Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Sejarah
Kepada Siapakah Berpijak?
0
Suka
221
Dibaca

“Aku sungguh tak menyangka seseorang seperti putra dari Kepala Pabrik Gula bersedia untuk bertemu dengan orang semacam ini.”

Edie tahu itu bukan pujian sama sekali. Dia memang tak merasa perlu untuk mengakui ini, tetapi banyak orang menganggapnya sebagai seorang pribumi yang berperan penting, aktif di masyarakat, dan selalu mendorong para pemuda untuk memperjuangkan tanah air. 

“Benar juga! Suatu kehormatan bagiku untuk bertemu Anda... Tuan yang terhormat, Komandan Batalyon Infanteri IX KNIL, Letnan Kolonel Julio Samuel de Capellen.”

“Oh! Kau memanggilku terlalu berlebihan. Lalu, apa itu artinya mungkin aku bisa memanggilmu Tuan Pengkhianat?”

Di balik itu semua, Edie adalah mantan petinggi termuda KNIL. Usianya sekarang 22 tahun dan telah meninggalkan pasukan prajurit Belanda sejak lama. “Memang benar bila pribumi dapat andil dalam pasukan KNIL, tetapi jabatan tertinggi yang dapat mereka duduki adalah letnan kolonel. Namun, orang ini... tercatat pernah menjadi seorang mayor jenderal.”

Edie sudah begitu marah dan kebetulan tamu mengejutkan tiba. Brigade Kavaleri VII Tentara Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Bukan kedatangan mereka yang mengejutkan, melainkan tujuannya.

Edie sudah merasakan ada yang tidak beres saat sempat melihat putri dari sang pemimpin brigade, Hanako Tadasaburo. "Tentara Angkatan Darat Kekaisaran Jepang menerima anggota dengan minimal usia tujuh belas tahun, sedangkan aku dua tahun lebih muda dari batasan itu. Aku berada di sini... adalah untuk bekerja dalam bayang-bayang, melakukan hal-hal kotor."

Pertempuran besar pecah hari itu, pasukan yang dibawa oleh Tadasaburo menyerang KNIL. Jepang berakhir mendapatkan kemenangan dan mengusir Belanda dari Purwoasri. Semua atas permintaan dari para pribumi. Sebagai gantinya, Nippon akan berkuasa selama 3,5 tahun.

Tepat saat durasi yang dijanjikan habis, putri dari sang pimpinan, kembali muncul. Bukan menemui Edie, melainkan salah seorang lelaki pribumi yang kerap muncul di dekatnya, Putra, anak dari Kepala Pabrik Gula—dan itu bukan pertanda baik sama sekali. 

"Jangan bilang, kalian... akan mengingkari janji?"

"Aku tak akan berterima kasih atas peringatanmu," pemuda lain tiba-tiba datang.

"Edie? Kau kembali?"

Tepat setelah pertempuran Jepang melawan Belanda dahulu, Edie tiba-tiba menghilang. "Aku sudah mencoba mengkhianati ketiga pihak dan mengkhianati tanah ini adalah yang paling buruk! Aku tak akan mengulanginya…."

"Kurasa... kau adalah orang yang bekerja untuk Brigjen Masahiro?"

"Kurasa kau adalah anak yang berada di bawah pihak Tentara Angkatan Darat Kekaisaran Jepang?"

Keduanya sama-sama orang yang membingungkan. Kemudian, Edie dengan begitu mudah melempar kalimat, “Kau sesungguhnya kawan dan lawan bagi siapa? Di mana kau berpijak? Ke mana kau memandang? Siapa yang berada di atas pundakmu? Siapa yang kau lindungi?" tanpa menyadari bahwa rentetan pertanyaan itu juga bisa dilempar kepada dirinya.

Hanako seketika melepas tembakan, mengenai lengan atas Edie. Lantas berlalu pergi. "Diamlah!"

Tepat setelah Edie meminta bantuan Putra untuk mengumpulkan pemuda dan bersiap di halaman Pabrik Gula Purwoasri, Masahiro Tadasaburo dan beberapa orang-orangnya datang—termasuk sang putri. Pertempuran pecah kembali hari itu. Kelompok kecil pribumi melawan sebuah kavaleri. Bila bukan karena kecerdasan—atau mungkin lebih tepat dikatakan licik—Edie, Jepang tak akan bisa didesak mundur.

Edie berlari berlari paling depan sepanjang pertempuran, dia mengincar sang brigadir jenderal, Masahiro. Menggunakan teknik dalam permainan catur, ketika sang raja mati, maka permainan selesai, tak peduli berapa banyak bidak yang masih tersisa di papan.

“Apa kau gila? Kau hampir terbunuh gara-gara peperangan nekat itu! Kuharap kau mendapat tembakan di kepala dan tetap tak sadarkan diri hingga sekarang! Dasar … aku tak tahu apa yang ada di otakmu…,” begitu celotehan Putra, tetapi Edie malah hanya tertawa.

Dua bulan telah berlalu dan beberapa sistem di Purwoasri mulai berubah. Edie memanfaatkan bekas tempat tinggal Pasukan Infanteri IX KNIL milik Capellen untuk menjadi markas Tentara Sukarela—para pemuda yang dikumpulkan dengan bantuan Putra waktu itu. “Marie yang memberikannya kepadaku setelah dia mengambil sebagian kecil untuk membuka toko roti.”

Marie, gadis seumuran Putra yang begitu terampil. Toko rotinya sangat produktif, bahkan dia meminta kiriman gula dari pabrik untuk selalu datang sesegera mungkin, termasuk saat mendekati tengah malam. “Putra, terima kasih atas kerja kerasnya.”

Edie juga berada di toko roti. Mereka kebetulan berkumpul dan di saat itu pula menyadari ada kotak-kotak kayu besar di depan toko. Putra bertanya-tanya dari mana itu berasal dan ternyata tak satu pun bisa menjawab. 

Keheningan yang seketika melanda, membuat udara dingin malam menjadi lebih menusuk, lebih lagi saat Edie tiba-tiba mengeluarkan senapan dan melepas tembakan ke arah trem yang dibawa oleh Putra beberapa menit lalu.

“Penyusup?”

Edie kembali waspada dengan kesal. “Melesetkah?”

“Tidak sama sekali.” Seorang gadis muncul dari dalam trem tersebut, mengejutkan semua orang. Topi baret yang dikenakannya berlubang terkena peluru. Dia pergi bersama pasukan milik Brigadir Masahiro saat Jepang didesak mundur dua bulan lalu, tetapi kini dia kembali kemari. Diam-diam.

“Kalian tak cukup dengan kami hanya memojokkan pasukan kavaleri itu? Menginginkanku untuk benar-benar sampai menghabisi si brigjen? Atau apa, kau hendak memperingatkan kami tentang kelicikan atau pengkhianatan Nippon lagi, seperti dulu? Apa-apaan kau ini, seorang pengantar pesan dari surga? Oh, tidak juga, kurasa tempatmu berasal itu lebih cocok disebut sebagai jurang gelap tanpa dasar.”

Hanako sudah benar-benar siap untuk berdebat dengan Edie, saat Marie membahas mengenai kotak-kotak di depan toko. Namun, sayangnya, itu bukan dari Hanako—tidak secara langsung.

“Katakan semuanya.” Edie tiba-tiba sangat serius.

Hanako tak begitu paham detailnya, tetapi dia tahu bahwa Jepang dendam kepada pribumi lantaran dikalahkan oleh Tentara Sukarela. Itulah mengapa, mereka menghasut KNIL dengan mengatakan bahwa orang-orang Belanda yang tersisa di Purwoasri, dijadikan budak oleh pribumi.

“Sebuah omong kosong yang bodoh!”

Semua terasa lucu, sampai Edie tiba-tiba mengambil sebuah bambu runcing dan menusuknya ke dalam salah satu kotak. Sesaat dia mungkin akan ditertawakan oleh Putra dan lainnya, tetapi tidak ketika darah mulai merembes keluar. Edie lantas membongkar kotak tersebut, lantas mendapati seseorang yang dikenalnya di sana.

“Letkol de Capellen?” Mereka terkejut.

“Aku pernah mendengar para petinggi KNIL membahas mengenai taktik penyusupan menggunakan kotak-kotak, tetapi aku tak terlalu peduli lantaran itu terdengar seperti rencana yang dungu.” Edie tertawa miris. “Siapa sangka mereka sungguh melakukannya sekarang.”

Pria itu lemas memegangi perut yang berdarah. “Informasi yang dimiliki oleh mantan petinggi termuda KNIL memang tak bisa diremehkan, ya….”

“Itu bukan sesuatu yang ingin kudengar darimu,” kata Edie kesal. “Sebuah kesalahan besar aku membiarkan mereka membahas rencana itu ketika masih menjadi petinggi. Lantas, sekarang, ketika telah menuai apa yang ditanam... saatnya bagiku untuk menebusnya.”

Edie mengambil minyak, menyiramkannya ke atas kotak-kotak lain, lalu melempar sebuah korek api yang menyala. Londo Ambon, itulah yang akan mereka hadapi. Pasukan khusus milik KNIL yang berisi orang-orang Ambon. Mereka datang untuk membebaskan warga Belanda dari perbudakan—sebuah tujuan yang sesungguhnya hampa. Meski hal itu terbukti fitnah, mereka nyatanya tak mau mundur. Mereka diperintahkan untuk keluar dari kotak pada pukul satu malam. Namun, karena situasi di luar dugaan, sebagian dari mereka keluar dari kotak terlebih dahulu sebelum Tentara Sukarela sempat membakarnya.

Edie langsung begitu marah. Pertempuran pecah kembali. “Hanako, bagaimana denganmu?”

“Apa? Aku sudah tidak ada hubungannya, bukan? Aku hanya datang untuk memberitahu—”

Peluru melesat dari salah satu Londo Ambon, melukai Hanako. Edie seketika makin geram bukan main. Dia terpaksa meminta gadis itu untuk berlindung di dalam toko bersama Marie, sedangkan Edie mengomando Tentara Sukarela.

Kali ini Tentara Sukarela unggul dalam hal jumlah, berbeda dengan pertempuran melawan Jepang dua bulan lalu. Namun, itu justru membuat mereka lengah. Cukup lama kemudian saat pribumi sudah mulai memiliki pasti untuk menang, Edie tiba-tiba telah dipojokkan, jatuh di tanah, dan dikunci oleh lawan sehingga tak dapat bergerak. Sementara senapan Londo Ambon itu mengarahkan senapan lurus kepalanya.

“Edie!” Para pemuda terdengar khawatir, pergerakan mereka menjadi menurun.

“Jangan! Jangan mundur!” teriak Edie.

Namun, mereka tak bisa mendengarkannya. Bila terjadi sesuatu kepada Edie, maka Tentara Sukarela akan berakhir—sama halnya seperti pertempuran sebelumnya. Mereka tak ingin kalah. Belanda akhirnya telah pergi dari Purwoasri, begitu pun Jepang. Londo Ambon seharusnya bukan siapa-siapa bagi mereka.

“Tidakkah kalian punya telinga, dasar dungu!” Edie berteriak sekuat tenaga, geram hingga ke puncak. “Ini perintah, yang terakhir… Tentara Sukarela, semua, maju!”

Satu tembakan tiba-tiba menggema kencang, kemudian menjadi hening. Dari semuanya, hanya satu pemuda yang cukup kuat melepas pelatuk, Putra, dari sebuah senapan yang direbut dari lawan. Tepat sasaran mengenai pimpinan Londo Ambon.

“Keputusan yang bodoh. Apa kalian lupa bahwa pimpinan kalian berada di tanganku? Bila tidak bisa menang, maka kami setidaknya tak akan memberikan kemenangan kepada siapa pun… termasuk kalian.” Londo Ambon menarik pelatuk senapan, cegitu cepat.

Di saat bersamaan, suara tembakan lain terdengar—suaranya sedikit berbeda dari yang lain. Hanako berdiri di ambang pintu toko dengan pundak diperban, dia mengangkat senapan dengan kesakitan dan kesulitan, mengarah lurus ke lengan si pria Londo Ambon sehingga pelurunya meleset dari kepala Edie. “Ya Tuhan, syukurlah....” Hanako menjatuhkan senapan tanpa tenaga.

Tak ingin kehilangan kesempatan, Putra menghabisi pria itu sekalian. Dengan demikian, pertempuran berakhir. Sorak-sorak merdeka menggema dari para pemuda, begitu kencang seakan-akan tak ada hari esok untuk merayakannya.

Mendengar mereka yang terdengar begitu terbebas, Edie menghela napas lega. Dia kemudian menoleh belakang, kepada Hanako, dengan sebuah senyuman tipis, tetapi begitu bangga.

Hanako masih berada di ambang pintu toko. Napasnya masih tersengal, dia memandang para pemuda di sekitar tanpa tahu harus bereaksi seperti apa. Kemudian, beralih kepada Edie, dengan tatapan yang seolah-olah meminta petunjuk.

Edie spontan sedikit tertawa. “Hanako…. Kau tahu, peperangan bukanlah tentang siapa dirimu dilahirkan sebagai, melainkan tentang siapa yang ingin kau lindungi. Kau anak yang baik, Hanako, tak ada salahnya untuk kabur ketika tempat asalnya tak lagi nyaman.”

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Sejarah
Cerpen
Kepada Siapakah Berpijak?
Adinda Amalia
Flash
Surat dari Batavia ke Soerabaya
Lentera jingga
Novel
Dahlia Merah di Penghujung Abad
tuhu
Novel
Mawar Derana, Arum Lara
Anisha Dayu
Novel
Hujung Tanah
Nikodemus Yudho Sulistyo
Novel
Bronze
PERMAISURI PARK
Nurul Adiyanti
Novel
General Kyy: Legend of War and Peace
Rizky Yahya
Novel
Gold
Inilah Jalan Hijrahku
Mizan Publishing
Flash
A Bittersweet Reminder
Hendra Purnama
Novel
KITAB BUMI LANGIT
Ade Imam Julipar
Novel
Gold
From Zero to Zero
Noura Publishing
Cerpen
Sunan Drajat
Mahmud
Novel
RAJAWALI ORDER
Vitri Dwi Mantik
Cerpen
Henkjan & Hantu Pabrik Gula (1)
𝔧 𝔞 𝔫 𝔱 𝔢 .
Novel
Bronze
Lilin yang Patah
Gia Yaquni
Rekomendasi
Cerpen
Kepada Siapakah Berpijak?
Adinda Amalia
Novel
Orca and The Flower Ice
Adinda Amalia
Cerpen
Firefly: Final Ver.
Adinda Amalia
Cerpen
Adalah Suatu Kehormatan
Adinda Amalia
Cerpen
Outlook
Adinda Amalia
Cerpen
Ubur-ubur Mundur
Adinda Amalia
Cerpen
One Time Whisper
Adinda Amalia
Novel
Tuan Lori
Adinda Amalia
Flash
Akuarium Air Laut
Adinda Amalia
Cerpen
Sakurawisher
Adinda Amalia
Cerpen
Anak Siapa Ini?
Adinda Amalia
Cerpen
Wonder Blossom
Adinda Amalia
Cerpen
Avocado Party
Adinda Amalia
Cerpen
Delution Memories
Adinda Amalia
Cerpen
Bombastik
Adinda Amalia