aku tahu ramuan yang bisa menyembuhkannya, Kau harus coba'

'Pon suaramu tidak jelas saat membaca, kau terlalu cepat membacanya sudah seperti omelan ibuku'

'Kau mau pergi perhelatan siapa Pon, kita hanya mau pergi minum kopi tapi dandananmu sangat berlebihan dan tidak cocok, ganti sana'

'Hari ini kau yang membayari aku makan, kemarin-kemarin kan aku membayarimu beberapa kali. Gantian, lah. Jangan tidak tahu diri yang maunya hanya dibayari terus'

'Anak kembar tapi tidak mirip, James gagah, pintar dan bijaksana. Sedangkan kau pendek akal, ceroboh dan suka uring-uringan. Tidak cocok kalian jadi saudara kembar'

Ponidi seringkali tersinggung dengan hal itu, darah panas naik sampai ke ubun-ubun, bisa uring-uringan dan pusing seharian dia. 

"Aku muak, Mes. Apa urusan mereka dengan hidupku?" kening Ponidi mengkerut serta wajah kusut mengomel, pun hatinya terasa panas menanggapi semuanya.

"Tidak perlu diambil hati, ambil baiknya saja dan jadikan untuk perbaikan dirimu selanjutnya. Jika tidak, hanya akan merusak dirimu, hilang damaimu yang tertinggal hanya dongkol" James menenangkan mengusap punggung Ponidi. "Jika pusing seharian karena hal itu sangatlah rugi, sedangkan orang akan tetap begitu, tidaknya akan berubah mereka dengan omelanmu". 

Namun Ponidi selalu saja punya berbagai alasan untuk itu dan ujungnya marah-marah sendiri.

***

"Akhirnya kita sampai di Basa" Ponidi mendongak melihat gapura megah daerah Basa. "Tenang, Mes. Disini tidak akan ada yang menyakiti kita" bersemangat Ponidi meyakinkan saudara kembarnya.

James hanya tersenyum berharap ada secercah harapan untuk saudaranya bisa memulai hal baru dengan lebih baik. Begitu besar James mengasihi Ponidi sampai sedewasa ini dia masih menjaga Ponidi dan juga sebaliknya Pondisi selalu ada untuk James.

Terlihat Ponidi cukup menikmati kehidupan barunya, tidak ada celetukan pedas atau wajah kusut satu bulan terakhir selama mereka tinggal di Basa.

"Aku bahagia sekali tinggal di Basa ini, penduduknya baik sekali Mes. Tadi dikedai kopi aku hendak membayari Hamzah tetangga kita karena sudah bantu menemukan rumah kita yang sekarang, tapi katanya tidak usah repot-repot. Ya sudah, lumayan aku tidak keluar uang" dia bercerita sambil tertawa puas.

"Seharusnya kau bayari saja Pon"

"Lha Mes, dia bilang tidak usah kok. Ya sudah kan? Apalagi?".

James geleng-geleng kepala dengan saudara kembarnya itu. Bagaimana bisa tidak paham dengan situasi begitu. Jika di Terang yang seperti Hamzah, kalau memang mau akan berterimakasih, jika tidak pasti akan menolak. Namun di Basa berbeda, disini orang-orang sering berbasa-basi dan harus peka. Apakah Ponidi tidak paham dengan hal itu atau karena dia terbiasa dengan situasi orang-orang di Terang?

"Kau harus mengerti Pon, disini penduduknya terbiasa basa-basi, kau harus pandai-pandai baca situasi" James mengingatkan.

Ponidi pusing dengan hal itu lalu pergi meninggalkan James yang sedang bicara.

***

10 bulan sudah mereka tinggal di Basa. Banyak yang membicarakan Ponidi dan sampailah ketelinganya.

'Tidak tau diri memang, kemarin aku basa-basi ajak makan dirumah, eh dia datang. Aku bilang tambah yang banyak dia tambah pula yang banyak, padahal dia lihat anakku ada 5 orang dan lauk kami tidak banyak, ck... ck... ck...'

'Apa tidak tahu malu si Ponidi, setelah acara makan bersama di Balai tidak ikut beres-beres karena dibilang tidak usah repot-repot ikut beberes, malah benar-benar langsung pulang'

'Huh, keterlaluan Ponidi. Saat bertamu kerumahnya kami bilang tidak usah repot siapkan minuman atau cemilan, dia benar-benar tidak menyuguhkan kami apa-apa. Dasar pelit'

'Saat kami sedang pergi bersama dan saatnya makan siang, dia bertanya saya mau makan siang apa, saya bilang tidak usah. Eh, ternyata dia betul makan sendiri, padahal dia tahu saya sedang tidak ada uang dan lapar, apa susahnya dia pesan apa saja untuk saya, tidak usah pakai tanya lagi' 

Darah panas Ponidi menggelegak mendengar itu, matanya memanas, dadanya serasa akan meledak karna kesal. Jika ada orang didekatnya mungkin akan terbakar. Dia berpikir bahwa dia sudah melakukan seperti apa yang dikatakan orang-orang, jadi dimanalah salahnya dia. Hanya James tempatnya berkeluh.

"Sudah kubilang pandai-pandai lihat situasi, aku kan tidak selalu 24 jam bersamamu untuk memberitahumu apa yang harus kau lakukan. Harusnya kau paham lah, Pon" James mengomel.

"Ahh aku bingung dengan orang-orang disini, bilang ini padahal maunya itu, apa susahnya terus terang. Sekarang malah menggunjingkan aku, brengsek!" kesal bercampur sedih jelas terlihat diraut wajah Ponidi yang memerah namun alisnya turun menahan air mata.

"Aku mau pindah saja, ayo Mes pindah saja" Ponidi berbicara gusar.

"Pon, mau pindah kemana lagi? tidak ada gunanya jika kau tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkunganmu, mau dimanapun kau tinggal" James menjawab dengan kesal.

"Aku adalah diriku sendiri, tidak perlu ikut-ikut orang" timpal Pondisi tak kalah kesal.

"Aku tidak bilang kau harus ikut-ikut orang, menyesuaikan saja Pon, lain daerah lain budayanya, kau harus pelajari dan pahami itu, aku tahu kau bisa, masalahnya keras kepalamu itu melebihi batu".

"Pokoknya besok kita pindah, aku tahu ada daerah di Barat, daerah Tenang namanya, disana orang-orang tidak banyak bicara"

Ponidi setengah memaksa dan setengah memelas. "Ayolah, Mes. Tolong aku".

***

Sudah hampir 5 bulan mereka tinggal di daerah Tenang. Tidak ada prahara memang, namun Ponidi tetap mengeluh.

Di rumah mereka yang seadanya hanya sepetak, tidur beralas tikar lapuk dan atap yang selalu bocor saat hujan. Ponidi merebahkan tubuhnya disebelah James hendak tidur namun masih belum bisa terlelap dia berkata "Mes, aku serasa tinggal di daerah tak berpenghuni. Sunyi, sepi sekali, tidak ada yang bisa kuajak bicara, mereka hanya menjawab sekedarnya, lalu diam".

"Kau sendiri yang bilang ini daerah yang orangnya tidak banyak bicara, bagus untukmu kau bilang, tidak akan pusing dengan apa kata orang, sekarang kau sendiri yang pusing karena tidak ada orang bicara" James mengomel jengkel air mukanya keruh.

"Lama-lama aku pusing Mes, hanya diam saja, bahkan di pasar sekalipun hanya sedikit orang bicara" Ponidi menekan-nekan alisnya, pening dengan kondisi saat ini.

Ponidi bangkit dari posisi rebahannya "Ayo kita pindah saja, aku ada tahu daerah di Timur Laut, nama daerahnya..."

"Cukup Pon, aku tidak akan ikut denganmu" James memotong perkataan Ponidi dan bangkit pula dari rebahannya.

"Ayolah, Mes. Tolong aku".

"Aku akan kembali ke Terang, jika kau mau pindah lagi silahkan pergi sendiri, tapi ingat nasihatku, jika kau tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkunganmu tidak akan ada habisnya, kau akan kecewa dan pindah lagi dan lagi" James berkata tegas dengan tatapan lurus kedalam pupil Ponidi.

"Ahhh... lagu lama, hal yang sama dari dulu keluar dari mulutmu" 

"Lalu jika kau masih saja berlebihan memikirkan perkataan orang dan pula kau tidak mau memperbaiki diri, kau akan sakit hati sepanjang waktu". James menimpali.

Ponidi diam mendengarkan dengan wajah masam.

"Aku tidak akan ikut lagi denganmu" James memastikan sekali lagi.

"Aku kecewa padamu, Mes" wajah Ponidi lesu.

"Seharusnya aku yang kecewa, kau tidak ada perubahan. Cobalah renungkan dulu sifat dan sikapmu ini" 

Ponidi menatap James kecewa lalu merebahkan badannya lagi, lalu tidur membelakangin James.

James berpikir sudah cukup menemani Ponidi sampai disini, keras kepalanya sulit diatasi, nasehat apapun tidak bisa.

Orang yang tidak bisa menerima nasihat akan malang dalam hidupnya. Dari dulu Ponidi keras kepala seperti itu, entah bagaimana bisa begitu.

Semasa remaja dia selalu bermasalah, bukan karena dia nakal atau berulah, tapi karena memikirkan apa kata orang, memikirkan yang tidak perlu, lalu gusar dan menggerutu seharian, namun tidak ada niat memperbaiki diri. Selalu berulang seperti itu. Sangat kasihan sebenarnya Ponidi, begitu banyak hal yang tidak perlu namun ditelannya semua.

***

Di pintu gerbang daerah Tenang James berdiri lesu melihat punggung Ponidi menjauh, ada rasa getir di hatinya, rasa sedih yang berbeda yang belum pernah dia rasakan. Tidak terasa air matanya jatuh entah sejak kapan, sekelibat kenangan masa kecil mereka terlintas, bermain lumpur bersama meski kelaparan, mencuri lalu kabur sambil tertawa satu sama lain, makan makanan basi dan dipukuli namun saling menjaga agar satu sama lain tidak kena pukulan.

James tidak menyangka akan bertengkar dengan Ponidi saudara satu-satunya itu dan berpisah seperti ini. Sampai punggung itu tidak terlihat lagi James baru mulai berjalan kearah yang berlawanan dengan Ponidi untuk kembali ke Selatan, kampung halamanya daerah Terang. Dalam hati dia berharap Ponidi akan kembali ke Terang suatu saat nanti, secepatnya.

Begitulah dua saudara kembar itu bertengkar dan berpisah akhirnya. Ponidi bertujuan ke daerah Timur Laut, dan James kembali ke Selatan.

***

Tiga tahun sudah berselang semenjak perpisahan menyedihkan mereka, James sudah berkeluarga dengan 2 anak dan punya usaha sendiri. Dia tinggal di rumah peninggalan orang tuanya.

James pernah mendengar kabar bahwa Ponidi masih berpindah-pindah dari daerah satu ke daerah lainnya. James sudah tahu betul apa yang terjadi.

Kemudian James mendengar kabar bahwa Ponidi kembali dan sudah 3 hari kabarnya hanya di gerbang daerah Terang tidak kemana-mana.

James segera menuju gerbang yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya, harus berjalan kaki selama 3 jam. James bertanya-tanya kenapa gerangan Ponidi tidak datang kerumah mereka melainkan hanya di gerbang saja berhari-hari.

James mempercepat langkahnya tidak sabar bertemu Ponidi. Peluh mulai berjatuhan dibawah teriknya matahari. Namun tidak mengapa karena James sangat bersemangat untuk menemui Ponidi.

Terkejut James melihat Ponidi nafasnya terengah-engah, detak jantung berpacu dengan nafasnya, tidak tahu lagi apakah ini karena perjalanan jauh dengan langkah kaki yang hampir seperti berlari atau karna terkejut melihat Ponidi yang lusuh, luka dimana-mana, rambut berantakan dan sangat bau. Dia tidur-tiduran di tepi jalan dekat gerbang.

"Pon, kau kembali" suara James setengah tercekat, hampir tak terdengar.

"Mes... " Ponidi bangkit melihat James, sejenak membeku lalu mendekat dan memeluk James lalu tertawa-tawa namun tak lama airmatanya mengalir dalam tawanya.

Bau pesing dan apek menjalar dihidung James "Ada apa denganmu, sudah berapa lama kau tidak mandi?".

"Jangan membual, Mes. Kau lihat aku sangat gagah. Bahkan tidak dapat dibandingkan denganmu. Kau bilang aku tidak mandi? Sudah rabun kau, hah!?" Ponidi meracau tidak jelas.

Kebingungan James dihadapkan dengan situasi ini. Otaknya berpikir namun belum rampung.

"Orang-orang sangat menyukaiku, aku sangat bahagia, Mes" Pondi menepuk-nepuk dadanya. "Kemanapun aku pergi aku selalu disukai, hahaha..." Ponidi berbicara hampir tidak jelas sambil melompat-lompat dengan airmata yang masih mengalir.

Kengerian menjalar ditubuh James, sesaat dadanya sesak. Saudara kembarnya. Gilakah? Nafasnya mulai tidak beraturan melihat Ponidi bernyanyi-nyanyi tidak jelas. Sorot mata Ponidi yang kosong dan meracau tidak jelas, sesaat dia tertawa, sesaat kemudian marah-marah dan berikutnya tiduran di tepi gerbang.

Ponidi yang malang. Mengapa?

Dalam hati James merintih, Dulu aku mengharapkan kau kembali ke Terang, tapi tidak pernah terbersit akan seperti ini. Pon, aku mengharapan kembalinya kau dengan dirimu yang lebih baik. Air mata James jatuh bersamaan dengan kesedihan yang mendalam. Satu hal yang disesalkannya, saat itu dia menyerah pada Ponidi, kembaran yang disayanginya.

"Maafkan aku, Pon".

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Cerpen
Kepala Batu
Lusiana
Cerpen
Bronze
Pemimpin Negeri Sipil
spacekantor
Cerpen
Sang Penembus Dua Sisi
Janeeta Mz
Cerpen
Bronze
Pulang
Lisnawati
Cerpen
Bronze
Kena Batunya
Shinta Larasati Hardjono
Cerpen
Sugeng Ricuh
Siti Qoimah
Cerpen
Retak Dinding Rumah Petak
Duwi Rachmawati
Cerpen
Mencari Konsep Sabar
Dhawy Febrianti
Cerpen
Uang Saku
Muhammad Azmi Fahreza
Cerpen
Bronze
A Little Secret
Brilijae(⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧
Cerpen
Empat Babak Menuju Kenyamanan
lidhamaul
Cerpen
Janu Kara
rdsinta
Cerpen
Work for Home
Khairunnisa
Cerpen
Bernasib Seperti Socrates
Sayidina Ali
Cerpen
Bronze
Luka di Lutut Alberto & Kisah Monogusha Taro yang Ganjil
Galang Gelar Taqwa
Rekomendasi
Cerpen
Kepala Batu
Lusiana