Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Horor
Kendhat
2
Suka
1,346
Dibaca

Desa Mangunsari, tahun 1990.

Fajar malu-malu mengintip dari balik peraduannya. Cahaya pagi mengusap lembut permukaan bumi yang terlelap. Butir-butir embun bergelayut manja di ujung daun pisang dan ilalang, seakan enggan berpisah dari kesejukan malam yang baru saja pamit. Suara burung prenjak mulai menyeruak sebagai pertanda kehidupan yang perlahan kembali menggeliat.

Dari kejauhan, tepat di arah barat desa yang masih diselimuti silir dingin pagi, terdengar derap langkah yang tergesa. Gemeretak ranting kering yang terinjak memecah kesunyian. Seorang pria muncul dari balik barisan pohon jati. Napasnya memburu seiring tubuhnya yang tergopoh-gopoh. Kain sarung kotak-kotaknya melambai kacau, nyaris terinjak langkahnya sendiri yang tidak beraturan.

Kendhat … kendhat .…” serunya lantang. “Pak Karman … Pak Karman .…” Kali ini lebih mendesak, seperti jeritan yang dicengkeram kecemasan.

Pintu rumah kayu itu terbuka perlahan, engselnya berderit lirih. Aroma tembakau dan sisa dupa semalam menyusup keluar bersamaan dengan sosok pria paruh baya yang melangkah ke ambang pintu. Ia mengenakan kopiah hitam yang agak pudar warnanya, bersarung batik sogan, dan kaus oblong yang sudah melar.

Pak Karman—kepala Desa Mangunsari yang telah menjabat hampir dua windu—mengucek matanya sejenak. Kantuk yang menggantung di pelupuknya langsung tergantikan oleh rasa heran ketika melihat Ngatijo berdiri terengah-engah di serambi. “Ada apa, Jo? Pagi-pagi begini kok sudah ribut. Sepeda anakmu hilang lagi?” tanyanya sambil menguap kecil.

Ngatijo menggeleng cepat. “Bukan, Pak. Bukan soal itu. Ini … ini soal Wiryo, Pak.”

Pak Karman mengerutkan kening. “Kenapa dengan Wiryo?”

Ngatijo menelan ludah. “Dia … kendhat, Pak. Wiryo gantung diri. Saya menemukan jenazahnya barusan di bale,” ucapnya dengan suara bergetar.

Wajah Pak Karman menegang. “Kendhat? Maksudmu bagaimana? Bicara yang jelas, Jo. Jangan gedabrus!”

Ngatijo menghela napas panjang. Ia mencoba menenangkan diri. “Saya menemukan dia sudah tergantung, Pak. Tidak bergerak sedikit pun. Tubuhnya dingin. Saya sentuh … dingin sekali, sepertinya sudah lama.”

Sekejap saja, dunia di sekitar Pak Karman dibungkam oleh sesuatu yang tidak tampak. Suasana mendadak sunyi. Embusan angin tipis menyelinap di antara celah dedaunan pisang, menggesek permukaannya bagaikan tangan gaib yang ingin menyibak tabir rahasia. Suara itu menjadi satu-satunya nyanyian yang tersisa.

Pak Karman tersentak dari lamunannya. Tanpa banyak tanya, ia segera berbalik masuk ke dalam rumah. Langkahnya mantap, meskipun sedikit tergesa. Dari sudut ruang tengah, ia mengambil tongkat kayu jati yang biasa ia pakai setiap kali ke ladang atau ronda malam hari.

Seraya melangkah keluar lagi ke serambi, tongkat kayu yang digenggam Pak Karman menjejak di lantai papan yang mulai termakan usia. Ia menoleh pada Ngatijo. “Jo, kamu sudah beri tahu Mbah Sarmin?”

“Belum, Pak. Menurut saya lebih baik lapor ke panjenengan dahulu. Soalnya ini bukan kejadian biasa, Pak. Orang yang meninggal di bale tidak bisa dianggap enteng,” jawab Ngatijo.

Pak Karman mengangguk. “Baiklah. Kamu ikut aku sekarang. Tetapi, ingat Jo .… Jangan sampai kamu membuat keributan. Jangan bicara pada siapa-siapa dahulu. Semua harus ditangani dengan tenang. Ini sudah menjadi tanggung jawabku.”

Ngatijo menunduk hormat. Tangannya mengepal di sisi tubuh. “Saya paham, Pak. Saya ikut apa kata panjenengan.”

Mereka akhirnya berjalan menyusuri pematang jalan tanah menuju bale. Di sepanjang jalan, dedaunan yang basah menyentuh bahu dan lengan mereka, tetapi tidak satu pun dari keduanya menggubris. Sesekali, Ngatijo melirik Pak Karman dari samping. Kening kepala desa itu berkerut samar, tampak jelas beban yang tengah ia pikul sekarang.

***

Sesampainya di bale, aroma anyir tikar pandan menyambut langkah mereka. Udara di dalam ruangan terasa ganjil. Hawa dingin bukan berasal dari cuaca, melainkan dari sesuatu yang tidak kasat mata. Lampu teplok menggantung di salah satu sudut hanya bisa memberi cahaya kuning redup, cukup untuk memperlihatkan apa yang tergeletak di tengah ruangan.

Jasad Wiryo sudah diturunkan. Tubuhnya terbujur kaku di atas tikar pandan yang usang dan agak mengerut. Wiryo—pria yang selama ini dikenal ramah dan suka menyapa siapa pun yang lewat depan rumahnya—kini terbaring membisu. Kepalanya menengadah dan matanya terbuka tidak berkedip.

Tanpa jejak yang kentara, rupanya Mbah Sarmin telah tiba di bale sejak tadi. Ia seolah tahu lebih awal atau barangkali dipanggil oleh sesuatu yang tidak terucapkan manusia. Ia duduk bersila di sisi jenazah Wiryo. Tangan kanannya menggenggam erat untaian tasbih kayu cendana. Butiran tasbih itu bergerak mengikuti irama zikir yang tidak terdengar.

Pak Karman memberanikan diri untuk melangkah mendekat. Ia berjongkok di samping jenazah lalu menyentuh pergelangan tangan Wiryo dengan ujung jari. Tidak ada denyut. Dingin. Sedingin embun yang dipetik dari ujung malam. “Innalillahi Gusti .…” bisiknya lirih.

Ngatijo berdiri tidak jauh dari sana. Ia memegangi dadanya yang terus berdegup kencang. “Saya menemukan Wiryo sekitar jam lima kurang, Pak. Waktu itu saya mau mematikan lampu teplok di pojokan bale. Saya lihat ada tali panjang menjulur dari balok kayu di atas. Awalnya saya kira cuma tambang bekas perlengkapan karawitan, tetapi kok ada bayangan tubuh seseorang. Pas saya dekati … ternyata itu Wiryo.”

Pak Karman mengangguk paham setelah mendengar penjelasan dari Ngatijo. Kemudian, ia berdiri sambil mengusap kedua telapak tangan di kain sarungnya. “Musim rendheng memang kerap datang membawa kabar. Entah mengapa, kabar itu sering berupa duka.” Pandangannya beralih ke arah Mbah Sarmin. “Ini bagaimana, Mbah? Panjenengan lebih mengerti tanda-tandanya.”

Mbah Sarmin mengembuskan napas panjang. Ia berusaha menyusun kata dari kepingan firasat yang belum sepenuhnya terang. “Aku tidak bisa berkata banyak, Kar,” ujarnya dengan suara berat. “Wong ninggal neng bale, posisi kaya ngono kuwi ora lumrah.

Suasana menjadi semakin pekat. Tiba-tiba, dari sisi ruangan, suara Ngatijo menyela percakapan. “Pak, sebenarnya seminggu yang lalu, Wiryo sempat cerita pada saya. Dia menemukan semacam surat di lumbung. Sejak saat itu, dia mulai terlihat gelisah. Dia juga bilang sering mimpi yang aneh-aneh.”

Pak Karman menoleh tajam. Alisnya ikut mengernyit. “Kenapa kamu baru cerita sekarang, Jo?”

Kepala Ngatijo refleks menunduk. “Saya pikir itu tidak ada kaitannya dengan kematian Wiryo, Pak.” Nadanya merendah. “Jadi, saya tidak cerita ke siapa pun. Takutnya cuma dianggap kebetulan biasa.”

Pak Karman terdiam. Rahangnya mengeras. Ia berusaha untuk tidak melontarkan sumpah serapah. Dalam kepalanya, potongan-potongan peristiwa yang semula bercerai-berai mulai bergerak mencari tempatnya sendiri. Surat misterius, mimpi-mimpi yang aneh, gelagat Wiryo yang berubah, hingga kematian Wiryo di bale. Ada kemungkinan bahwa semua hal tersebut saling berkaitan.

“Kita harus waspada, Kar. Orang yang meninggal karena kendhat, biasanya arwahnya belum menemukan jalan pulang. Dan kamu tahu sendiri, bale ini sudah bertahun-tahun sunyi. Tidak pernah lagi merenggut nyawa warga Desa Mangunsari,” kata Mbah Sarmin.

Pak Karman menatap ke arah tubuh tidak bernyawa yang terbujur di atas tikar pandan. Ia bisa merasakan jejak-jejak masa lalu menyeruak kembali. Kenangan itu mengetuk pintu yang selama ini ia paksa tetap tertutup. “Kalau begitu, malam nanti kita kumpulkan para sesepuh dan perangkat desa. Kita harus rembukan. Ini bukan perkara yang bisa dibiarkan mengambang.”

***

Kabar tentang kematian Wiryo menjalar cepat seperti kilat yang membelah langit. Bahkan, angin pun tidak kuasa membendung berita itu. Dari satu bibir ke telinga lainnya, kabar duka melesat, berubah dari sekadar bisikan pelan menjadi desas-desus kecemasan. Wajah-wajah warga memucat. Mata mereka saling mencari jawaban dalam diam yang menyesakkan.

Bagaimana para warga tidak takut? Lokasi penemuan jenazah Wiryo bukan sembarang tempat. Ia ditemukan di dalam bangunan tua yang sudah lama dikosongkan. Tempat itu dulunya merupakan balai desa, tetapi tidak ada lagi yang menyebutnya demikian. Para warga Desa Mangunsari mengganti namanya menjadi Bale Peteng.

Bale itu berdiri menyendiri di ujung barat desa, tepat di bawah rumpun pohon bambu. Tidak satu pun warga berani menyentuh pintunya, kecuali jika ada alasan yang benar-benar mendesak. Bale Peteng menjelma menjadi ruang kosong yang sarat akan luka lama. Kenangan kelam yang melekat di sana terus membekas di benak warga Desa Mangunsari.

Konon, tiga belas tahun silam, seorang perempuan muda ditemukan tewas di tengah ruangan. Tubuhnya menggantung tenang, seakan tidur dalam kegelapan abadi. Tidak ditemukan sepucuk surat wasiat. Hanya meninggalkan sisa bau dupa dan secarik kertas yang ujung-ujungnya hangus terbakar. Tulisan yang bisa dibaca dari kertas hangus itu terdiri dari dua baris:

Sugeng tindakanku.

Aja nyusul.

Pasca peristiwa tragis itu, satu demi satu nyawa warga Desa Mangunsari melayang dengan cara yang sama. Kepala desa memutuskan agar Bale Peteng dikunci rapat dan diberi sajen setiap malam Selasa Kliwon. Namun, sebagaimana ruang-ruang yang disentuh oleh entitas gaib, tidak ada gembok yang mampu menghalangi apa yang ingin tetap tinggal di sana.

Pak Karman menghela napas berat. Matanya menerawang sejenak sebelum akhirnya menyeruput pelan kopi hitam dari cangkir seng yang telah kehilangan separuh warnanya. Suara seruputnya menggema lirih di tengah pendapa, menyatu dengan detak malam yang membawa serta udara dingin bekas hujan sore tadi.

“Pertama-tama, saya ucapkan terima kasih kepada panjenengan semua yang sudah meluangkan waktu untuk hadir malam ini,” ucap Pak Karman membuka pembicaraan. “Seperti yang sudah saya sampaikan melalui Pak Ngatijo, pertemuan malam ini digelar untuk membahas kabar duka yang menimpa kita bersama. Ini terkait meninggalnya Pak Wiryo.”

Malam itu, pendapa rumah Pak Karman diterangi cahaya lampu teplok yang menggantung dari tiang kayu. Nyala temaramnya menciptakan bayang-bayang yang menari di wajah-wajah para hadirin. Sesepuh dan perangkat desa duduk bersila dengan tenang. Beberapa dari mereka mengenakan kain lurik. Sebagian lainnya bersarung dengan kepala dibalut udeng warna hitam.

“Saya tidak ingin membuat kalian panik, tetapi saya juga tidak bisa menutup mata. Jenazah Pak Wiryo ditemukan di Bale Peteng. Tempat yang selama ini kita jauhi karena sejarahnya yang belum selesai,” lanjut Pak Karman.

“Saya ngaturaken maaf, Pak Karman,” ujar Pak Kadus. Tangannya mengusap peluh yang menetes membasahi pelipis. “Saya merasa ini bukan sekadar perkara orang meninggal karena kendhat. Rasanya ... segel Bale Peteng terbuka lagi.”

Pak Karman menatap lurus ke cangkir kopinya yang mulai mendingin lalu ia mengangguk setuju. “Betul, Pak Kadus. Kejadian ini mengingatkan kita pada masa lalu.”

Mbah Sarmin yang duduk di samping Pak Karman, memejamkan matanya sesaat. Ia mencoba membaca getaran malam yang merapat di sudut pendapa. “Orang yang kendhat di Bale Peteng pasti ada bagian dari jiwanya yang masih tertahan. Bale itu adalah lawang gaib. Pintu yang memisahkan antara sekala dan niskala. Yen dibuka utawa ditutup tanpa restu, bisa jeblug.

“Lalu, apa yang harus kita lakukan, Mbah?” tanya Pak Karman serius. “Para warga banyak yang mulai resah.”

“Kita gelar ritual Tepas Jagad. Malam Selasa Kliwon, dua hari lagi. Di sana, tepat di tengah ruangan Bale Peteng. Harus ada juru sajian, pembaca doa, dan penjaga tapal batas. Kita akan meruwat, ngajeni, dan nutup lawang yang sudah terlalu lama dibiarkan terbuka,” jawab Mbah Sarmin tanpa ragu.

Pak Dukuh mengangkat wajahnya. Ia menimpali, “Apa tidak terlalu berisiko, Mbah?”

“Risiko tentu tetap ada, Dukuh,” ucap Mbah Sarmin. “Tetapi, justru lebih berbahaya kalau dibiarkan begitu saja. Sebab yang belum rampung akan terus mencari jalan.”

Pak Karman menyandarkan punggung ke tiang pendapa. Ia mengedarkan pandangannya ke arah para hadirin satu per satu. “Baiklah. Kita siapkan perlengkapan untuk Tepas Jagad. Segel yang terbuka itu kita tutup bersama dengan kepala dingin dan hati yang bersih.”

Para sesepuh saling bertukar pandang setelah mendengar keputusan final dari kepala desa. Mereka tidak merespons sepatah kata pun. Namun, mereka diam-diam sepakat dalam batin. Angin malam yang berembus dari arah ladang belakang menutup pertemuan malam itu. Di antara cangkir-cangkir kopi pahit yang nyaris kosong, rencana telah dimulai.

***

Hari berganti dengan langkah berat, membawa Desa Mangunsari menuju malam pelaksanaan ritual Tepas Jagad. Langit mendung sedari pagi, seolah tahu bahwa bumi akan membuka pintunya pada sesuatu yang tidak kasat mata. Bau tanah basah dan aroma kemenyan samar-samar membelai indra penciuman.

Sekitar pukul sebelas malam, para sesepuh dan perangkat desa tiba di pendapa rumah Pak Karman. Di tengah pendapa, sajen utama telah tertata rapi di atas tampah pandan: bunga tujuh rupa, ayam ingkung, kendi berisi air jernih, telur rebus, semangkuk bubur sengkolo, dan segenggam kemenyan yang terbungkus kain mori. Tidak lupa, sebuah payung putih kecil sebagai simbol permohonan agar mendapat perlindungan dari jagad atas.

Pak Karman berjalan mondar-mandir sambil mengecek kelengkapan. “Jangan sampai ada yang kurang. Semua sajen untuk ritual Tepas Jagad harus lengkap sebelum kita bawa ke bale,” ujarnya tegas.

Mbah Sarmin duduk bersila di tikar. Ia menatap sajen dengan mata teduh. “Bale Peteng terlalu lama dibiarkan kosong. Kalau bisa, kita tuntaskan malam ini juga.”

Tanpa diduga, langkah tergesa memecah ketenangan. Ngatijo datang berlari tergopoh-gopoh dari arah halaman. Napasnya memburu dan wajahnya pucat diterpa cahaya lampu teplok. “Pak! Mbah! Bu Marni kesurupan di bale.”

Tubuh Pak Karman sedikit tersentak. Wajahnya penuh keterkejutan. “Apa kamu bilang?! Kapan kesurupannya?”

“Barusan, Pak! Saya tadi mau menyalakan lampu teplok di dalam bale. Tiba-tiba terdengar suara tangisan. Begitu saya masuk, Bu Marni ada di sana. Duduk di tengah ruangan. Menangis sambil menggenggam tali tambang,” jawab Ngatijo.

Mbah Sarmin menatap langit malam. “Lingsir wengi. Waktu di mana batas antara dunia kita dan dunia mereka setipis benang basah. Jika arwah yang belum tenang memanggil, suara tangis adalah undangannya. Ayo kita segera ke bale!”

Mereka bergegas menuju Bale Peteng dengan diterangi obor. Suasana di bale sangat mencekam. Marni duduk di tengah ruangan, matanya nanar, dan tubuhnya menggigil. Tali tambang tergeletak di dekatnya. Dari mulutnya terdengar gumaman tidak beraturan, campuran tangisan dan kata-kata yang tidak bisa dimengerti.

“Marni .…” panggil Mbah Sarmin. “Siapa yang membiarkanmu masuk ke sini?”

Tubuh Marni mendadak menegang. Ketika ia membuka mulut, suaranya berubah menjadi serak. “Bukan kemauan dia .… Aku yang mengundangnya.”

Pak Karman menyentuh bahu Marni. “Siapa kamu sebenarnya?”

Perlahan, kepala Marni terangkat. Wajahnya mendekat ke arah cahaya temaram. Ia menyeringai tipis. “Aku datang karena kalian membiarkan ruang kosong itu tercipta. Aku mengisinya saat kalian tidak mampu menjaganya.”

Kepala Mbah Sarmin setengah menunduk. Ia memberi penghormatan kepada arwah yang sedang bersemayam di tubuh Marni. “Kami akan mengantarkanmu ke lawang gaib.”

Mata Marni berkedip beberapa kali. Suara seraknya mulai memudar, ditarik oleh angin untuk kembali ke sarangnya. Tubuh Marni lunglai lalu jatuh ke pelukan Ngatijo yang sigap menangkapnya. Tangis lirih masih keluar dari bibirnya, meskipun ia sudah sepenuhnya sadar.

Sehabis menenangkan Marni, prosesi dimulai tepat pukul satu dini hari saat lingsir wengi memeluk bumi. Semua yang hadir diam. Tidak satu pun suara terdengar selain detak jantung dan helaan napas. Ritual Tepas Jagad dibuka dengan hening yang mendalam.

Mbah Sarmin menegakkan punggungnya. Ia melantunkan Kidung Pamuksa. Suaranya meresap ke setiap sudut ruangan. Lantunan itu membangunkan sesuatu yang tidur di balik tirai niskala. “Bunga kanggo katresnan, kemenyan kanggo dalan, ingkung kanggo pamuji, bubur kanggo ngresiki, banyu kanggo urip, lan endhog kanggo putaran.

Asap kemenyan melambung naik. Jelaganya menggulung bagaikan ular yang menari menggapai langit-langit bale. Seketika tercium wangi bunga yang sangat pekat. Saat itulah, angin dingin menyusup ke dalam ruangan, hingga mengibas sajen dan membuat api lampu teplok berkeredep.

“Ada yang datang .…” bisik Pak Kadus.

Salam rahayu, wahai cucu-cucu pewaris semesta ini. Akulah leluhur yang senantiasa menjaga dan menopang kelestarian tanah kelahiranmu.” Sontak semua mata menoleh ke belakang pada sosok Marni yang duduk bersimpuh. Kepalanya tertunduk. Suaranya pun merendah, menandakan bahwa bukan lagi Marni yang berbicara.

Mbah Sarmin menunduk hormat. Tangannya disatukan di depan dada. “Sugeng rawuh, Sang Kinasih.”

Entitas yang merasuk dalam tubuh Marni tersenyum kecil. Ia berucap, “Kalian sudah salah kaprah, menganggap ruang kosong ini sebagai tempat yang mendatangkan malapetaka. Padahal, mereka yang memilih kendhat … melakukannya karena kehendaknya sendiri. Ruang ini hanyalah saksi, bukan sebab.”

Beberapa sesepuh saling melempar pandang. Tatapan mereka dipenuhi kebingungan. Kerutan halus di dahi mereka mengungkapkan beratnya pikiran yang berkecamuk. Mereka sedang menyusun potongan-potongan kenyataan yang baru saja terungkap.

Tidak berselang lama, leluhur itu melanjutkan, “Pernahkah kalian memikirkan, kekosongan macam apa yang paling menakutkan? Bukan ruang kosong, bukan juga bangunan tidak berpenghuni .… Tetapi, kekosongan yang bersarang di benak manusia. Ruang sunyi dalam pikiran yang dibiarkan tanpa cahaya dan pegangan.”

Pak Karman menelan ludah. “Pikiran ... kosong?”

Leluhur itu mengangguk pelan melalui tubuh Marni. “Ketika pikiran dibiarkan kosong, energi gelap akan datang mengisinya. Ia menciptakan perasaan putus asa, marah, kecewa, bahkan keinginan untuk mengakhiri segalanya. Seperti ruang kosong yang tidak dijaga, pikiran kosong bisa memanggil bisikan gelap untuk tinggal.”

Pak Kadus menghela napas. Wajahnya terlihat muram. “Berarti ... semua ini bukan salah dari tempatnya.”

“Betul. Ini tentang jiwa-jiwa yang hilang, yang tidak disapa, tidak diajak bicara, dan tidak diberi harapan. Bale Peteng hanya menjadi cermin dari hati yang terluka.” Leluhur itu terdiam sesaat. Udara di dalam ruangan membeku. “Malam ini ... waktunya telah tiba. Mereka yang tertahan bisa pergi ke terang.”

Mbah Sarmin mengangguk paham. Ia berdiri dan menegakkan payung putih kecil di tengah ruangan. “Ini perlindungan kalian. Payung putih, simbol penjagaan dari jagad atas. Kalian telah diterima dan dibantu untuk menemukan jalan pulang. Lawang gaib kini ditutup. Cukup sudah perjalanan kalian di dunia ini. Carilah cahaya, bukan kegelapan. Beristirahatlah dengan tenang. Mugi tansah pinaringan rahayu. Amin.”

Ketika kalimat itu keluar dari mulut Mbah Sarmin, angin yang sejak tadi berembus pelan tiba-tiba berhenti. Asap sajen yang menguar mulai menghilang, perlahan larut bersama hawa dingin yang menusuk. Api lampu teplok kembali stabil. Cahaya kuningnya berpendar lembut mengiringi kepergian mereka yang telah mendapatkan izin dari kekuatan yang lebih besar.

Pak Karman menatap ke sekeliling lalu beralih pada para sesepuh yang menunduk dalam kelegaan. “Sudah rampung. Yang terbuka, kini tertutup. Yang bergolak, kini tenang.”

Tidak ada riuh tepuk tangan. Hanya keheningan dan satu tarikan napas panjang dari semua yang hadir. Mereka baru saja melepas beban yang menggantung di pundak desa. Dan saat itulah, dari arah belakang bale terdengar kokok ayam pertama. Suaranya menyentuh tulang-tulang subuh. Malam beranjak pergi. Lawang gaib berhasil ditutup dengan damai.

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Horor
Cerpen
Bronze
Jalan Buntu 404
Christian Shonda Benyamin
Cerpen
Kendhat
Allamanda Cathartica
Flash
Nanti di Kubur Ya!
Syashi Ammar
Novel
ZOMBI DAN MEREKA YANG TAK BISA MATI
Meliana
Cerpen
Bronze
Di Balik Layar
Johanes Gurning
Cerpen
Bronze
Panggilan 000
Christian Shonda Benyamin
Flash
Rahasia Karim
Listian Nova
Cerpen
Bronze
Rumah Belanda
NUR FARKAN
Cerpen
Bronze
ZERO O'CLOCK
Nurul Adiyanti
Cerpen
Bronze
Demit Berambut Api
Sulistiyo Suparno
Cerpen
Bronze
Ketika Malam Itu
Nabilla Shafira
Cerpen
Bronze
Joni
Xavier Benedick
Flash
Ih gelapp
Hanan Rafidah
Flash
Suara Hati
Yitro
Flash
Sate Daging
Arlindya Sari
Rekomendasi
Cerpen
Kendhat
Allamanda Cathartica
Flash
Tamu Tak Diundang
Allamanda Cathartica
Cerpen
Bronze
Annelise van Dijk
Allamanda Cathartica
Flash
Sesajen
Allamanda Cathartica
Flash
Refleksi Terakhir
Allamanda Cathartica
Flash
Kepala di Bawah Tempat Tidur
Allamanda Cathartica
Flash
Nyai Sendang Larangan
Allamanda Cathartica
Cerpen
Bronze
Luca Matthijs van der Zee
Allamanda Cathartica
Flash
Kasus 99
Allamanda Cathartica
Flash
Labirin Bawah Tanah
Allamanda Cathartica
Flash
Penyusup di Rumah Sakit
Allamanda Cathartica
Flash
Sandiwara Berdarah
Allamanda Cathartica
Flash
Bayangan Kasus 99
Allamanda Cathartica
Flash
Suara dari Masa Lalu
Allamanda Cathartica
Novel
Siluet Kematian
Allamanda Cathartica