Halaman Author
Kontrol semua karyamu pada halaman author, kamu bisa memublikasikan karya baru atau mengatur karyamu dengan mudah dalam satu tempat.
Cerpen
Drama
Kembar Satu Jiwa
0
Suka
517
Dibaca
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Dirinyalah yang pertama terlihat sewaktu Jenni mengetuk pintu. Memang itu sudah kebiasaannya.

“Jenni, apa kabar? Sibuk banget ya? Sampai nggak pernah menelepon,” kata lawan bicaranya tanpa bermaksud menyindir. Dari senyum yang terukir lebar, Jenni tahu bahwa sosok itu senang bertemu dengannya.

“Rana,” sapanya seraya memeluk gadis itu erat-erat. Tidak peduli kalau jaket yang ia pakai agak basah terkena hujan di luar tadi.

Rana membantunya melepaskan jaket dan menyangkutkannya di dinding. Setelahnya, Jenni digiring ke ruang tamu. Ia melihat anak-anak kecil yang sibuk mendekorasi pohon Natal.

“Kamu juga nggak pernah telepon. Pasti karena bocil-bocil ini,” candanya. Memandangi Rana, selalu ada perasaan aneh yang menempel pada hati Jenni. Bukan apa-apa, terlahir kembar bikin keduanya memiliki wajah yang mirip, kalau tidak ingin dikatakan serupa. Jadi, ia seolah-olah melihat pantulan diri sendiri kalau berhadap-hadapan dengan saudaranya itu.

Lihat saja alisnya yang menukik sama sepertinya. Ia tahu kalau alis itu alami, sama seperti alisnya. Hidung itu juga mencuat dengan cara yang sama seperti miliknya. Bahkan bibir Rana yang penuh, terlihat mirip meskipun dengan warna lipstik yang berbeda. Sayangnya, meskipun kembar identik, mereka tidak akrab satu sama lain.

Tidak ada koneksi telepati seperti yang digembar-gemborkan orang. Mereka bahkan pernah bertengkar hebat gara-gara hal sepele.

***

“Wah, Rana hebat dapat ranking satu,” ucap Mama sewaktu menerima rapor kenaikan kelas dua SMP.

Mereka baru memasuki sekolah menengah dan Jenni kesulitan beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Di lain pihak, Rana tampaknya tidak memiliki masalah apa-apa. Kembarannya yang berbeda satu menit itu malah mampu menduduki peringkat satu di kelas mereka.

Sejak saat itu, Jenni dan Rana jadi sering dibanding-bandingkan. Kalau Jenni rajin bersih-bersih, Rana yang akan disemprot untuk bersikap seperti dirinya. Jika Rana mendapatkan nilai yang bagus, Jenni yang ditegur karena malas belajar.

Oleh karena itu, keduanya jadi bersaing dalam dendam. Rana bertekad mengalahkan Jenni dalam hal apapun, sedangkan Jenni tidak rela kalau Rana dipuji dalam bidang yang ia tidak mampu.

Duduk di bangku SMA, Rana sudah mulai suka-sukaan dengan lawan jenis. Saudara kembar Jenni itu bahkan sudah mulai genit dan gemar berdandan. Tidak demikian halnya dengan Jenni. Ia masih betah bercelana pendek dan tidak mengenal apa itu bedak. Ketika mereka kelas dua SMA, Rana sedang naksir dengan seorang cowok.

Namanya Jimmy. Pria itu adalah teman sekelas Rana di tempat les. Rana berusaha ekstra keras untuk membuat pria itu jatuh hati kepadanya.

Suatu sore, Jenni dan ayah mereka menjemput Rana di tempat les. Papa menyuruh Jenni untuk turun dan mencari Rana agar segera pulang.

Dengan penampilannya yang tomboy, Jenni menghampiri Rana yang sedang bercengkerama dengan Jimmy.

“Hei, adiknya Rana!” panggil pria itu.

“Jenni,” jawabnya cepat karena tidak suka disebut-sebut sebagai adiknya Rana.

“Jimmy,” balas cowok itu seraya menjulurkan tangannya.

Jenni yang memang tidak tertarik dengan cowok mengabaikan uluran tangan itu.

“Jimmy dan Jenni. Serasi,” kata Jimmy kemudian.

Jenni melirik ke arah Rana. Wajah kakaknya itu memerah dan menunduk. Jemari Rana saling meremas satu sama lain. Seharusnya Jenni bersimpati kepada kakaknya itu. Ia tahu kalau Rana menyimpan rasa terhadap Jimmy. Namun, sikap keras kepalanya menunjukkan hal lain. Ia ingin mengalahkan Rana.

Dan, sekarang ia mendapatkan kesempatan untuk itu.

Ekspresi wajah Jenni seketika berubah dengan senyum dan menyambut tangan Jimmy dengan menggenggamnya erat-erat. Bisa ditebak, sesampainya di rumah, keduanya bertengkar hebat. Rana menganggap Jenni sengaja menggoda Jimmy. Jenni tidak kalah lantang menentang kakaknya itu.

Di akhir pertengkaran itu, Rana meneriakinya, “Aku harap kamu mati saja!”

***

Rana diundang ke acara ulang tahun Jimmy. Begitupun Jenni. Tapi Jenni tidak berniat untuk hadir. Saat itu Jenni sudah bosan memanas-manasi kakaknya. Ia sudah memiliki dua kegiatan baru, yaitu kursus akting dan melukis. Jadi, tidak ada waktu luang yang sia-sia yang dapat digunakan untuk mengganggu kakaknya.

Namun, Mama berkata lain ketika Rana meminta izin untuk pergi. “Boleh tapi harus bareng Jenni,” kata ibu mereka itu.

Tentu saja Rana menolak. Kakaknya itu menganggap Jenni sebagai pengganggu. Terutama karena Rana sedang punya misi untuk menaklukkan hati sang pria.

“Itu acaranya malam, Rana. Dan di kelab.”

“Kan, sweet seventeen,” dalih Rana. “Eh, tapi, nggak ada alkohol,” sambung Rana cepat. “Ada orangtua dan keluarga besar Jimmy juga di sana.”

“Pokoknya Mama nggak mau kamu sendirian.”

“Masa ngajak Papa, sih?” protes Rana.

“Papa kamu lembur. Lagian, kan, sudah Mama bilang, bareng Jenni.”

Rana menggerutu dalam hati. Tidak berani ia mengungkapkannya terang-terangan karena takut kekeraskepalaannya membuat Mama melarangnya pergi sama sekali.

Pada masa-masa remaja mereka itu, Jenni dan Rana telah memelihara perang dingin dalam hati masing-masing. Keduanya tidak terang-terangan berselisih, tetapi mereka lebih memilih untuk saling diam dan sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

Begitu pula ketika Jenni dan Rana memasuki kelab malam. Rana berjalan ke kanan dan menyapa teman-teman satu tempat les dengannya. Lalu, Jenni berbelok ke kiri dan menghabiskan waktu di meja buffet tempat hidangan disajikan.

Di sana, berbagai jenis minuman beralkohol telah disiapkan. Meskipun ada penjaga bar yang berjaga, usia pengunjung yang mengambil gelas bir tidak pernah ditanyakan sama sekali.

Rupanya, Rana berbohong. Pesta itu tidak bebas alkohol, tetapi bebas minum alkohol. Apakah justru kakaknya itu tidak tahu sama sekali? Yang jelas, sebagian besar tamu undangan bersuka cita di bawah pengaruh minuman beralkohol.

Entah siapa yang punya ide pertama kali, tapi tiba-tiba Jimmy mengumpulkan beberapa orang dalam satu ruangan. Jenni dan Rana ada di sana, serta empat orang asing lainnya.

“Ayo, kita pergi ke tempat lain,” kata Jimmy.

“Kamu mau kabur dari pestamu sendiri?” tanya seseorang.

Jenni melirik Rana yang tidak berkomentar apapun selain tertawa-tawa dan bergelayutan di lengan Jimmy. Kakaknya itu pasti sudah mabuk. Ia mengalihkan tatapan ke orang-orang sekelilingnya dan menduga mereka itu semua juga sedang dalam pengaruh alkohol.

Jenni tahu bahwa hanya dirinya satu-satunya yang masih dalam keadaan waras di ruangan itu. Ia harus keluar dari kelab itu. Jenni menyingkir ke pojok ruangan dan menelepon Papa.

Teleponnya diteruskan ke bagian voice mail.

Jenni sudah tidak memperhatikan situasi dalam ruangan itu. Tahu-tahu, ia mendengar Rana berteriak, “Let’s go.”

Jantung Jenni berdegup kencang. Ia harus menghubungi orangtuanya secepat mungkin. Jenni menelepon rumahnya, berharap Mama langsung mengangkat panggilan teleponnya. Dengan sabar ia menunggu seiring dengan bunyi tut yang khas terdengar dari seberang telepon.

Mendadak, telepon genggam Jenni direbut seseorang dari tangannya.

“Tidak boleh ada gangguan,” kata orang itu sambil melemparkan telepon genggam Jenni ke dalam gelas berisi alkohol.

Jenni marah. Namun, belum sempat ia melampiaskan kemarahannya, seseorang yang lain sudah menariknya kuat-kuat melewati pintu keluar.

Jenni memutar otak. Ia harus mencari akal agar bisa segera kabur dari tempat itu. Akan tetapi, tahu-tahu ia menyaksikan Rana telah masuk ke dalam mobil yang telah terparkir di dekat mereka. Setelah itu, dua laki-laki di sampingnya juga menarik lengannya secara paksa agar segera masuk mobil yang sama.

Pikiran remaja Jenni mengatakan kalau ia dapat meminta ponsel Rana dan menghubungi orangtua mereka. Oleh karenanya, ia pun tidak lagi berontak ketika dituntut untuk duduk di bagian tengah mobil berdampingan dengan kakaknya.

“Mana HP kamu, Rana?” tanya Jenni.

Akan tetapi susah juga berbicara dengan orang yang mabuk. Rana malah menduduki tas tangannya agar Jenni tidak mampu merebut tas itu.

Dalam keadaan yang sama, Jimmy yang menyetir mobil melajukan kendaraan roda empat itu kencang-kencang. Ketika mereka berhasil menyalip mobil di depan mereka. Semua orang, kecuali Jenni, akan tertawa terbahak-bahak.

Jantung Jenni semakin berdegup kencang. Ia tidak mau berada dalam mobil yang melaju dengan kecepatan tinggi itu. Berulang kali ia meminta Jimmy untuk berhenti. Berulang kali pula pria itu tidak mengindahkan permintaannya.

Tiba-tiba, tas Rana terjatuh ke lantai mobil.

Jenni melihatnya sebagai kesempatan untuk dapat merogoh tas dan menemukan telepon genggam Rana. Ia mencari-cari tas itu. Namun, tangan Jenni tidak dapat meraihnya.

Tas terdorong ke bagian bawah jok penumpang depan. Jenni tidak dapat melihat jalan di depannya karena posisinya yang merunduk. Ia hanya dapat mendengar suara tertawa-tawa yang ramai.

Mendadak, pada suatu detik tidak ada lagi suara tawa, tetapi tergantikan dengan suara terkesiap.

“Awaaaas, Jim!”

Entah siapa yang berteriak karena sedetik kemudian, Jenni tidak dapat melihat dan merasakan apa-apa.

***

Rana tahu ia tidak sepenuhnya mabuk malam itu. Ia hanya minum dua gelas saja. Ia hanya terpengaruh suasana karena tingkah teman-teman Jimmy yang lucu-lucu. Ditambah perilaku manis Jimmy yang mengutamakan dirinya dibandingkan Jenni, Rana menjadi seperti orang yang dimabuk asmara.

Rana terbangun dengan posisi tubuh yang bergulingan di aspal. Ia terbatuk-batuk. Hal yang pertama ia ingat adalah adiknya.

“Jenniii,” panggilnya.

Tidak ada yang menyahut panggilannya.

Rana berusaha menajamkan mata dan pikirannya. Lalu, di sanalah ia melihat adiknya. Dalam posisi terbalik dan terhimpit jok penumpang tengah mobil. Tanpa memikirkan hal lain, Rana memaksakan dirinya mendekati adiknya itu. Dari pintu penumpang yang telah lepas, ia berusaha menarik adiknya.

Tenaganya memang sudah tidak kuat karena pengaruh berbagai hal, salah satunya alkohol. Ia meneliti sekeliling berusaha mencari-cari apa ada sesuatu yang dapat membantunya. Lalu, matanya terpaku pada aliran bensin yang menetes perlahan-lahan. Rana tahu kalau ia harus menyelamatkan adiknya. Hanya ia seorang yang dapat melakukan itu.

Ia tidak menghiraukan orang-orang lain yang tidak sadar dan masih berada dalam mobil itu. Yang paling utama adalah Jenni. Adrenalinnya terpicu dan dengan kekuatan yang sekarang ini berlipat ganda ia menarik adiknya agar segera keluar dari mobil. Ia berusaha menjauhkan adiknya dari kendaraan roda empat yang sudah terguling itu.

Untunglah, tidak lama kemudian ia mendengar sayup-sayup petugas ambulans yang tiba di lokasi kejadian perkara. Petugas tersebut tanggap dan bertindak cepat. Rana dan Jenni dibawa ke tempat aman dan dibaringkan pada pelbet.

Please, jangan mati,” katanya kepada adiknya yang terbaring di sebelahnya.

“Aku nggak mau kamu mati. Please, jangan biarkan aku sendiri.”

***

Salah satu anak Rana, namanya Pandu berhenti menghias pohon Natal dan memperhatikan Jenni lekat-lekat. “Wah, Mami ada dua,” celetuk anak berusia tiga tahun itu.

Jenni tertawa mendengarnya. Maklum, di antara tiga keponakannya itu, hanya Pandu yang belum pernah ia temui sama sekali.

“Itu namanya kembar, tahu!” protes anak Rana yang lain.

Rana memeluk pinggang Jenni. “Tahu nggak, kalau Mami dan Aunty Jenni lahir dalam satu jiwa yang sama?” kata kakaknya itu.

Jenni membalas pelukan Rana. Ia menoleh ke samping dan melihat kakaknya itu. Selalu timbul rasa sayang yang membuncah dalam hatinya jika ia memperhatikan kakaknya dalam posisi itu.

Posisi yang sama sewaktu ia berbaring di atas velbed ambulans, menolehkan kepalanya ke samping, dan menemukan imaji kakaknya yang sedang berdoa sekuat tenaga agar Tuhan membiarkannya tetap hidup.

Mereka boleh saja tidak memiliki kemampuan telepati. Namun, Jenni yakin ia dan Rana akan selalu selamanya terkoneksi dalam satu jiwa.

***

Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Novel
Bintang & Bulan
Agung Gumara
Novel
Fool's Gold
Syafa Amelia
Novel
Rayla 2.0 Side A (Catatan 2017-2019)
Rivaldi Zakie Indrayana
Skrip Film
3G : How To Be Perfect
Peetarii
Cerpen
Pashmina Perpisahan
SURIYANA
Cerpen
Kembar Satu Jiwa
SURIYANA
Novel
Bronze
Nara, The Idol
Nesri Baidani
Novel
Jejak-Jejak Gladiol
Kopa Iota
Skrip Film
EXPIRED
Nadia Mu'abidah
Flash
Tidak Ada Mawar Tumbuh di Makam Ayah
Kopa Iota
Cerpen
Algojo
Zaki S. Piere
Novel
Bronze
TANAH AIR KEDUAKU
Eunike Mariyani
Komik
Affair
Ni Putu Winda Pramesti Dewi
Novel
Bronze
CINTA TAK SEMALANG ITU
Ranika Mayang Sari
Novel
Bronze
Tentangmu Ibu
Rosidawati
Rekomendasi
Cerpen
Pashmina Perpisahan
SURIYANA
Cerpen
Kembar Satu Jiwa
SURIYANA
Cerpen
Usia 12
SURIYANA
Novel
Bronze
Pinjaman Berbunga Cinta
SURIYANA
Flash
Apa Artinya Cinta
SURIYANA
Flash
Badut
SURIYANA
Cerpen
Nanti juga Bahagia
SURIYANA
Flash
Tidak Hanya Wanita
SURIYANA
Flash
TERLALU BAIK
SURIYANA
Cerpen
Bronze
Menjemput Jiwa
SURIYANA
Cerpen
Bronze
Dear Mima
SURIYANA
Cerpen
Memori Menari
SURIYANA
Cerpen
Cinta yang Tersisa
SURIYANA
Flash
Bronze
BAHASA
SURIYANA
Flash
Hidup tanpa Warna
SURIYANA