Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Romantis
Kenapa Dia tak Pernah Datang?
4
Suka
1,166
Dibaca

Mentari pagi merayap malu di balik tirai kamarku, namun sinarnya tak mampu mengalahkan kehangatan notifikasi di ponsel. Sebuah pesan singkat dari seorang pria yang baru beberapa kali berpapasan denganku. “Hai, wanita cantik yang selalu membuat pagiku lebih cerah.”

Pipiku terasa menghangat. Pujian sederhana itu entah mengapa berhasil menggelitik sesuatu dalam diriku. Di tengah hiruk pikuk media sosial yang penuh dengan filter dan kepalsuan, sapaan lugas itu terasa seperti setetes embun di gurun pasir. Aku membalasnya dengan senyum virtual.

Namanya Wahyu. Ia memiliki tatapan teduh dan senyum yang—aku akui—membuat jantungku berdebar sedikit lebih kencang. Ia sering menyapa di lorong kampus, melontarkan pujian-pujian ringan namun efektif. “Gaunmu hari ini serasi sekali dengan binar matamu,” atau “Diskusi tadi sangat menarik, apalagi saat kamu menyampaikan pendapatmu yang cerdas.” Aku, yang selama ini merasa biasa-biasa saja, mulai merasa ada yang berbeda. Ada seseorang yang melihatku, benar-benar melihatku.

Namun, ada satu sosok yang selalu mengawasi interaksiku dengan Wahyu: Kevin. Sahabat lamaku sejak bangku SMA. Kevin selalu memiliki radar aneh terhadap orang-orang di sekitarku. Kali ini, radarnya berbunyi nyaring.

“Ada yang aneh dengan Wahyu itu,” ujarnya suatu sore saat kami sedang menikmati kopi di kantin kampus. Nada suaranya datar, namun matanya menyimpan kekhawatiran.

“Aneh kenapa? Dia baik kok,” jawabku membela, sedikit terusik dengan nada curiga Kevin.

“Terlalu baik malah. Terlalu cepat akrab, terlalu mudah memuji. Aku pernah melihat tatapan seperti itu sebelumnya. Tatapan seorang yang sedang bermain-main.”

Aku mengernyit. “Kamu terlalu sinis, Kevin. Mungkin dia memang orang yang ramah.”

Kevin menghela napas. “Ramah itu beda dengan tebar pesona tanpa tujuan yang jelas. Aku mengamatinya, kamu tahu? Dia sering mengajak ngobrol banyak wanita, melontarkan rayuan-rayuan gombal yang mirip. Tapi coba perhatikan, apakah dia benar-benar menindaklanjuti ajakannya?”

Aku terdiam, mencoba mengingat interaksiku dengan Wahyu. Ia memang sering mengajak bertemu, entah untuk sekadar minum kopi atau membahas buku. Namun, setiap kali mendekati hari-H, selalu ada alasan mendadak yang membuatnya batal. “Ada urusan keluarga mendadak,” atau “Harus membantu teman yang sedang kesulitan.” Awalnya, aku tidak curiga. Tapi setelah ucapan Kevin, keraguan mulai menyelinap.

“Mungkin dia memang sibuk,” ujarku, mencoba mempertahankan keyakinan.

“Sibuk yang selalu mendadak? Sibuk yang tidak pernah bisa dijadwalkan ulang? Coba perhatikan interaksinya dengan wanita lain,” desak Kevin. “Besok pagi dia biasanya jogging di sekitar danau dekat kampus. Mari kita lewat sana ‘tidak sengaja’. Perhatikan bagaimana ia berinteraksi. Aku yakin kamu akan melihat polanya.”

Keesokan paginya, dengan sedikit enggan, aku menemani Kevin berjalan-jalan di sekitar danau. Matahari baru saja terbit, memantulkan cahaya keemasan di permukaan air. Tak lama, sosok Wahyu terlihat sedang berlari santai. Benar kata Kevin, ia menyapa beberapa wanita yang juga sedang berolahraga, melontarkan senyum dan sapaan singkat yang manis. Aku melihat seorang gadis bersepeda yang wajahnya merona setelah Wahyu mengatakan sesuatu sambil berlalu.

“Lihat?” bisik Kevin. “Dia melakukan itu pada semua orang. Menebar jala tanpa benar-benar berniat menangkap.”

Perasaanku bercampur aduk. Ada sedikit rasa kecewa, tapi juga rasa penasaran yang lebih besar. Mengapa Wahyu melakukan itu? Apa tujuannya?

Beberapa hari kemudian, Kevin mengajakku makan malam di sebuah kedai ramen favorit kami. “Aku punya sesuatu untukmu,” katanya sambil menyodorkan sebuah buku catatan kecil.

“Apa ini?” tanyaku heran.

“Aku tidak sengaja melihat ini terjatuh dari tas Wahyu kemarin di perpustakaan. Aku membukanya sedikit… dan isinya cukup mengejutkan.”

Dengan ragu, aku membuka catatan itu. Tulisan tangan Wahyu memenuhi halaman-halaman tersebut. Namun, isinya bukan catatan kuliah atau daftar belanja. Itu adalah sketsa karakter, dialog-dialog romantis, dan deskripsi detail tentang berbagai tipe wanita. Di salah satu halaman, ada coretan yang membuat hatiku mencelos: “Target minggu ini: gadis manis dengan tatapan polos. Pujian tentang kecantikannya selalu berhasil.”

Di halaman lain, ada draf percakapan yang persis seperti yang pernah Wahyu ucapkan padaku. Pujian tentang gaun, tentang kecerdasan saat diskusi. Semua terasa seperti skenario yang telah ditulis sebelumnya.

“Dia… dia mempermainkanku?” tanyaku lirih, rasa malu dan marah bercampur menjadi satu.

Kevin mengangguk pelan. “Sepertinya begitu. Ada bagian di catatan ini yang menyebutkan tentang riset karakter untuk novelnya. Dia sepertinya menggunakan interaksi dengan kalian para wanita sebagai bahan tulisan.”

Aku terdiam, mencerna kenyataan pahit ini. Semua pujian, semua sapaan manis, ternyata hanyalah bagian dari sebuah eksperimen, sebuah riset untuk karakter fiksi. Aku merasa bodoh, naif karena telah terbuai oleh kata-kata kosong.

Namun, ada satu hal yang membuatku semakin bingung. Di beberapa bagian catatan itu, terselip keraguan dan ketakutan Wahyu. “Aku takut… jika aku benar-benar bertemu mereka, batasan itu akan kabur,” tulisnya di satu bagian. Di bagian lain, “Dosa… aku tidak ingin menyakiti hati siapapun, tapi kata-kata ini terus mengalir.”

Kevin kemudian menjelaskan apa yang ia ketahui lebih lanjut. Ternyata, Wahyu adalah seorang pemuda yang cukup religius. Ia memiliki ketakutan besar untuk melanggar norma agama, terutama dalam hal berinteraksi dengan wanita. Namun, di sisi lain, ia memiliki ambisi besar untuk menjadi seorang penulis novel romantis yang sukses. Konflik inilah yang membuatnya terjebak dalam permainan aneh ini: menggoda dan merayu, namun selalu menghindar dari pertemuan yang sebenarnya. Ia menggunakan interaksi virtual dan sapaan singkat sebagai bahan bakar imajinasinya, tanpa pernah benar-benar berniat menjalin hubungan.

“Dia mempermainkan emosi kalian demi karyanya,” ujar Kevin dengan nada geram. “Dia pikir kata-kata manis tanpa tindakan nyata tidak akan menyakiti.”

Amarahku kembali memuncak. Aku merasa diperalat, dijadikan objek penelitian tanpa persetujuanku. Namun, di tengah rasa marah itu, muncul rasa terima kasih pada Kevin. Sahabatku itu, dengan kepekaannya, telah menyelamatkanku dari jurang ilusi yang lebih dalam.

“Lalu, apa yang akan kita lakukan?” tanyaku pada Kevin, menatap catatan di tanganku dengan perasaan campur aduk.

Kevin tersenyum tipis. “Aku punya beberapa ide. Tapi yang jelas, kita tidak akan membiarkannya terus melakukan ini.” Matanya menatapku dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. Ada kelembutan dan perhatian yang lebih dalam dari sekadar persahabatan. “Aku tidak suka melihatmu terluka,” katanya pelan. “Dan aku… aku tidak ingin kalah dari seorang penulis yang bahkan tidak berani bertemu dengan wanita yang ia kagumi.”

Aku menatap Kevin, menyadari sesuatu yang selama ini tersembunyi di balik sikap protektifnya. Perasaan yang lebih dari sekadar persahabatan. Mungkin, di tengah kekecewaan ini, ada secercah harapan baru. Harapan akan ketulusan yang nyata, bukan sekadar kata-kata di atas kertas.

“Besok pagi,” kata Kevin, matanya berbinar penuh ide. “Kita akan ‘tidak sengaja’ bertemu dengannya lagi di danau. Tapi kali ini, kita akan membawa ‘bahan bacaan’ yang menarik untuknya.” Aku tersenyum, sebuah rencana mulai terbentuk di benakku. Ilusi Wahyu mungkin telah runtuh, tapi kenyataan yang lebih tulus sedang menanti. Dan kali ini, aku tidak akan sendirian menghadapinya. Ada Kevin, yang dengan caranya sendiri, telah menunjukkan bahwa perhatian yang tulus jauh lebih berharga daripada sekadar rayuan gombal yang tak pernah menjadi nyata.

Namun, ada ironi pahit yang mungkin tidak kusadari sepenuhnya saat itu. Di balik tatapan protektif dan kata-kata lembut Kevin, tersimpan sebuah rahasia lain. Kevin, dengan segala kecurigaannya terhadap Wahyu yang mempermainkan banyak wanita, ternyata memiliki caranya sendiri dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Ia memang tidak bersembunyi di balik alasan agama atau proyek menulis. Sebaliknya, Kevin justru terlalu berani.

Faktanya Kevin memiliki banyak pacar. Ia menjalin hubungan yang dangkal, punya banyak alasan yang berbeda-beda untuk setiap permulaan dan perpisahannya. Ia pandai merangkai kata-kata manis yang meyakinkan, memberikan perhatian yang cukup untuk membuat setiap wanita merasa istimewa—setidaknya untuk sementara waktu. Ketakutannya bukan pada dosa, melainkan pada komitmen yang mendalam dan rasa tanggung jawab yang sesungguhnya. Jadi, di satu sisi, ia melindungiku dari ilusi Wahyu, namun di sisi lain, ia mungkin saja sedang membangun ilusi yang berbeda. Ironisnya, aku mencari kebenaran dan ketulusan, tanpa menyadari bahwa orang yang membantuku menemukannya pun memiliki kompleksitas dan potensi untuk menyakiti dengan caranya sendiri.

- Tamat

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Romantis
Cerpen
Kenapa Dia tak Pernah Datang?
Ron Nee Soo
Novel
Apa yang dia ingin kan
fabian
Novel
Sesuatu yang membuat kita tak bersatu.
Elva Nurbaeti
Skrip Film
Nyaris Satu Langkah (Script)
Aizawa
Cerpen
Bronze
APAKAH DIA ANAKKU?
Yantie Wahazz
Cerpen
Cinta Tanpa Menatap
Shanty Fadillah
Cerpen
Bronze
Bunga Di Antara Kopi
sukadmadji
Novel
You are my favorite flower
anne elsyta andri
Novel
ARFANAYA
SADNESS SECRET
Novel
365 Hari
Shela mardiani
Novel
Kamu Putusin Aku, Aku Nikahi Bosmu!
muhammad budi suryono
Flash
The Man With His Guilty
Ariq Ramadhan Nugraha
Novel
Sajak Cinta Terakhir
Widhi ibrahim
Komik
Princess Syndrome
Jang Shan
Cerpen
Bronze
Bintang Mati
Galang Gelar Taqwa
Rekomendasi
Cerpen
Kenapa Dia tak Pernah Datang?
Ron Nee Soo
Cerpen
Apakah Saat Ini, Aku Sedang Patah Hati
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Apakah ada Ruang Untuk Cinta yang Sama
Ron Nee Soo
Flash
Hak Cipta
Ron Nee Soo
Cerpen
Dalam Cinta Kubertanya?
Ron Nee Soo
Cerpen
Tiga Hari
Ron Nee Soo
Cerpen
Bidadari
Ron Nee Soo
Cerpen
Ironi Kotak Amal Sekolah
Ron Nee Soo
Cerpen
Pendekar Bintang Satu
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Sabar adalah Sungai, Senyumanmu adalah Muaranya
Ron Nee Soo
Cerpen
Talang Sawah dan Lagu Mangu
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Sekiranya Aku adalah Menantunya
Ron Nee Soo
Flash
Bronze
Nyanyian Kode
Ron Nee Soo
Cerpen
Jangan Mencinta Terlalu Dalam
Ron Nee Soo
Cerpen
Bronze
Beban di Pundak Pak Darmawan
Ron Nee Soo